“Ramuan itu benar-benar membuatku kehilangan kekuatan dengan sangat cepat, Kakang. Meski aku mengganti kulitku berkali-kali pun, rasa panas dan terbakar itu masih tetap terasa bahkan sampai saat ini,” bisik Nilasari.“Beruntung kita berdua tidak tewas di tempat itu, Nilasari. Mau tak mau kita harus mengakui jika Bangasera sangat berjasa dalam hidup kita.”Bangasera berbalik. “Apa kalian berdua mengenal siapa pendekar berbaju hitam itu?”“Awalnya aku mengira jika pendekar berbaju hitam itu adalah pendekar bernama Aditara yang kami lawan tempo hari, terlebih bisa saja dia dan kedua orang yang bersamanya sudah mengetahui siapa kami sebenarnya. Hanya saja, aku tidak merasakan hawa kehadiran dan bau Aditara pada pendekar itu,” ucap Wintara.“Dua orang yang bersamanya?” Bangasera kembali berbalik.“Pendekar bernama Aditara itu selalu bersama seorang pemuda bernama Bimantara dan seorang gadis yang bernama Sekar Dewi.”Bangasera terdiam sejenak, lantas bergumam, “Firasatku mengatakan jika pen
Matahari terus merangkak menuju pertengahan langit di saat Lingga terus bergumul dengan dua harimau putih yang dikeluarkan Limbur Kancana di dalam kubah tak kasat mata. Pemuda itu bergerak lincah untuk menghindar sekaligus melayangkan serangan.Sekujur tubuh Lingga sudah dipenuhi keringat dengan napas yang mulai terengah-engah. Pemuda itu menyeka peluh, berusaha menghimpun serangan di tengah mata yang terus mengawasi kedua harimau yang memutarinya.Lingga mengentak tubuh sekali, lantas melompat ke atas ketika dua harimau putih itu menyerang dari depan dan belakang dalam waktu bersamaan. Pemuda itu seketika memutar tubuh bersamaan dengan tangan yang bergerak cepat untuk menepis serangan dua harimau yang kini mengarah dari arah bawah.Lingga memutar tubuh ke belakang, mendarat di dinding kubah, kemudian melesat cepat ke arah dua harimau dengan tangan yang terbentang lebar ke samping. Dalam satu ayunan tangan, seketika tercipta embusan angin cepat yang langsung menerjang kedua harimau pu
Lingga duduk dengan pikiran yang masih tertuju pada gambaran-gambaran tersebut. Ia dengan cepat berdiri ketika mulai mengetahui sesuatu. “Dua cahaya itu? Ke mana mereka?”Lingga memutar tubuh, mencari keberadaan dua cahaya tersebut. “Dua cahaya itu pasti bisa memberikanku petunjuk mengenai kejadian-kejadian itu. Di mana mereka?”Lingga mengamati keadaan dengan saksama, memusatkan seluruh perhatian pada sekeliling. Akan tetapi, kedua cahaya itu sama sekali tidak terlihat di mana pun. Hanya kesunyianlah yang ia rasakan dan dapatkan saat ini.Lingga mengembus napas panjang, memutuskan kembali untuk berlatih. Akan tetapi, baru saja akan memasnag kuda-kuda, tiba-tiba muncul Sekar Sari dari arah semak-semak.“Kakang, apa kau tidak apa-apa?” tanya Sekar Sari dengan wajah malu-malu, “kau tampak pucat saat ini? Apa ada sesuatu yang menggangumu?” “Ah tidak. Aku ... aku ....” Lingga menggaruk tengkuk yang tak gatal, menjeda sejenak. “Apa kau melihat dua cahaya itu kembali?”“Dua cahaya?” Seka
Limbur Kancana tiba-tiba berhenti, menimbang keputusan beberapa waktu. Dengan terbukanya hubungan antara Bangasera dan Wintara serta Nilasari, semakin memungkinkan jika keduanya akan menggunakan racun kalong setan untuk menghadapi pergerakan pendekar golongan putih yang akhir-akhir ini justru menyatu untuk membereskan kekacauan yang ada. Jika hal itu benar-benar terjadi, maka para pendekar golongan putih tidak memiliki kesempatan sedikit pun untuk menang. “Paman,” panggil Lingga.Limbur Kancana mengamati para warga yang berbondong-bondong menuju sebuah tanah lapang dengan arahan beberapa pendekar. “Au rasa kita harus membicarakan hal ini dengan Ganawirya lebih dahulu karena hanya dialah yang mengetahui bahan-bahan ramuan itu sekaligus bagaimana membuatnya.”“Sepertinya para pendekar akan menyampaikan sesuatu pada para warga,” ujar Sekar Sari.Tak lama setelahnya, terdengar kentungan ditabuh keras-keras. Para warga yang masih berada di sekitar rumah setengah berlari menuju arah yang
Lingga, Limbur Kancana dan Sekar Sari berada di perkampungan hingga malam tiba. Ketiganya bisa merasakan ketegangan yang melanda hampir semua warga. Suasana begitu sepi hingga yang terdengar hanya suara serangga malam. Para penjaga tampak mondar-mandir di sekitar perkampungan.Lingga mengawasi keadaan luar dari jendela. Kepalan tangannya menguat begitu mengingat perkataan para warga mengenai dirinya. Jujur saja hal itu benar-benar menganggunya meski di saat yang sama dirinya berusaha untuk tidak memedulikan hal itu.“Salah satu tiruanku sudah hampir sampai menuju bukit yang ditengarai adalah tempat Wintara dan Nilasari disegel. Persiapkan diri kalian karena sesaat lagi kita akan segera bertukar tempat dan pakailah pakaian yang sudah aku siapkan sebelumnya,” ujar Limbur Kancana yang tengah duduk bersila di atas dipan.“Baik, Paman.”“Baik, Kakang Guru.”Lingga segera mengganti busannya menjadi serba hitam, tak terkecuali Sekar Sari.Limbur Kancana kembali bersemedi, memusatkan seluruh
Lingga mendekat ke arah Limbur Kancana yang tengah duduk berjongkok di depan lubang. Dalam sekejap, pemuda itu seperti kembali dibawa pada masa lima puluh tahun silam. Ia dengan jelas bisa melihat Tarusbawa yang sedang menyegel Wintara dan Nilasari ke dalam dua lubang yang berbeda, lalu menutup lubang itu dengan batu.Lingga terkesiap ketika dirinya kembali berada di masa saat ini. Sejauh mata memandang, tidak ada batu yang dirinya lihat di tempat ini, padahal ia sangat yakin jika dua lubang yang menganga ini adalah tempat terkurungnya Wintara dan Nilasari.Lingga menggertakkan gigi, mengepal tangan kuat-kuat. Apa yang dilihat dan dirasakannya saat ini seolah membawanya pada sebuah kesimpulan. “Paman, apa mungkin ....”Limbur Kancana berdiri, berjalan ke salah satu lubang. “Wintara dan Nilasari yang kita hadapi saat ini nyatanya adalah Wintara dan Nilasari yang dihadapi Tarusbawa lima puluh tahun silam. Dan sepertinya Tarusbawa juga mengetahui hal tersebut, terbukti dengan kedatangann
Lingga, Limbur Kancana dan Sekar Sari sontak terkejut saat melihat kehadiran Bangasera. Ketiganya bersiaga penuh meski sudah berada di dalam kubah pelindung.Sementara itu, Bangasera mendongak sambil memejamkan mata, memusatkan sekaligus menajamkan seluruh indranya. Ia bisa mencium bau samar kehadiran beberapa orang di tempat ini. “Sepertinya tempat ini baru saja didatangi tamu tak diundang. Aku juga bisa merasakan darah dari para ular silumanku yang tewas.”Bangasera mengamati keadaan sekeliling saksama, menghirup udara dengan mata terpejam seraya tersenyum bengis. “Firasatku mengatakan jika aku sedang diawasi oleh beberapa orang di suatu tempat, tapi aku sama sekali tidak melihat keberadaan siapa pun di tempat ini. Siapa pun yang mengawasiku saat ini pastilah bukan pendekar sembarangan.”Bangasera tiba-tiba tertawa, menatap tajam ke sekeliling arah. Pikirannya seketika tertuju pada sosok pendekar berbaju hitam yang dirinya duga adalah Limbur Kancana. “Sepertinya malam ini adalah mal
Matahari beranjak dari ufuk timur, memberi sinar dan kehangatan ke seantero tanah Pasundan. Para warga dari sebuah perkampungan berbondong-bondong ke luar dari rumah begitu kentungan ditabuh keras-keras. Para pendekar meminta warga berkumpul di tanah lapang. Lingga, Limbur Kancana dan Sekar Sari dengan pakaian warga biasa ikut memadati barisan warga.Sejujurnya, Lingga masih dibuat penasaran dengan suara yang dirinya dengar semalam. Akan tetapi, ketika mengamati Limbur Kancana dan Sekar Sari yang tampak biasa, ia menyadari jika hanya dirinyalah yang mendengar suara tersebut.Lingga beberapa kali mengamati keadaan sekeliling melalui jendela kamar, berharap dua cahaya akan kembali muncul seperti kejadian beberapa waktu lalu. Akan tetapi, dua cahaya itu sama sekali tidak menampakkan diri hingga pagi menjelang.Sebuah rombongan tiba-tiba saja memasuki perkampungan, lantas bergabung dengan para pendekar yang sudah berkumpul di depan para warga.“Mulai saat ini, di setiap perkampungan akan