“Kakang Guru, aku membutuhkan banyak tanah dari dua lubang tempat Wintara dan Nilasari terkurung di atas bukit. Tanah itu berisi kekuatan Wintara dan Nilasari dan digunakan sebagai inti dari kekuatan bambu kuning,” ujar Sekar Sari, “aku mengambil tanah lubang itu saat kita mendatangi atas bukit beberapa waktu lalu.” “Baiklah, aku mengerti.” Limbur Kancana terpejam, segera memerintahkan tiruan-tiruannya yang berada di dekat bukit untuk mengambil tanah di dua lubang itu. “Apa lagi yang kau inginkan, Sekar Sari?” “Kakang Guru, aku memiliki rencana untuk membuat bambu yang bisa merasakan hawa keberadaan anggota Cakar Setan. Hanya saja aku membutuhkan kekuatan mereka. Bisakah Kakang Guru memberikan benda yang mengandung kekuatan mereka? Aku pikir itu akan sangat berguna untuk kita.” “Baiklah, aku akan segera menghubungi raka ….” Limbur Kancana kontan terdiam ketika hampir saja menyebut nama Tarusbawa. “Raka?” gumam Sekar Sari memastikan apa yang didengarnya barusan. “Aku akan mengupaya
Pertarungan antara Tarusbawa dan keempat anggota Cakar Setan terus berlanjut. Kartasura, Wulung, Argaseni dan Brajawesi masih berada di tanah yang terus menarik mereka ke dalam. Mereka menghimpun kekuatan untuk lepas dari jerat lubang.Sementara itu, Tarusbawa masih mengawasi di tempatnya bersembunyi seraya menghimpun kekuatan. Butuh kekuatan tak sedikit untuk bisa mengurung keempat anggota Cakar Setan itu dalam waktu lama. Ia menduga jika tanah itu tidak akan bisa menahan mereka lebih lama lagi.Wulung melemparkan tali pecutnya ke arah hutan. Tali pecut itu bergerak sangat cepat melewati barisan pepohonan, melilit sebuah batu yang cukup besar, kemudian memasuki tanah. Wulung menarik dirinya ke arah tali pecutnya yang terus bergerak. Caranya berhasil hingga sedikit demi sedikit tubuhnya tertarik dari tanah.Tak jauh berbeda dari pendekar berkulit legam itu, Argaseni menghimpun kekuatan pada tongkat hitamnya. Tongkat itu memanjang hingga ke atas, menukik tajam ke bawah, lalu melesat ke
“Apa yang membawamu ke sini, Bangasera?” tanya Totok Surya dengan tatapan menyelidik, “bukankah aku menugaskanmu untuk mencari keberadaan pemuda pewaris kujang emas itu dan membawakanku kepala anggota pendekar Sayap Putih?”“Aku menghadap untuk memberikan kepala salah satu pendekar Sayap Putih yang berhasil kukalahkan, Gusti.” Bangasera memberi hormat dengan kedua tangan di atas kepala, tersenyum penuh kebanggan karena menjadi anggota Cakar Setan pertama yang berhasil melakukannya.“Apakah itu benar?” Totok Surya bangkit dari kursi singgasana, menatap Bangasera yang masih berlutut memberi hormat.“Benar, Gusti.” Bangasera memejamkan mata sekali. Secara tiba-tiba, seekor ular berukuran cukup besar muncul di sampingnya, kemudian memuntahkan sesuatu yang dibalut kain hitam.Bangasera tersenyum, merasa berada di atas angin. Setelah mendapatkan kekuatan baru dari Totok Surya, ia akan mengerahkan pasukan besar-besaran untuk mencari Lingga. “Aku berhasil mendapatkan kepala Tarusbawa.”“Taru
Bangasera perlahan mengerjapkan mata. Begitu tatapannya sudah kembali seutuhnya, ia bisa melihat langit biru dengan awan putih yang bergerak perlahan. Semilir angin membuka kesadaraannya mengenai apa yang sudah terjadi padanya.Bangasera berusaha bangkit, tetapi tubuhnya terasa sangat sulit digerakkan. Tubuhnya masih menempel di tanah cekung. “A-aku masih hidup.”“Sepertinya kau masih ditakdirkan untuk hidup dan menjadi bawahanku, Bangasera.” Totok Surya melompat turun, mendekat ke arah Bangasera dengan tatapan memelotot.“Gusti Totok Surya.” Bangasera berusah bangkit, tetapi Totok Surya menekan tubuhnya hingga kembali menempel di tanah.Totok Surya menekan dada Bangasera lebih kuat hingga tanah semakin berlubang. “Aku sebenarnya ingin membunuhmu karena penghinaan yang kau lakukan padaku. Tapi aku akan memberikamu kesempatan terakhir untuk menyeret pemuda pewaris kujang emas itu padaku sekaligus membawakanku ketiga kepala pendekar Sayap Putih.”Bangasera tiba-tiba muntah darah. “Ba-ba
Bulan berada di puncak langit ketika Lingga menyelesaikan latihan. Pemuda itu menenggelamkan kepala ke dalam air sesaat, mengamati pemandangan bawah sungai. Saat kepalanya terangkat, tetes air seketika menetes dari rambut dan wajah.Lingga melompat ke sisi sungai, duduk di atas batu, meneguk air kelapa muda hingga tak bersisa. Setelah terbangun, ia sudah berlatih untuk menyempurnakan jurus angkat bumi dan jurus-jurus yang sudah dikuasainya, disusul bersemedi untuk meraih ketenangan batin.Lingga masih kesulitan untuk bisa mencapai ketenangan batin. Setiap kali berusaha untuk masuk, ingatannya mengenai masa kecil, kepergian Ki Petot, pengkhianatan Wira, kekejaman Kartsura serta amarah Geni, Jaya dan Barma menganggunya untuk melangkah lebih dalam. Hal ini serupa dengan bayang-bayang mereka yang muncul di alam ini.Lingga mengembus napas panjang, membiarkan semilir angin menyentuh kulitnya. Hati dan pikirannya masih belum bisa mencapai ketenangan batin sebagai syarat membangkitkan dan me
“Paman, apa Paman baik-baik saja?” tanya Lingga sembari meraba tubuh bagian atas Limbur Kancana. “Aku sangat mengkhawatirkan Paman.”Limbur Kancana bersiap menggetok kepala Lingga, tetapi pemuda itu lebih dahulu menghindar dengan melompat ke belakang. “Apa kau berniat melarikan diri dari tempat ini, Lingga? Cepat katakan!”Limbur Kancana menoleh pada tiruan Lingga. Saat akan menyerang, tiruan itu lebih dahulu menghilang. “Apa kau akan mengirimkan tiruan itu kembali ke alam manusia?”Lingga menggaruk rambut yang tidak gatal. “Aku mengkhawatirkan keadaan Paman yang tidak kunjung menemuiku atau memberiku kabar, terlebih saat aku melihat Jaya Tonggoh dan wilayah sekitarnya porak poranda. Aku memang bermaksud mengirim tiruanku untuk melihat keadaan Paman, sedang aku tetap berada di sini.”“Aku sudah mengunjungimu saat kau tertidur di sisi sungai, Lingga,” ujar Limbur Kancana, “saat itu, aku datang bersama ….”Limbur Kancana buru-buru menutup mulut. Hampir saja ia menyebut nama Tarusbawa. B
“Bangunan tinggi di seberang sungai?” tanya Limbur Kancana memastikan.“Bangunan itu terbuat batu dengan bagian atas yang berbentuk runcing. Tempatnya berada di seberang sungai setelah kita melewati hutan, tanah lapang dan jalan setapak. Ada tangga panjang yang menghubungkan ke suatu tempat. Sayangnya, aku kesulitan untuk terus bergerak ke sana.”Limbur Kancana menoleh ke lorong gua sesaat.“Aku bertemu dengan Gusti Prabu Nilakendra di sana, Paman.”“Gusti Prabu Nilakendra?” Limbur Kancana memastikan.“Benar, Paman.” Lingga mengangguk, mengingat pertemuan di atas tangga. “Gusti Prabu Nilakendra mengatakan kalau aku belum saatnya berada di tempat itu. Aku masih harus melatih raga dan hatiku untuk menjadi lebih kuat. Selain itu, Gusti Prabu Nilakendra menyinggung mengenai tiga mustika.”“Tiga mustika?” Limbur Kancana tidak bisa menyembunyikan keterkejutan.Lingga mengangguk. “Aku bisa mendapatkan ketiga mustika itu dari orang-orang terdekatku. Apa Paman memiliki tiga mustika itu atau ju
“Aku baru saja bertemu dengan Lingga di alam lain. Lingga mengatakan bahwa dia sempat bertemu dengan Gusti Prabu Nilakendra di sebuah bangunan berbatu dengan atap runcing. Tempat itu berada di seberang sungai setelah melewati hutan, tanah lapang dan jalan setapak. Gusti Prabu mengatakan bahwa Lingga saat ini belum siap untuk memasuki bangunan itu. Gusti Prabu juga mengatakan mengenai tiga mustika yang harus dikumpulkan Lingga,” ungkap Limbur Kancana.“Apa kau mengetahui mengenai bangunan itu, Limbur Kancana?”“Aku sama sekali tidak mengetahuinya, Raka.”“Ini pertanda bahwa aku harus segera bertemu dengan Lingga,” sahut Tarusbawa.“Sesuai dengan kesepakatanku dengan Aji Panday, aku harus mengatakan perihal tiga mustika itu ketika Lingga yang menanyakannya sendiri. Aku memberi tahu Lingga mengenai keberadaan tiga mustika yang berada di tangan Raka dan dua anggota Sayap Putih yang lain.”“Sebelum aku bertemu dengan Lingga dan memulai latihannya untuk mendapatkan mustika itu, kita harus s