Wintara dan Nilasari melompat mundur di saat rantai Tarusbawa terus mengarah pada mereka. Tombak dan susuk mereka keduanya terus-menerus menepis serangan. Pasukan siluman ular mereka beberapa kali dikerahkan, tetapi selalu dapat dengan mudah dihancurkan. Tarusbawa mengentak kedua tangan ke bawah untuk sesaat, kemudian melesat maju dengan sangat cepat dengan menggunakan jurus kaki petir. Dalam waktu singkat, ia sudah berada di dekat Wintara dan Nilasari. Wintara dan Nilasari terhenyak saat menyadarinya. Saat akan mengubah wujud menjadi siluman, sebuah pukulan di dada berhasil membuat mereka terpental ke belakang. Kedua rantai Tarusbawa bersiap melilit mereka, tetapi rantai itu mendadak putus ketika terkena panah hitam yang dilancarkan Bangasera. Wintara dan Nilasari kembali melompat mundur beberapa tombak ke belakang, menghindar dengan gerakan yang hampir sama ketika rantai putih kembali mengincar mereka. Di saat yang sama, Tarusbawa bergerak dengan sangat cepat mengelilingi keduanya
Tarusbawa dan Limbur Kancana segera menjauh beberapa tombak ke belakang, bersembunyi di balik pohon. Tarusbawa membisikkan sesuatu pada Limbur Kancana dan setelahnya kembali muncul di atas puncak pohon.“Tindakan kalian yang menjauh aku anggap sebagai pembenaran atas ucapanku barusan.” Bangasera menyeringai tajam. “Malam ini adalah malam terakhir kalian melihat dunia. Bersiaplah merasakan sakitnya nyawa berpisah dari badan.”Bangasera, Wintara dan Nilasari melompat ke belakang beberapa tombak, menatap Tasrubawa dan Limbur Kancana yang tengah bersiaga.Bangasera meraih sesuatu dari mulut ular di tongkatnya, lantas melemparkan dua batu mustika pada Wintara dan Nilasari. “Ambillah dua mustika itu. Aku sengaja membawanya dari alam siluman di lapisan paling bawah.”“Mustika ini,” ujar Wintara dengan tatapan terkejut.“Mustika itu adalah mustika yang dapat meningkatkan kekuatan siluman berkali-kali lipat. Dengan kekuatan kalian yang sudah ditingkatkan dengan racun kalong setan dan mustika i
Wintara dan Nilasari tertawa menggelegar ketika mendapati Tarusbawa tergolek tak berdaya dengan tombak dan susuk yang tertancap di tubuhnya. Kedua siluman ular itu dengan sengaja memperdalam tusukan hingga darah memancur deras dari luka Tarusbawa. Akan tetapi, kesenangan mereka terhenti ketika rantai putih menyerang dari samping.Tarusbawa mengeluarkan tombak dan susuk seraya merenggangkan jarak dengan Wintara dan Nilasari. Ia terbatuk hingga beberapa kali oleng dan nyaris terjatuh.Wintara dan Nilasari mundur sejauh satu tombak, lantas kembali melesat ke depan dengan tombak dan susuk yang bergerak lebih dahulu. Akan tetapi, Tarusbawa berhasil menepisnya dengan rantai putih.Tarusbawa segera duduk bersila dengan tangan menyatu di depan dada dan mata terpejam. Dua rantainya mengelilinginya hingga tercipta sebuah kubah pelindung. Beberapa kali ia terbatuk hingga mengeluarkan darah di saat memulihkan diri.“Aku tidak akan membiarkanmu hidup lebih lama lagi, Tarusbawa.” Wintara kembali me
Wintara dan Nilasari mengentak tubuh bersamaan hingga menimbulkan lubang besar ketika melesat ke depan. Batu besar yang mengincar keduanya hancur sebelum berhasil menyentuh mereka. Keduanya bergerak sangat cepat hingga sulit diikuti oleh mata telanjang. Angin yang tercipta karena gerakan mereka membuat pepohonan terbelah menjadi dua bagian.Dalam waktu singkat, Wintara dan Nilasari sudah berada di depan Tarusbawa, bahkan sebelum kedua rantainya bergerak.Tarusbawa terhenyak ketika melihat keberadaan Wintara dan Nilasari yang tiba-tiba. Sebelum berhasil merenggangkan jarak dan menyerang, dua pukulan kuat sudah lebih dahulu mendarat di dadanya, disusul dengan tusukan tombak dan susuk.Tarusbawa terpental ke belakang hingga menerobos pepohonan. Darah seketika menyembur dari mulut dan dadanya. Sesaat sebelum mendarat di dahan pohon, tiba-tiba saja tubuhnya tertarik ke depan dengan cepat.Wintara dan Nilasari menarik rantai putih Tarusbawa dengan kekuatan penu
Bangasera, Wintara dan Nilasari segera menghimpun kekuatan, lantas melayangkan serangan jarak jauh dalam waktu bersamaan. Serangan mereka menyatu membentuk serangan seekor ular besar yang seketika melahap harimau putih Limbur Kancana.Limbur Kancana segera melompat ke atas untuk menghindari serangan tersebut. Ia berhasil menghindar, tetapi nahasnya terkena dorongan serangan hingga tubuhnya terpelanting beberapa tombak ke belakang. Serangan yang dilancarkan Bangasera, Wintara dan Nilasari mendarat di tanah dan seketika menimbulkan ledakan dahsyat yang membuat tanah berlubang dan pepohonan bertumbangan ke sekeliling.Limbur Kancana melompat ke puncak pohon, bersiap untuk memberikan serangan balasan. Akan tetapi, baru saja menghimpun kekuatan, Bangasera, Wintara dan Nilasari sudah menglilinginya dengan tatapan tajam dna tangan yang sudah siap melancarkan serangan.Limbur Kancana melompat tinggi ke udara, menepis satu per satu serangan yang berdatangan. Bangasera, Wintara dan Nilasari kem
“Keberadaan Bangasera yang tiba-tiba menghilang benar-benar sangat mencurigakan,” ujar Argaseni, “tidak mungkin dia akan diam saja saat Tarusbawa muncul ke permukaan, terlebih dia dalah orang pertama yang mengetahui hal itu. Dia pasti sudah merencakan sesuatu bersama dua siluman ular yang menjadi bawahannya.”“Dilihat dari keadaan tempat ini yang porak poranda, kemungkinan besar sudah terjadi pertempuran dahsyat di tempat ini.” Brajawesi terdiam sesaat, kemudian bergumam, “Aku bisa mencium bau siluman, bau darah dan bau racun kalong setan di tempat ini.”Brajawesi terdiam sesaat ketika menemukan bau seseorang. “Ini … bau dari ….”Brajawesi tersenyum tipis, menjauh dari ketiga anggota Cakar Setan yang lain. Tatapannya mengelilingi sekeliling. Ia memanggil kapak merahnya, mengirimkan kekuatan pada senjata itu. Akan tetapi, kapaknya sama sekali tidak memberi balasan apa pun.“Aku mencium bau Limbur Kancana di tempat ini.” Brajawesi tersenyum bengis. “Itu berarti ada kemungkinan jika pemu
Limbur Kancana dan Tarusbawa mengikuti dua cahaya menuju hutan setelah Limbur Kancana menjelaskan siapa sosok dua cahaya itu.“Sejak kapan mereka muncul?” tanya Tarusbawa.“Pertama kali mereka muncul saat kami kehilangan Lingga di Jaya Tonggoh. Mereka menuntun kami menuju Telaga Asri. Kami menemukan Lingga tak sadarkan diri di sisi telaga. Pada akhirnya kami menggunakan gua itu untuk beristirahat.”Limbur Kancana meneruskan. “Telaga Asri selain mampu menghilangkan letih dan menambahkan kekuatan pada tubuh, nyatanya mampu memberi petunjuk bagi siapa saja yang bisa sampai turun ke dasar.”Tarusbawa mengamati dua cahaya yang masih menuntunnya ke sebuah jalan. Ia jadi teringat dengan bayangan pertarungan besar dua pasukan yang didapatkannya setelah menyelami Telaga Asri hingga ke dasar.“Lingga mengatakan bahwa dirinya pergi ke masa lima puluh tahun lalu.” Limbur Kancana menoleh sekeliling sesaat. Kawasan ini adalah tempat yang belum pernah ia masuki karena sebelumnya terhalang oleh dindi
Limbur Kancana terpejam sesaat. “Anggota Cakar Setan sudah menyebar ke sekeliling Jaya Tonggoh, Raka. Tapi jika dilihat dari keadaan mereka yang kelelahan, sepertinya mereka tidak akan melakukan penyerangan setidaknya sampai keadaan mereka kembali pulih.”“Itu berarti masih ada kemungkinan jika mereka akan menyerang para pendekar.” Tarusbawa menatap langit sesaat. “Kita harus memaksa mereka keluar dari Jaya Tonggoh agar keadaan para pendekar aman.”“Serahkan mereka padaku, Limbur Kancana. Kau harus segera memberitahu para pemimpin golongan putih mengenai keadaan saat ini,” ujar Tarusbawa.“Baik, Raka.” Limbur Kancana menghimpun kekuatan untuk membuka gerbang. Setelah gerbang terbuka, keduanya segera melompat dan kembali di wilayah Jaya Tonggoh.“Kartasura berada di jarak yang paling dekat dengan para pendekar saat ini, Raka.” Limbur Kancana memanggil dua tiruan.“Aku mengerti.” Tarusbawa segera menyentuh kedua bahu tiruan Limbur Kancana, dan tak lama setelahnya muncul di salah satu pu
Panji Laksana dan Saraswati seketika berdiri dan membungkuk hormat ketika melihat kemunculan Tarusbawa. Lingga berdiri di belakang Tarusbawa, mengamati Ganawirya, Limbur Kancana, Sekar Sari, dan dua sosok asing yang membungkuk hormat pada Tarusbawa. “Siapa mereka? Aku baru pertama kali bertemu dengan mereka. Mereka terlihat kuat.” Panji Laksana dan Saraswati kembali berdiri tegak, menoleh pada Lingga. Keduanya saling melirik sesaat, memberi salam penghormatan untuk Lingga. “Aku Panji Laksana. Aku merasa bangga bisa bertemu dengan pemuda pewaris kujang emas,” ujar Panji Laksana. Saraswati menunduk malu, menyembunyikan pipinya yang memerah. “Pemuda itu memang sangat tampan sesuai dengan perkataan orang-orang,” gumamnya. Saraswati berdeham saat Panji Laksana menyikutnya. “Aku Saraswati. Aku juga merasa bangga bisa bertemu denganmu.” Lingga membalas salam dua saudara kembar itu. “Namaku Lingga. Senang bertemu dengan kalian. Aku harap kita bisa berteman dengan baik.” Sekar
Lingga segera mendekati Tarusbawa. “Guru, apa kau baik-baik saja?” Tarusbawa seketika berjongkok, menahan rasa panas dan sesak yang semakin menjalar di dadanya. Ia sontak terdiam saat mendengarkan ucapan seseorang. Sebuah cahaya merah seketika terlihat di dada Tarusbawa, bergerak beberapa kali. “Guru.” Lingga mengamati cahaya itu saksama, melompat mundur saat cahaya itu keluar dari dada Tarusbawa. “Cahaya merah apa itu?” Cahaya itu mengelilingi Lingga selama beberapa kali, terbang ke langit, kemudian perlahan turun hingga berhadapan dengan Lingga. Tak lama setelahnya, cahaya itu berubah menjadi sosok Prabu Nilakendra. “Prabu.” Lingga segera memberikan salam penghormatan. “Kau sudah menunjukkan perjuangan hingga sampai di titik ini. Dengan munculnya mustika merah ini dari Tarusbawa, maka waktu ujianmu akan segera dimulai,” ujar Prabu Nilakendra sembari menunjukkan sebuah benda bulat bercahaya merah di tangannya. “Waktu ujianku sudah dimulai?” “Aku ingin mengingatkanm
“Baik, Guru.” Sekar Sari mengangguk.“Indra, antarkan Panji Laksana ke ruangan kalian. Dia juga akan tinggal bersamamu dan yang lain mulai sekarang,” ujar Ganawirya.Panji Laksana mengikuti Indra. Kedua pemuda itu menghilang saat melewati beberapa gubuk. Suasana masih terasa canggung, apalagi bagi Sekar Sari dan Saraswati yang saling mengamati satu sama lain.Sekar Sari dan Saraswati berjalan menuju gubuk para wanita, sedangkan Meswara, Jaka, dan Arya masih berada di depan gubuk saat Ganawirya memberi perintah pada mereka.Sekar Sari melirik Saraswati berkali-kali. Kepalanya penuh dengan pertanyaan saat ini. “Hanya dengan melihat matanya saja, dia pastilah gadis yang sangat cantik. Aku melihat Kakang Indra dan yang lain juga terpana saat melihatnya.”Saraswati mengamati keadaan sekeliling. “Padepokan ini sangat tenang dan menyenangkan. Aku menyukai tempat ini.”Sekar Sari berhenti di depan sebuah gubuk, menaiki undakan tangga kecil, membuka pintu. “Ini adalah gubuk tempat tinggalku. A
Panji Laksana mengangguk. “Aki kami, Sanjaya, memerintahkan kami berdua untuk menemui kalian bertiga atau salah satu dari kalian bertiga. Aki ingin memberi tahukan soal keberadaannya pada kalian. Beberapa bulan lalu setelah kami melihat dan merasakan kekuatan pusaka kujang emas, Aki mengingat semua kembali ingatannya yang telah hilang.”“Bangkitnya pusaka kujang emas terjadi untuk ketiga kalinya. Terakhir kali saat kami, pasukan pendekar golongan putih, melawan dua siluman kembar dan para pendekar golongan hitam. Lingga mengurung mereka di Jaya Tonggoh,” ujar Tarusbawa. Panji Laksana memberikan sebuah pisau pada Tarusbawa. “Aki memerintahkan kami untuk memberikan pisau ini pada pemuda pewaris kujang emas. Pisau itu adalah kunci untuk memasuki Nusa Larang, tempat di mana Aki dan kami berada selama ini. Saat pisau itu bersinar, maka saat itulah waktu yang tepat bagi si pewaris kujang emas untuk menemui Aki.”Tarusbawa mengambil pisau itu, mengamati saksama. “Lingga sedang berlatih saat
Atap-atap gubuk mulai terlihat saat Panji Laksana dan Saraswati keluar dari kungkungan pohon. Mereka melihat sebuah ari terjun dan sungai yang mengalir jernih. Begitu memasuki padepokan, mereka mendapati beberapa murid dan tabib yang tampak hilir mudik.Panji Laksana dan Saraswati mengamati keadaan sekeliling. Beberapa murid melihat kedatangan mereka dengan tatapan bertanya-tanya, saling berbisik-bisik.“Aku sudah lama tidak melihat sebuah padepokan, Kakang.” Saraswati tersenyum saat melihat beberapa gadis tampak berbondong-bondong menuju sebuah tepat.“Kau tampaknya menyukai tempat ini, Saraswati.” Panji Laksana mengamati beberapa pemuda seusianya yang beriringan menuju arah utara.“Tentu saja aku menyuai tempat ini, kakang. Sejak kecil, kita hidup bersama Aki di tempat rahasia yang tidak dimasuki oleh orang-orang. Kita hanya bisa melihat mereka dari jarak jauh. Aku sejujurnya ingin seperti gadis lainnya.”“Semua yang Aki perintahkan semata-mata untuk melindungi kita, Saraswati.”“Ak
Ganawirya menoleh pada Jaka sesaat. “Jaka, kau dan yang lain harus ikut bersama kami ke sisi Lebak Angin. Aku dan Raka Limbur Kancana akan menunggu kalian di sana.”Jaka mengangguk meski masih bingung dengan keadaan yang terjadi. “Aku mengerti, Guru. Aku dan yang lain akan segera pergi secepatnya.”Ganawirya dan Limbur Kancana segera menghilang dari gubuk.Jaka bergegas keluar dari gubuk, mengamati keadaan sekeliling. Ia melompat ke atap gubuk, bersiul beberapa kali.Sekar Sari berhenti meramu obat sesaat, menoleh saat melihat beberapa bayangan berkelebat sangat cepat di langit. “Aku melihat Kakang Indra dan Kakang Meswara berlari menuju gubuk Guru. Apa sudah terjadi sesuatu?”Sekar Sari berlari menuju luar gubuk setelah menyimpan ramuan ke lemari. Gadis itu terdiam saat melihat Indra dan yang lain bergerak sangat cepat. “Sepertinya memang sudah terjadi sesuatu. Tapi, kenapa mereka tidak memberi tahuku?”Sekar Sari bergegas menuju gubuk Ganawirya, mengintip keadaan di dalam ruangan me
“Kalian bukankah anggota rombongan pengantar bahan baku dan makanan ke Lebak Angin. Kalian adalah pendekar,” ujar si pemimpin pendekar. Panji Laksana dan Saraswati turun dari kuda, mengamati para pendekar yang masih mengelilingi mereka. “Katakan siapa kalian dan tujuan kalian. Jika kalian tetap tutup mulut, kami akan bertindak kasar pada kalian!”“Tunggu, Kisanak. Kami memang bukanlah anggota rombongan, tetapi kami bukanlah orang jahat. Kami ingin pergi ke Lebak Angin untuk bertemu dengan pendekar bernama Ganawirya. Kami memiliki pesan penting,” kata Panji Laksana. “Kalian masih belum menjawab pertanyaan kami. Siapa kalian?”“Aku Panji Laksana dan gadis ini adalah adik kembarku, Saraswati. Kami berasal dari wilayah yang bernama Nusa Larang.” “Nusa Larang?” Para pendekar saling bertatapan sesaat, berbisik-bisik. “Periksa mereka sekarang juga!”Satu pendekar pria segera memeriksa Panji Laksana, dan seorang pendekar wanita bergegas mendekati Sarawati. Keduanya melakukan pemeriksaan
Langit tampak sangat cerah. Kawanan burung bergerak ke arah timur. Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan. Beberapa tupai terlihat berada di sebuah dahan pohon, mengamati seorang pemuda yang tengah duduk di atas sebuah batu.Pemuda itu tidak lain adalah Lingga. Tak lama setelah tiba di tempat ini, ia segera berlatih. Tarusbawa memperhatikannya dari puncak pohon, tidak berkata apa pun.Lingga tiba-tiba melompat ke langit, melakukan gerakan pemanggil kujang emas. Begitu pusaka itu muncul dan berada di tangannya, beberapa hewan dengan segera menjauh.Lingga mendarat di sungai, mengambang di atas aliran air yang tenang. Begitu matanya terbuka, kakinya mengentak air dan melesat ke arah depan. Air seketika memercik ke sekeliling. Pemuda itu menggerakkan kujang ke kiri dan kanan.Tarusbawa duduk bersila, memejamkan mata, berusaha menghubungi sosok pendekar Sayap Putih bernama Sanjaya. Akan tetapi, ia masih belum bisa terhubung dengan temannya.Matahari terus b
“Sanjaya,” ujar Tarusbawa yang kemudian termenung agak lama.Tarusbawa berdiri dari semedinya, mengamati keadaan ruangan yang temaram. Langit tampak gelap di mana cahaya bulan terhalang oleh awan hitam.Api obor bergerak-gerak saat Tarusbawa meninggalkan ruangan. Pendekar itu menuruni tangga kayu, berdiri di tengah-tengah tanah lapang. Saat mendongak ke langit, awan-awan hitam bergerak menjauh hingga bulan nyaris sempurna terlihat.Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan.“Aku merasakan kekuatan Sanjaya. Dia kemungkinan sudah terlepas dari jurus Aji Panday sehingga bisa mengingat jelas semua kejadian yang lalu. Aku harus segera bertemu dengannya.”“Tidak. Ini bukan waktu yang tepat.” Tarusbawa mengepal tangan erat-erat, menyentuh dadanya. “Lingga harus lulus dari ujian lebih dahulu sebelum aku dan dia bertemu dengan Sanjaya. Dengan merasakan kekuatannya, aku bisa tahu jika Sanjaya masih hidup di suatu tempat.”Tarusbawa mengentak kedua kaki kuat-kuat, me