Wintara mendongak saat melihat tiga kendi yang berada di atasnya hancur berhamburan, lalu menumpahkan cairan ramuan pemusnah siluman ke arahnya. Ia secara sekilas melihat beberapa pendekar yang bergerak cepat di antara pepohonan.“Kakang!” teriak Nilasari begitu api besar tiba-tiba muncul di atas Wintara. Saat akan mendekat, gadis itu justru terlempar ke belakang karena terjangan angin dan api hingga tubuhnya menabrak dahan pohon.“Manusia-manusia terkutuk!” maki Nilasari ketika tubuhnya merosot hingga rebah di tanah. Gadis itu tercengang saat melihat api sudah berkobar besar di depannya. Ia menoleh ke kiri dan kanan, mencari keberadaan Wintara. “Kakang!”Nilasari dengan cepat berdiri, berusaha mendekat, tetapi tubuhnya kembali ditarik mundur karena rasa panas yang mendera. Gadis itu melompat ke atas dahan pohon. Sialnya, api merembet dan terus menjalar ke arahnya, terlebih bau ramuan pemusnah siluman itu membuat semua indra-indranya menumpul dan kepalanya pening.“Kakang!” Nilasari t
“Bukankah Bangasera mengatakan jika dengan racun kalong setan itu kekuatan para siluman akan bertambah berkali-kali lipat? Jika dengan membiarkan racun kalong setan itu menyelimuti tubuh kita, kita bisa bertambah kuat, lalu bagaimana jika kita menyesap dan menelannya? Aku tahu jika ada bebatuan di dalam kendi racun kalong setan itu. Selain itu, racun kalong setan juga memiliki kemampuan untuk menyingkirkan dampak atau khasiat dari ramuan apa pun.”Wintara menyimak saksama.“Bagaimana jika kita mencobanya sekarang, Kakang? Aku yakin cara ini akan berhasil.”“Menyesap dan menelan racun kalong setan?” ulang Wintara.“Benar, Kakang. Dengan adanya racun kalong setan di tubuh kita, kita bisa menjadi lebih kuat tanpa takut pada ramuan apa pun atau pendekar manapun. Itu sama saja membawa racun kalong setan setiap waktu.” Nilasari meyakinkan.“Tapi, kita tidak tahu apa yang akan terjadi kita ketika benar-benar menyesap dan menelannya, Nilasari. Setahuku, tidak pernah ada yang pernah melakukann
“Katakan, kenapa kau bisa berada di sungai dalam keadaan yang hampir tewas,” pinta Wintara dengan tatapan tajam tertuju pada Bedung.“Aku mendapat luka fatal setelah aku terlibat dalam pertarungan dengan Wulung dan pasukannya. Hanya sedikit dari teman-temanku yang berhasil selamat dan melarikan diri, sedang sisanya harus tewas merengang nyawa. Karena lukaku bertambah parah, teman-temanku justru membuangku ke sungai agar aku tewas dan tidak merepotkan mereka, padahal aku mati-matian berusaha menyelamatkan mereka saat penyerangan terjadi,” jelas Bedung dengan pancara dendam di bola mata.“Wulung? Siapa dia?” tanya Wintara.“Wulung adalah salah satu anggota Cakar Setan.”“Anggota Cakar Setan?” Wintara dan Nilasari berujar bersamaan, saling menoleh, kemudian kembali menatap Bedung yang masih hanyut dalam dendam.“Bisa dikatakan Wulung adalah anggota Cakar Setan yang paling kuat di antara anggota Cakar Setan yang lain. Dia bertubuh tinggi dengan kulit hitam legam. Senjatanya adalah sebuah
Dua orang pendekar tampak sedang berjaga di mulut gua, tempat di mana para warga berlindung. Warga tampak kekuatan, berkumpul dengan sanak saudara masing-masing, saling memeluk satu sama lain. Api unggun yang berada di tengah-tengah mereka sama sekali tidak bisa memberikan apa pun selain rasa panas.Tak jauh dari dalam gua, para pendekar yang terluka dibariskan di atas tanah beralas daun. Beberapa tabib tampak sibuk mengobati mereka. Teriakan kesakitan terdengar beberapa kali di tengah hening dan tegangnya keadaan. Dua orang pendekar tiba-tiba mendekat pada pemimpin pendekar di perkampungan ini. Salah satu dari mereka, kemudian berkata, “Kami sudah mengirimkan pesan pada tempat penjagaan terdekat bahwa Wintara dan Nilasari datang menyerang. Pesan itu akan langsung diteruskan ke Jaya Tonggoh.”“Beristirahatlah sebentar, lalu bantulah para pendekar yang lain,” ujar pemimpin itu.“Baik,” jawab kedua pendekar serempak.“Keadaan perkampungan sudah tidak bisa lagi diselamatkan. Rumah-rumah
“Segera tangkap dan habisi ular siluman itu!” teriak salah satu pendekar seraya mengangkat tombak tinggi-tinggi.Para pendekar mulai melompat turun dan bergerak mendekat ke arah Bedung di mana pasukan panah tetap menjaga jarak untuk kembali melakukan serangan.Bedung melayangkan serangan ekor dengan memutar tubuh ke sekeliling. Alhasil, para pendekar dan panah yang tertuju padanya berhasil dibuat mundur dan menjauh darinya.“Serang!” teriak salah satu pendekar.Para pendekar seketika menarik senjata masing-masing, di mana para pemanah kembali bersiap menyerang. Dimulai dengan hujan panah yang melesat ke arah Bedung, pertempuran pun akhirnya dimulai.Bedung bergerak cepat menyerang para pendekar. Tombak dan pedang milik para pendekar yang sudah diolesi ramuan pemusnah siluman nyatanya tidak memberikan dampak apa pun pada Bedung selain luka sobekan semata. Di saat yang sama, panah-panah yang berhasil menancap di tubuh siluman ular hitam itu tak ubahnya seperti panah biasa.Bedung melaya
“Kau benar, Nilasari. Tapi aku ingin memastikan satu hal lagi sebelum kita benar-benar bisa mencoba racun kalong setan pada diri kita,” ujar Wintara.Nilasari berdecak kesal, mengentak kaki karena geram. “Apa lagi yang kau tunggu, Kakang? Apa kau masih tidak yakin dengan khasiat racun kalong setan itu? Kita bisa menjadi lebih kuat dengan racun itu. Bukankah itu keinginan kita berdua selama ini? Aku benar-benar tidak mengerti dengan cara berpikirmu.”“Apa kau masih mengingat jika racun kalong setan sama sekali tidak bisa digunakan di saat matahari masih bersinar, Nilasari?” Wintara memelotot tajam.Nilasari mendengkus, menyilangkan kedua tangan di depan dada. Wajahnya semakin cemberut. “Tentu saja aku tahu, Kakang.”“Aku ingin tahu apa yang akan terjadi pada Bedung esok hari. Apakah dia tetap dalam wujud dan kekuatannya saat ini atau justru kembali ke keadaannya semula. Apa kau mengerti maksud perkataanku, Nilasari?”Nilsari membelakangi Wintara, melompat ke sebuah puncak pohon untuk m
“Apa mungkin kau adalah pendekar hitam yang sudah menolong para pendekar golongan putih dalam menghadapi Wintara dan Nilasari ketika mereka menyerang Jaya Tonggoh?” tanya salah satu pendekar.Tarusbawa diam sejenak, bergumam, “Pendekar Hitam? Menolong mereka saat di Jaya Tonggoh? Wintara dan Nilasari?”Tarusbawa berjalan mendekat, mengamati satu per satu orang yang berada di depannya melalui wajah yang hampir semuanya tertutup kain hitam, kecuali dua matanya. Mendengar nama Wintara dan Nilasari membuatnya semakin yakin jika dua musuh lamanya sudah sepenuhnya bebas. Sampai saat ini, ia berusaha mencari keduanya untuk kembali menyegel mereka.Salah satu pendekar tiba-tiba berteriak, “Jangan mendekat! Kami semua sudah terkena racun kalong setan! Akan sangat berbahaya jika kau mendekati kami! Kami tidak mungkin bisa bertahan lebih lama setelah terkena racun ini.”Pendekar lain menyahut, “Jika kau ingin menolong, tolong sampaikan pesan kami pada petinggi golongan putih di Jaya Tonggoh bahw
“Dua sosok asing? Mungkinkah itu Wintara dan Nilasari?” Dharma segera berdiri meski tertatih-tatih, mengamati sosok berbaju serba hitam di depannya lekat-lekat. “Izinkan aku untuk membantumu, Pendekar Hitam.”“Jika kau ingin membantu, segeralah temui teman-temanmu dan pastikan mereka bisa bertahan lebih lama. Dengan keadaanmu saat ini, kau hanya akan menghambatku.”“Baiklah, aku mengerti. Aku sangat berhutang budi padamu. Aku pastikan aku akan membayarnya suatu saat nanti.” Dharma membungkuk hormat cukup lama.Tarusbawa maju selangkah saat mendengar suara teriakan dari depan, disusul oleh suara debam cukup keras dari lemparan batang pohon ke sembarang.“Aku pasti akan membunuhmu!” pekik Bedung menggelegar. Secara tiba-tiba, tubuh siluman ular itu semakin membesar.“Siluman itu kembali bangkit dan bertambah besar,” lirih Dharma dengan tatapan terkejut.“Pergilah!” Tarusbawa melirik Dharma singkat.“Baik.” Dharma mulai berlari dengan sesekali menoleh ke belakang. Sekujur tubuhnya terasa
Panji Laksana dan Saraswati seketika berdiri dan membungkuk hormat ketika melihat kemunculan Tarusbawa. Lingga berdiri di belakang Tarusbawa, mengamati Ganawirya, Limbur Kancana, Sekar Sari, dan dua sosok asing yang membungkuk hormat pada Tarusbawa. “Siapa mereka? Aku baru pertama kali bertemu dengan mereka. Mereka terlihat kuat.” Panji Laksana dan Saraswati kembali berdiri tegak, menoleh pada Lingga. Keduanya saling melirik sesaat, memberi salam penghormatan untuk Lingga. “Aku Panji Laksana. Aku merasa bangga bisa bertemu dengan pemuda pewaris kujang emas,” ujar Panji Laksana. Saraswati menunduk malu, menyembunyikan pipinya yang memerah. “Pemuda itu memang sangat tampan sesuai dengan perkataan orang-orang,” gumamnya. Saraswati berdeham saat Panji Laksana menyikutnya. “Aku Saraswati. Aku juga merasa bangga bisa bertemu denganmu.” Lingga membalas salam dua saudara kembar itu. “Namaku Lingga. Senang bertemu dengan kalian. Aku harap kita bisa berteman dengan baik.” Sekar
Lingga segera mendekati Tarusbawa. “Guru, apa kau baik-baik saja?” Tarusbawa seketika berjongkok, menahan rasa panas dan sesak yang semakin menjalar di dadanya. Ia sontak terdiam saat mendengarkan ucapan seseorang. Sebuah cahaya merah seketika terlihat di dada Tarusbawa, bergerak beberapa kali. “Guru.” Lingga mengamati cahaya itu saksama, melompat mundur saat cahaya itu keluar dari dada Tarusbawa. “Cahaya merah apa itu?” Cahaya itu mengelilingi Lingga selama beberapa kali, terbang ke langit, kemudian perlahan turun hingga berhadapan dengan Lingga. Tak lama setelahnya, cahaya itu berubah menjadi sosok Prabu Nilakendra. “Prabu.” Lingga segera memberikan salam penghormatan. “Kau sudah menunjukkan perjuangan hingga sampai di titik ini. Dengan munculnya mustika merah ini dari Tarusbawa, maka waktu ujianmu akan segera dimulai,” ujar Prabu Nilakendra sembari menunjukkan sebuah benda bulat bercahaya merah di tangannya. “Waktu ujianku sudah dimulai?” “Aku ingin mengingatkanm
“Baik, Guru.” Sekar Sari mengangguk.“Indra, antarkan Panji Laksana ke ruangan kalian. Dia juga akan tinggal bersamamu dan yang lain mulai sekarang,” ujar Ganawirya.Panji Laksana mengikuti Indra. Kedua pemuda itu menghilang saat melewati beberapa gubuk. Suasana masih terasa canggung, apalagi bagi Sekar Sari dan Saraswati yang saling mengamati satu sama lain.Sekar Sari dan Saraswati berjalan menuju gubuk para wanita, sedangkan Meswara, Jaka, dan Arya masih berada di depan gubuk saat Ganawirya memberi perintah pada mereka.Sekar Sari melirik Saraswati berkali-kali. Kepalanya penuh dengan pertanyaan saat ini. “Hanya dengan melihat matanya saja, dia pastilah gadis yang sangat cantik. Aku melihat Kakang Indra dan yang lain juga terpana saat melihatnya.”Saraswati mengamati keadaan sekeliling. “Padepokan ini sangat tenang dan menyenangkan. Aku menyukai tempat ini.”Sekar Sari berhenti di depan sebuah gubuk, menaiki undakan tangga kecil, membuka pintu. “Ini adalah gubuk tempat tinggalku. A
Panji Laksana mengangguk. “Aki kami, Sanjaya, memerintahkan kami berdua untuk menemui kalian bertiga atau salah satu dari kalian bertiga. Aki ingin memberi tahukan soal keberadaannya pada kalian. Beberapa bulan lalu setelah kami melihat dan merasakan kekuatan pusaka kujang emas, Aki mengingat semua kembali ingatannya yang telah hilang.”“Bangkitnya pusaka kujang emas terjadi untuk ketiga kalinya. Terakhir kali saat kami, pasukan pendekar golongan putih, melawan dua siluman kembar dan para pendekar golongan hitam. Lingga mengurung mereka di Jaya Tonggoh,” ujar Tarusbawa. Panji Laksana memberikan sebuah pisau pada Tarusbawa. “Aki memerintahkan kami untuk memberikan pisau ini pada pemuda pewaris kujang emas. Pisau itu adalah kunci untuk memasuki Nusa Larang, tempat di mana Aki dan kami berada selama ini. Saat pisau itu bersinar, maka saat itulah waktu yang tepat bagi si pewaris kujang emas untuk menemui Aki.”Tarusbawa mengambil pisau itu, mengamati saksama. “Lingga sedang berlatih saat
Atap-atap gubuk mulai terlihat saat Panji Laksana dan Saraswati keluar dari kungkungan pohon. Mereka melihat sebuah ari terjun dan sungai yang mengalir jernih. Begitu memasuki padepokan, mereka mendapati beberapa murid dan tabib yang tampak hilir mudik.Panji Laksana dan Saraswati mengamati keadaan sekeliling. Beberapa murid melihat kedatangan mereka dengan tatapan bertanya-tanya, saling berbisik-bisik.“Aku sudah lama tidak melihat sebuah padepokan, Kakang.” Saraswati tersenyum saat melihat beberapa gadis tampak berbondong-bondong menuju sebuah tepat.“Kau tampaknya menyukai tempat ini, Saraswati.” Panji Laksana mengamati beberapa pemuda seusianya yang beriringan menuju arah utara.“Tentu saja aku menyuai tempat ini, kakang. Sejak kecil, kita hidup bersama Aki di tempat rahasia yang tidak dimasuki oleh orang-orang. Kita hanya bisa melihat mereka dari jarak jauh. Aku sejujurnya ingin seperti gadis lainnya.”“Semua yang Aki perintahkan semata-mata untuk melindungi kita, Saraswati.”“Ak
Ganawirya menoleh pada Jaka sesaat. “Jaka, kau dan yang lain harus ikut bersama kami ke sisi Lebak Angin. Aku dan Raka Limbur Kancana akan menunggu kalian di sana.”Jaka mengangguk meski masih bingung dengan keadaan yang terjadi. “Aku mengerti, Guru. Aku dan yang lain akan segera pergi secepatnya.”Ganawirya dan Limbur Kancana segera menghilang dari gubuk.Jaka bergegas keluar dari gubuk, mengamati keadaan sekeliling. Ia melompat ke atap gubuk, bersiul beberapa kali.Sekar Sari berhenti meramu obat sesaat, menoleh saat melihat beberapa bayangan berkelebat sangat cepat di langit. “Aku melihat Kakang Indra dan Kakang Meswara berlari menuju gubuk Guru. Apa sudah terjadi sesuatu?”Sekar Sari berlari menuju luar gubuk setelah menyimpan ramuan ke lemari. Gadis itu terdiam saat melihat Indra dan yang lain bergerak sangat cepat. “Sepertinya memang sudah terjadi sesuatu. Tapi, kenapa mereka tidak memberi tahuku?”Sekar Sari bergegas menuju gubuk Ganawirya, mengintip keadaan di dalam ruangan me
“Kalian bukankah anggota rombongan pengantar bahan baku dan makanan ke Lebak Angin. Kalian adalah pendekar,” ujar si pemimpin pendekar. Panji Laksana dan Saraswati turun dari kuda, mengamati para pendekar yang masih mengelilingi mereka. “Katakan siapa kalian dan tujuan kalian. Jika kalian tetap tutup mulut, kami akan bertindak kasar pada kalian!”“Tunggu, Kisanak. Kami memang bukanlah anggota rombongan, tetapi kami bukanlah orang jahat. Kami ingin pergi ke Lebak Angin untuk bertemu dengan pendekar bernama Ganawirya. Kami memiliki pesan penting,” kata Panji Laksana. “Kalian masih belum menjawab pertanyaan kami. Siapa kalian?”“Aku Panji Laksana dan gadis ini adalah adik kembarku, Saraswati. Kami berasal dari wilayah yang bernama Nusa Larang.” “Nusa Larang?” Para pendekar saling bertatapan sesaat, berbisik-bisik. “Periksa mereka sekarang juga!”Satu pendekar pria segera memeriksa Panji Laksana, dan seorang pendekar wanita bergegas mendekati Sarawati. Keduanya melakukan pemeriksaan
Langit tampak sangat cerah. Kawanan burung bergerak ke arah timur. Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan. Beberapa tupai terlihat berada di sebuah dahan pohon, mengamati seorang pemuda yang tengah duduk di atas sebuah batu.Pemuda itu tidak lain adalah Lingga. Tak lama setelah tiba di tempat ini, ia segera berlatih. Tarusbawa memperhatikannya dari puncak pohon, tidak berkata apa pun.Lingga tiba-tiba melompat ke langit, melakukan gerakan pemanggil kujang emas. Begitu pusaka itu muncul dan berada di tangannya, beberapa hewan dengan segera menjauh.Lingga mendarat di sungai, mengambang di atas aliran air yang tenang. Begitu matanya terbuka, kakinya mengentak air dan melesat ke arah depan. Air seketika memercik ke sekeliling. Pemuda itu menggerakkan kujang ke kiri dan kanan.Tarusbawa duduk bersila, memejamkan mata, berusaha menghubungi sosok pendekar Sayap Putih bernama Sanjaya. Akan tetapi, ia masih belum bisa terhubung dengan temannya.Matahari terus b
“Sanjaya,” ujar Tarusbawa yang kemudian termenung agak lama.Tarusbawa berdiri dari semedinya, mengamati keadaan ruangan yang temaram. Langit tampak gelap di mana cahaya bulan terhalang oleh awan hitam.Api obor bergerak-gerak saat Tarusbawa meninggalkan ruangan. Pendekar itu menuruni tangga kayu, berdiri di tengah-tengah tanah lapang. Saat mendongak ke langit, awan-awan hitam bergerak menjauh hingga bulan nyaris sempurna terlihat.Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan.“Aku merasakan kekuatan Sanjaya. Dia kemungkinan sudah terlepas dari jurus Aji Panday sehingga bisa mengingat jelas semua kejadian yang lalu. Aku harus segera bertemu dengannya.”“Tidak. Ini bukan waktu yang tepat.” Tarusbawa mengepal tangan erat-erat, menyentuh dadanya. “Lingga harus lulus dari ujian lebih dahulu sebelum aku dan dia bertemu dengan Sanjaya. Dengan merasakan kekuatannya, aku bisa tahu jika Sanjaya masih hidup di suatu tempat.”Tarusbawa mengentak kedua kaki kuat-kuat, me