Kelima pendekar itu tiba-tiba menjerit ketika sisik ular yang dilemparkan Nilasari memasuki tubuh mereka. Mereka berguling-guling di tanah dengan wajah yang mulai memerah seperti kehabisan napas. Para warga yang melihatnya hanya bisa bergerak mundur dengan tatapan penuh ketakutan, sedang di saat yang sama Wintara dan Nilasari justru tersenyum.Sekujur tubuh kelima pendekar itu mendadak berubah menjadi merah kehitaman dan tak lama setelahnya berubah kaku. Nilasari mengamati kelima pendekar itu dengan tatapan tajam, menunggu selama beberapa waktu dengan perasaan tak menentu.“Apa yang kau tunggu, Nilasari?” tanya Wintara, “kelima pendekar itu sebentar lagi mati. Tubuh mereka bahkan sudah tidak bergerak lagi. Dibandingkan menunggu, sebaiknya kita segera mengisap kekuatan mereka.”Wintara maju selangkah, tetapi langsung dihalangi Nilasari.“Aku mohon tunggu sesaat lagi, Kakang.” Nilasari berbicara tanpa mengalihkan tatapan dari kelima pendekar yang sudah berkalang tanah. Gadis itu mengepa
Keenam pendekar siluman ular itu mengangguk serempak, mengentak kaki kuat-kuat, kemudian melesat cepat menuju hutan. Hanya dalam waktu cukup singkat, mereka berhasil menemukan ketiga pendekar itu.“Gawat! Kita sudah terkejar!” ujar seorang pendekar dengan tatapan tertuju ke belakang. “Pemimpin kita juga sudah berubah menjadi siluman ular.”“Kau!” tunjuk seorang pendekar yang berada paling belakang pada pendekar yang berada di depan, “bergegaslah melarikan diri. Kami berdua akan menahan mereka selama mungkin. Kau harus segera melaporkan kejadian ini pada tempat penjagaan terdekat. Kau harus memastikan jika kabar ini bisa mereka terima dengan baik.”“Ba-baiklah!” Pendekar berusia paling muda itu mengangguk setuju, mempercepat gerakannya, memilih jalur kiri untuk sampai ke tempat penjagaan. Napasnya mulai terengah-engah di mana rasa sakit di tubuhnya kembali terasa. Ia melirik ke belakang sekilas dan dengan hati yang berat terus menerobos hutan.Kedua pendekar itu tiba-tiba berhenti, men
Tarusbawa tercengang saat melihat warga yang sudah diselimuti lendir hitam berbau busuk. Salah satu anggota pendekar Sayap Putih itu bisa merasakan samar-samar hawa keberadaan Wintara, Nilasari dan pasukan siluman ularnya di tempat ini. Akan tetapi, ia kesulitan untuk bisa menemukan ke mana perginya mereka.“Kalau saja aku bisa datang lebih cepat, tentu aku bisa menyelamatkan orang-orang ini.” Tarusbawa kembali mengamati para korban yang berada di sekelilingnya. Giginya bergemelatuk saat melihat anak-anak dan bayi ikut menjadi korban. “Mereka bahkan tidak segan-segan untuk menjadikan bayi dan anak-anak sebagai korban.”“Menurut keterangan salah pendekar yang aku temui, Wintara dan Nilasari memiliki kemampuan untuk mengubah para pendekar menjadi siluman ular hanya dengan melemparkan sisik ular mereka pada para pendekar. Pendekar yang sudah menjadi siluman ular tidak bisa mengendalikan diri mereka.”“Kemampuan itu sama sekali tidak pernah mereka tunjukkan sebelumnya atau bahkan aku liha
“Menurut kabar yang beredar, pendekar golongan putih akan berkumpul di Jaya Tonggoh esok hari. Kemungkinan besar Tarusbawa akan muncul dalam perkumpulan seperti waktu perkumpulan pertama digelar. Di sisi lain, Wintara dan Nilasari juga memiliki kemungkinan untuk kembali mengacau di sana. Kita akan pergi ke Jaya Tonggoh untuk mengetahui peristiwa yang akan terjadi di sana.”“Jaya Tonggoh? Bukankah tempat itu adalah tempat di mana Raka memperoleh petunjuk untuk mengembalikan keadaanku dan Danuseka?” Wira memastikan. “Tapi tempat itu sangat jauh sekali dari tempat kita saat ini, Raka.”Wira menunduk sesaat, menoleh ke arah gua. “Jika kita pergi, lalu bagaimana dengan pengejaran yang kita lakukan sekarang? Kita tidak mungkin membiarkan Ganawirya dan murid-murid padepokan melarikan diri begitu saja setelah kita tahu mereka berada di kawasan ini. Bagaimanapun juga mereka pasti mengetahui di mana keberadaan Lingga dan Limbur Kancana saat ini, Raka.”“Kau tenang saja, Wira.” Kartasura menoleh
Empat pendekar yang sejak tadi mengintip Kartasura, Wira, Danuseka dan pasukan pendekar golongan hitam dari empat tempat berbeda bergegas meninggalkan tempat semula, berlari menuju jalan setapak, lalu bertemu di sebuah lorong panjang. Keempat pendekar itu berbincang mengenai apa yang dilihat dan didengarnya dari Kartasura, Wira dan Danuseka. Beruntung mereka menggunakan sebuah ramuan khusus yang mampu menghilangkan hawa keberadaan dan bau mereka sehingga tidak bisa diketahui musuh.Keempat pendekar yang tidak lain adalah Indra, Meswara, Jaka dan Arya berlari menuruni tangga berbatu, kembali melewati lorong panjang dan berkelok-kelok hingga akhirnya tiba di sebuah tempat lapang dengan sebuah kolam kecil yang berada di ujung kanan. Sinar rembulan cukup untuk menerangi keberaan Ganawirya dan para murid padepokan. “Guru,” ujar Indra seraya mendekati Ganawirya yang tengah duduk bersila di atas sebuah batu. Meswara, Jaka dan Arya mengikutinya dari belakang.Ganawirya membuka mata, berdiri
Perjalanan yang ditempuh para murid padepokan cukup panjang dan memakan waktu tidak sebentar. Mereka harus bertarung dengan rasa letih, kantuk dan ketakutan di saat bersamaan. Sesekali terasa getaran kuat yang menjalar ke dinding, atap dan tanah gua. Meski begitu, perjalanan tetap dilanjutkan hingga mereka tiba di sebuah tempat yang cukup lapang.“Kita akan beristirahat sebentar di sini,” ujar Indra pada para murid, “jebakan yang sudah kita buat di sepanjang jalan akan menjadi hambatan yang akan menyita waktu musuh. Gunakan waktu ini untuk memulihkan diri dan persiapan untuk melanjutkan perjalanan.”Para murid segera menyebar ke sekeliling tempat, menyeka keringat yang sudah menyelimuti hampir seluruh tubuh. Wajah letih mereka tampak kentara. Meski begitu mereka seakan dipaksa untuk tetap terjaga dan waspada.“Indra, Meswara, Jaka, Arya, ikuti aku,” perintah Ganawirya seraya berjalan memasuki sebuah ruangan. Ia mengintip beberapa murid yang tengah melihat kepergiannya. Keempat pendeka
Para pendekar dan para tabib berhasil memasuki wilayah Jaya Tonggoh saat waktu akan menyentuh pagi. Kentungan ditabuh keras-keras sehingga membangunkan warga lebih awal dari biasanya. Beberapa pendekar tampak memacu kuda lebih cepat melewati bangunan-bangunan warga, menimbulkan suara yang saling sahut-menyahut dengan kokok ayam hutan.Dari kejauhan, kerumunan para pendekar dan tabib tampak beriringan, memanjang seperti tengah merayakan sebuah perayaan. Para warga bergegas keluar rumah, menunggu di sisi jalan. Mereka saling berbisik-bisik ketika melihat rombongan pendekar dan tabib mulai memasuki perkampungan Jaya Tonggoh.Para pendekar yang bertugas mengamankan perjalanan para pendekar dan para tabib dari wilayah tengah bergegas memberikan kabar menyeluruh mengenai kejadian yang terjadi semalam pada pendekar yang berada di bangunan utama. Kabar tersebut terus disampaikan hingga sampai ke telinga Wirayuda.“Kita akan segera membahas hal ini dengan para petinggi golongan putih dalam per
“Memangnya apa yang sudah terjadi, Paman?” Lingga langsung menghadap Limbur Kancana, mulai menerka-nerka apa yang terjadi sebenarnya. Pikirannya menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pasukan-pasukan itu adalah pasukan anggota Cakar Setan yang bergerak ke Jaya Tonggoh untuk mencari keberadaannya.“Paman.” Lingga menatap Limbur Kancana lekat-lekat. Saat baru menoleh ke arah Jaya Tonggoh, tiba-tiba saja tubuhnya terdorong ke depan, hampir memasuki sebuah lubang putih yang mendadak muncul di depannya. “Lubang ini … mungkinkah ….”“Paman ….” Lingga menahan tubuhnya sekuat tenaga dengan mencengkeram tangan dan mengaitkan kaki di pinggiran lubang putih.Limbur Kancana tanpa ampun menendang bokong Lingga hingga pemuda itu memasuki lubang putih yang akan mengantarnya ke alam lain.“Paman!” teriak Lingga saat tubuhnya melesat cepat memasuki lubang putih.“Jangan pernah kembali sebelum aku memberikanmu tanda untuk kembali, Lingga!” Limbur Kancana segera menghimpun kekuatan untuk kembali pintu