“Pendekar Hitam?” ujar Ekawira, Galisaka dan Kolot Raga bersamaan. Ketiganya kembali berkumpul dalam satu barisan, menatap penuh keterkejutan atas apa yang baru saja dilakukan Pendekar Hitam terhadap siluman ular yang sedang mereka lawan.Sisa-sisa pasukan siluman ular Nilasari mendadak menghilang bersamaan dengan dirinya yang terperangkap dalam kubah merah. Sementara itu, Nilasari mendadak menjerit bersamaan dengan usahanya untuk lepas dari jerat tali putih.“Apa yang sebenarnya terjadi?” Nilasari mendengkus kesal, menatap ke arah empat harimau yang tengah menggigit tubuhnya. “Kenapa racun kalong setan dalam tubuhku sama sekali tidak mampu menghapus kubah sialan dan harimau-harimau putih itu? Padahal aku bisa merasakan racun itu menyebar ke sekeliling kubah. Selain itu, Kekuatanku terus terisap oleh kubah ini.”Nilasari dengan susah payah menoleh pada sosok Pendekar Hitam yang baru saja mendarat cukup jauh dari tempat kubah merah berada. “Apa hubungannya dengan pendekar bernama Adita
Kartasura melesat dengan cepat bersama kelelawar raksasa ke arah Jaya Tonggoh. Beberapa kali ia terbatuk darah karena luka dari hasil pertarungan singkatnya dengan sosok Pendekar Hitam. Selama dalam perjalanan, ia juga berusaha menghubungi Wira untuk mengetahui keberadaannya. Akan tetapi, tidak ada sahutan meski sudah dicoba berkali-kali.“Aku akan sangat kesulitan jika menghadapi Tarusbawa secara langsung, terlebih dengan keadaanku saat ini. Aku tidak memiliki harapan untuk menang melawannya, terlebih dia bisa saja memiliki penawar racun kalong setan.”Kartasura menggertakkan gigi, mengepal tangan kuat-kuat. Ia memacu kelelawarnya untuk terbang lebih cepat. Tatapannya mengedar ke sekeliling dan terkejut ketika kawanan pasukan kelelawarnya memberi tahu pergerakan dari Argaseni, Brajawesi, Wulung serta pasukan mereka ke arah Jaya Tonggoh.“Ini gawat!” Kartasura mendengkus kesal, memelotot tajam dan tak lama setelahnya tersenyum. “Jika aku tidak bisa memanfaatkan kedatangan mereka denga
“Dinding apa itu sebenarnya?” gumam Argaseni dengan tatapan terkejut. Kepalan tangannya menguat di tongkatnya. “Jika dinding itu adalah dinding penghalang, kenapa dinding itu justru dapat dengan muda ditembus olehku, tongkatku dan pasukanku?”Argaseni tercenung selama beberapa waktu hingga akhirnya menyadari apa yang terjadi. “Dinding itu menghalangiku dan pasukanku untuk menuju Jaya Tonggoh dengan cara membuatku dan pasukanku terus berputar-putar di hutan ini.”Argaseni segera mengirimkan kekuatannya pada tongkatnya yang masih menempel pada dinding. Dinding menjulang itu bergetar beberapa kali, tetapi pada akhirnya kembali berdiri kokoh.Argaseni kembali menarik tongkatnya. Asap racun kalong setan masih menyelimuti tongkatnya. “Dinding itu benar-benar kokoh. Bahkan masih bisa bertahan meski sudah diselimuti racun kalong setan.”Argaseni menoleh pada pasukannya, kemudian berkata, “Kita kembali bergerak.”Argaseni dan pasukannya kembali berjalan memasuki deretan pohon di kanan, kiri da
Di alam lain, Lingga masih berkutat dengan latihan untuk menyempurnakan jurus auman harimau putih dan jurus angkat bumi. Pendekar muda itu kembali berlatih setelah kepergian Limbur Kancana hingga saat ini. Tubuhnya sudah dibanjiri keringat. Ia seperti tidak mengenal lelah dalam berlatih karena merasa memiliki kewajiban untuk bertambah kuat setiap waktunya.Lingga menarik napas dalam, mengembuskan perlahan bersamaan dengan latihan yang akan segera diakhiri. Meski berlatih terbilang sangat penting, tetapi mengistirahatkan raga juga tidak kalah penting. Bisa dikatakan jika beristirahat adalah bagian dari kebijaksaan seorang pendekar untuk bersyukur dan mencintai diri sendiri.Lingga mengamati sekeliling seraya berjalan menuju dinding gua. Waktu terasa berjalan sangat cepat. Lima tahun yang lalu ia hanya seorang pelayan di sebuah padepokan kecil, tetapi saat ini dirinya adalah seseorang yang kehadirannya sangat dinantikan dan diperebutkan. Di dinding gua itulah perjalanan panjangnya dimul
Lingga berdiri dengan tatapan mengamati kedua cahaya itu lekat-lekat hingga akhirnya kedua sinar itu lenyap. Pandangannya mengedar ke sekeliling sungai. Ada sebuah bayangan hitam yang cukup tinggi dari bayangan lain di seberang sungai.“Sepertinya ada sebuah tempat di sana.” Lingga menoleh ke arah bayangan itu dan ikan yang tengah dibakarnya bergantian. Saat akan melangkah, perutnya kembali berbunyi. “Sepertinya karena terlalu lapar aku menjadi tidak peka terhadap keadaan sekitar. Aku akan pergi ke sana untuk menyelidikinya setelah mengisi perut lebih dulu.”Lingga menghabiskan ikan bakar dan buah pisang dengan agak terburu-buru. Akibatnya, ia tersedak dan harus meneguk minuman dan memukul dadanya beberapa kali. Saat akan menyebrangi sungai, dua cahaya itu kembali muncul dan terbang ke arah kegelapab hutan di seberang sungaiLingga melompati satu per satu batu, berjalan mengikuti dua cahaya memasuki pepohonan yang menjulang tinggi. Keadaan tempat itu tidak jauh berbeda dengan keadaan
Lingga juga menyadari jika pengkhianatan Wira dan kebenciannya pada Kartsura membuatnya gelap mata dan hati. Kebencian itu berubah menjadi dendam yang menggerus kesucian hatinya. Di saat yang sama, rasa sakit hati akibat amarah yang sempat dilontarkan ketiga teman padepokannya belum sepenuhnya bisa dibayar dengan kata maaf.Lingga memahami jika kesucian hati dan ketenangan jiwa adalah kunci untuk menjangkau kekuatan sejati. Ia mengetahui hal itu dari salah satu buku yang diberikan Sekar Sari. Setelah menyadari kekhilafan itu, Lingga berusaha untuk menjernihkan hatinya, tetapi pada kenyataannya hal itu tidak semudah membalikkan telapak tangan.“Sepertinya kau sudah mengetahui apa kekuaranganmu, Lingga.” Prabu Nilakendra tersenyum. “Angkatlah kepalamu sekarang.”Lingga mendongak sesuai dengan permintaan. Ia bisa merasakan wibawa yang tinggi dari sosok yang tengah dipandangnya saat ini.“Untuk bisa mencapai tempat ini, kau harus menguatkan diri dan hatimu lebih dari siapa pun. Selain it
“Terkutuk!” maki Wintara seraya memutar tubuh ke atas. Tombak hitamnya menepis semua serangan sabit dengan gerakan cepat. Akan tetapi, empat sabit berapi itu kembali menyerang ke arahnya. “Para petinggi golongan putih itu benar-benar membuatku sangat muak!”Wintara dengan cepat melesatkan sisik-sisik ularnya. Dalam sekejap, sisik-sisik ular itu berubah menjadi pasukan siluman ular yang langsung menghadang pergerakan empat sabit berapi. Beberapa siluman ularnya seketika bertumbangan karena gagal menghindari serangan sabit.Wintara mendarat di tanah dan secara tiba-tiba tanah yang dipijaknya amblas ke dalam dengan tombak tajam yang langsung menyambutnya. Wintara berhasil mendarat di ujung tombak, lalu melompat ketika tombak-tombak itu melesat ke arahnya.Wintara berubah wujud menjadi siluman dalam wujud yang lebih kecil, melesat cepat ke arah Nilasari berada. Jebakan-jebakan yang berada di dalam tanah terus bermunculan dan menyerangnya meski tidak menimbulkan luka yang berarti.Wintara
Nilasari terdiam sesaat. “Kakang, mungkinkah selama ini kita salah menerka mengenai sosok Pendekar Hitam yang menyerang kita?”“Aku rasa tidak.” Wintara mengawasi keadaan sekeliling. “Aku bisa memastikan Pendekar Hitam yang menyerang kita tempo hari adalah Tarusbawa, terbukti dengan rantai putihnya yang sama seperti saat mengalahkan kita lima puluh tahun yang lalu.”“Lalu kenapa pendekar bernama Aditara itu berpura-pura sebagai Pendekar Hitam?” tanya Nilasari, “mungkinkah Aditara dan Tarusbawa sudah bekerja sama?”Nilasari melanjutkan, “Dan yang membuatku lebih heran, kenapa para petinggi golongan putih sama sekali tidak merasa curiga padanya? Bukankah mereka juga sudah mengetahui bahwa sosok Pendekar Hitam itu adalah Tarusbawa?”Wintara mengembus napas panjang, mengepalkan tangan erat-erat. “Lupakan hal itu untuk sekarang, Nilasari. Kita harus segera menyusul rombongan para pendekar dan tabib itu pergi. Selain itu, kita harus segera membalas perbuatan para petinggi golongan putih.”“