“Bangunan tinggi di seberang sungai?” tanya Limbur Kancana memastikan.“Bangunan itu terbuat batu dengan bagian atas yang berbentuk runcing. Tempatnya berada di seberang sungai setelah kita melewati hutan, tanah lapang dan jalan setapak. Ada tangga panjang yang menghubungkan ke suatu tempat. Sayangnya, aku kesulitan untuk terus bergerak ke sana.”Limbur Kancana menoleh ke lorong gua sesaat.“Aku bertemu dengan Gusti Prabu Nilakendra di sana, Paman.”“Gusti Prabu Nilakendra?” Limbur Kancana memastikan.“Benar, Paman.” Lingga mengangguk, mengingat pertemuan di atas tangga. “Gusti Prabu Nilakendra mengatakan kalau aku belum saatnya berada di tempat itu. Aku masih harus melatih raga dan hatiku untuk menjadi lebih kuat. Selain itu, Gusti Prabu Nilakendra menyinggung mengenai tiga mustika.”“Tiga mustika?” Limbur Kancana tidak bisa menyembunyikan keterkejutan.Lingga mengangguk. “Aku bisa mendapatkan ketiga mustika itu dari orang-orang terdekatku. Apa Paman memiliki tiga mustika itu atau ju
“Aku baru saja bertemu dengan Lingga di alam lain. Lingga mengatakan bahwa dia sempat bertemu dengan Gusti Prabu Nilakendra di sebuah bangunan berbatu dengan atap runcing. Tempat itu berada di seberang sungai setelah melewati hutan, tanah lapang dan jalan setapak. Gusti Prabu mengatakan bahwa Lingga saat ini belum siap untuk memasuki bangunan itu. Gusti Prabu juga mengatakan mengenai tiga mustika yang harus dikumpulkan Lingga,” ungkap Limbur Kancana.“Apa kau mengetahui mengenai bangunan itu, Limbur Kancana?”“Aku sama sekali tidak mengetahuinya, Raka.”“Ini pertanda bahwa aku harus segera bertemu dengan Lingga,” sahut Tarusbawa.“Sesuai dengan kesepakatanku dengan Aji Panday, aku harus mengatakan perihal tiga mustika itu ketika Lingga yang menanyakannya sendiri. Aku memberi tahu Lingga mengenai keberadaan tiga mustika yang berada di tangan Raka dan dua anggota Sayap Putih yang lain.”“Sebelum aku bertemu dengan Lingga dan memulai latihannya untuk mendapatkan mustika itu, kita harus s
Wira dibawa menuju tempat perawatan di luar gua. Di atas tandu, ia melihat para pendekar yang terluka tengah dirawat oleh para tabib. Ia juga melihat Sekar Sari yang tengah merawat seorang pendekar yang sempat ia serang tadi. “Sepertinya aku harus menunggu hingga malam tiba,” gumamnya.Wira berhenti di tempat perawat yang agak jauh dan terpencil dari tabib yang lain. Begitu duduk di dipan, kedua lengannya segera diobati oleh seorang tabib.“Tetaplah di sini sampai ada pemberitahuan lagi dari para pendekar. Aku akan menyimpan ramuan obat di dekatmu jika lukamu kembali terasa,” ujar tabib yang mengobati Wira.“Aku mengerti.” Wira membaringkan tubuh di dipan. Ada dua pendekar yang bersamanya di tempat ini. Tak jauh dari gubuk kecil tempatnya berada, ada tiga pendekar yang berjaga.Wira mengamati keadaan sekitar. “Ini tempat yang sangat cocok untuk bersembunyi dan memulai rencana. Malam nanti, aku harus segera keluar dari tempat ini untuk memberi tahu raka mengenai semuanya. Aku yakin pen
Dua orang pendekar berkuda terlihat memasuki gerbang. Debu tampak berputar-putar di bekas kuda mereka berlari. Para pendekar yang tengah berjaga seketika mendekat ke arah mereka, sedang para tabib mulai berkerumun ketika dua pendekar itu berhenti di sekitar tanah lapang.“Ada kabar penting yang ingin kami sampaikan saat ini juga,” ujar salah satu dari kedua pendekar tersebut, “di mana pendekar bernama Galih Jaya?”Galih Jaya segera membelah kerumunan ketika baru saja keluar dari mulut gua. “Aku adalah orang yang kalian cari. Siapa kalian dan apa yang terjadi pada kalian?”“Kami adalah pendekar yang bertugas untuk menjaga perkampungan di wilayah utara dari tempat ini. Kami ingin melaporkan kabar penting mengenai serangan yang dilakukan oleh kedua siluman ular itu ke beberapa perkampungan, termasuk pos penjagaan teredekat. Banyak para pendekar dan warga yang menjadi korban mereka. Perkampungan pun hancur lebur karena serangan tersebut. Kami berdua adalah pendekar yang berhasil menyelama
Dua rantai putih milik Tarusbawa tiba-tiba menarik seseorang ke dalam sebuah pohon. Saat sosok itu akan melawan, tiba-tiba saja Tarusbawa muncul dan langsung memukul bagian tengkuk hingga sosok itu tumbang. Sayangnya, sosok itu itu kembali sadarkan diri dalam waktu cepat.“Siapa kau? Bagaimana kau bisa sampai di tempat ini?” tanya sosok itu yang tidak lain adalah sebangsa siluman.Rantai Tarusbawa tiba-tiba mencengkeram sosok siluman itu hingga menyentuh lehernya, lalu menariknya ke arah Tarusbawa. Siluman itu berusaha melepas cengkeraman dan di saat yang sama rantai yang mengurungnya kian erat.Hampir sepanjang siang Tarusbawa bersembunyi dari pohon ke pohon. Suasana tempat ini sungguh mengerikan dan mencekam. Terlihat beberapa kali siluman berkeliaran. Semakin jauh memasuki wilayah ini, semakin besar pula kekuatan yang menghalangi.“Siapa kau?” ulang sosok siluman berjenis laki-laki itu.“Katakan, apa yang kau ketahu
Tarusbawa muncul di luar batas tanda yang sudah diberikan Limbur Kancana sebelumnya. Ia segera mengeluarkan penawar racun kalong setan, membiarkan asap putih mengelilinginya. Lambat laun rasa sakit di dadanya menghilang.Tarusbawa menoleh pada luka di pinggangnya yang masih meneteskan darah. Ia menekan bagian itu hingga pendarahan mendadak berhenti. “Tempat itu benar-benar berbahaya. Siluman yang berada di sana kebal terhadap ramuan pemusnah siluman. Kemungkinan besar mereka sudah terpengaruh dengan racun kalong setan yang tersebar di sekeliling hutan sehingga kekuatan mereka lebih kuat dari siluman biasa.”Tarusbawa mengamati keadaan sekeliling. Ia melihat beberapa pendekar tengah berjaga di beberapa sudut hutan. “Aku tidak pernah menyangka jika persatuan pendekar golongan putih akan kembali setelah sekian lama tercerai berai.”Tarusbawa tiba-tiba terdiam ketika mendapatkan sekelibat bayangan peperangan antara dua kubu di sebuah tanah lapang. Saat terpejam, bayangan itu mendadak meng
“Pendekar itu memakai pakaian serba hitam, Nyi. Dia menggunakan rantai putih sebagai senjatanya. Dilihat dari kemampuannya, dia bukanlah pendekar sembarangan,” jawab Munding Hideung.“Lalu di mana dia sekarang? Kenapa kau datang dengan tangan kosong, Munding Hideung?” Nyi Genit melepas genggeaman di wajah Munding Hideung, menoleh ke arah mulut gua, mundur beberapa langkah.“Pendekar itu berhasil melarikan diri saat tengah bertarung denganku, Nyi.” Munding Hideung terbatuk beberapa kali karena cengkeraman Nyi Genit, melirik keadaan gua sekilas.“Melarikan diri?” Nyi Genit memelotot. Ia mengibaskan selendang kuningnya ke arah Munding Hideung hingga dalam waktu sekejap angin berembus sangat kencang.Munding Hideung melompat beberapa tombak ke belakang, menghindar dari serbuan angin. “Dia mampu menghilang dengan sangat cepat, Nyi.”Nyi Genit berdecak kesal. “Seperti yang kau katakan, pendekar itu pastilah bukan pendekar sembarangan. Selama berpuluh-puluh tahun lamaya, tidak ada pendekar y
Nyi Genit menggertakkan gigi kuat-kuat, mengambil kendi berisi penawar racun kalong setan, membuka tutupnya dengan segera. Asap putih seketika menyebar ke sekeliling. Asap putih dan asap hitam sempat beradu hingga akhirnya dimenangkan asap putih. Bambu kembali berubah menjadi hijau.“Kurang ajar!” Nyi Genit tiba-tiba berteriak hingga kubah yang menaungi gua hancur berkeping-keping. Ia menggenggam bambu itu kuat-kuat dan nyaris melemparnya. “Bambu ini ternyata mampu merasakan racun kalong setan dan penawarnya. Siapa pun yang membuatnya akan aku musnahkan dengan segera!”Nyi Genit berjalan menuju kendi besar yang isinya tengah bergolak. Matanya memelotot tajam seperti pedang yang akan membunuh lawan. “Apakah bambu terkutuk ini juga dibuat oleh pendekar bernama Ganawirya itu?”Nyi Genit menggeram hingga matanya berkilap merah. “Dengan bambu ini, para pendekar golongan putih mampu mengetahui keberadaan racun kalong di sekitar mereka.”Dari arah hutan, Munding Hideung bergerak sangat cepat