“Paman, apa Paman baik-baik saja?” tanya Lingga sembari meraba tubuh bagian atas Limbur Kancana. “Aku sangat mengkhawatirkan Paman.”Limbur Kancana bersiap menggetok kepala Lingga, tetapi pemuda itu lebih dahulu menghindar dengan melompat ke belakang. “Apa kau berniat melarikan diri dari tempat ini, Lingga? Cepat katakan!”Limbur Kancana menoleh pada tiruan Lingga. Saat akan menyerang, tiruan itu lebih dahulu menghilang. “Apa kau akan mengirimkan tiruan itu kembali ke alam manusia?”Lingga menggaruk rambut yang tidak gatal. “Aku mengkhawatirkan keadaan Paman yang tidak kunjung menemuiku atau memberiku kabar, terlebih saat aku melihat Jaya Tonggoh dan wilayah sekitarnya porak poranda. Aku memang bermaksud mengirim tiruanku untuk melihat keadaan Paman, sedang aku tetap berada di sini.”“Aku sudah mengunjungimu saat kau tertidur di sisi sungai, Lingga,” ujar Limbur Kancana, “saat itu, aku datang bersama ….”Limbur Kancana buru-buru menutup mulut. Hampir saja ia menyebut nama Tarusbawa. B
“Bangunan tinggi di seberang sungai?” tanya Limbur Kancana memastikan.“Bangunan itu terbuat batu dengan bagian atas yang berbentuk runcing. Tempatnya berada di seberang sungai setelah kita melewati hutan, tanah lapang dan jalan setapak. Ada tangga panjang yang menghubungkan ke suatu tempat. Sayangnya, aku kesulitan untuk terus bergerak ke sana.”Limbur Kancana menoleh ke lorong gua sesaat.“Aku bertemu dengan Gusti Prabu Nilakendra di sana, Paman.”“Gusti Prabu Nilakendra?” Limbur Kancana memastikan.“Benar, Paman.” Lingga mengangguk, mengingat pertemuan di atas tangga. “Gusti Prabu Nilakendra mengatakan kalau aku belum saatnya berada di tempat itu. Aku masih harus melatih raga dan hatiku untuk menjadi lebih kuat. Selain itu, Gusti Prabu Nilakendra menyinggung mengenai tiga mustika.”“Tiga mustika?” Limbur Kancana tidak bisa menyembunyikan keterkejutan.Lingga mengangguk. “Aku bisa mendapatkan ketiga mustika itu dari orang-orang terdekatku. Apa Paman memiliki tiga mustika itu atau ju
“Aku baru saja bertemu dengan Lingga di alam lain. Lingga mengatakan bahwa dia sempat bertemu dengan Gusti Prabu Nilakendra di sebuah bangunan berbatu dengan atap runcing. Tempat itu berada di seberang sungai setelah melewati hutan, tanah lapang dan jalan setapak. Gusti Prabu mengatakan bahwa Lingga saat ini belum siap untuk memasuki bangunan itu. Gusti Prabu juga mengatakan mengenai tiga mustika yang harus dikumpulkan Lingga,” ungkap Limbur Kancana.“Apa kau mengetahui mengenai bangunan itu, Limbur Kancana?”“Aku sama sekali tidak mengetahuinya, Raka.”“Ini pertanda bahwa aku harus segera bertemu dengan Lingga,” sahut Tarusbawa.“Sesuai dengan kesepakatanku dengan Aji Panday, aku harus mengatakan perihal tiga mustika itu ketika Lingga yang menanyakannya sendiri. Aku memberi tahu Lingga mengenai keberadaan tiga mustika yang berada di tangan Raka dan dua anggota Sayap Putih yang lain.”“Sebelum aku bertemu dengan Lingga dan memulai latihannya untuk mendapatkan mustika itu, kita harus s
Wira dibawa menuju tempat perawatan di luar gua. Di atas tandu, ia melihat para pendekar yang terluka tengah dirawat oleh para tabib. Ia juga melihat Sekar Sari yang tengah merawat seorang pendekar yang sempat ia serang tadi. “Sepertinya aku harus menunggu hingga malam tiba,” gumamnya.Wira berhenti di tempat perawat yang agak jauh dan terpencil dari tabib yang lain. Begitu duduk di dipan, kedua lengannya segera diobati oleh seorang tabib.“Tetaplah di sini sampai ada pemberitahuan lagi dari para pendekar. Aku akan menyimpan ramuan obat di dekatmu jika lukamu kembali terasa,” ujar tabib yang mengobati Wira.“Aku mengerti.” Wira membaringkan tubuh di dipan. Ada dua pendekar yang bersamanya di tempat ini. Tak jauh dari gubuk kecil tempatnya berada, ada tiga pendekar yang berjaga.Wira mengamati keadaan sekitar. “Ini tempat yang sangat cocok untuk bersembunyi dan memulai rencana. Malam nanti, aku harus segera keluar dari tempat ini untuk memberi tahu raka mengenai semuanya. Aku yakin pen
Dua orang pendekar berkuda terlihat memasuki gerbang. Debu tampak berputar-putar di bekas kuda mereka berlari. Para pendekar yang tengah berjaga seketika mendekat ke arah mereka, sedang para tabib mulai berkerumun ketika dua pendekar itu berhenti di sekitar tanah lapang.“Ada kabar penting yang ingin kami sampaikan saat ini juga,” ujar salah satu dari kedua pendekar tersebut, “di mana pendekar bernama Galih Jaya?”Galih Jaya segera membelah kerumunan ketika baru saja keluar dari mulut gua. “Aku adalah orang yang kalian cari. Siapa kalian dan apa yang terjadi pada kalian?”“Kami adalah pendekar yang bertugas untuk menjaga perkampungan di wilayah utara dari tempat ini. Kami ingin melaporkan kabar penting mengenai serangan yang dilakukan oleh kedua siluman ular itu ke beberapa perkampungan, termasuk pos penjagaan teredekat. Banyak para pendekar dan warga yang menjadi korban mereka. Perkampungan pun hancur lebur karena serangan tersebut. Kami berdua adalah pendekar yang berhasil menyelama
Dua rantai putih milik Tarusbawa tiba-tiba menarik seseorang ke dalam sebuah pohon. Saat sosok itu akan melawan, tiba-tiba saja Tarusbawa muncul dan langsung memukul bagian tengkuk hingga sosok itu tumbang. Sayangnya, sosok itu itu kembali sadarkan diri dalam waktu cepat.“Siapa kau? Bagaimana kau bisa sampai di tempat ini?” tanya sosok itu yang tidak lain adalah sebangsa siluman.Rantai Tarusbawa tiba-tiba mencengkeram sosok siluman itu hingga menyentuh lehernya, lalu menariknya ke arah Tarusbawa. Siluman itu berusaha melepas cengkeraman dan di saat yang sama rantai yang mengurungnya kian erat.Hampir sepanjang siang Tarusbawa bersembunyi dari pohon ke pohon. Suasana tempat ini sungguh mengerikan dan mencekam. Terlihat beberapa kali siluman berkeliaran. Semakin jauh memasuki wilayah ini, semakin besar pula kekuatan yang menghalangi.“Siapa kau?” ulang sosok siluman berjenis laki-laki itu.“Katakan, apa yang kau ketahu
Tarusbawa muncul di luar batas tanda yang sudah diberikan Limbur Kancana sebelumnya. Ia segera mengeluarkan penawar racun kalong setan, membiarkan asap putih mengelilinginya. Lambat laun rasa sakit di dadanya menghilang.Tarusbawa menoleh pada luka di pinggangnya yang masih meneteskan darah. Ia menekan bagian itu hingga pendarahan mendadak berhenti. “Tempat itu benar-benar berbahaya. Siluman yang berada di sana kebal terhadap ramuan pemusnah siluman. Kemungkinan besar mereka sudah terpengaruh dengan racun kalong setan yang tersebar di sekeliling hutan sehingga kekuatan mereka lebih kuat dari siluman biasa.”Tarusbawa mengamati keadaan sekeliling. Ia melihat beberapa pendekar tengah berjaga di beberapa sudut hutan. “Aku tidak pernah menyangka jika persatuan pendekar golongan putih akan kembali setelah sekian lama tercerai berai.”Tarusbawa tiba-tiba terdiam ketika mendapatkan sekelibat bayangan peperangan antara dua kubu di sebuah tanah lapang. Saat terpejam, bayangan itu mendadak meng
“Pendekar itu memakai pakaian serba hitam, Nyi. Dia menggunakan rantai putih sebagai senjatanya. Dilihat dari kemampuannya, dia bukanlah pendekar sembarangan,” jawab Munding Hideung.“Lalu di mana dia sekarang? Kenapa kau datang dengan tangan kosong, Munding Hideung?” Nyi Genit melepas genggeaman di wajah Munding Hideung, menoleh ke arah mulut gua, mundur beberapa langkah.“Pendekar itu berhasil melarikan diri saat tengah bertarung denganku, Nyi.” Munding Hideung terbatuk beberapa kali karena cengkeraman Nyi Genit, melirik keadaan gua sekilas.“Melarikan diri?” Nyi Genit memelotot. Ia mengibaskan selendang kuningnya ke arah Munding Hideung hingga dalam waktu sekejap angin berembus sangat kencang.Munding Hideung melompat beberapa tombak ke belakang, menghindar dari serbuan angin. “Dia mampu menghilang dengan sangat cepat, Nyi.”Nyi Genit berdecak kesal. “Seperti yang kau katakan, pendekar itu pastilah bukan pendekar sembarangan. Selama berpuluh-puluh tahun lamaya, tidak ada pendekar y
Panji Laksana dan Saraswati seketika berdiri dan membungkuk hormat ketika melihat kemunculan Tarusbawa. Lingga berdiri di belakang Tarusbawa, mengamati Ganawirya, Limbur Kancana, Sekar Sari, dan dua sosok asing yang membungkuk hormat pada Tarusbawa. “Siapa mereka? Aku baru pertama kali bertemu dengan mereka. Mereka terlihat kuat.” Panji Laksana dan Saraswati kembali berdiri tegak, menoleh pada Lingga. Keduanya saling melirik sesaat, memberi salam penghormatan untuk Lingga. “Aku Panji Laksana. Aku merasa bangga bisa bertemu dengan pemuda pewaris kujang emas,” ujar Panji Laksana. Saraswati menunduk malu, menyembunyikan pipinya yang memerah. “Pemuda itu memang sangat tampan sesuai dengan perkataan orang-orang,” gumamnya. Saraswati berdeham saat Panji Laksana menyikutnya. “Aku Saraswati. Aku juga merasa bangga bisa bertemu denganmu.” Lingga membalas salam dua saudara kembar itu. “Namaku Lingga. Senang bertemu dengan kalian. Aku harap kita bisa berteman dengan baik.” Sekar
Lingga segera mendekati Tarusbawa. “Guru, apa kau baik-baik saja?” Tarusbawa seketika berjongkok, menahan rasa panas dan sesak yang semakin menjalar di dadanya. Ia sontak terdiam saat mendengarkan ucapan seseorang. Sebuah cahaya merah seketika terlihat di dada Tarusbawa, bergerak beberapa kali. “Guru.” Lingga mengamati cahaya itu saksama, melompat mundur saat cahaya itu keluar dari dada Tarusbawa. “Cahaya merah apa itu?” Cahaya itu mengelilingi Lingga selama beberapa kali, terbang ke langit, kemudian perlahan turun hingga berhadapan dengan Lingga. Tak lama setelahnya, cahaya itu berubah menjadi sosok Prabu Nilakendra. “Prabu.” Lingga segera memberikan salam penghormatan. “Kau sudah menunjukkan perjuangan hingga sampai di titik ini. Dengan munculnya mustika merah ini dari Tarusbawa, maka waktu ujianmu akan segera dimulai,” ujar Prabu Nilakendra sembari menunjukkan sebuah benda bulat bercahaya merah di tangannya. “Waktu ujianku sudah dimulai?” “Aku ingin mengingatkanm
“Baik, Guru.” Sekar Sari mengangguk.“Indra, antarkan Panji Laksana ke ruangan kalian. Dia juga akan tinggal bersamamu dan yang lain mulai sekarang,” ujar Ganawirya.Panji Laksana mengikuti Indra. Kedua pemuda itu menghilang saat melewati beberapa gubuk. Suasana masih terasa canggung, apalagi bagi Sekar Sari dan Saraswati yang saling mengamati satu sama lain.Sekar Sari dan Saraswati berjalan menuju gubuk para wanita, sedangkan Meswara, Jaka, dan Arya masih berada di depan gubuk saat Ganawirya memberi perintah pada mereka.Sekar Sari melirik Saraswati berkali-kali. Kepalanya penuh dengan pertanyaan saat ini. “Hanya dengan melihat matanya saja, dia pastilah gadis yang sangat cantik. Aku melihat Kakang Indra dan yang lain juga terpana saat melihatnya.”Saraswati mengamati keadaan sekeliling. “Padepokan ini sangat tenang dan menyenangkan. Aku menyukai tempat ini.”Sekar Sari berhenti di depan sebuah gubuk, menaiki undakan tangga kecil, membuka pintu. “Ini adalah gubuk tempat tinggalku. A
Panji Laksana mengangguk. “Aki kami, Sanjaya, memerintahkan kami berdua untuk menemui kalian bertiga atau salah satu dari kalian bertiga. Aki ingin memberi tahukan soal keberadaannya pada kalian. Beberapa bulan lalu setelah kami melihat dan merasakan kekuatan pusaka kujang emas, Aki mengingat semua kembali ingatannya yang telah hilang.”“Bangkitnya pusaka kujang emas terjadi untuk ketiga kalinya. Terakhir kali saat kami, pasukan pendekar golongan putih, melawan dua siluman kembar dan para pendekar golongan hitam. Lingga mengurung mereka di Jaya Tonggoh,” ujar Tarusbawa. Panji Laksana memberikan sebuah pisau pada Tarusbawa. “Aki memerintahkan kami untuk memberikan pisau ini pada pemuda pewaris kujang emas. Pisau itu adalah kunci untuk memasuki Nusa Larang, tempat di mana Aki dan kami berada selama ini. Saat pisau itu bersinar, maka saat itulah waktu yang tepat bagi si pewaris kujang emas untuk menemui Aki.”Tarusbawa mengambil pisau itu, mengamati saksama. “Lingga sedang berlatih saat
Atap-atap gubuk mulai terlihat saat Panji Laksana dan Saraswati keluar dari kungkungan pohon. Mereka melihat sebuah ari terjun dan sungai yang mengalir jernih. Begitu memasuki padepokan, mereka mendapati beberapa murid dan tabib yang tampak hilir mudik.Panji Laksana dan Saraswati mengamati keadaan sekeliling. Beberapa murid melihat kedatangan mereka dengan tatapan bertanya-tanya, saling berbisik-bisik.“Aku sudah lama tidak melihat sebuah padepokan, Kakang.” Saraswati tersenyum saat melihat beberapa gadis tampak berbondong-bondong menuju sebuah tepat.“Kau tampaknya menyukai tempat ini, Saraswati.” Panji Laksana mengamati beberapa pemuda seusianya yang beriringan menuju arah utara.“Tentu saja aku menyuai tempat ini, kakang. Sejak kecil, kita hidup bersama Aki di tempat rahasia yang tidak dimasuki oleh orang-orang. Kita hanya bisa melihat mereka dari jarak jauh. Aku sejujurnya ingin seperti gadis lainnya.”“Semua yang Aki perintahkan semata-mata untuk melindungi kita, Saraswati.”“Ak
Ganawirya menoleh pada Jaka sesaat. “Jaka, kau dan yang lain harus ikut bersama kami ke sisi Lebak Angin. Aku dan Raka Limbur Kancana akan menunggu kalian di sana.”Jaka mengangguk meski masih bingung dengan keadaan yang terjadi. “Aku mengerti, Guru. Aku dan yang lain akan segera pergi secepatnya.”Ganawirya dan Limbur Kancana segera menghilang dari gubuk.Jaka bergegas keluar dari gubuk, mengamati keadaan sekeliling. Ia melompat ke atap gubuk, bersiul beberapa kali.Sekar Sari berhenti meramu obat sesaat, menoleh saat melihat beberapa bayangan berkelebat sangat cepat di langit. “Aku melihat Kakang Indra dan Kakang Meswara berlari menuju gubuk Guru. Apa sudah terjadi sesuatu?”Sekar Sari berlari menuju luar gubuk setelah menyimpan ramuan ke lemari. Gadis itu terdiam saat melihat Indra dan yang lain bergerak sangat cepat. “Sepertinya memang sudah terjadi sesuatu. Tapi, kenapa mereka tidak memberi tahuku?”Sekar Sari bergegas menuju gubuk Ganawirya, mengintip keadaan di dalam ruangan me
“Kalian bukankah anggota rombongan pengantar bahan baku dan makanan ke Lebak Angin. Kalian adalah pendekar,” ujar si pemimpin pendekar. Panji Laksana dan Saraswati turun dari kuda, mengamati para pendekar yang masih mengelilingi mereka. “Katakan siapa kalian dan tujuan kalian. Jika kalian tetap tutup mulut, kami akan bertindak kasar pada kalian!”“Tunggu, Kisanak. Kami memang bukanlah anggota rombongan, tetapi kami bukanlah orang jahat. Kami ingin pergi ke Lebak Angin untuk bertemu dengan pendekar bernama Ganawirya. Kami memiliki pesan penting,” kata Panji Laksana. “Kalian masih belum menjawab pertanyaan kami. Siapa kalian?”“Aku Panji Laksana dan gadis ini adalah adik kembarku, Saraswati. Kami berasal dari wilayah yang bernama Nusa Larang.” “Nusa Larang?” Para pendekar saling bertatapan sesaat, berbisik-bisik. “Periksa mereka sekarang juga!”Satu pendekar pria segera memeriksa Panji Laksana, dan seorang pendekar wanita bergegas mendekati Sarawati. Keduanya melakukan pemeriksaan
Langit tampak sangat cerah. Kawanan burung bergerak ke arah timur. Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan. Beberapa tupai terlihat berada di sebuah dahan pohon, mengamati seorang pemuda yang tengah duduk di atas sebuah batu.Pemuda itu tidak lain adalah Lingga. Tak lama setelah tiba di tempat ini, ia segera berlatih. Tarusbawa memperhatikannya dari puncak pohon, tidak berkata apa pun.Lingga tiba-tiba melompat ke langit, melakukan gerakan pemanggil kujang emas. Begitu pusaka itu muncul dan berada di tangannya, beberapa hewan dengan segera menjauh.Lingga mendarat di sungai, mengambang di atas aliran air yang tenang. Begitu matanya terbuka, kakinya mengentak air dan melesat ke arah depan. Air seketika memercik ke sekeliling. Pemuda itu menggerakkan kujang ke kiri dan kanan.Tarusbawa duduk bersila, memejamkan mata, berusaha menghubungi sosok pendekar Sayap Putih bernama Sanjaya. Akan tetapi, ia masih belum bisa terhubung dengan temannya.Matahari terus b
“Sanjaya,” ujar Tarusbawa yang kemudian termenung agak lama.Tarusbawa berdiri dari semedinya, mengamati keadaan ruangan yang temaram. Langit tampak gelap di mana cahaya bulan terhalang oleh awan hitam.Api obor bergerak-gerak saat Tarusbawa meninggalkan ruangan. Pendekar itu menuruni tangga kayu, berdiri di tengah-tengah tanah lapang. Saat mendongak ke langit, awan-awan hitam bergerak menjauh hingga bulan nyaris sempurna terlihat.Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan.“Aku merasakan kekuatan Sanjaya. Dia kemungkinan sudah terlepas dari jurus Aji Panday sehingga bisa mengingat jelas semua kejadian yang lalu. Aku harus segera bertemu dengannya.”“Tidak. Ini bukan waktu yang tepat.” Tarusbawa mengepal tangan erat-erat, menyentuh dadanya. “Lingga harus lulus dari ujian lebih dahulu sebelum aku dan dia bertemu dengan Sanjaya. Dengan merasakan kekuatannya, aku bisa tahu jika Sanjaya masih hidup di suatu tempat.”Tarusbawa mengentak kedua kaki kuat-kuat, me