Munding Hideung melesat cepat di antara rimbunnya pepohonan dan para siluman yang sedang sibuk mencari jejak si Pendekar Hitam. Ketika akan keluar dari hutan, Bangkong Bodas tiba-tiba mendekat ke arahnya.“Ke mana kau akan pergi, Munding Hideung?” tanya Bangkong Bodas.“Nyi Genit memintaku untuk menangkap gadis pembuat bambu yang mampu merasakan kehadiran racun kalong setan.” Munding Hideung mengawasi keadaan di depan. Terlihat beberapa pendekar yang berkeliaran di hutan.“Bambu yang bisa merasakan kehadiran racun kalong setan?” Bangkong Hideung memastikan. “Itu akan jadi masalah besar untuk kita. Berhati-hatilah.”Munding Hideung berdecak, lantas tertawa. “Kau yang harusnya berhati-hati, Bangkong Bodas. Jangan sampai kau kembali menjadi penghuni kendi.”Bangkong Bodas mendengkus kesal. “Aku hanya sedang sial tadi. Lagi pula kau juga kalah telah dari pendekar hitam itu. Buktinya kau terjebak dan hampir terisap ke dalam tanah.”Munding Hideung memilih melompat keluar dari kubah dibandi
Di dalam gua, para tabib tengah memusatkan seluruh perhatian dan kemampuan untuk menyelesaikan tugas masing-masing. Mereka diperbolehkan kembali bertugas setelah para pendekar memastikan jika keadaan gua benar-benar aman. Semua orang yang dicurigai sebagai penyusup sudah ditempatkan di tempat terpisah.Kelompok tabib berkutat dengan tugas mempelajari penawar racun kalong setan. Kelompak kedua bertugas mempelajari dan memperbanyak ramuan penyembuh untuk korban Wintara dan Nilasari. Kelompok ketiga bertugas untuk membuat ramuan untuk mengembalikan keadaan para pendekar yang sudah berubah menjadi siluman menjadi manusia kembali. Kelompok terakhir akan bertugas untuk menyiapkan semua perlengkapan ramuan dan obat-obatan untuk para pendekar dan warga yang membutuhkan.Sekar Sari menjauh dari kerumunan para tabib ketika mendapat tanda dari salah satu tiruan Limbur Kancana untuk mendekat. “Apa apa?”“Aku sudah mengambil tanah yang berada di lubang tempat Wintara dan Nilasari terkurung. Selain
Siluman jurig lolong tiba-tiba memekik kencang hingga angin berembus kencang ke sekeliling. Siluman itu mengentak-ngentak tanah sembari memukul palu godam ke tanah. Getaran dan suara bising seketika merembet hingga ke dalam gua. Hampir semua pendekar dan tabib yang berada di dalam tampak terkejut. Perhatian Galih Jaya dan pasukan tiba-tiba tertuju ke arah gua. Alhasil, pengawasan mereka terhadap Wira menjadi mengendur. Wira menggunakan kesempatan itu untuk memanggil kelelawar raksasa, lalu menaikinya dan melarikan diri. “Kita diserang! Kita diserang!” Seorang pendekar memukul kentungan dengan sangat keras. Pendekar lain mulai mengikuti aksi serupa. Suara tersebut saling bersahutan hingga terdengar hampir ke semua bagian gua. “Tanda bahaya!” ujar seorang pendekar, “segera amankan para tabib ke tempat yang aman!” “Jangan panik! Ikuti arahan kami!” teriak salah satu pendekar yang seketika berlari ke jalur penyelamatan yang sudah disiapkan sebelumnya. Para tabib dari ruangan kedua, ke
“Apa yang terjadi di sini?” Galih Jaya terkejut ketika para tabib masih berada di dalam ruangan. Mereka kemudian diarahkan para pendekar menuju tempat aman setepah mendapat kabar dari pendekar yang baru saja tiba. “Sepertinya mereka telat menyadari tanda bahaya karena berada di ruangan cukup dalam dari gua.” Dalam waktu cepat, para tabib mulai meninggalkan ruangan bersama para pendekar. Malawati melihat keadaan sekeliling, mencari keberadaan Sekar Sari. “Sepertinya Sekar Dewi sudah meninggalkan tempat ini lebih dahulu.” Dugaan Malawati nyatanya salah. Sekar Sari masih berada di sebuah ruangan sempit yang tidak jauh dari ruangan para tabib tadi berasal. Gadis itu masih berkutat dengan ramuan obat yang dibuatnya. “Ini tidak berhasil.” Sekar Sari berjalan menuju ruangan. Begitu berada di lorong sebelum ruangan, ia terkejut ketika para tabib sudah menghilang dari tempat ini, ditambah keadaan yang berubah kacau balau. “Apa yang sebenarnya terjadi di sini?” Sekar Sari tertegun ketika me
“Murid dari Ganawirya?” Semua pendekar terkejut ketika mendengar perkataan Wira. Mereka seketika menoleh pada Sekar Sari yang juga tmpak terkejut.“Bagaimana kabarmu, Sekar Sari?” Wira terkekeh, bersikap biasa meski saat ini sudah dikepung oleh para pendekar. “Aku benar-benar terkejut ketika melihatmu berada di tempat ini bersama para tabib. Pantas saja aku tidak melihatmu saat aku dan rakaku, Kartasura, menyerang Ganawirya dan para murid padepokan beberapa saat lalu.”Untuk sekali lagi, semua pendekar menoleh pada Sekar Sari.“Biar kutebak, Ganawirya pasti menyuruhmu untuk berpura-pura menjadi tabib dengan tujuan membantu para pendekar golongan putih untuk menghadapi dua siluman ular itu.” Wira kembali tertawa, menyeringai saat Sekar Sari memelototinya.Galih Jaya menoleh pada Sekar Sari melalui ekor mata. Ia sejujurnya terkejut ketika mendengar hal itu dan tidak ingin mempercayainya. Akan tetapi, saat melihat kemampuan pengobatan dan pembuatan ramuan dari gadis yag dikenalnya dengan
“Ramuan obatmu tidak sepenuhnya gagal. Buktinya, cairan hitam di tubuh para korban menghilang, ditambah keadaan para korban membaik. Hanya butuh waktu sampai keadaan mereka benar-benar pulih,” ujar Malawati.“Aku rasa itu karena ramuan yang dibuat oleh guruku.” Sekar Sari menoleh pada sekumpulan pendekar yang bergerak ke arah medan pertempuran. Sayangnya, ia belum menemukan tiruan Limbur Kancana satu pun, padahal ia harus segera memberi tahu mengenai Wira yang sudah mengungkap siapa dirinya pada beberapa pendekar di tempat ini.Malawati melihat kecemasan di wajah Sekar Sari. “Tenanglah, aku tidak akan memberi tahu para pendekar mengenai siapa dirimu sebenarnya. Anggap saja itu bayaran karena kau sudah menolongku dan rekan-rekanku selama ini, Sekar Sari.”“Kau memang sepantasnya membayar mahal jasa-jasaku, Malawati.” Sekar Sari memutar bola mata, merasa jemawa.“Kau benar-benar menyebalkan. Kenapa kau tidak diculik siluman kerbau saja dan dijadikan santapan siluman tua?” Malawati mende
Galih Jaya dan Dharma terkejut ketika melihat para pendekar bergelimpangan di tanah dengan keadaan terluka di mana sebagian dari mereka tertimpa bebatuan. Saat keduanya akan menolong, salah satu pendekar dengan cepat mengangkat tangan.“Jangan mendekat! Si penyusup itu menggunakan racun kalong setan pada kami. Kami bisa tahu saat melihat bambu hijau yang berubah warna menjadi hitam.”“Si penyusup itu sepertinya sedang mengejar tabib berselendang merah,” ujar pendekar yang lain, “pergilah dengan segera dan jangan biarkan penyusup itu membawanya. Kami bisa mengatasi masalah di sini.”“Tabib berselendang merah,” gumam Galih Jaya dan Dharma bersamaan.Seorang tiruan Limbur Kancana tiba-tiba muncul, membuka kendi berisi racun kalong setan. Asap putih seketika keluar dari lubang kendi, menyebar ke sekeliling. Tak lama setelahnya, tiruan itu kembali pergi.“Tiruan itu memberikan penawar racun kalong setan pada kalian,” ujar Galih Jaya, “beristirahatlah sebentar. Setelah itu, kembali pada tug
“Suara apa itu tadi?” tanya Dharma.Dari arah atas, tiba-tiba saja melesat kuku-kuku beracun. Untungnya, Galih Jaya dan Dharma menyadari hal itu dan berhasil menangkis serangan-serangan itu.“Selama si penyusup bersama kelelawar besar itu, kita akan kesulitan untuk menangkapnya.” Galih Jaya kembali melayangkan serangan secara acak.“Ini akan memakan waktu cukup lama ketika kita tidak bisa mengenainya meski dengan bantuan ramuan pemusnah siluman yang sudah kita oleskan pada senjata kita,” sahut Dharma.Setelah berujar demikian, Galih Jaya dan Dharma tiba-tiba saja mengaduh ketika mendapat serangan di kaki. Keduanya kemudian jatuh berlutut ketika kembali gagal menepis serangan kuku beracun yang kini mendarat di tangan kiri.Dari atas tunggangan kelelawar, Wira menyeringai karena berhasil melukai kedua pendekar itu. Ia beruntung karena tidak mendapat cukup kesulitan dari sosok Pendekar Hitam meski di saat yang sama merasa curiga. Wira menghimpun kekuatan di kedua tangan, lantas melayan