Di dalam ruangan, Wirayuda masih berusaha mencerna peristiwa yang baru saja terjadi padanya. Pendekar itu berjalan ke arah jendela, mengamati kegiatan warga dan para pendekar yang bahu membahu berkutat dalam membangun dan menyelesaikan rumah. Kepalanya seperti akan meledak karena dipenuhi oleh kilasan kejadian bersama sosok pendekar hitam tadi.
“Kenapa kau bisa menaruh kepercayaan padaku, Pendekar Hitam? Dan kenapa kau bisa seyakin itu padaku? Apa yang sebenarnya kau rencanakan dan kau inginkan dariku?”
Wirayuda berbalik, menatap setiap sudut ruangan dengan saksama. “Aku melakukan semua ini tidak lain agar aku tidak dianggap sebagai pendekar yang hanya memikirkan urusan perut dan kekuasaan semata. Untuk itulah, aku harus memaksakan diri untuk menguras tenaga dan pikiran untuk mencari cara agar dua siluman itu segera musnah dari bumi ini. Dengan begitu, aku bisa leluasa mencari keberadaan pemuda pewaris kujang emas itu tanpa harus terbebani dengan pend
Limbur Kancana tenggelam dalam lamunan. Sosok Lingga benar-benar salinan sempurna dari dua sosok yang disebutkannya tadi. Tak hanya tubuh dan rupa, melainkan sedikit pembawaan kepribadian sekalipun dari salah satu sosok yang dikenal dekatnya. Sayangnya, ia dan seluruh anggota Pendekar Sayap Putih sudah berjanji untuk menutup rapat-rapat mengenai siapa Lingga sebenarnya dan hanya boleh memberi tahu pemuda itu dengan persetujuan dari Gusti Prabu Nilakendra maupun pihak-pihak yang ditunjuk olehnya.Limbur Kancana menggeleng beberapa kali. Begitu perhatiannya sudah kembali utuh, ia dikejutkan dengan serangan Lingga yang datang tiba-tiba. Sebuah tendangan kuat harus dirinya terima akibat kelalaiannya barusan hingga menyebabkannya terlempar ke belakang sampai nyaris menabrak pembatas kubah.“Kau sepertinya melamun, Paman.” Lingga mendarat di atas tubuh dua harimau milik Limbur Kancana, mengentak kaki sekali, lantas melayangkan serangan jarak jauh.“Jangan sombong dulu, Lingga.” Limbur Kanca
Sementara itu, Sekar Sari masih berkutat dengan kitab-kitab dan racikan ramuannya. Gadis itu merengut kesal karena belum menghasilkan ramuan apa pun sejak tadi, padahal ia masih memiliki tugas penting untuk membuat salinan dari ramuan penawar racun kalong setan sekaligus menyempurnakan ramuan penyembuh untuk korban Wintara dan Nilasari. Namun, hingga saat ini pekerjaannya belum membuahkan hasil apa pun, padahal ia sudah menghabiskan banyak waktu untuk mempelajari dan membuat ramuan sesuai dengan petunjuk.“Ini benar-benar sangat sulit.” Sekar Sari mengembus napas panjang, mengamati keadaan sekelilingnya yang berantakan, termasuk beberapa bagian tubuhnya. Gadis itu melirik ke arah ruang kosong di mana aliran dan tumbukan kekuatan terjadi. Secara sekilas, ia bisa melihat dua bayangan bergerak cepat.Sekar Sari kembali mengembus napas panjang, memutuskan berjalan ke sisi telaga. Gadis itu menatap pantulan dirinya di permukaan air. Untuk sekali lagi, ia mengeluarkan napas panjang, berhara
Sekar Sari tercenung saat melihat retakan besar di dinding gua bergeser ke samping hingga membentuk sebuah jalan. Gadis itu dengan ragu-ragu melongokkan kepala ke dalam untuk mengintip. Tanpa diduga, ia menemukan sebuah jalan setapak menuju sebuah tempat.“Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa retakan ini tiba-tiba saja bergeser?” Sekar Sari terpaku di tempatnya dengan pikiran yang menimbang antara masuk atau justru melaporkan keanehan ini pada Limbur Kancana. “Kakang Guru tampaknya akan sulit diajak bicara sebelum latihan ini selesai. Haruskah aku menyelidiki tempat ini lebih dulu?”Sekar Sari mengembus napas panjang, memutuskan untuk memeriksanya sendiri. Gadis itu menoleh ke sekeliling. Dinding gua terlihat diselimuti lumut hijau dan tanaman merambat. Cahaya matahari tampak terperangkap di celah-celah kecil atap gua. Dari arah depan, tiba-tiba angin berembus cukup kencang. Sekar Sari tak mendapati hal aneh dari tempat yang sedang dimasukinya. Meski begitu, gadis itu sepertinya be
Pertarungan Lingga dan Limbur Kancana terus berlangsung hingga matahari hampir sampai di pucak langit. Keduanya masih saling mengadu kekuatan, memamerkan kebolehan dan ketangkasan. Kubah pelindung dan gua setiap beberapa waktu sekali akan bergetar hebat. Meski begitu, belum ada dari keduanya yang ingin menyerah.Lingga jatuh berlutut dengan napas terengah-engah. Tenaganya benar-benar terkuras habis hingga kakinya bergetar hebat. Sekujur tubuhnya terasa lemah dan menjerit kesakitan. Berbanding terbalik dengan Limbur Kancana masih berdiri kokoh dengan sesekali menyeka keringat.“Paman benar-benar hebat.” Lingga kembali berdiri, memasang kuda-kuda untuk menyerang. Kakinya yang bergetar ia entakkan kuat-kuat ke tanah.“Kekuatanmu dan kebolehanmu memang sudah jauh meningkat, tetapi dengan kekuatanmu saat ini kau masih jauh dari cukup untuk mengalahkanku atau menghadapi anggota Cakar Setana seorang diri, Lingga.”Lingga tiba-tiba mengentak tubuh ke depan seraya menghimpun kekuatan dengan ke
Lingga, Limbur Kancana dan Sekar Sari berkumpul setelah makan siang. Ketiganya duduk di tepian Telaga Asri. Deburan air terjun, jejak langkah yang mendekat serta suara yang berasal dari luar terdengar mengisi keheningan.“Para pendekar yang berada di luar sana tidak mungkin bisa memasuki gua ini dengan mudah,” kata Limbur Kancana seraya mengalihkan pandangan pada arah air terjun, kemudian kembali menatap Lingga dan Sekar Sari bergantian.“Aku sudah memberi tahu siapa sebenarnya Wintara dan Nilasari pada petinggi golongan putih yang bernama Wirayuda. Meski pada awalnya dia tidak mempercayainya, tetapi sepertinya dia tidak memiliki bukti apa pun untuk membantah perkataanku. Mau tidak mau dia harus mempercayainya dan segera mengabarkan hal itu pada seluruh petinggi golongan putih yang lain.”“Selain itu, menurut keterangan yang kudengar dari Wirayuda dan salah satu bawahannya, para petinggi golongan putih wilayah tengah bersedia membantu pendekar di wilayah selatan untuk menangani Wintar
Matahari beranjak cepat menuju ufuk barat. Langit hampir sepenuhnya diselimuti lembayung senja. Para warga Jaya Tonggoh mulai dilanda kekhawatiran begitu malam akan tiba meski kediaman mereka sudah bisa ditempati kembali. Sementara itu, para pendekar tampak bersiaga di setiap sudut perkampungan dan wilayah sekelilingnya.Di tempat berbeda, hal serupa juga ikut terjadi. Para warga akan berbondong-bondong memasuki rumah, menarik-narik binatang ternak, menenangkan anak-anak yang mulai merengek dan menangis, lalu mengunci pintu rapat-rapat. Sementara itu, para pendekar akan mulai berlalu lalang untuk melakukan penjagaan.Di sisi lain, para pengembara tampak berdebat dengan para pendekar di pintu masuk perkampungan agar dibiarkan masuk. Setelah pembicaraan panjang, akhirnya mereka dipersilakan masuk dengan syarat memberikan barang-barang jaminan. Mereka ditempatkan di tempat khusus dengan penjagaan ketat dari para pendekar.Matahari sudah sepenuhnya tenggelam ke peraduan, menarik malam dan
Argaseni dan Brajawesi saling menatap dengan penuh amarah dan dendam. Ketika angin berembus melewati keduanya, dua anggota Cakar Setan itu secara bersamaan mengentak kaki, lantas melesat cepat ke depan, bersiap menyerang.Argaseni dan Brajawesi saling menyerang satu sama lain, mengerahkan jurus dan kekuatan untuk menentukan siapa yang paling unggul dari keduanya. Kedua pendekar golongan hitam itu saling membenturkan senjata masing-masing hingga mencipta gelombang dahsyat ke sekeliling.“Sebaiknya kau menyerah, Pria Kerbau,” cibir Argaseni dengan tawa meremehkan.“Harusnya aku yang mengatakan hal itu padamu, Argaseni. Kau masih saja tetap bodoh dan lalai terhadap sekelilingmu. Jika saja kau cerdik seperti yang kau katakan, tentu kau tidak akan membiarkanku mengetahui kabar penting darimu dengan mudah.” Brajawesi balas menghina.Argaseni berdecak, menekan tongkatnya kuat-kuat ke arah Brajawesi. “Dan kau juga tetap menyedihkan seperti biasanya, Pria Kerbau. Asal kau tahu, aku sengaja mem
“Wira dan Danuseka?” gumam Argaseni dan Brajawesi dengan raut keterkejutan yang belum hilang. Selepas pertarungan di Lebak Angin dan seluruh anggota Cakar Setan kembali seperti semula, keduanya memang tidak mendapati Wira dan Danuseka kembali ke wujud semula. Kartasura juga bergegas pergi meninggalkan Lembah Mayit dengan cepat setelahnya.Argaseni memegang tongkatnya kuat-kuat, kembali bergumam, “Selepas pergi dari Lembah Mayit, Kartasura seolah menghilang dari rimba persilatan. Kabar yang kudengar, dia berusaha mengembalikan keadaan Wira dan Danuseka seperti semula, sedang pencarian pemuda bernama Lingga diserahkan pada pasukan kelelawarnya. Jika Wira dan Danuseka sudah kembali, itu berarti Kartasura sudah berhasil mengembalikan mereka. Bagaimana cara Kartasura mengembalikan dua cecunguk busuknya?”Brajawesi menimpali ucapan Wulung, “Kabar yang kudengar sama sekali tidak berguna untukku, Wulung. Hidup atau mati pun Kartasura dan dua cecunguknya tidak berarti apa-apa untukku sedikit p