Limbur Kancana dan Tarusbawa mengikuti dua cahaya menuju hutan setelah Limbur Kancana menjelaskan siapa sosok dua cahaya itu.“Sejak kapan mereka muncul?” tanya Tarusbawa.“Pertama kali mereka muncul saat kami kehilangan Lingga di Jaya Tonggoh. Mereka menuntun kami menuju Telaga Asri. Kami menemukan Lingga tak sadarkan diri di sisi telaga. Pada akhirnya kami menggunakan gua itu untuk beristirahat.”Limbur Kancana meneruskan. “Telaga Asri selain mampu menghilangkan letih dan menambahkan kekuatan pada tubuh, nyatanya mampu memberi petunjuk bagi siapa saja yang bisa sampai turun ke dasar.”Tarusbawa mengamati dua cahaya yang masih menuntunnya ke sebuah jalan. Ia jadi teringat dengan bayangan pertarungan besar dua pasukan yang didapatkannya setelah menyelami Telaga Asri hingga ke dasar.“Lingga mengatakan bahwa dirinya pergi ke masa lima puluh tahun lalu.” Limbur Kancana menoleh sekeliling sesaat. Kawasan ini adalah tempat yang belum pernah ia masuki karena sebelumnya terhalang oleh dindi
Limbur Kancana terpejam sesaat. “Anggota Cakar Setan sudah menyebar ke sekeliling Jaya Tonggoh, Raka. Tapi jika dilihat dari keadaan mereka yang kelelahan, sepertinya mereka tidak akan melakukan penyerangan setidaknya sampai keadaan mereka kembali pulih.”“Itu berarti masih ada kemungkinan jika mereka akan menyerang para pendekar.” Tarusbawa menatap langit sesaat. “Kita harus memaksa mereka keluar dari Jaya Tonggoh agar keadaan para pendekar aman.”“Serahkan mereka padaku, Limbur Kancana. Kau harus segera memberitahu para pemimpin golongan putih mengenai keadaan saat ini,” ujar Tarusbawa.“Baik, Raka.” Limbur Kancana menghimpun kekuatan untuk membuka gerbang. Setelah gerbang terbuka, keduanya segera melompat dan kembali di wilayah Jaya Tonggoh.“Kartasura berada di jarak yang paling dekat dengan para pendekar saat ini, Raka.” Limbur Kancana memanggil dua tiruan.“Aku mengerti.” Tarusbawa segera menyentuh kedua bahu tiruan Limbur Kancana, dan tak lama setelahnya muncul di salah satu pu
Limbur Kancana segera bertukar tempat dengan tiruannya yang berada di dekat kubah pelindung. Dari tempatnya saat ini, ia bisa melihat sebuah kubah yang menjulang tinggi. Di luar kubah dan di dalam kubah, tampak para pendekar tengah bersiaga penuh kewaspadaan.Limbur Kancana melompat ke atas, mengawasi keadaan kubah. Matanya bergerak cepat mengawasi setiap sudut. Begitu menemukan keberadaan para petinggi golongan putih yang tengah berkumpul di sebuah tempat, ia dengan cepat menukik ke bawah, melewati kubah pelindung, membuat lima tiruan yang langsung menyebar ke sekeliling, kemudian mendarat di puncak sebuah pohon yang tidak jauh dari kumpulan.“Pendekar Hitam.” Semua petinggi golongan putih yang hadir seketika tercekat.Limbur Kancana melompat turun, mengamati satu per satu petinggi golongan putih. “Ada hal penting yang harus aku katakan pada kalian saat ini juga. Wintara dan Nilasari sedang bergerak menuju wilayah selatan untuk bertemu dengan seorang siluman wanita bernama Nyi Genit
Limbur Kancana memanggil tujuh tiruan dirinya ke hadapan para petinggi golongan putih. “Aku menguasai sebuah jurus yang mampu memperbanyak diriku sendiri. Dengan jurus ini, aku juga bisa berpindah tempat dengan tiruanku yang berada di tempat lain. Semakin banyak tiruan yang kubuat, semakin lemah kekuatan tiruan itu. Selain itu, aku juga bisa melihat apa yang dilihat oleh tiruan-tiruanku. Tiruan-tiruanku juga dapat melakukan apa pun yang kuminta meski dari jarak jauh sekalipun.”Semua petinggi golongan putih terkejut ketika melihat dan mendengar penjelasan Limbur Kancana. Mereka mengamati tiruan-tiruan yang sangat persis dengan sosok yang asli.“Kemampuan yang luar biasa,” gumam Tapasena yang masih bisa didengar orang di sampingnya. Tatapannya kembali mengawasi tiruan-tiruan di depannya.“Aku mengerti sekarang,” ujar Ekawira, “dengan jurus itulah kau mampu bergerak dan mendapat kabar dari berbagai tempat dengan sangat cep
Malam panjang akhirnya berganti pagi. Di tempat perkumpulan, para pendekar dan para tabib dikumpulkan di luar gua saat langit belum sepenuhnya terang. Wirayuda menjelaskan semua rencana baru yang sudah disusun. Tak lama setelahnya, para pendekar yang bertugas ikut dalam pertempuran segera bersiap-siap, sedang para tabib ditugaskan untuk mengumpul ramuan obat yang bisa digunakan dalam pertarungan. Sekar Sari berada di antara para tabib yang tengah berkutat menyalurkan ramuan obat untuk para pendekar di luar gua. Para tabib membentuk tiga barisan panjang hingga keluar gua.“Aku harap para pendekar berhasil mengalahkan Wintara dan Nilasari dengan segera,” ujar salah satu tabib laki-laki yang sedang menyalurkan barang di depan Sekar Sari.“Aku dengar dari para pendekar jika rencana penyerangan ini sebelumnya mendapat penolakan dari sebagian petinggi golongan putih mengingat terbatasnya penawar racun kalong setan. Tapi karena Pendekar Hitam muncul dan mengatakan akan membantu penyerangan,
Galih Jaya kembali mengumpulkan para tabib di depan gua selepas kepergian para petinggi golongan putih dan pasukan pendekar. Ia berdiri di depan kerumunan, lantas membisikkan sesuatu pada bawahannya dengan tatapan tertuju pada Sekar Sari.“Seperti yang kalian ketahui, para petinggi golongan putih dan para pendekar sedang berjuang bertaruh nyawa di medan pertempuran untuk mengalahkan Wintara dan Nilasari saat ini. Meski kita semua jauh dari medan pertempuran, tetapi kita semua ikut berjuang demi keberhasilan pertempuran meski dengan cara berbeda,” ujar Galih Jaya berapi-api.“Kalian para tabib memiliki peran penting dalam keberhasilan pertempuran dengan kemampuan yang kalian miliki.” Galih Jaya mengambil dua buah bambu, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi ke atas. “Dua buah bambu ini memiliki kemampuan yang sangat luar biasa dan sangat berguna dalam mengalahkan Wintara dan Nilasari.”Para tabib tampak berbisik-bisik satu sama lain. Mereka sekilas mendengar mengenai kemampuan dari dua bamb
“Kakang Guru, aku membutuhkan banyak tanah dari dua lubang tempat Wintara dan Nilasari terkurung di atas bukit. Tanah itu berisi kekuatan Wintara dan Nilasari dan digunakan sebagai inti dari kekuatan bambu kuning,” ujar Sekar Sari, “aku mengambil tanah lubang itu saat kita mendatangi atas bukit beberapa waktu lalu.” “Baiklah, aku mengerti.” Limbur Kancana terpejam, segera memerintahkan tiruan-tiruannya yang berada di dekat bukit untuk mengambil tanah di dua lubang itu. “Apa lagi yang kau inginkan, Sekar Sari?” “Kakang Guru, aku memiliki rencana untuk membuat bambu yang bisa merasakan hawa keberadaan anggota Cakar Setan. Hanya saja aku membutuhkan kekuatan mereka. Bisakah Kakang Guru memberikan benda yang mengandung kekuatan mereka? Aku pikir itu akan sangat berguna untuk kita.” “Baiklah, aku akan segera menghubungi raka ….” Limbur Kancana kontan terdiam ketika hampir saja menyebut nama Tarusbawa. “Raka?” gumam Sekar Sari memastikan apa yang didengarnya barusan. “Aku akan mengupaya
Pertarungan antara Tarusbawa dan keempat anggota Cakar Setan terus berlanjut. Kartasura, Wulung, Argaseni dan Brajawesi masih berada di tanah yang terus menarik mereka ke dalam. Mereka menghimpun kekuatan untuk lepas dari jerat lubang.Sementara itu, Tarusbawa masih mengawasi di tempatnya bersembunyi seraya menghimpun kekuatan. Butuh kekuatan tak sedikit untuk bisa mengurung keempat anggota Cakar Setan itu dalam waktu lama. Ia menduga jika tanah itu tidak akan bisa menahan mereka lebih lama lagi.Wulung melemparkan tali pecutnya ke arah hutan. Tali pecut itu bergerak sangat cepat melewati barisan pepohonan, melilit sebuah batu yang cukup besar, kemudian memasuki tanah. Wulung menarik dirinya ke arah tali pecutnya yang terus bergerak. Caranya berhasil hingga sedikit demi sedikit tubuhnya tertarik dari tanah.Tak jauh berbeda dari pendekar berkulit legam itu, Argaseni menghimpun kekuatan pada tongkat hitamnya. Tongkat itu memanjang hingga ke atas, menukik tajam ke bawah, lalu melesat ke
Panji Laksana dan Saraswati seketika berdiri dan membungkuk hormat ketika melihat kemunculan Tarusbawa. Lingga berdiri di belakang Tarusbawa, mengamati Ganawirya, Limbur Kancana, Sekar Sari, dan dua sosok asing yang membungkuk hormat pada Tarusbawa. “Siapa mereka? Aku baru pertama kali bertemu dengan mereka. Mereka terlihat kuat.” Panji Laksana dan Saraswati kembali berdiri tegak, menoleh pada Lingga. Keduanya saling melirik sesaat, memberi salam penghormatan untuk Lingga. “Aku Panji Laksana. Aku merasa bangga bisa bertemu dengan pemuda pewaris kujang emas,” ujar Panji Laksana. Saraswati menunduk malu, menyembunyikan pipinya yang memerah. “Pemuda itu memang sangat tampan sesuai dengan perkataan orang-orang,” gumamnya. Saraswati berdeham saat Panji Laksana menyikutnya. “Aku Saraswati. Aku juga merasa bangga bisa bertemu denganmu.” Lingga membalas salam dua saudara kembar itu. “Namaku Lingga. Senang bertemu dengan kalian. Aku harap kita bisa berteman dengan baik.” Sekar
Lingga segera mendekati Tarusbawa. “Guru, apa kau baik-baik saja?” Tarusbawa seketika berjongkok, menahan rasa panas dan sesak yang semakin menjalar di dadanya. Ia sontak terdiam saat mendengarkan ucapan seseorang. Sebuah cahaya merah seketika terlihat di dada Tarusbawa, bergerak beberapa kali. “Guru.” Lingga mengamati cahaya itu saksama, melompat mundur saat cahaya itu keluar dari dada Tarusbawa. “Cahaya merah apa itu?” Cahaya itu mengelilingi Lingga selama beberapa kali, terbang ke langit, kemudian perlahan turun hingga berhadapan dengan Lingga. Tak lama setelahnya, cahaya itu berubah menjadi sosok Prabu Nilakendra. “Prabu.” Lingga segera memberikan salam penghormatan. “Kau sudah menunjukkan perjuangan hingga sampai di titik ini. Dengan munculnya mustika merah ini dari Tarusbawa, maka waktu ujianmu akan segera dimulai,” ujar Prabu Nilakendra sembari menunjukkan sebuah benda bulat bercahaya merah di tangannya. “Waktu ujianku sudah dimulai?” “Aku ingin mengingatkanm
“Baik, Guru.” Sekar Sari mengangguk.“Indra, antarkan Panji Laksana ke ruangan kalian. Dia juga akan tinggal bersamamu dan yang lain mulai sekarang,” ujar Ganawirya.Panji Laksana mengikuti Indra. Kedua pemuda itu menghilang saat melewati beberapa gubuk. Suasana masih terasa canggung, apalagi bagi Sekar Sari dan Saraswati yang saling mengamati satu sama lain.Sekar Sari dan Saraswati berjalan menuju gubuk para wanita, sedangkan Meswara, Jaka, dan Arya masih berada di depan gubuk saat Ganawirya memberi perintah pada mereka.Sekar Sari melirik Saraswati berkali-kali. Kepalanya penuh dengan pertanyaan saat ini. “Hanya dengan melihat matanya saja, dia pastilah gadis yang sangat cantik. Aku melihat Kakang Indra dan yang lain juga terpana saat melihatnya.”Saraswati mengamati keadaan sekeliling. “Padepokan ini sangat tenang dan menyenangkan. Aku menyukai tempat ini.”Sekar Sari berhenti di depan sebuah gubuk, menaiki undakan tangga kecil, membuka pintu. “Ini adalah gubuk tempat tinggalku. A
Panji Laksana mengangguk. “Aki kami, Sanjaya, memerintahkan kami berdua untuk menemui kalian bertiga atau salah satu dari kalian bertiga. Aki ingin memberi tahukan soal keberadaannya pada kalian. Beberapa bulan lalu setelah kami melihat dan merasakan kekuatan pusaka kujang emas, Aki mengingat semua kembali ingatannya yang telah hilang.”“Bangkitnya pusaka kujang emas terjadi untuk ketiga kalinya. Terakhir kali saat kami, pasukan pendekar golongan putih, melawan dua siluman kembar dan para pendekar golongan hitam. Lingga mengurung mereka di Jaya Tonggoh,” ujar Tarusbawa. Panji Laksana memberikan sebuah pisau pada Tarusbawa. “Aki memerintahkan kami untuk memberikan pisau ini pada pemuda pewaris kujang emas. Pisau itu adalah kunci untuk memasuki Nusa Larang, tempat di mana Aki dan kami berada selama ini. Saat pisau itu bersinar, maka saat itulah waktu yang tepat bagi si pewaris kujang emas untuk menemui Aki.”Tarusbawa mengambil pisau itu, mengamati saksama. “Lingga sedang berlatih saat
Atap-atap gubuk mulai terlihat saat Panji Laksana dan Saraswati keluar dari kungkungan pohon. Mereka melihat sebuah ari terjun dan sungai yang mengalir jernih. Begitu memasuki padepokan, mereka mendapati beberapa murid dan tabib yang tampak hilir mudik.Panji Laksana dan Saraswati mengamati keadaan sekeliling. Beberapa murid melihat kedatangan mereka dengan tatapan bertanya-tanya, saling berbisik-bisik.“Aku sudah lama tidak melihat sebuah padepokan, Kakang.” Saraswati tersenyum saat melihat beberapa gadis tampak berbondong-bondong menuju sebuah tepat.“Kau tampaknya menyukai tempat ini, Saraswati.” Panji Laksana mengamati beberapa pemuda seusianya yang beriringan menuju arah utara.“Tentu saja aku menyuai tempat ini, kakang. Sejak kecil, kita hidup bersama Aki di tempat rahasia yang tidak dimasuki oleh orang-orang. Kita hanya bisa melihat mereka dari jarak jauh. Aku sejujurnya ingin seperti gadis lainnya.”“Semua yang Aki perintahkan semata-mata untuk melindungi kita, Saraswati.”“Ak
Ganawirya menoleh pada Jaka sesaat. “Jaka, kau dan yang lain harus ikut bersama kami ke sisi Lebak Angin. Aku dan Raka Limbur Kancana akan menunggu kalian di sana.”Jaka mengangguk meski masih bingung dengan keadaan yang terjadi. “Aku mengerti, Guru. Aku dan yang lain akan segera pergi secepatnya.”Ganawirya dan Limbur Kancana segera menghilang dari gubuk.Jaka bergegas keluar dari gubuk, mengamati keadaan sekeliling. Ia melompat ke atap gubuk, bersiul beberapa kali.Sekar Sari berhenti meramu obat sesaat, menoleh saat melihat beberapa bayangan berkelebat sangat cepat di langit. “Aku melihat Kakang Indra dan Kakang Meswara berlari menuju gubuk Guru. Apa sudah terjadi sesuatu?”Sekar Sari berlari menuju luar gubuk setelah menyimpan ramuan ke lemari. Gadis itu terdiam saat melihat Indra dan yang lain bergerak sangat cepat. “Sepertinya memang sudah terjadi sesuatu. Tapi, kenapa mereka tidak memberi tahuku?”Sekar Sari bergegas menuju gubuk Ganawirya, mengintip keadaan di dalam ruangan me
“Kalian bukankah anggota rombongan pengantar bahan baku dan makanan ke Lebak Angin. Kalian adalah pendekar,” ujar si pemimpin pendekar. Panji Laksana dan Saraswati turun dari kuda, mengamati para pendekar yang masih mengelilingi mereka. “Katakan siapa kalian dan tujuan kalian. Jika kalian tetap tutup mulut, kami akan bertindak kasar pada kalian!”“Tunggu, Kisanak. Kami memang bukanlah anggota rombongan, tetapi kami bukanlah orang jahat. Kami ingin pergi ke Lebak Angin untuk bertemu dengan pendekar bernama Ganawirya. Kami memiliki pesan penting,” kata Panji Laksana. “Kalian masih belum menjawab pertanyaan kami. Siapa kalian?”“Aku Panji Laksana dan gadis ini adalah adik kembarku, Saraswati. Kami berasal dari wilayah yang bernama Nusa Larang.” “Nusa Larang?” Para pendekar saling bertatapan sesaat, berbisik-bisik. “Periksa mereka sekarang juga!”Satu pendekar pria segera memeriksa Panji Laksana, dan seorang pendekar wanita bergegas mendekati Sarawati. Keduanya melakukan pemeriksaan
Langit tampak sangat cerah. Kawanan burung bergerak ke arah timur. Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan. Beberapa tupai terlihat berada di sebuah dahan pohon, mengamati seorang pemuda yang tengah duduk di atas sebuah batu.Pemuda itu tidak lain adalah Lingga. Tak lama setelah tiba di tempat ini, ia segera berlatih. Tarusbawa memperhatikannya dari puncak pohon, tidak berkata apa pun.Lingga tiba-tiba melompat ke langit, melakukan gerakan pemanggil kujang emas. Begitu pusaka itu muncul dan berada di tangannya, beberapa hewan dengan segera menjauh.Lingga mendarat di sungai, mengambang di atas aliran air yang tenang. Begitu matanya terbuka, kakinya mengentak air dan melesat ke arah depan. Air seketika memercik ke sekeliling. Pemuda itu menggerakkan kujang ke kiri dan kanan.Tarusbawa duduk bersila, memejamkan mata, berusaha menghubungi sosok pendekar Sayap Putih bernama Sanjaya. Akan tetapi, ia masih belum bisa terhubung dengan temannya.Matahari terus b
“Sanjaya,” ujar Tarusbawa yang kemudian termenung agak lama.Tarusbawa berdiri dari semedinya, mengamati keadaan ruangan yang temaram. Langit tampak gelap di mana cahaya bulan terhalang oleh awan hitam.Api obor bergerak-gerak saat Tarusbawa meninggalkan ruangan. Pendekar itu menuruni tangga kayu, berdiri di tengah-tengah tanah lapang. Saat mendongak ke langit, awan-awan hitam bergerak menjauh hingga bulan nyaris sempurna terlihat.Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan.“Aku merasakan kekuatan Sanjaya. Dia kemungkinan sudah terlepas dari jurus Aji Panday sehingga bisa mengingat jelas semua kejadian yang lalu. Aku harus segera bertemu dengannya.”“Tidak. Ini bukan waktu yang tepat.” Tarusbawa mengepal tangan erat-erat, menyentuh dadanya. “Lingga harus lulus dari ujian lebih dahulu sebelum aku dan dia bertemu dengan Sanjaya. Dengan merasakan kekuatannya, aku bisa tahu jika Sanjaya masih hidup di suatu tempat.”Tarusbawa mengentak kedua kaki kuat-kuat, me