“Aku pasti akan membunuh siapa pun yang berani melakukan ini padaku!” Brajawesi segera melayangkan kapak merahnya ke arah kedua rantai putih itu. Kedua senjata itu kembali berbenturan hingga mencipta angin kuat yang berembus ke sekeliling. Para pendekar yang terikat rantai dibuat terombang-ambing ke kiri dan kanan.Brajawesi mengepal tangannya kuat-kuat. Kapak merahnya mendadak menyerat dua rantai itu ke arahnya sehingga kuncian rantai pada para pasukannya mengendur. Ia segera melesat cepat ke arah pasukannya yang masih terkunci rantai, kemudian menghimpun kekuatan hingga tanduknya mendadak membesar.Tarusbawa yang menyadari hal itu segera menghilangkan kedua rantainya. Ia kemudian mengentak kedua tangan ke atas, lantas melesatkannya kembali ke bawah dengan cepat.Brajawesi terkejut ketika rantai itu tiba-tiba menghilang di tengah kepalanya yang sudah berada sangat dekat dengan pasukannya yang terkurung barusan. Karena tak mampu menghindar, pasukannya seketika terpental ke belakang d
Tarusbawa melompat ke puncak pohon yang berhadapan langsung dengan Wulung yang tengah tersenyum angkuh padanya. Ia memperhatikan pendekar bekulit hitam legam itu lekat-lekat, menjentikkan jari di belakang punggung.“Dia pastilah pendekar yang bernama Wulung,” gumam Tarusbawa dengan tatapan menyelidik, “anggota Cakar Setan yang paling kuat di antara yang lain.”Wulung terkekeh seraya mengayun-ayunkan tali cambuknya. “Aku tidak pernah menyangka jika kau akan muncul dengan sendirinya di hadapanku setelah selama bertahun-tahun lamanya aku mencarimu, Tarusbawa. Ini pastilah hari keberuntunganku. Apakah kau bersiap untuk mati?”Wulung tersenyum bengis, menatap penuh selidik. “Wajahmu sepertinya sangat buruk hingga kau tidak ingin seorang pun melihatnya. Tapi itu bukan masalah bagiku. Hal yang terpenting bagiku saat ini adalah kepalamu.”Tarusbawa melesatkan tombak perak ke arah pasukan Wulung dengan gerakan senyap.Wulung berdecak, memelotot tajam karena merasa diabaikan. “Aku pastikan aku
Tali pecut Wulung berhasil mengikat tombak perak Tarusbawa seutuhnya, lalu bergerak cepat ke tangan Tarsubawa.“Kena kau, Tarusbawa!” Wulung terkekeh saat mendarat di salah satu puncak pohon, lantas dengan entakkan kaki kuat kembali melesat ke arah Tarusbawa seraya mengalirkan kekuatannya pada tali pecutnya. “Bersiaplah untuk—”Wulung tercengang ketika Tarusbawa mendadak menghilang, dan tak lama setelahnya tombak peraknya ikut lenyap. Wulung terkekeh setelahnya, terlebih ketika tali pecutnya kembali bergerak ke suatu arah. Dari tempatnya saat ini, ia bisa melihat sekelebat bayangan bergerak di antara rimbunnya dedaunan.Wulung kembali menarik dirinya untuk mengikuti tali pecut yang terus bergerak mengejar Tarusbawa. Dalam waktu singkat ia sudah berada di dekat salah satu pendekar Sayap Putih itu. Kedua kakinya mengentak dahan pohon dengan kuat hingga patah, lalu melesat dengan satu tangan yang mendadak membesar.Wulung memberi pukulan jarak jauh ke arah Tarusbawa, disusul dengan tali
Tarusbawa melompat jauh seraya memutar tubuh ke belakang. Ia merasakan getaran dahsyat dan sapuan angin kencang yang menyebar dari tempat batu besar itu menimpa Wulung, disusul suara dentuman keras. “Masih ada dua orang lagi yang harus aku hambat pergerakannya saat ini.”Tarusbawa menoleh singkat pada tiruan Limbur Kancana yang mendekat ke arahnya. Ketika mendaratkan tangan pada tiruan itu, ia sudah berada di tempat yang berbeda. Keduanya kembali muncul di sebuah hutan yang di sisi kirinya terdapat sebuah sungai yang membentang panjang, memisahkan dua kumpulan pepohonan.Tarusbawa mengamati keadaan sekeliling dengan saksama. “Aku sama sekali tidak merasakan kehadiran seorang pendekar pun di tempat ini.”Tarusbawa melompat ke sisi sungai, membuka kain yang menutup hampir semua bagian wajah, kemudian mengamati pantulan dirinya di air yang mengalir tenang. Ia kembali mengawasi keadaan sekeliling seraya menajamkan seluruh indranya. Akan tetapi, masih tidak ada tanda-tanda keberadaan pasuk
Tarusbawa segera menyamakan langkah kaki, berlari bersisian dengan tiruan Limbur Kancana. Ia kembali mengawasi keadaan sekeliling, menatap tajam ke depan. Hawa keberadaan dua pendekar yang sempat dirinya rasakan semakin kuat dari waktu ke waktu.Tarusbawa dan tiruan Limbur Kancana melompati satu per satu dahan pohon hingga akhirnya keluar dari kungkungan pepohonan saat menerobos cahaya putih. Keduanya tiba di tanah lapang di mana tak jauh dari sana berdiri sebuah gua dengan lubang yang cukup kecil. Di atas gua tersebut tumbuh sebuah pohon besar dengan alas rerumputan hijau dan akar-akar besar yang menjuntai hingga ke mulut gua.Tiruan Limbur Kancana tiba-tiba mendekat ke arah mulut gua, terpejam dengan kedua tangan menyatu di depan dada. Sementara itu, Tarusbawa kembali menemukan patahan pedang, busur panah dan tombak yang berserakan di sekeliling. Selain itu, keadaan tanah tampak berlubang dan retak di beberapa tempat.“Apakah di tempat ini pernah terjadi pertarungan sebelumnya?” tan
Tarusbawa tidak langsung menjawab pertanyaan tersebut. Pendekar itu lebih dahulu memperhatikan Indra dan Arya bergantian, lalu memusatkan perhatian pada gerakan tangan yang kedua pendekar muda itu saling berikan. “Aku adalah Tarusbawa, sahabat Limbur Kancana,” ujar Tarusbawa. Anggukan dan gerak-gerik dari tiga tiruan Limbur Kancana membuatnya yakin untuk memperkenal diri pada kedua pendekar muda di depannya, terlebih kedua pendekar itu mengetahui siapa pemilik ketiga tiruan yang berada di dekatnya.Indra dan Arya sontak terhenyak saat mendengar nama itu disebut. Keduanya kembali mengamati Tarusbawa dari atas hingga bawah, saling melirik satu sama lain, kemudian mundur beberapa langkah. Mereka menoleh pada tiruan Limbur Kancana untuk mencari jawaban. Namun, meski ketiga tiruan itu memberi anggukan, Indra dan Arya tidak lantas langsung percaya.“Kalian berdua tampaknya mengetahui sesuatu mengenai pendekar yang bernama Tarusbawa yang tidak lain adalah aku sendiri.” Tarusbawa berjalan me
“Saat kami meninggalkan tempat persembunyian kami tadi malam, Guru Ganawirya dan rekan-rekan kami masih bertahan di tempat persembunyian terakhir, Tuan Guru,” jawab Indra.“Apa itu berarti Kartasura berada di tempat itu?” Tarusbawa bertanya dengan nada dingin.“Kartasura dan adiknya yang bernama Wira sudah pergi ke Jaya Tonggoh dari semalam, Tuan Guru. Akan tetapi, mereka mengerahkan pasukannya untuk tetap melakukan penyerangan terhadap guru Ganawirya dan rekan-rekan kami. Sampai saat ini, kami belum mengetahui kabar mengenai mereka.”“Pergi ke Jaya Tonggoh?” Tarusbawa menoleh sesaat pada ketiga tiruan Limbur Kancana, kemudian kembali menatap Indra dan Arya yang tampak kelelahan. “Apa yang akan kalian lakukan setelah berhasil memberikan dua ramuan itu pada Limbur Kancana?”“Kami diperintahkan untuk membantu Kakang Guru selama kami berada di Jaya Tonggoh.” Giliran Arya yang berbicara.Salah satu tiruan Limbur Kancana tiba-tiba menengadahkan tangan ke arah Indra dan Arya. Mengerti maksu
Meswara dan Jaka terpaksa mundur ketika serangan mereka dapat dihadang oleh beberapa pasukan pendekar golongan hitam. Keduanya sudah sangat kelelahan karena hampir terjaga selama semalaman, terlebih mereka sempat terkena racun kalong setan dan bertarung dengan salah satu siluman meski masih bisa disembuhkan dengan penawarnya.Sementara itu, Ganawirya masih beradu kekuatan dengan Danuseka. Serangan keduanya saling berbenturan hingga menimbulkan getaran kuat di sekeliling gua. Kedua pendekar berbeda aliran itu dengan cepat saling merenggangkan jarak, mendarat di dinding gua. Tak lama setelahnya, kaki mereka mengentak dinding hampir bersamaan, lalu melesat ke titik yang sama.Akan tetapi, ketika jarak di antara mereka nyaris menghilang, dua rantai putih tiba-tiba muncul dan langsung menyekap Danuseka serta seluruh pasukan pendekar golongan hitam yang ada di dalam gua, termasuk yang sudah tumbang sekalipun. Ganawirya, Meswara dan Jaka terkejut ketika melihat hal itu, terlebih ketika me
Langit sore berubah gelap, pertanda malam yang panjang akan tiba. Terlihat titik kecil yang terhampar luas di atas, ditambah bulan yang nyaris sempurna. Angin berembus kencang, menggoyangkan daun ke kiri dan kanan. Beberapa buah berjatuhan dari tangkai, menjadi makan malam untuk beberapa hewan. Para murid mulai keluar dari gubuk masing-masing, berjalan menuju ruangan makan, bergerombol. Mereka saling berbincang dan tertawa.Lingga keluar dari gubuk, tersenyum saat angin berembus. “Semua persiapanku sudah selesai. Aku harus menikmati malam ini dengan baik karena malam besok adalah hari ujianku. Aku merasa sangat tegang sekarang.”Panji Laksana muncul dari pintu yang terbuka, menutup pintu. Ia melihat para murid yang berjalan beriringan menuju ruangan makan. “Pemandangan ini sangat luar biasa untukku. Sejak dahulu, aku ingin merasakan menjadi murid padepokan.”Lingga menoleh sesaat, menuruni tangga. “Padepokan ini adalah tempat yang menyenangkan. Selain belajar untuk menjadi seorang pe
Panji Laksana dan Saraswati seketika berdiri dan membungkuk hormat ketika melihat kemunculan Tarusbawa. Lingga berdiri di belakang Tarusbawa, mengamati Ganawirya, Limbur Kancana, Sekar Sari, dan dua sosok asing yang membungkuk hormat pada Tarusbawa. “Siapa mereka? Aku baru pertama kali bertemu dengan mereka. Mereka terlihat kuat.” Panji Laksana dan Saraswati kembali berdiri tegak, menoleh pada Lingga. Keduanya saling melirik sesaat, memberi salam penghormatan untuk Lingga. “Aku Panji Laksana. Aku merasa bangga bisa bertemu dengan pemuda pewaris kujang emas,” ujar Panji Laksana. Saraswati menunduk malu, menyembunyikan pipinya yang memerah. “Pemuda itu memang sangat tampan sesuai dengan perkataan orang-orang,” gumamnya. Saraswati berdeham saat Panji Laksana menyikutnya. “Aku Saraswati. Aku juga merasa bangga bisa bertemu denganmu.” Lingga membalas salam dua saudara kembar itu. “Namaku Lingga. Senang bertemu dengan kalian. Aku harap kita bisa berteman dengan baik.” Sekar
Lingga segera mendekati Tarusbawa. “Guru, apa kau baik-baik saja?” Tarusbawa seketika berjongkok, menahan rasa panas dan sesak yang semakin menjalar di dadanya. Ia sontak terdiam saat mendengarkan ucapan seseorang. Sebuah cahaya merah seketika terlihat di dada Tarusbawa, bergerak beberapa kali. “Guru.” Lingga mengamati cahaya itu saksama, melompat mundur saat cahaya itu keluar dari dada Tarusbawa. “Cahaya merah apa itu?” Cahaya itu mengelilingi Lingga selama beberapa kali, terbang ke langit, kemudian perlahan turun hingga berhadapan dengan Lingga. Tak lama setelahnya, cahaya itu berubah menjadi sosok Prabu Nilakendra. “Prabu.” Lingga segera memberikan salam penghormatan. “Kau sudah menunjukkan perjuangan hingga sampai di titik ini. Dengan munculnya mustika merah ini dari Tarusbawa, maka waktu ujianmu akan segera dimulai,” ujar Prabu Nilakendra sembari menunjukkan sebuah benda bulat bercahaya merah di tangannya. “Waktu ujianku sudah dimulai?” “Aku ingin mengingatkanm
“Baik, Guru.” Sekar Sari mengangguk.“Indra, antarkan Panji Laksana ke ruangan kalian. Dia juga akan tinggal bersamamu dan yang lain mulai sekarang,” ujar Ganawirya.Panji Laksana mengikuti Indra. Kedua pemuda itu menghilang saat melewati beberapa gubuk. Suasana masih terasa canggung, apalagi bagi Sekar Sari dan Saraswati yang saling mengamati satu sama lain.Sekar Sari dan Saraswati berjalan menuju gubuk para wanita, sedangkan Meswara, Jaka, dan Arya masih berada di depan gubuk saat Ganawirya memberi perintah pada mereka.Sekar Sari melirik Saraswati berkali-kali. Kepalanya penuh dengan pertanyaan saat ini. “Hanya dengan melihat matanya saja, dia pastilah gadis yang sangat cantik. Aku melihat Kakang Indra dan yang lain juga terpana saat melihatnya.”Saraswati mengamati keadaan sekeliling. “Padepokan ini sangat tenang dan menyenangkan. Aku menyukai tempat ini.”Sekar Sari berhenti di depan sebuah gubuk, menaiki undakan tangga kecil, membuka pintu. “Ini adalah gubuk tempat tinggalku. A
Panji Laksana mengangguk. “Aki kami, Sanjaya, memerintahkan kami berdua untuk menemui kalian bertiga atau salah satu dari kalian bertiga. Aki ingin memberi tahukan soal keberadaannya pada kalian. Beberapa bulan lalu setelah kami melihat dan merasakan kekuatan pusaka kujang emas, Aki mengingat semua kembali ingatannya yang telah hilang.”“Bangkitnya pusaka kujang emas terjadi untuk ketiga kalinya. Terakhir kali saat kami, pasukan pendekar golongan putih, melawan dua siluman kembar dan para pendekar golongan hitam. Lingga mengurung mereka di Jaya Tonggoh,” ujar Tarusbawa. Panji Laksana memberikan sebuah pisau pada Tarusbawa. “Aki memerintahkan kami untuk memberikan pisau ini pada pemuda pewaris kujang emas. Pisau itu adalah kunci untuk memasuki Nusa Larang, tempat di mana Aki dan kami berada selama ini. Saat pisau itu bersinar, maka saat itulah waktu yang tepat bagi si pewaris kujang emas untuk menemui Aki.”Tarusbawa mengambil pisau itu, mengamati saksama. “Lingga sedang berlatih saat
Atap-atap gubuk mulai terlihat saat Panji Laksana dan Saraswati keluar dari kungkungan pohon. Mereka melihat sebuah ari terjun dan sungai yang mengalir jernih. Begitu memasuki padepokan, mereka mendapati beberapa murid dan tabib yang tampak hilir mudik.Panji Laksana dan Saraswati mengamati keadaan sekeliling. Beberapa murid melihat kedatangan mereka dengan tatapan bertanya-tanya, saling berbisik-bisik.“Aku sudah lama tidak melihat sebuah padepokan, Kakang.” Saraswati tersenyum saat melihat beberapa gadis tampak berbondong-bondong menuju sebuah tepat.“Kau tampaknya menyukai tempat ini, Saraswati.” Panji Laksana mengamati beberapa pemuda seusianya yang beriringan menuju arah utara.“Tentu saja aku menyuai tempat ini, kakang. Sejak kecil, kita hidup bersama Aki di tempat rahasia yang tidak dimasuki oleh orang-orang. Kita hanya bisa melihat mereka dari jarak jauh. Aku sejujurnya ingin seperti gadis lainnya.”“Semua yang Aki perintahkan semata-mata untuk melindungi kita, Saraswati.”“Ak
Ganawirya menoleh pada Jaka sesaat. “Jaka, kau dan yang lain harus ikut bersama kami ke sisi Lebak Angin. Aku dan Raka Limbur Kancana akan menunggu kalian di sana.”Jaka mengangguk meski masih bingung dengan keadaan yang terjadi. “Aku mengerti, Guru. Aku dan yang lain akan segera pergi secepatnya.”Ganawirya dan Limbur Kancana segera menghilang dari gubuk.Jaka bergegas keluar dari gubuk, mengamati keadaan sekeliling. Ia melompat ke atap gubuk, bersiul beberapa kali.Sekar Sari berhenti meramu obat sesaat, menoleh saat melihat beberapa bayangan berkelebat sangat cepat di langit. “Aku melihat Kakang Indra dan Kakang Meswara berlari menuju gubuk Guru. Apa sudah terjadi sesuatu?”Sekar Sari berlari menuju luar gubuk setelah menyimpan ramuan ke lemari. Gadis itu terdiam saat melihat Indra dan yang lain bergerak sangat cepat. “Sepertinya memang sudah terjadi sesuatu. Tapi, kenapa mereka tidak memberi tahuku?”Sekar Sari bergegas menuju gubuk Ganawirya, mengintip keadaan di dalam ruangan me
“Kalian bukankah anggota rombongan pengantar bahan baku dan makanan ke Lebak Angin. Kalian adalah pendekar,” ujar si pemimpin pendekar. Panji Laksana dan Saraswati turun dari kuda, mengamati para pendekar yang masih mengelilingi mereka. “Katakan siapa kalian dan tujuan kalian. Jika kalian tetap tutup mulut, kami akan bertindak kasar pada kalian!”“Tunggu, Kisanak. Kami memang bukanlah anggota rombongan, tetapi kami bukanlah orang jahat. Kami ingin pergi ke Lebak Angin untuk bertemu dengan pendekar bernama Ganawirya. Kami memiliki pesan penting,” kata Panji Laksana. “Kalian masih belum menjawab pertanyaan kami. Siapa kalian?”“Aku Panji Laksana dan gadis ini adalah adik kembarku, Saraswati. Kami berasal dari wilayah yang bernama Nusa Larang.” “Nusa Larang?” Para pendekar saling bertatapan sesaat, berbisik-bisik. “Periksa mereka sekarang juga!”Satu pendekar pria segera memeriksa Panji Laksana, dan seorang pendekar wanita bergegas mendekati Sarawati. Keduanya melakukan pemeriksaan
Langit tampak sangat cerah. Kawanan burung bergerak ke arah timur. Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan. Beberapa tupai terlihat berada di sebuah dahan pohon, mengamati seorang pemuda yang tengah duduk di atas sebuah batu.Pemuda itu tidak lain adalah Lingga. Tak lama setelah tiba di tempat ini, ia segera berlatih. Tarusbawa memperhatikannya dari puncak pohon, tidak berkata apa pun.Lingga tiba-tiba melompat ke langit, melakukan gerakan pemanggil kujang emas. Begitu pusaka itu muncul dan berada di tangannya, beberapa hewan dengan segera menjauh.Lingga mendarat di sungai, mengambang di atas aliran air yang tenang. Begitu matanya terbuka, kakinya mengentak air dan melesat ke arah depan. Air seketika memercik ke sekeliling. Pemuda itu menggerakkan kujang ke kiri dan kanan.Tarusbawa duduk bersila, memejamkan mata, berusaha menghubungi sosok pendekar Sayap Putih bernama Sanjaya. Akan tetapi, ia masih belum bisa terhubung dengan temannya.Matahari terus b