Pertarungan antara Kartasura dan Kolot Raga masih terus berlanjut. Keduanya bagai dua bayangan yang saling bertumbukan di udara, saling melempar jurus dan beradu kekuatan.Kartasura dan Kolot Raga saling merenggang jarak, mendarat di puncak pohon yang berhadapan. Keduanya mengawasi keadaan masing-masing.“Kakek tua itu benar-benar merepotkan.” Kartasura berdecak dengan mata memelotot. Ia melesatkan kembali kuku- kuku beracunnya dan sialnya dapat dengan mudah ditepis oleh Kolot Raga dengan pedangnya.Kartasura menoleh ke langit yang mulai menampilkan warga jingga. Ia bisa merasakan benturan kekuatan dari dua tempat berbeda. “Apa yang dilakukan Wira saat ini? Apa dia sudah berhasil menyusup ke rombongan para tabib? Pendekar tua itu sama sekali tidak memberikanku kesempatan untuk menghubungi Wira.”Di saat yang sama, Kolot Raga menyadari jika hari mulai beranjak sore, terlebih kekuatannya sudah mulai terkuras dalam menghadapi Kartasura. “Aku harus segera menyelesaikan pertarungan ini sec
Kartasura dan kelelawarnya tiba-tiba tertarik ke atas dengan sangat cepat, lalu terlempar sangat jauh dari tempat si Kolot Raga berada. Ia berusaha melepas kungkungan rantai, tetapi sialnya sangat sulit dilakukan. Kelelawarnya menghilang dan kembali ke bentuk cincin di jarinya.“Apa yang sebenarnya terjadi?” Kartasura mengerahkan kekuatannya kembali. Saat menoleh ke depan, ia tiba-tiba tercekat ketika melihat seorang pria berbaju serba hitam sudah berada di depannya. Dari telapak tangan sosok itulah kedua rantai yang melilitnya berasal.“Siapa kau?” Kartasura memelotot tajam, kembali berusaha melepas jeratan rantai. Saat mulutnya terbuka, tiba-tiba seseorang dengan pakaian serba hitam muncul dari balik seorang pendekar berbaju hitam yang sedang menjeratnya.Tarusbawa membawa Kartasura berpindah tempat dengan bantuan tiruan Limbur Kancana.“Aku berpindah tempat?” Kartasura tercengang hebat ketika melihat sekelilingnya sudah berubah. Ia bisa melihat sebuah pasukan tengah berjalan menuju
Kartasura tersenyum licik. Ia tentu tidak akan memberi tahu Argaseni bahwa para pendekar dan para tabib sudah melarikan diri dari Jaya Tonggoh, terlebih mengatakan bahwa Tarusbawa sudah memberikan ramuan penyembuh dan ramuan penawar racun kalong setan pada para petinggi golongan putih. Kabar tersebut terlalu berharga untuk dibagikan secara percuma.“Sepertinya Tarusbawa kembali ke Jaya Tonggoh untuk membantu para petinggi golongan putih.” Kartasura mendongak ke langit yang sudah diselimuti langit sore.Kartasura memanggil kembali kelelawar raksasanya, kemudian melompat ke atas punggung makhluk bersayap itu. “Tidak ada gunanya lagi aku bersama orang bodoh sepertimu, Argaseni.”“Kau!” Argaseni melompat seraya melayangkan tongkatnya yang mendadak memanjang.Kartasura pergi bersama kelelawarnya dengan cepat. Sapuan angin kuat seketika tercipta hingga mendorong tongkat Argaseni sekaligus mengenai pasukannya hingga terseret ke belakang.“Sepertinya Kartasura masih menyembunyikan sesuatu dar
“Bukan waktunya untuk terkejut,” ujar Limbur Kancana tanpa menoleh pada ketiga petinggi golongan putih di belakangnya, “kita harus segera mengalahkannya sebelum malam menjelang.”Wirayuda, Jariraga dan Tapasena saling melempar tatapan, maju beberapa langkah.Dua harimau putih yang menyerat Wintara tiba-tiba mengaum cukup keras, lalu melemparkan siluman ular itu ke atas. Melihat hal itu, Wirayuda, Jatiraga dan Tapasena segera melesat maju, tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang ada.Dua harimau putih itu tiba-tiba melompat ke atas dengan gerakan cepat. Tubuh hewan itu mendadak berubah menjadi tali-tali putih yang seketika menjerat Wintara dari kepala hingga ekor. Limbur Kancana lantas memangil kujangnya, kemudian melesatkan serangan jarak jauh.Wintara memekik kencang di saat tubuhnya terus terjerat dan melesat turun. Sekuat tenaga ia berusaha melesatkan sisik-sisik ularnya untuk melepaskan diri. Tali-tali putih itu dibuat berguncang hebat, tetapi pada akhirnya kembali mengungkung
“Bambu-bambu kuning ini berputar dengan sangat cepat,” ucap Tapasena, “apa maksud dari semua ini? Cepat katakan!”“Galih Jaya mengatakan bahwa ada seorang tabib wanita yang membuat bambu ajaib ini. Bambu berwarna hijau memiliki kemampuan untuk merasakan kehadiran racun kalong setan di sekitar kita dengan tanda bambu akan menjadi hitam, sedang bambu berwarna kuning memiliki kemampuan untuk merasakan kehadiran Wintara dan Nilasari. Bambu yang berputar-putar itu menjadi tanda jika Wintara atu Nilasari berada di dekat kita,” jelas salah satu pendekar.“Apa?” Wirayuda, Jatiraga, Tapasena, bahkan Limbur Kancana sekalipun dibuat terkejut ketika mendengarnya.“Galih Jaya memerintahkan kami untuk memberikan bambu-bambu ajaib ini pada para petinggi golongan putih. Selain itu, tabib wanita itu juga berjanji akan mengajari para tabib untuk membuat bambu ajaib ini lebih banyak.”“Dengan adanya penawar racun kalong setan dan bambu-bambu ajaib ini di tangan kita, tidak mustahil kita bisa mengalahkan
Wirayuda, Jatiraga dan Tapasena menjauh dari kubah merah setelah selesai memasang jebakan. Ketiganya sempat terkejut ketika melihat kubah sekaligus penjara bagi Wintara itu bergetar beberapa kali. Keberadaannya sempat menghilang, lalu kembali muncul.Wirayuda tercengang ketika melihat bambu berwarna hijau mulai dipenuhi oleh titik-titik hitam di beberapa bagian yang semakin bertambah banyak seiring waktu berjalan. “Gawat! Siluman itu mulai menggunakan racun kalong setan.”Jatiraga dan Tapasena menoleh pada bambu hijau yang sama-sama mulai menampilkan titik-titik hitam, kemudian membentuk sebuah noda di beberapa bagian.“Bambu ini ternyata benar-benar dapat merasakan kehadiran racun kalong setan di sekitar kita. Kita beruntung karena sudah menjauh dari kubah itu. Selain itu, kita juga beruntung karena memiliki bambu ini di tangan kita,” ujar Tapasena.“Tapi sepertinya kita akan dihadapkan pada masalah besar jika Wintara sampai bisa meloloskan diri,” sambung Jatiraga, “kita bertiga cuku
“Apa?” Kolot Raga terkejut ketika mendengar hal itu. “Bagaimana mungkin hanya dengan melihat bambu ini kalian tahu bahwa siluman ular itu sedang menggunakan racun kalong setan? Dan benda apa sebenarnya bambu-bambu ini?”Ekawira memberikan dua bambu pada Kolot Raga. “Dua Bambu ini dibuat oleh seorang tabib wanita dengan kegunaan yang berbeda. Bambu hijau mampu merasakan kehadiran racun kalong setan di sekeliling kita dengan memberikan tanda hitam pada permukaan bambu, sedang bambu kuning mampu menunjukkan keberadaan dua siluman ular itu dengan memberikan tanda bambu yang berputar. Semakin dekat jaraknya, semakin cepat pula putarannya.”“Itu benar-benar luar biasa. Dua bambu ini sangat membantu kita dalam menghadapi dua siluman ular itu,” puji si Kolot Raga.“Tapi sepertinya ini bukan waktu yang tepat untuk memuji.” Galisaka menunjuk Nilasari yang tiba-tiba bergerak maju dengan mulut terbuka lebar.Ratusan susuk hitam seketika menerjang ke arah Ekawira, Galisaka dan Kolot Raga. Ketiga
“Pendekar Hitam?” ujar Ekawira, Galisaka dan Kolot Raga bersamaan. Ketiganya kembali berkumpul dalam satu barisan, menatap penuh keterkejutan atas apa yang baru saja dilakukan Pendekar Hitam terhadap siluman ular yang sedang mereka lawan.Sisa-sisa pasukan siluman ular Nilasari mendadak menghilang bersamaan dengan dirinya yang terperangkap dalam kubah merah. Sementara itu, Nilasari mendadak menjerit bersamaan dengan usahanya untuk lepas dari jerat tali putih.“Apa yang sebenarnya terjadi?” Nilasari mendengkus kesal, menatap ke arah empat harimau yang tengah menggigit tubuhnya. “Kenapa racun kalong setan dalam tubuhku sama sekali tidak mampu menghapus kubah sialan dan harimau-harimau putih itu? Padahal aku bisa merasakan racun itu menyebar ke sekeliling kubah. Selain itu, Kekuatanku terus terisap oleh kubah ini.”Nilasari dengan susah payah menoleh pada sosok Pendekar Hitam yang baru saja mendarat cukup jauh dari tempat kubah merah berada. “Apa hubungannya dengan pendekar bernama Adita