Wintara dan Nilasari kembali melayangkan sisik-sisik mereka yang kemudian berubah menjadi pasukan siluman ular. Siluman-siluman itu dengan cepat menaiki rantai dan menyerang Tarusbawa dengan tombak dan susuk mereka.“Kakang, tolong aku,” ujar Nilasari dengan mata yang mulai menangis, “aku tidak ingin kembali disegel ke dalam lubang itu lagi untuk kedua kalinya. Selamatkan aku, Kakang.”“Tenanglah, Nilasari.” Wintara memutar ekornya hingga menciptakan angin kencang yang langsung berembus ke arah Tarusbawa. Beberapa pasukan silumannya terjatuh ke pepohonan. Tak lama setelahnya, ia kembali melayangkan serangan tombak dari mulutnya. Akan tetapi, tombak perak Tarusbawa kembali berhasil menghadang serangannya.“Terkutuk!” geram Wintara, “meski kami sudah bertambah kuat berkali-kali lebih kuat, tapi sepertinya kami masih berada di bawahmu, Tarusbawa! Aku tidak akan mengulangi kesalahan yang sama seperti yang pernah aku lakukan lima puluh tahun lalu!”“Kakang,” rengek Nilasari seraya terus me
“Apa yang sebenarnya terjadi?” Bangasera terseret harimau putih hingga beberapa tombak jauhnya. Ia segera mengawasi keadaan sekeliling, mencari siapa pelaku yang dengan kurangajarnya mengganggunya di saat akan berhadapan dengan Tarusbawa.Bangasera segera berubah menjadi ular siluman, lantas melilit tubuh harimau putih dengan saat kuat di saat hariman itu terus menggigit tubuhnya. Secara tiba-tiba, ia mengingat siapa pemilik jurus. “Limbur Kancana. Aku tahu ini semua perbuatanmu.”Bangasera mengerahkan kekuatannya untuk melilit harimau putih lebih erat. Mulutnya terbuka sangat lebar dan secara tiba-tiba mengeluarkan panah hitam yang melesat ke tubuh harimau putih itu. “Kucing kecil ini tidak akan bisa—”Belum sempat menyelesaikan kata-katanya, Bangasera tiba-tiba mendapat tendangan telak di kepala. Tubuhnya terseret ke belakang bersamaan dengan harimau putih yang mendadak menghilang. Ketika kakinya mendarat di dahan pohon dan bersiap untuk memberikan balasan, tiba-tiba saja sebuah kub
Wintara dan Nilasari melompat mundur di saat rantai Tarusbawa terus mengarah pada mereka. Tombak dan susuk mereka keduanya terus-menerus menepis serangan. Pasukan siluman ular mereka beberapa kali dikerahkan, tetapi selalu dapat dengan mudah dihancurkan. Tarusbawa mengentak kedua tangan ke bawah untuk sesaat, kemudian melesat maju dengan sangat cepat dengan menggunakan jurus kaki petir. Dalam waktu singkat, ia sudah berada di dekat Wintara dan Nilasari. Wintara dan Nilasari terhenyak saat menyadarinya. Saat akan mengubah wujud menjadi siluman, sebuah pukulan di dada berhasil membuat mereka terpental ke belakang. Kedua rantai Tarusbawa bersiap melilit mereka, tetapi rantai itu mendadak putus ketika terkena panah hitam yang dilancarkan Bangasera. Wintara dan Nilasari kembali melompat mundur beberapa tombak ke belakang, menghindar dengan gerakan yang hampir sama ketika rantai putih kembali mengincar mereka. Di saat yang sama, Tarusbawa bergerak dengan sangat cepat mengelilingi keduanya
Tarusbawa dan Limbur Kancana segera menjauh beberapa tombak ke belakang, bersembunyi di balik pohon. Tarusbawa membisikkan sesuatu pada Limbur Kancana dan setelahnya kembali muncul di atas puncak pohon.“Tindakan kalian yang menjauh aku anggap sebagai pembenaran atas ucapanku barusan.” Bangasera menyeringai tajam. “Malam ini adalah malam terakhir kalian melihat dunia. Bersiaplah merasakan sakitnya nyawa berpisah dari badan.”Bangasera, Wintara dan Nilasari melompat ke belakang beberapa tombak, menatap Tasrubawa dan Limbur Kancana yang tengah bersiaga.Bangasera meraih sesuatu dari mulut ular di tongkatnya, lantas melemparkan dua batu mustika pada Wintara dan Nilasari. “Ambillah dua mustika itu. Aku sengaja membawanya dari alam siluman di lapisan paling bawah.”“Mustika ini,” ujar Wintara dengan tatapan terkejut.“Mustika itu adalah mustika yang dapat meningkatkan kekuatan siluman berkali-kali lipat. Dengan kekuatan kalian yang sudah ditingkatkan dengan racun kalong setan dan mustika i
Wintara dan Nilasari tertawa menggelegar ketika mendapati Tarusbawa tergolek tak berdaya dengan tombak dan susuk yang tertancap di tubuhnya. Kedua siluman ular itu dengan sengaja memperdalam tusukan hingga darah memancur deras dari luka Tarusbawa. Akan tetapi, kesenangan mereka terhenti ketika rantai putih menyerang dari samping.Tarusbawa mengeluarkan tombak dan susuk seraya merenggangkan jarak dengan Wintara dan Nilasari. Ia terbatuk hingga beberapa kali oleng dan nyaris terjatuh.Wintara dan Nilasari mundur sejauh satu tombak, lantas kembali melesat ke depan dengan tombak dan susuk yang bergerak lebih dahulu. Akan tetapi, Tarusbawa berhasil menepisnya dengan rantai putih.Tarusbawa segera duduk bersila dengan tangan menyatu di depan dada dan mata terpejam. Dua rantainya mengelilinginya hingga tercipta sebuah kubah pelindung. Beberapa kali ia terbatuk hingga mengeluarkan darah di saat memulihkan diri.“Aku tidak akan membiarkanmu hidup lebih lama lagi, Tarusbawa.” Wintara kembali me
Wintara dan Nilasari mengentak tubuh bersamaan hingga menimbulkan lubang besar ketika melesat ke depan. Batu besar yang mengincar keduanya hancur sebelum berhasil menyentuh mereka. Keduanya bergerak sangat cepat hingga sulit diikuti oleh mata telanjang. Angin yang tercipta karena gerakan mereka membuat pepohonan terbelah menjadi dua bagian.Dalam waktu singkat, Wintara dan Nilasari sudah berada di depan Tarusbawa, bahkan sebelum kedua rantainya bergerak.Tarusbawa terhenyak ketika melihat keberadaan Wintara dan Nilasari yang tiba-tiba. Sebelum berhasil merenggangkan jarak dan menyerang, dua pukulan kuat sudah lebih dahulu mendarat di dadanya, disusul dengan tusukan tombak dan susuk.Tarusbawa terpental ke belakang hingga menerobos pepohonan. Darah seketika menyembur dari mulut dan dadanya. Sesaat sebelum mendarat di dahan pohon, tiba-tiba saja tubuhnya tertarik ke depan dengan cepat.Wintara dan Nilasari menarik rantai putih Tarusbawa dengan kekuatan penu
Bangasera, Wintara dan Nilasari segera menghimpun kekuatan, lantas melayangkan serangan jarak jauh dalam waktu bersamaan. Serangan mereka menyatu membentuk serangan seekor ular besar yang seketika melahap harimau putih Limbur Kancana.Limbur Kancana segera melompat ke atas untuk menghindari serangan tersebut. Ia berhasil menghindar, tetapi nahasnya terkena dorongan serangan hingga tubuhnya terpelanting beberapa tombak ke belakang. Serangan yang dilancarkan Bangasera, Wintara dan Nilasari mendarat di tanah dan seketika menimbulkan ledakan dahsyat yang membuat tanah berlubang dan pepohonan bertumbangan ke sekeliling.Limbur Kancana melompat ke puncak pohon, bersiap untuk memberikan serangan balasan. Akan tetapi, baru saja menghimpun kekuatan, Bangasera, Wintara dan Nilasari sudah menglilinginya dengan tatapan tajam dna tangan yang sudah siap melancarkan serangan.Limbur Kancana melompat tinggi ke udara, menepis satu per satu serangan yang berdatangan. Bangasera, Wintara dan Nilasari kem
“Keberadaan Bangasera yang tiba-tiba menghilang benar-benar sangat mencurigakan,” ujar Argaseni, “tidak mungkin dia akan diam saja saat Tarusbawa muncul ke permukaan, terlebih dia dalah orang pertama yang mengetahui hal itu. Dia pasti sudah merencakan sesuatu bersama dua siluman ular yang menjadi bawahannya.”“Dilihat dari keadaan tempat ini yang porak poranda, kemungkinan besar sudah terjadi pertempuran dahsyat di tempat ini.” Brajawesi terdiam sesaat, kemudian bergumam, “Aku bisa mencium bau siluman, bau darah dan bau racun kalong setan di tempat ini.”Brajawesi terdiam sesaat ketika menemukan bau seseorang. “Ini … bau dari ….”Brajawesi tersenyum tipis, menjauh dari ketiga anggota Cakar Setan yang lain. Tatapannya mengelilingi sekeliling. Ia memanggil kapak merahnya, mengirimkan kekuatan pada senjata itu. Akan tetapi, kapaknya sama sekali tidak memberi balasan apa pun.“Aku mencium bau Limbur Kancana di tempat ini.” Brajawesi tersenyum bengis. “Itu berarti ada kemungkinan jika pemu