“Galih Jaya,” panggil Wirayuda dengan suara agak keras. Tatapannya segera mengawasi keadaan sekeliling. Hampir setengah dari para tabib tengah duduk beralas tanah, sedang sebagian pendekar masih berjaga di sekitar tempat ini dan sisanya tengah memeriksa gua.Galih Jaya segera menoleh, berlari melewati para tabib dan pendekar, kemudian berhenti di depan ketujuh para petinggi golongan putih.“Galih Jaya, tunjukan tabib mana yang berhasil membuat kedua bambu itu pada kami,” pinta Wirayuda seraya kembali mengawasi keadaan sekeliling. Keenam petinggi golongan putih di sampingnya ikut menerka-nerka tabib mana yang memiliki kemampuan mumpuni untuk menciptakan bambu yang sangat berguna.Galih Jaya menyisir para tabib selama beberapa waktu. Tatapannya berhenti pada Sekar Sari yang sedang membantu seorang tabib yang tengah terluka. “Gadis berselendang merah itu adalah tabib yang berhasil membuat dua bambu itu.”“Seorang gadis muda?” Wirayuda dan keenam petinggi golongan putih segera menoleh pa
“Aku tidak menduga jika Sekar Sari berada di tempat ini. Pantas saja saat aku, raka dan Danuseka menggempur persembunyian Ganawirya, aku sama sekali tidak melihat keberadaannya di sana,” gumam Wira dengan tatapan yang tidak beralih dari gadis berselendang merah, “apa yang sedang dia lakukan bersamaan para tabib di tempat ini? Bukankah seharusnya dia bersama Ganawirya dan murid padepokan?”Para tabib dalam barisan segera mengikuti pergerakan beberapa pendekar yang akan membawa mereka ke tempat peristirahatan. Wira nyatanya tidak menyadari hal itu hingga mendapat teguran dari salah satu pendekar.“Apa yang masih kau lakukan di sini?” tanya pendekar itu.Wira mengamati keadan sekitar yang sudah lengang dari para tabibi. “Maafkan aku.”Wira dengan langkah tergesa-gesa segera menyusul para tabib. Tatapannya masih mengamati kepergian Sekar Sari hingga akhirnya rombongan tabib wanita itu menghilang ketika berbelok ke sebuah arah.Wira berdecak, mau tak mau mengikuti rombongan ke suatu tempat
“Ada beberapa orang yang dicurigai sebagai penyusup,” ujar Galisaka, “para pendekar yang berjaga sudah ditugaskan mengawasi mereka dengan ketat. Kemungkinan besar jika penyusup itu akan melakukan kegaduhan saat para tabib dan pendekar sedang beristirahat. Jika dia akan menggunakan racun kalong setan, kita akan segera bertindak dengan bantuan bambu ajaib.”“Aku harus kembali memuji gadis tabib itu untuk pekerjaannya membuat bambu ajaib itu,” ujar Kolot Raga.Wirayuda menatap bambu kuning di tangannya. “Dua siluman itu masih berada cukup jauh dari kita, tapi kita harus tetap waspada. Kemungkinan serangan dari pihak lain masih cukup besarm terutama para anggota Cakar Setan.”Wirayuda mendongak ke atas, menyipit saat melihat keberadaan kubah pelindung yang menaungi tempat ini. “Ada sesuatu yang masih kurang dengan kubah pelindung yang terpasang.”“Apa kau meragukan kemampuan kami, Wirayuda?” tanya Ekawira dengan tatapan sinis.“Kita harus menambahkan penawar racun kalong setan agar membua
“Nilasari!” Wintara dengan cepat mendorong Nilasari ke belakang di saat dua rantai putih itu melesat untuk menangkap keduanya.Wintara memanggil tombak hitamnya dengan segera, menepis serangan dua rantai dengan gerakan cepat bersamaan dengan tubuh yang bergerak ke belakang.“Kakang,” ujar Nilasari ketika Wintara berhenti di dekatnya, “dia … benar-benar Tarusbawa, Kakang. Aku bisa merasakan hawa keberadaannya.”“Kau benar, Nilasari.” Wintara mengepalkan tangan erat-erat, memutar tombaknya beberapa kali di mana satu tangannya memegang kendi berisi racun kalong setan. Tarusbawa mengentak tubuh kuat-kuat, melesat cepat ke arah Wintara dan Nilasari dengan dua rantai putih yang kembali menyerang kedua siluman itu. Terjadi kejar-mengejar dan tumbukan serangan untuk sementara waktu. Dari kejauhan, mereka seperti tiga bayangan hitam yang bergerak sangat cepat di dahan-dahan pohon.Wintara dan Nilasari mundur sejauh beberapa tombak di saat menghindar dan menepis seragan dua rantai putih denga
Wintara dan Nilasari kembali melayangkan sisik-sisik mereka yang kemudian berubah menjadi pasukan siluman ular. Siluman-siluman itu dengan cepat menaiki rantai dan menyerang Tarusbawa dengan tombak dan susuk mereka.“Kakang, tolong aku,” ujar Nilasari dengan mata yang mulai menangis, “aku tidak ingin kembali disegel ke dalam lubang itu lagi untuk kedua kalinya. Selamatkan aku, Kakang.”“Tenanglah, Nilasari.” Wintara memutar ekornya hingga menciptakan angin kencang yang langsung berembus ke arah Tarusbawa. Beberapa pasukan silumannya terjatuh ke pepohonan. Tak lama setelahnya, ia kembali melayangkan serangan tombak dari mulutnya. Akan tetapi, tombak perak Tarusbawa kembali berhasil menghadang serangannya.“Terkutuk!” geram Wintara, “meski kami sudah bertambah kuat berkali-kali lebih kuat, tapi sepertinya kami masih berada di bawahmu, Tarusbawa! Aku tidak akan mengulangi kesalahan yang sama seperti yang pernah aku lakukan lima puluh tahun lalu!”“Kakang,” rengek Nilasari seraya terus me
“Apa yang sebenarnya terjadi?” Bangasera terseret harimau putih hingga beberapa tombak jauhnya. Ia segera mengawasi keadaan sekeliling, mencari siapa pelaku yang dengan kurangajarnya mengganggunya di saat akan berhadapan dengan Tarusbawa.Bangasera segera berubah menjadi ular siluman, lantas melilit tubuh harimau putih dengan saat kuat di saat hariman itu terus menggigit tubuhnya. Secara tiba-tiba, ia mengingat siapa pemilik jurus. “Limbur Kancana. Aku tahu ini semua perbuatanmu.”Bangasera mengerahkan kekuatannya untuk melilit harimau putih lebih erat. Mulutnya terbuka sangat lebar dan secara tiba-tiba mengeluarkan panah hitam yang melesat ke tubuh harimau putih itu. “Kucing kecil ini tidak akan bisa—”Belum sempat menyelesaikan kata-katanya, Bangasera tiba-tiba mendapat tendangan telak di kepala. Tubuhnya terseret ke belakang bersamaan dengan harimau putih yang mendadak menghilang. Ketika kakinya mendarat di dahan pohon dan bersiap untuk memberikan balasan, tiba-tiba saja sebuah kub
Wintara dan Nilasari melompat mundur di saat rantai Tarusbawa terus mengarah pada mereka. Tombak dan susuk mereka keduanya terus-menerus menepis serangan. Pasukan siluman ular mereka beberapa kali dikerahkan, tetapi selalu dapat dengan mudah dihancurkan. Tarusbawa mengentak kedua tangan ke bawah untuk sesaat, kemudian melesat maju dengan sangat cepat dengan menggunakan jurus kaki petir. Dalam waktu singkat, ia sudah berada di dekat Wintara dan Nilasari. Wintara dan Nilasari terhenyak saat menyadarinya. Saat akan mengubah wujud menjadi siluman, sebuah pukulan di dada berhasil membuat mereka terpental ke belakang. Kedua rantai Tarusbawa bersiap melilit mereka, tetapi rantai itu mendadak putus ketika terkena panah hitam yang dilancarkan Bangasera. Wintara dan Nilasari kembali melompat mundur beberapa tombak ke belakang, menghindar dengan gerakan yang hampir sama ketika rantai putih kembali mengincar mereka. Di saat yang sama, Tarusbawa bergerak dengan sangat cepat mengelilingi keduanya
Tarusbawa dan Limbur Kancana segera menjauh beberapa tombak ke belakang, bersembunyi di balik pohon. Tarusbawa membisikkan sesuatu pada Limbur Kancana dan setelahnya kembali muncul di atas puncak pohon.“Tindakan kalian yang menjauh aku anggap sebagai pembenaran atas ucapanku barusan.” Bangasera menyeringai tajam. “Malam ini adalah malam terakhir kalian melihat dunia. Bersiaplah merasakan sakitnya nyawa berpisah dari badan.”Bangasera, Wintara dan Nilasari melompat ke belakang beberapa tombak, menatap Tasrubawa dan Limbur Kancana yang tengah bersiaga.Bangasera meraih sesuatu dari mulut ular di tongkatnya, lantas melemparkan dua batu mustika pada Wintara dan Nilasari. “Ambillah dua mustika itu. Aku sengaja membawanya dari alam siluman di lapisan paling bawah.”“Mustika ini,” ujar Wintara dengan tatapan terkejut.“Mustika itu adalah mustika yang dapat meningkatkan kekuatan siluman berkali-kali lipat. Dengan kekuatan kalian yang sudah ditingkatkan dengan racun kalong setan dan mustika i