Dua rantai putih milik Tarusbawa tiba-tiba menarik seseorang ke dalam sebuah pohon. Saat sosok itu akan melawan, tiba-tiba saja Tarusbawa muncul dan langsung memukul bagian tengkuk hingga sosok itu tumbang. Sayangnya, sosok itu itu kembali sadarkan diri dalam waktu cepat.
“Siapa kau? Bagaimana kau bisa sampai di tempat ini?” tanya sosok itu yang tidak lain adalah sebangsa siluman.
Rantai Tarusbawa tiba-tiba mencengkeram sosok siluman itu hingga menyentuh lehernya, lalu menariknya ke arah Tarusbawa. Siluman itu berusaha melepas cengkeraman dan di saat yang sama rantai yang mengurungnya kian erat.
Hampir sepanjang siang Tarusbawa bersembunyi dari pohon ke pohon. Suasana tempat ini sungguh mengerikan dan mencekam. Terlihat beberapa kali siluman berkeliaran. Semakin jauh memasuki wilayah ini, semakin besar pula kekuatan yang menghalangi.
“Siapa kau?” ulang sosok siluman berjenis laki-laki itu.
“Katakan, apa yang kau ketahu
Tarusbawa muncul di luar batas tanda yang sudah diberikan Limbur Kancana sebelumnya. Ia segera mengeluarkan penawar racun kalong setan, membiarkan asap putih mengelilinginya. Lambat laun rasa sakit di dadanya menghilang.Tarusbawa menoleh pada luka di pinggangnya yang masih meneteskan darah. Ia menekan bagian itu hingga pendarahan mendadak berhenti. “Tempat itu benar-benar berbahaya. Siluman yang berada di sana kebal terhadap ramuan pemusnah siluman. Kemungkinan besar mereka sudah terpengaruh dengan racun kalong setan yang tersebar di sekeliling hutan sehingga kekuatan mereka lebih kuat dari siluman biasa.”Tarusbawa mengamati keadaan sekeliling. Ia melihat beberapa pendekar tengah berjaga di beberapa sudut hutan. “Aku tidak pernah menyangka jika persatuan pendekar golongan putih akan kembali setelah sekian lama tercerai berai.”Tarusbawa tiba-tiba terdiam ketika mendapatkan sekelibat bayangan peperangan antara dua kubu di sebuah tanah lapang. Saat terpejam, bayangan itu mendadak meng
“Pendekar itu memakai pakaian serba hitam, Nyi. Dia menggunakan rantai putih sebagai senjatanya. Dilihat dari kemampuannya, dia bukanlah pendekar sembarangan,” jawab Munding Hideung.“Lalu di mana dia sekarang? Kenapa kau datang dengan tangan kosong, Munding Hideung?” Nyi Genit melepas genggeaman di wajah Munding Hideung, menoleh ke arah mulut gua, mundur beberapa langkah.“Pendekar itu berhasil melarikan diri saat tengah bertarung denganku, Nyi.” Munding Hideung terbatuk beberapa kali karena cengkeraman Nyi Genit, melirik keadaan gua sekilas.“Melarikan diri?” Nyi Genit memelotot. Ia mengibaskan selendang kuningnya ke arah Munding Hideung hingga dalam waktu sekejap angin berembus sangat kencang.Munding Hideung melompat beberapa tombak ke belakang, menghindar dari serbuan angin. “Dia mampu menghilang dengan sangat cepat, Nyi.”Nyi Genit berdecak kesal. “Seperti yang kau katakan, pendekar itu pastilah bukan pendekar sembarangan. Selama berpuluh-puluh tahun lamaya, tidak ada pendekar y
Nyi Genit menggertakkan gigi kuat-kuat, mengambil kendi berisi penawar racun kalong setan, membuka tutupnya dengan segera. Asap putih seketika menyebar ke sekeliling. Asap putih dan asap hitam sempat beradu hingga akhirnya dimenangkan asap putih. Bambu kembali berubah menjadi hijau.“Kurang ajar!” Nyi Genit tiba-tiba berteriak hingga kubah yang menaungi gua hancur berkeping-keping. Ia menggenggam bambu itu kuat-kuat dan nyaris melemparnya. “Bambu ini ternyata mampu merasakan racun kalong setan dan penawarnya. Siapa pun yang membuatnya akan aku musnahkan dengan segera!”Nyi Genit berjalan menuju kendi besar yang isinya tengah bergolak. Matanya memelotot tajam seperti pedang yang akan membunuh lawan. “Apakah bambu terkutuk ini juga dibuat oleh pendekar bernama Ganawirya itu?”Nyi Genit menggeram hingga matanya berkilap merah. “Dengan bambu ini, para pendekar golongan putih mampu mengetahui keberadaan racun kalong di sekitar mereka.”Dari arah hutan, Munding Hideung bergerak sangat cepat
Munding Hideung melesat cepat di antara rimbunnya pepohonan dan para siluman yang sedang sibuk mencari jejak si Pendekar Hitam. Ketika akan keluar dari hutan, Bangkong Bodas tiba-tiba mendekat ke arahnya.“Ke mana kau akan pergi, Munding Hideung?” tanya Bangkong Bodas.“Nyi Genit memintaku untuk menangkap gadis pembuat bambu yang mampu merasakan kehadiran racun kalong setan.” Munding Hideung mengawasi keadaan di depan. Terlihat beberapa pendekar yang berkeliaran di hutan.“Bambu yang bisa merasakan kehadiran racun kalong setan?” Bangkong Hideung memastikan. “Itu akan jadi masalah besar untuk kita. Berhati-hatilah.”Munding Hideung berdecak, lantas tertawa. “Kau yang harusnya berhati-hati, Bangkong Bodas. Jangan sampai kau kembali menjadi penghuni kendi.”Bangkong Bodas mendengkus kesal. “Aku hanya sedang sial tadi. Lagi pula kau juga kalah telah dari pendekar hitam itu. Buktinya kau terjebak dan hampir terisap ke dalam tanah.”Munding Hideung memilih melompat keluar dari kubah dibandi
Di dalam gua, para tabib tengah memusatkan seluruh perhatian dan kemampuan untuk menyelesaikan tugas masing-masing. Mereka diperbolehkan kembali bertugas setelah para pendekar memastikan jika keadaan gua benar-benar aman. Semua orang yang dicurigai sebagai penyusup sudah ditempatkan di tempat terpisah.Kelompok tabib berkutat dengan tugas mempelajari penawar racun kalong setan. Kelompak kedua bertugas mempelajari dan memperbanyak ramuan penyembuh untuk korban Wintara dan Nilasari. Kelompok ketiga bertugas untuk membuat ramuan untuk mengembalikan keadaan para pendekar yang sudah berubah menjadi siluman menjadi manusia kembali. Kelompok terakhir akan bertugas untuk menyiapkan semua perlengkapan ramuan dan obat-obatan untuk para pendekar dan warga yang membutuhkan.Sekar Sari menjauh dari kerumunan para tabib ketika mendapat tanda dari salah satu tiruan Limbur Kancana untuk mendekat. “Apa apa?”“Aku sudah mengambil tanah yang berada di lubang tempat Wintara dan Nilasari terkurung. Selain
Siluman jurig lolong tiba-tiba memekik kencang hingga angin berembus kencang ke sekeliling. Siluman itu mengentak-ngentak tanah sembari memukul palu godam ke tanah. Getaran dan suara bising seketika merembet hingga ke dalam gua. Hampir semua pendekar dan tabib yang berada di dalam tampak terkejut. Perhatian Galih Jaya dan pasukan tiba-tiba tertuju ke arah gua. Alhasil, pengawasan mereka terhadap Wira menjadi mengendur. Wira menggunakan kesempatan itu untuk memanggil kelelawar raksasa, lalu menaikinya dan melarikan diri. “Kita diserang! Kita diserang!” Seorang pendekar memukul kentungan dengan sangat keras. Pendekar lain mulai mengikuti aksi serupa. Suara tersebut saling bersahutan hingga terdengar hampir ke semua bagian gua. “Tanda bahaya!” ujar seorang pendekar, “segera amankan para tabib ke tempat yang aman!” “Jangan panik! Ikuti arahan kami!” teriak salah satu pendekar yang seketika berlari ke jalur penyelamatan yang sudah disiapkan sebelumnya. Para tabib dari ruangan kedua, ke
“Apa yang terjadi di sini?” Galih Jaya terkejut ketika para tabib masih berada di dalam ruangan. Mereka kemudian diarahkan para pendekar menuju tempat aman setepah mendapat kabar dari pendekar yang baru saja tiba. “Sepertinya mereka telat menyadari tanda bahaya karena berada di ruangan cukup dalam dari gua.” Dalam waktu cepat, para tabib mulai meninggalkan ruangan bersama para pendekar. Malawati melihat keadaan sekeliling, mencari keberadaan Sekar Sari. “Sepertinya Sekar Dewi sudah meninggalkan tempat ini lebih dahulu.” Dugaan Malawati nyatanya salah. Sekar Sari masih berada di sebuah ruangan sempit yang tidak jauh dari ruangan para tabib tadi berasal. Gadis itu masih berkutat dengan ramuan obat yang dibuatnya. “Ini tidak berhasil.” Sekar Sari berjalan menuju ruangan. Begitu berada di lorong sebelum ruangan, ia terkejut ketika para tabib sudah menghilang dari tempat ini, ditambah keadaan yang berubah kacau balau. “Apa yang sebenarnya terjadi di sini?” Sekar Sari tertegun ketika me
“Murid dari Ganawirya?” Semua pendekar terkejut ketika mendengar perkataan Wira. Mereka seketika menoleh pada Sekar Sari yang juga tmpak terkejut.“Bagaimana kabarmu, Sekar Sari?” Wira terkekeh, bersikap biasa meski saat ini sudah dikepung oleh para pendekar. “Aku benar-benar terkejut ketika melihatmu berada di tempat ini bersama para tabib. Pantas saja aku tidak melihatmu saat aku dan rakaku, Kartasura, menyerang Ganawirya dan para murid padepokan beberapa saat lalu.”Untuk sekali lagi, semua pendekar menoleh pada Sekar Sari.“Biar kutebak, Ganawirya pasti menyuruhmu untuk berpura-pura menjadi tabib dengan tujuan membantu para pendekar golongan putih untuk menghadapi dua siluman ular itu.” Wira kembali tertawa, menyeringai saat Sekar Sari memelototinya.Galih Jaya menoleh pada Sekar Sari melalui ekor mata. Ia sejujurnya terkejut ketika mendengar hal itu dan tidak ingin mempercayainya. Akan tetapi, saat melihat kemampuan pengobatan dan pembuatan ramuan dari gadis yag dikenalnya dengan