Seisi ruangan perundingan mendadak riuh ketika melihat Wirayuda menyayat lehernya sendiri, terlebih saat darah terus memancur deras. Berbanding terbalik dengan para pendekar yang terkejut dan setengah berteriak, Wirayuda nyatanya tetap bersikap tenang dengan sorot mata tenang meski tak bisa dipungkiri jika lukanya memberikan rasa nyeri.“Apa sebenarnya tujuanmu, Wirayuda?” Galisaka mundur sebanyak dua langkah, menatap tajam Wirayuda yang masih saja tampak tenang di tengah darah yang mengalir deras. “Apa kau sudah benar-benar gila?”“Aku tidak akan tertipu oleh tipu muslihatmu!” tegas Jatiraga seraya mengarahkan pedangnya pada Wirayuda.“Hentikan tindakan bodohmu, Wirayuda!” Ekawira ikut berbicara, perlahan mendekat dengan tatapan mengunci pada Wirayuda. “Kau benar-benar membuatku sangat muak!”“Pertemuan ini benar-benar menjadi lebih menarik,” ujar Tapasena yang keluar dari kungkungan kursi, menatap dalam sorot mata Wirayuda, berusaha mencari kebohongan dan keraguan di sana. Ia mendad
Galisaka, Jatiraga dan Ekawira menerima pisau-pisau itu dengan tatapan tak percaya. Amarah ketiganya kembali meluap dan hampir saja meledak karena Wirayuda terus membuat keadaan mereka bertambah sulit. Galisaka, Jatiraga dan Ekawira tiba-tiba saja mengarahkan pedang pada leher Wirayuda secara bersamaan. Di luar dugaan, mereka sama sekali tidak melihat Wirayuda menjauh dari tempatnya selangkah pun atau berkedip pertanda terkejut. Suasana di dalam ruangan menjadi semakin tegang. Ketiga petinggi golongan putih dari wilayah tengah hanya diam menyaksikan peristiwa tersebut, termasuk para pendekar. Di atap bangunan, Limbur Kancana tak bisa menghilangkan senyum yang muncul sejak Wiyaruda menyayat lehernya. Kekecewaannya mendadak sirna dan si saat yang sama ia yakin untuk memberikan ramuan penawar racun kalong setan itu pada pendekar golongan putih. Ia hanya tinggal menunggu keputusan dari Galisaka, Jatiraga dan Ekawira. “Pedang ini akan menebas lehermu jika kau berani mengkhianatiku!” Gal
“Jadi kau adalah sosok Pendekar Hitam yang terkenal itu. Akhirnya aku bisa bertemu denganmu,” ujar Kolot Raga dengan tatapan mata terkunci pada Limbur Kancana, “kau memiliki ilmu kanuragan yang paling tinggi dari siapa pun di tempat ini. Dengan kekuatanku sekarang, tampaknya aku tidak akan bisa mengalahkanmu.”Tapasena dan Baktijaya ikut tercengang saat melihat sosok Pendekar Hitam yang seringkali disebut oleh para pendekar. Salah satu tujuan mereka datang ke tempat ini tidak lain adalah untuk bertemu dengannya. Sesuai dengan perkataan Kolot Raga barusan, sosok Pendekar Hitam yang mereka lihat merupakan pendekar terkuat di tempat ini. Limbur Kancana melirik satu per satu tiga petinggi golongan putih wilayah tengah itu, kemudian mengangkat sedikit dagu dengan kedua tangan yang menurunkan dua kendi.Wirayuda memberi tanda dengan gerakan tangan. Semua pendekar kembali duduk di tempat semula dalam waktu singkat, sedang Limbur Kancana masih berada di tempat yang sama, di tengah-tengah p
Limbur Kancana sendiri sudah mendengar kabar tersebut dari Tarusbawa, ditambah ia sudah memegang kendi berisi para korban yang gagal menjadi siluman ular, termasuk memegang kendi yang berisi siluman ular yang merupakan bawahan Wintara dan Nilasari. Namun, ia tidak menyangka jika para petinggi golongan putih justru terlambat mengetahuinya.“Apa ada lagi kabar yang ingin kau sampaikan, Galih Jaya?” Wirayuda bertanya dengan raut berubah sedikit tegang. “Beberapa tempat penjagaan tiba-tiba diserang oleh pasukan Wintara dan Nilasari sehingga kabar mengenai hal ini sempat terkendala. Saat ini, pendekar yang menjadi saksi Wintara dan Nilasari mengubah para pendekar menjadi siluman ular baru tiba di Jaya Tonggoh bersamaku. Dia sedang berada dalam pengobatan para tabib. Setelah dia sadar, aku dan pasukanku akan bertanya padanya untuk mengetahui kabar lebih lanjut.”“Lalu bagaimana dengan tim pencarian Wintara dan Nilasari yang kau pimpin, Galih Jaya?” Wirayuda bertanya kemudian.“Mereka sud
Pemuda pewaris kujang emas menjadi kalimat yang mendadak banyak dibicarakan oleh pendekar di tempat ini. Kemunculannya tiba-tiba menghilangkan keterkejutan dari rentetan kabar yang diberikan oleh sosok Pendekar Hitam, padahal sangat jelas sekali jika berita mengenai penyerangan yang bisa kapan saja terjadi menjadi hal yang harus diutamakan saat ini.“Tepat seperti yang ada dalam pikiranku.” Kolot Raga menanggapi ucapan Tapasena dengan raut serius. Tatapannya beralih pada Limbur Kancana. “Aku sangat penasaran dari mana kau mengetahui bahwa anggota Cakar Setan dan pasukannya sedang menuju wilayah Jaya Tonggoh, Pendekar Hitam?”Limbur Kancana masih diam di tempat yang sama, melirik si Kolot Raga sekilas. Si pendekar berjenggot panjang itu nyatanya cukup cermat dalam memahami perkataannya sehingga mampu menyimpulkan dengan cepat.Limbur Kancana membalas dengan tenang, “Kalian tidak perlu tahu bagaimana aku mengetahui hal tersebut. Aku hanya memiliki kewajiban untuk memberi tahu pergerakan
Limbur Kancana tiba-tiba melemparkan kendi berisi penawar racun kalong setan pada Wirayuda. Semua yang melihat gerakannya mendadak tercekat untuk sesaat.“Ternyata kau memiliki banyak kendi yang menarik, Pendekar Hitam.” Si Kolot Raga kembali duduk di kursi. “Kali ini apa yang kau berikan pada kami?”“Kendi itu berisi ramuan penawar racun kalong setan yang kalian butuhkan,” ujar Limbur Kancana dengan tatapan serius, “jangan sampai aku menyesal karena aku sudah memberikan penawar berharga itu pada kalian.”Semua pendekar yang berada di dalam ruangan seketika terkejut, mengamati kendi yang berada dalam genggaman Wirayuda lekat-lekat. Satu per satu dari mereka berdiri, menatap kendi, Wirayuda dan Limbur Kancana bergantian. Wajah mereka menunjukkan ketidakpercayaan yang sangat kentara.“Bagaimana mungkin kau ….” Galisaka buru-buru memutuskan kata-katanya.“Apa yang akan kau lakukan saat ini, Wirayuda?” tanya Kolot Raga.Semua perhatian kembali tertuju pada Wirayuda. Suasana berubah menjad
Perundingan terus berjalan meski tanpa kehadiran sosok Pendekar Hitam. Para petinggi golongan putih dan perwakilan pendekar dari dua wilayah sedang merancang sebuah rencana untuk bertahan dari gempuran serangan yang dilancarkan Wintara, Nilasari dan pasukannya di tengah penawar racun kalong setan yang masih belum bisa dipelajari oleh para tabib dan ramuan pemusnah siluman yang tidak bisa lagi menghadang serang siluman-siluman ular itu.Selain itu, mereka disibukkan dengan cara melindungi warga yang bisa saja menjadi sasaran amukan Wintara, Nilasari dan pasukan siluman ularnya. Permasalahan lain yang harus segera diatasi adalah bagaimana cara mengembalikan keadaan para pendekar yang sudah menjadi siluman kembali ke keadaan semula.Selain bertarung dengan Wintara, Nilasari serta pasukannya yang didukung oleh Bangasera, para pendekar golongan putih juga sedang bertarung dengan waktu yang semakin menipis. Jika dalam waktu dekat mereka tidak ditemukan cara atau langkah yang tepat, sudah di
Galih Jaya kembali mengacungkan pedang ke atas. Dalam waktu cukup singkat, para tabib kembali diam, menghadap ke depan. Sekar Sari mundur perlahan hingga akhirnya kembali berada di barisan paling belakang.“Ada kabar lain yang harus aku sampaikan pada kalian.” Galih Jaya menjeda sejenak, mengamati para tabib di dekatnya. Tanpa sengaja, tatapannya tertuju pada Sekar Sari yang berada di barisan paling belakang. Alisnya sedikit tertekuk karena melihat gadis itu sedang termenung dengan dua buah kendi dalam genggamannya hingga abai dengan perkataannya.“Kau, tabib berselendang merah,” tunjuk Galih Jaya dengan pedangnya ke arah Sekar Sari, “apa yang sedang kau lakukan?”Semua tabib seketika menoleh ke belakang, mengamati Sekar Sari, kemudian saling berbisik. Barisan mereka terbagi menjadi dua bagian saat Galih Jaya berjalan ke belakang.“Kenapa kau tidak memperhatikanku?” Galih Jaya berkata dengan suara agak keras.Sekar Sari seketika menoleh ketika merasa diperhatikan oleh semua orang. Gad