Limbur Kancana memanggil tujuh tiruan dirinya ke hadapan para petinggi golongan putih. “Aku menguasai sebuah jurus yang mampu memperbanyak diriku sendiri. Dengan jurus ini, aku juga bisa berpindah tempat dengan tiruanku yang berada di tempat lain. Semakin banyak tiruan yang kubuat, semakin lemah kekuatan tiruan itu. Selain itu, aku juga bisa melihat apa yang dilihat oleh tiruan-tiruanku. Tiruan-tiruanku juga dapat melakukan apa pun yang kuminta meski dari jarak jauh sekalipun.”
Semua petinggi golongan putih terkejut ketika melihat dan mendengar penjelasan Limbur Kancana. Mereka mengamati tiruan-tiruan yang sangat persis dengan sosok yang asli.
“Kemampuan yang luar biasa,” gumam Tapasena yang masih bisa didengar orang di sampingnya. Tatapannya kembali mengawasi tiruan-tiruan di depannya.
“Aku mengerti sekarang,” ujar Ekawira, “dengan jurus itulah kau mampu bergerak dan mendapat kabar dari berbagai tempat dengan sangat cep
Malam panjang akhirnya berganti pagi. Di tempat perkumpulan, para pendekar dan para tabib dikumpulkan di luar gua saat langit belum sepenuhnya terang. Wirayuda menjelaskan semua rencana baru yang sudah disusun. Tak lama setelahnya, para pendekar yang bertugas ikut dalam pertempuran segera bersiap-siap, sedang para tabib ditugaskan untuk mengumpul ramuan obat yang bisa digunakan dalam pertarungan. Sekar Sari berada di antara para tabib yang tengah berkutat menyalurkan ramuan obat untuk para pendekar di luar gua. Para tabib membentuk tiga barisan panjang hingga keluar gua.“Aku harap para pendekar berhasil mengalahkan Wintara dan Nilasari dengan segera,” ujar salah satu tabib laki-laki yang sedang menyalurkan barang di depan Sekar Sari.“Aku dengar dari para pendekar jika rencana penyerangan ini sebelumnya mendapat penolakan dari sebagian petinggi golongan putih mengingat terbatasnya penawar racun kalong setan. Tapi karena Pendekar Hitam muncul dan mengatakan akan membantu penyerangan,
Galih Jaya kembali mengumpulkan para tabib di depan gua selepas kepergian para petinggi golongan putih dan pasukan pendekar. Ia berdiri di depan kerumunan, lantas membisikkan sesuatu pada bawahannya dengan tatapan tertuju pada Sekar Sari.“Seperti yang kalian ketahui, para petinggi golongan putih dan para pendekar sedang berjuang bertaruh nyawa di medan pertempuran untuk mengalahkan Wintara dan Nilasari saat ini. Meski kita semua jauh dari medan pertempuran, tetapi kita semua ikut berjuang demi keberhasilan pertempuran meski dengan cara berbeda,” ujar Galih Jaya berapi-api.“Kalian para tabib memiliki peran penting dalam keberhasilan pertempuran dengan kemampuan yang kalian miliki.” Galih Jaya mengambil dua buah bambu, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi ke atas. “Dua buah bambu ini memiliki kemampuan yang sangat luar biasa dan sangat berguna dalam mengalahkan Wintara dan Nilasari.”Para tabib tampak berbisik-bisik satu sama lain. Mereka sekilas mendengar mengenai kemampuan dari dua bamb
“Kakang Guru, aku membutuhkan banyak tanah dari dua lubang tempat Wintara dan Nilasari terkurung di atas bukit. Tanah itu berisi kekuatan Wintara dan Nilasari dan digunakan sebagai inti dari kekuatan bambu kuning,” ujar Sekar Sari, “aku mengambil tanah lubang itu saat kita mendatangi atas bukit beberapa waktu lalu.” “Baiklah, aku mengerti.” Limbur Kancana terpejam, segera memerintahkan tiruan-tiruannya yang berada di dekat bukit untuk mengambil tanah di dua lubang itu. “Apa lagi yang kau inginkan, Sekar Sari?” “Kakang Guru, aku memiliki rencana untuk membuat bambu yang bisa merasakan hawa keberadaan anggota Cakar Setan. Hanya saja aku membutuhkan kekuatan mereka. Bisakah Kakang Guru memberikan benda yang mengandung kekuatan mereka? Aku pikir itu akan sangat berguna untuk kita.” “Baiklah, aku akan segera menghubungi raka ….” Limbur Kancana kontan terdiam ketika hampir saja menyebut nama Tarusbawa. “Raka?” gumam Sekar Sari memastikan apa yang didengarnya barusan. “Aku akan mengupaya
Pertarungan antara Tarusbawa dan keempat anggota Cakar Setan terus berlanjut. Kartasura, Wulung, Argaseni dan Brajawesi masih berada di tanah yang terus menarik mereka ke dalam. Mereka menghimpun kekuatan untuk lepas dari jerat lubang.Sementara itu, Tarusbawa masih mengawasi di tempatnya bersembunyi seraya menghimpun kekuatan. Butuh kekuatan tak sedikit untuk bisa mengurung keempat anggota Cakar Setan itu dalam waktu lama. Ia menduga jika tanah itu tidak akan bisa menahan mereka lebih lama lagi.Wulung melemparkan tali pecutnya ke arah hutan. Tali pecut itu bergerak sangat cepat melewati barisan pepohonan, melilit sebuah batu yang cukup besar, kemudian memasuki tanah. Wulung menarik dirinya ke arah tali pecutnya yang terus bergerak. Caranya berhasil hingga sedikit demi sedikit tubuhnya tertarik dari tanah.Tak jauh berbeda dari pendekar berkulit legam itu, Argaseni menghimpun kekuatan pada tongkat hitamnya. Tongkat itu memanjang hingga ke atas, menukik tajam ke bawah, lalu melesat ke
“Apa yang membawamu ke sini, Bangasera?” tanya Totok Surya dengan tatapan menyelidik, “bukankah aku menugaskanmu untuk mencari keberadaan pemuda pewaris kujang emas itu dan membawakanku kepala anggota pendekar Sayap Putih?”“Aku menghadap untuk memberikan kepala salah satu pendekar Sayap Putih yang berhasil kukalahkan, Gusti.” Bangasera memberi hormat dengan kedua tangan di atas kepala, tersenyum penuh kebanggan karena menjadi anggota Cakar Setan pertama yang berhasil melakukannya.“Apakah itu benar?” Totok Surya bangkit dari kursi singgasana, menatap Bangasera yang masih berlutut memberi hormat.“Benar, Gusti.” Bangasera memejamkan mata sekali. Secara tiba-tiba, seekor ular berukuran cukup besar muncul di sampingnya, kemudian memuntahkan sesuatu yang dibalut kain hitam.Bangasera tersenyum, merasa berada di atas angin. Setelah mendapatkan kekuatan baru dari Totok Surya, ia akan mengerahkan pasukan besar-besaran untuk mencari Lingga. “Aku berhasil mendapatkan kepala Tarusbawa.”“Taru
Bangasera perlahan mengerjapkan mata. Begitu tatapannya sudah kembali seutuhnya, ia bisa melihat langit biru dengan awan putih yang bergerak perlahan. Semilir angin membuka kesadaraannya mengenai apa yang sudah terjadi padanya.Bangasera berusaha bangkit, tetapi tubuhnya terasa sangat sulit digerakkan. Tubuhnya masih menempel di tanah cekung. “A-aku masih hidup.”“Sepertinya kau masih ditakdirkan untuk hidup dan menjadi bawahanku, Bangasera.” Totok Surya melompat turun, mendekat ke arah Bangasera dengan tatapan memelotot.“Gusti Totok Surya.” Bangasera berusah bangkit, tetapi Totok Surya menekan tubuhnya hingga kembali menempel di tanah.Totok Surya menekan dada Bangasera lebih kuat hingga tanah semakin berlubang. “Aku sebenarnya ingin membunuhmu karena penghinaan yang kau lakukan padaku. Tapi aku akan memberikamu kesempatan terakhir untuk menyeret pemuda pewaris kujang emas itu padaku sekaligus membawakanku ketiga kepala pendekar Sayap Putih.”Bangasera tiba-tiba muntah darah. “Ba-ba
Bulan berada di puncak langit ketika Lingga menyelesaikan latihan. Pemuda itu menenggelamkan kepala ke dalam air sesaat, mengamati pemandangan bawah sungai. Saat kepalanya terangkat, tetes air seketika menetes dari rambut dan wajah.Lingga melompat ke sisi sungai, duduk di atas batu, meneguk air kelapa muda hingga tak bersisa. Setelah terbangun, ia sudah berlatih untuk menyempurnakan jurus angkat bumi dan jurus-jurus yang sudah dikuasainya, disusul bersemedi untuk meraih ketenangan batin.Lingga masih kesulitan untuk bisa mencapai ketenangan batin. Setiap kali berusaha untuk masuk, ingatannya mengenai masa kecil, kepergian Ki Petot, pengkhianatan Wira, kekejaman Kartsura serta amarah Geni, Jaya dan Barma menganggunya untuk melangkah lebih dalam. Hal ini serupa dengan bayang-bayang mereka yang muncul di alam ini.Lingga mengembus napas panjang, membiarkan semilir angin menyentuh kulitnya. Hati dan pikirannya masih belum bisa mencapai ketenangan batin sebagai syarat membangkitkan dan me
“Paman, apa Paman baik-baik saja?” tanya Lingga sembari meraba tubuh bagian atas Limbur Kancana. “Aku sangat mengkhawatirkan Paman.”Limbur Kancana bersiap menggetok kepala Lingga, tetapi pemuda itu lebih dahulu menghindar dengan melompat ke belakang. “Apa kau berniat melarikan diri dari tempat ini, Lingga? Cepat katakan!”Limbur Kancana menoleh pada tiruan Lingga. Saat akan menyerang, tiruan itu lebih dahulu menghilang. “Apa kau akan mengirimkan tiruan itu kembali ke alam manusia?”Lingga menggaruk rambut yang tidak gatal. “Aku mengkhawatirkan keadaan Paman yang tidak kunjung menemuiku atau memberiku kabar, terlebih saat aku melihat Jaya Tonggoh dan wilayah sekitarnya porak poranda. Aku memang bermaksud mengirim tiruanku untuk melihat keadaan Paman, sedang aku tetap berada di sini.”“Aku sudah mengunjungimu saat kau tertidur di sisi sungai, Lingga,” ujar Limbur Kancana, “saat itu, aku datang bersama ….”Limbur Kancana buru-buru menutup mulut. Hampir saja ia menyebut nama Tarusbawa. B