Di alam lain, Lingga masih berkutat dengan latihan untuk menyempurnakan jurus auman harimau putih dan jurus angkat bumi. Pendekar muda itu kembali berlatih setelah kepergian Limbur Kancana hingga saat ini. Tubuhnya sudah dibanjiri keringat. Ia seperti tidak mengenal lelah dalam berlatih karena merasa memiliki kewajiban untuk bertambah kuat setiap waktunya.Lingga menarik napas dalam, mengembuskan perlahan bersamaan dengan latihan yang akan segera diakhiri. Meski berlatih terbilang sangat penting, tetapi mengistirahatkan raga juga tidak kalah penting. Bisa dikatakan jika beristirahat adalah bagian dari kebijaksaan seorang pendekar untuk bersyukur dan mencintai diri sendiri.Lingga mengamati sekeliling seraya berjalan menuju dinding gua. Waktu terasa berjalan sangat cepat. Lima tahun yang lalu ia hanya seorang pelayan di sebuah padepokan kecil, tetapi saat ini dirinya adalah seseorang yang kehadirannya sangat dinantikan dan diperebutkan. Di dinding gua itulah perjalanan panjangnya dimul
Lingga berdiri dengan tatapan mengamati kedua cahaya itu lekat-lekat hingga akhirnya kedua sinar itu lenyap. Pandangannya mengedar ke sekeliling sungai. Ada sebuah bayangan hitam yang cukup tinggi dari bayangan lain di seberang sungai.“Sepertinya ada sebuah tempat di sana.” Lingga menoleh ke arah bayangan itu dan ikan yang tengah dibakarnya bergantian. Saat akan melangkah, perutnya kembali berbunyi. “Sepertinya karena terlalu lapar aku menjadi tidak peka terhadap keadaan sekitar. Aku akan pergi ke sana untuk menyelidikinya setelah mengisi perut lebih dulu.”Lingga menghabiskan ikan bakar dan buah pisang dengan agak terburu-buru. Akibatnya, ia tersedak dan harus meneguk minuman dan memukul dadanya beberapa kali. Saat akan menyebrangi sungai, dua cahaya itu kembali muncul dan terbang ke arah kegelapab hutan di seberang sungaiLingga melompati satu per satu batu, berjalan mengikuti dua cahaya memasuki pepohonan yang menjulang tinggi. Keadaan tempat itu tidak jauh berbeda dengan keadaan
Lingga juga menyadari jika pengkhianatan Wira dan kebenciannya pada Kartsura membuatnya gelap mata dan hati. Kebencian itu berubah menjadi dendam yang menggerus kesucian hatinya. Di saat yang sama, rasa sakit hati akibat amarah yang sempat dilontarkan ketiga teman padepokannya belum sepenuhnya bisa dibayar dengan kata maaf.Lingga memahami jika kesucian hati dan ketenangan jiwa adalah kunci untuk menjangkau kekuatan sejati. Ia mengetahui hal itu dari salah satu buku yang diberikan Sekar Sari. Setelah menyadari kekhilafan itu, Lingga berusaha untuk menjernihkan hatinya, tetapi pada kenyataannya hal itu tidak semudah membalikkan telapak tangan.“Sepertinya kau sudah mengetahui apa kekuaranganmu, Lingga.” Prabu Nilakendra tersenyum. “Angkatlah kepalamu sekarang.”Lingga mendongak sesuai dengan permintaan. Ia bisa merasakan wibawa yang tinggi dari sosok yang tengah dipandangnya saat ini.“Untuk bisa mencapai tempat ini, kau harus menguatkan diri dan hatimu lebih dari siapa pun. Selain it
“Terkutuk!” maki Wintara seraya memutar tubuh ke atas. Tombak hitamnya menepis semua serangan sabit dengan gerakan cepat. Akan tetapi, empat sabit berapi itu kembali menyerang ke arahnya. “Para petinggi golongan putih itu benar-benar membuatku sangat muak!”Wintara dengan cepat melesatkan sisik-sisik ularnya. Dalam sekejap, sisik-sisik ular itu berubah menjadi pasukan siluman ular yang langsung menghadang pergerakan empat sabit berapi. Beberapa siluman ularnya seketika bertumbangan karena gagal menghindari serangan sabit.Wintara mendarat di tanah dan secara tiba-tiba tanah yang dipijaknya amblas ke dalam dengan tombak tajam yang langsung menyambutnya. Wintara berhasil mendarat di ujung tombak, lalu melompat ketika tombak-tombak itu melesat ke arahnya.Wintara berubah wujud menjadi siluman dalam wujud yang lebih kecil, melesat cepat ke arah Nilasari berada. Jebakan-jebakan yang berada di dalam tanah terus bermunculan dan menyerangnya meski tidak menimbulkan luka yang berarti.Wintara
Nilasari terdiam sesaat. “Kakang, mungkinkah selama ini kita salah menerka mengenai sosok Pendekar Hitam yang menyerang kita?”“Aku rasa tidak.” Wintara mengawasi keadaan sekeliling. “Aku bisa memastikan Pendekar Hitam yang menyerang kita tempo hari adalah Tarusbawa, terbukti dengan rantai putihnya yang sama seperti saat mengalahkan kita lima puluh tahun yang lalu.”“Lalu kenapa pendekar bernama Aditara itu berpura-pura sebagai Pendekar Hitam?” tanya Nilasari, “mungkinkah Aditara dan Tarusbawa sudah bekerja sama?”Nilasari melanjutkan, “Dan yang membuatku lebih heran, kenapa para petinggi golongan putih sama sekali tidak merasa curiga padanya? Bukankah mereka juga sudah mengetahui bahwa sosok Pendekar Hitam itu adalah Tarusbawa?”Wintara mengembus napas panjang, mengepalkan tangan erat-erat. “Lupakan hal itu untuk sekarang, Nilasari. Kita harus segera menyusul rombongan para pendekar dan tabib itu pergi. Selain itu, kita harus segera membalas perbuatan para petinggi golongan putih.”“
“Bertahanlah! Sebentar lagi kita akan sampai ke tempat tujuan!” teriak Galih Jaya yang berada di barisan paling depan seraya mengangkat pedangnya tinggi-tinggi.Rombongan pendekar dan tabib sudah yang sudah berada dalam titik lelah kembali bersemangat ketika mendengar teriakan tersebut. Bebeberapa pendekar diutus lebih dahulu untuk memeriksa kedaaan di depan. Di saat yang sama, ketujuh petinggi golongan putih menyebar ke barisan rombongan untuk berjaga-jaga. Sampai saat ini, perjalanan tergolong lancar.Rombongan mulai melewati sebuah gapura berbatu yang beukuran besar dan tinggi dengan sebuah jembatan berada di atasnya. Setelah melewatinya, hutan kembali menyambut rombongan. Beberapa tabib mulai terjatuh karena kelelahan, sisanya tak sadarkan diri karena kelelahan.“Bertahanlah!” Beberapa pendekar menyemangati.“Ini benar-benar perjalanan yang cukup melelahkan,” ujar Sekar Sari seraya menyeka keringat di dahi. Tatapannya tertuju ke sekeliling. Ia melihat beberapa pendekar membantu me
“Galih Jaya,” panggil Wirayuda dengan suara agak keras. Tatapannya segera mengawasi keadaan sekeliling. Hampir setengah dari para tabib tengah duduk beralas tanah, sedang sebagian pendekar masih berjaga di sekitar tempat ini dan sisanya tengah memeriksa gua.Galih Jaya segera menoleh, berlari melewati para tabib dan pendekar, kemudian berhenti di depan ketujuh para petinggi golongan putih.“Galih Jaya, tunjukan tabib mana yang berhasil membuat kedua bambu itu pada kami,” pinta Wirayuda seraya kembali mengawasi keadaan sekeliling. Keenam petinggi golongan putih di sampingnya ikut menerka-nerka tabib mana yang memiliki kemampuan mumpuni untuk menciptakan bambu yang sangat berguna.Galih Jaya menyisir para tabib selama beberapa waktu. Tatapannya berhenti pada Sekar Sari yang sedang membantu seorang tabib yang tengah terluka. “Gadis berselendang merah itu adalah tabib yang berhasil membuat dua bambu itu.”“Seorang gadis muda?” Wirayuda dan keenam petinggi golongan putih segera menoleh pa
“Aku tidak menduga jika Sekar Sari berada di tempat ini. Pantas saja saat aku, raka dan Danuseka menggempur persembunyian Ganawirya, aku sama sekali tidak melihat keberadaannya di sana,” gumam Wira dengan tatapan yang tidak beralih dari gadis berselendang merah, “apa yang sedang dia lakukan bersamaan para tabib di tempat ini? Bukankah seharusnya dia bersama Ganawirya dan murid padepokan?”Para tabib dalam barisan segera mengikuti pergerakan beberapa pendekar yang akan membawa mereka ke tempat peristirahatan. Wira nyatanya tidak menyadari hal itu hingga mendapat teguran dari salah satu pendekar.“Apa yang masih kau lakukan di sini?” tanya pendekar itu.Wira mengamati keadan sekitar yang sudah lengang dari para tabibi. “Maafkan aku.”Wira dengan langkah tergesa-gesa segera menyusul para tabib. Tatapannya masih mengamati kepergian Sekar Sari hingga akhirnya rombongan tabib wanita itu menghilang ketika berbelok ke sebuah arah.Wira berdecak, mau tak mau mengikuti rombongan ke suatu tempat