Dalam satu penugasan, upeti yang dikawal Tumanggala dirampas gerombolan begal. Seluruh anggota rombongan tewas kecuali dirinya dan seorang prajurit lagi. Akibatnya, Tumanggala difitnah terlibat dalam perampasan tersebut. Ia pun nyaris dijatuhi hukuman mati. Coreng di muka membuat sang prajurit gigih mengembalikan nama baik. Tumanggala kemudian berhasil menghabisi gerombolan begal yang merampas upeti raja. Namun Tumanggala sungguh tak menyangka, semua itu justru mendatangkan malapetaka bagi dirinya dan keluarga.
Lihat lebih banyakMATAHARI tengah bersiap menuju puncak tertingginya ketika satu rombongan melintas di kaki Gunung Pawinihan. Terdiri atas selusin lelaki menunggang kuda. Sepuluh di antaranya berpakaian layaknya prajurit kerajaan.
Rombongan itu mengiringi sebuah gerobak yang dikendalikan seorang sais. Entah apa isi gerobak tersebut. Sebab bagian atasnya tertutup rapat oleh sebentang kain hitam tebal.
Jalanan di tengah hutan itu sangat sepi. Suara keteplak ladam kuda terdengar keras memecah kesunyian. Ditingkahi teriakan-teriakan menggebah agar hewan-hewan tersebut berlari kencang.
Samar-samar ada cicitan burung nun tinggi di atas pepohonan. Serta pekik jerit kera di kejauhan.
"Berhenti ...!"
Sesampainya di satu tikungan, dua lelaki di bagian depan yang menjadi pemimpin rombongan tiba-tiba saja hentikan laju kuda mereka.
Hewan tunggangan kedua lelaki tersebut meringkik keras, terlihat gelisah. Namun segera tenang kembali setelah leher mereka ditepuk-tepuk.
Anggota rombongan lain di belakang dua lelaki itu turut berhenti. Satu dari sepuluh orang yang berseragam prajurit kerajaan lantas mendekat ke depan.
"Kenapa kita berhenti di sini, Ki Bekel?" tanya si prajurit setelah memberi hormat.
(Bekel adalah pangkat dalam tata keprajuritan di kerajaan-kerajaan masa lalu. Setara perwira rendah atau bintara tinggi. Dengan demikian, orang yang dipanggil Ki Bekel dapat dipastikan seorang berkedudukan tinggi.)
Ditanya begitu, Ki Bekel tidak menjawab. Melainkan mengacungkan telunjuk ke arah muka. Kira-kira tiga ratus kaki dari tempat mereka berhenti, terdapat sebatang pohon besar tumbang.
Batang pohon tersebut melintang menutupi keseluruhan badan jalan. Di sekitarnya terlihat dua lelaki bertelanjang dada, tengah memotongi dahan dan ranting.
Prajurit tadi langsung menghela napas panjang begitu mengetahui apa yang terjadi.
"Pohon begitu besar tumbang ..." gumamnya masygul. "Akan memakan waktu sangat lama untuk menyingkirkannya."
"Kita tidak mungkin berhenti terlalu lama di sini, Triguna. Sebelum sore kita sudah harus tiba di Katang Katang," lelaki yang dipanggil Ki Bekel tadi menyahut.
Prajurit yang dipanggil Triguna sontak saling pandang dengan prajurit muda di sebelah Ki Bekel. Nyata sekali wajah kedua orang tersebut dipenuhi tanda tanya.
Apakah itu artinya mereka harus putar balik dan kembali ke arah Wengker? Mengambil jalan yang tadi mereka putuskan tidak ditempuh karena ingin menyingkat waktu perjalanan?
"Maksud Ki Bekel? Apakah kita sebaiknya kembali ke pertigaan tadi, lalu mengambil jalan memutar ke arah Hasin?" Prajurit muda di sebelah Ki Bekel tak tahan untuk tidak bertanya.
Pria paruh baya yang dipanggil Ki Bekel lagi-lagi tidak langsung menjawab. Ia terus memperhatikan dua lelaki asing yang tengah membabati dahan dan ranting.
Ada satu kejanggalan yang ditangkap oleh lelaki paruh baya tersebut. Ia tidak mendapati seekor pun kuda tertambat di dekat-dekat kedua lelaki tersebut.
Artinya, kedua lelaki tersebut bukanlah orang yang kebetulan tengah melintas, seperti halnya Ki Bekel dan rombongan. Bisa jadi kedua lelaki itu malah tinggal tak jauh dari tempat robohnya pohon.
Tapi kalau memang demikian, sejauh mata Ki Bekel memandang juga tak terlihat satu pondokan pun di sekitar tumbangnya pohon. Begitu pula di sepanjang jalan yang baru saja mereka lintasi.
Satu dugaan tiba-tiba saja berkelebat dalam benak Ki Bekel. Sontak ia meningkatkan kewaspadaan, sekali pun air mukanya dibuat tetap setenang mungkin.
"Triguna, coba kau tanyai dua orang di depan sana. Sembari melihat-lihat apakah ada kemungkinan kita dapat menyingkirkan batang pohon yang melintang tersebut dalam waktu singkat." Ki Bekel akhirnya berkata.
"Baik, Ki Bekel."
Triguna menghaturkan sembah, kemudian membawa kuda tunggangannya ke depan.
"Ingat, jangan sampai mereka tahu apa yang kita bawa," pesan Ki Bekel ketika Triguna melintas di sebelahnya.
Si prajurit hanya anggukkan kepala dan terus melaju perlahan.
Di tempatnya, Ki Bekel berkata perlahan pada prajurit muda di sebelahnya. Sembari terus mengikuti gerakan Triguna dengan pandangan mata.
"Sudah aku katakan tadi, Tumanggala, kita seharusnya tidak melewati jalan ini. Terlalu sepi. Waktu tempuh yang mungkin dapat kita ringkas tidaklah sebanding dengan bahaya yang bisa jadi mengadang," ujarnya.
Prajurit muda yang diajak bicara palingkan kepalanya ke arah Ki Bekel.
"Mohon maafkan saya, Ki Bekel. Namun saya tadi hanya sekedar memberi usul. Dengan niatan agar kita dapat sampai lebih cepat di Kotaraja," sahutnya membela diri.
"Ya, aku tadi memberi persetujuan juga karena mempertimbangkan hal itu, Tumanggala," timpal Ki Bekel. "Tapi, entah mengapa firasatku sangat tidak enak kali ini."
Prajurit muda yang dipanggil Tumanggala mengernyitkan kening. Ujung kedua alisnya beradu.
"Apakah Ki Bekel hendak mengatakan bahwa Ki Bekel curiga dua orang di depan sana mempunyai maksud jahat?" tanya Tumanggala penasaran.
Ki Bekel hela napas panjang. Lalu balas menatap ke arah prajurit muda di sebelahnya itu.
"Dengar, Tumanggala. Kita jauh-jauh berjalan dari Wurawan membawa amanah besar dari pembesar di sana, untuk diserahkan pada Gusti Prabu Sri Maharaja Jayabhaya di Dahanapura.—"
Tumanggala sontak tundukkan pandangan mendengar ucapan yang belum tuntas tersebut. Ada rona kekhawatiran di wajahnya yang cakap.
"—Kalau sampai amanah ini tidak tersampaikan, hilang atau dirampas orang di tengah jalan, celakalah kita semua," ujar Ki Bekel dengan nada dalam.
"Jadi, benar Ki Bekel mencurigai mereka?" Tumanggala mengulangi pertanyaannya tadi. Ia membutuhkan jawaban tegas.
"Kita akan segera tahu jawabannya," jawab Ki Bekel, kemudian kembali tolehkan kepalanya ke arah muka.
Di depan sana, Triguna sudah sampai di tempat robohnya pohon besar yang menutupi jalan. Dua lelaki yang tengah memotongi dahan dan ranting tampak menyambut prajurit tersebut. Mereka bercakap-cakap.
"Maaf, Kisanak sekalian, sejak kapankah pohon ini tumbang melintang begini rupa?" tanya Triguna pada kedua lelaki di hadapannya.
Sekilas pandang saja prajurit tersebut sudah dapat mengenali jenis batang yang melintang. Ia yakin sekali itu batang pohon sonokeling.
Kayu sonokeling terhitung sangat keras. Triguna memperkirakan setidaknya butuh waktu dua-tiga kali penanakan nasi hanya untuk memotong batang tersebut. Belum lagi untuk menyingkirkannya dari tengah jalan.
"Oh, apakah kau seorang prajurit?" Bukannya menjawab, salah satu dari kedua lelaki yang tengah memotong ranting justru balik bertanya.
Triguna tidak suka pertanyaannya justru berbalik tanya. Namun ia memilih bersikap hati-hati.
"Ya, aku prajurit Panjalu yang baru saja bertugas ke Wurawan," jawabnya tegas.
Dua lelaki di hadapan Triguna saling berpandangan. Wajah mereka berubah cerah. Lalu pecah tawa tergelak dari mulut keduanya.
Triguna yang tak paham kenapa kedua orang di hadapannya tertawa, hanya dapat mengerutkan kening dengan wajah penuh keheranan.
"Wurawan, Kang!" kata salah satu dari dua lelaki tersebut, setengah berseru. Lalu kembali tertawa.
"Dan orang Wurawan ini membawa harta sangat banyak!" sahut lelaki satunya, kemudian melanjutkan tawanya pula.
Percakapan singkat itu sudah cukup bagi Triguna untuk mengetahui apa yang tengah terjadi. Dugaannya sama dengan Ki Bekel.
Tidak lain tidak, pohon sonokeling itu sengaja ditumbangkan ke tengah jalan untuk menghambat perjalanan mereka. Dan itu mereka lakukan dengan maksud tidak baik.
Bergegas Triguna berbalik kembali ke rombongan. Melihat itu Ki Bekel mengernyitkan kening.
"Kenapa kau begitu cepat, Triguna?" Ki Bekel tak sabar bertanya.
Dengan wajah tegang Triguna menjawab, "Agaknya mereka bermaksud tidak baik, Ki Bekel. Kita sebaiknya waspada."
"Apa maksudmu?" tanya Ki Bekel lagi. Sudut matanya melirik ke arah dua lelaki di kejauhan.
"Mereka tahu kita membawa barang-barang berharga," sahut Triguna.
Mendengar itu Ki Bekel saling berpandangan dengan Tumanggala. Setelah mendengus kesal, pria paruh baya tersebut memberi aba-aba.
"Kita putar balik, kembali ke arah Wengker!"
***
BEGITULAH kehidupan di dunia. Tak selamanya kegelapan nan muram menyungkupi. Selama bumi masih berputar, maka akan ada saatnya matahari muncul memancarkan sinar. Memberi terang pada seluruh makhluk. Malam yang gelap pun berganti menjadi siang nan benderang. Selubung hitam menghilang bersama menguapnya embun di dedaunan. Tumanggala sedang berada pada titik itu. Di mana kegetiran yang memayungi kehidupannya perlahan-lahan sirna. Dari keadaan terpuruk hampir mati, prajurit Panjalu tersebut memperoleh kejayaan yang tak disangka-sangka. "Lagi-lagi kau menanamkan jasa besar bagi kerajaan, Tumanggala. Gusti Prabu merasa sangat senang sekali persekongkolan jahat Agreswara terbongkar. Semua berkat dirimu," kata Rakryan Tumenggung pada Tumanggala sore itu. Yang diajak bicara tentu saja senang dipuji begitu. Namun ia pendam dalam-dalam kebanggaan itu. Kepalanya tetap ditundukkan dengan takzim. "Saya hanya menjalankan dharma bakti sebagai seorang prajurit Panjalu, Gusti Tumenggung. Sebagai se
KOTARAJA tiba-tiba saja berubah sibuk pagi itu. Pengakuan Ganaseta membuat Arya Lembana bergerak cepat. Senopati tersebut langsung menghadap Rakryan Rangga dan Rakryan Tumenggung sekaligus.Di hadapan panglima tertinggi Kerajaan Panjalu itu, kembali Ganaseta mengulangi keterangannya. Bahwa perampokan demi perampokan yang terjadi di seantero kerajaan selama ini didalangi oleh seorang berpangkat tinggi.Pejabat itulah yang mengatur tempat-tempat mana saja yang harus dikacau dengan perampokan. Dimulai dari desa-desa yang jauh. Lalu semakin lama semakin mendekat ke Kotaraja.Tujuan akhir dari rencana itu adalah menggoyang kewibawaan Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya, raja Panjalu yang tengah bertahta.Sayang, baru sampai Katang Katang dan Lusem rencana itu agaknya harus berakhir. Bermaksud membalaskan dendam pribadinya, Tumanggala secara tak sengaja justru berhadapan dengan kelompok itu dan membongkar niat jahat mereka."Berarti benar dugaan kita. Ru
SENOPATI Arya Lembana bergegas keluar kamar begitu diberi tahu ada telik sandi datang menghadap. Langkah kakinya diayunkan cepat-cepat menuju pendopo. Tamunya sudah menunggu di sana. Hari masih sangat pagi. Permukaan dedaunan masih berhias embun yang bening laksana kristal. Di langit, mendung kelabu nan tebal menghalangi sinar matahari. Membuat keadaan remang-remang. Telik sandi di pendopo langsung haturkan sembah hormat begitu melihat kedatangan Arya Lembana. Orangnya masih muda, berusia kisaran pertengahan dua puluhan. Badannya kukuh, tegap berisi selayaknya prajurit Panjalu lain. "Ada kabar apa?" tanya Arya Lembana setelah menerima haturan sembah. "Saya membawa kabar dari Lusem, Gusti Senopati," jawab telik sandi tersebut. "Hmm, Lusem?" Arya Lembana amat-amati telik sandi di hadapannya. Barulah sang senopati ingat kalau orang itu memang yang ditugaskan di kawasan barat Kotaraja. "Benar, Gusti," sahut si telik sandi. "Semalam terjadi
UCAPAN anak buah Ranajaya itu membuat Tumanggala kernyitkan kening. Raut keheranan tampak jelas pada wajah prajurit Panjalu itu. Apa lagi ini? Batinnya bertanya-tanya. Tumanggala tinggalkan Ranajaya begitu saja. Ia sama sekali tak khawatir buruannya itu kabur, sebab sudah tak mampu bergerak lagi. Sang prajurit lebih tertarik pada keterangan lelaki tadi. "Jelaskan apa maksud ucapanmu!" ujar Tumanggala begitu tiba di sebelah si lelaki. Belum sempat lelaki tadi menjawab, Ranajaya sudah menghardik anak buahnya itu. "Keparat kau, Ganaseta! Apa yang akan kau katakan?" Hal ini membuat Tumanggala semakin tertarik. Dari berdiri, kini sang prajurit jongkok di sebelah lelaki yang dipanggil Ganaseta oleh Ranajaya tadi. Dalam jarak sedekat itu Tumanggala dapat melihat lebih jelas wajah orang. Seketika parasnya berubah. Wajah itu tidak asing dalam ingatannya. Rasa-rasanya pernah bertemu, tapi entah di mana. "Tunggu! Aku rasa kita pernah bert
PERTARUNGAN satu lawan satu pun pecah. Ranajaya yang sebenarnya sudah kecut nyali berlaku nekat. Ia tak hendak menyerah begitu saja. Meski semakin lama semakin terdesak, sebisa mungkin ia ladeni serangan Tumanggala.Bisa ditebak, pertarungan itu berjalan berat sebelah. Hanya dalam tempo dua setengah jurus berselang, terlihat bagaimana Tumanggala sangat menguasai keadaan. Pukulan dan tendangannya berkali-kali mendarat di tubuh Ranajaya.Buk! Buk! Buk!Dalam satu kesempatan, Tumanggala mengirim tiga pukulan beruntun menggunakan tangan kiri. Sasaran tinju itu adalah dada Ranajaya yang sama sekali tak dapat mengelak.Tubuh lelaki bercambang bauk lebat itu tersuruk ke belakang. Terkena telaknya pukulan beruntun Tumanggala. Belum puas, sang prajurit sudah menambahkan serangan lagi. Kali ini dengan tiga tendangan berturut-turut.Des! Des! Des!"Aaaaaa!"Lagi-lagi Ranajaya tak kuasa berkelit. Hantaman tiga tendangan beruntun tersebut membuat
DIKEROYOK empat lawan bersenjata seperti itu tentulah bukan perkara mudah. Karenanya pada awal-awal pertarunganTumanggala agak keteteran. Namun setelah berjalan beberapa jurus, mulai terlihat bahwa dua dari empat lawannya tersebut sudah tak bertenaga.Dengan cerdik sang prajurit lantas pusatkan serangannya pada dua orang tersebut. Dua lelaki yang punggungnya terluka parah, dan telah kehilangan begitu banyak darah.Sembari berkelit menghindari tusukan dan sambaran golok Ranajaya serta satu anak buahnya yang lain, Tumanggala berhasil mengirim tendangan keras ke dua lelaki yang menjadi sasaran utamanya."Hiaaaat!"Des! Des!Dua lelaki tersebut terpekik. Dada mereka serasa sesak bukan main saat kaki Tumanggala singgah. Tubuh keduanya terjajar mundur. Baru berhenti saat punggung mereka yang sudah terluka menghantam dinding salah satu rumah penduduk.Setelah itu kedua lelaki tersebut jatuh duduk, lalu terguling-guling berselimut lumpur nan k
TUMANGGALA sontak batalkan niat. Pedang yang sudah teracung di atas kepala perlahan-lahan diturunkan kembali. Kepalanya berputar, memandang ke arah Ranajaya yang sudah berada tak jauh darinya."Ah, Tumanggala. Sungguh tak kusangka seorang kesatria Panjalu bisa punya pikiran serendah ini," ujar Ranajaya bermaksud mengejek."Lelaki jahanam! Kau harus mati di tanganku sebagai balasan kematian anak dan isteriku!" balas Tumanggala menggeram. Tatapan matanya berkilat-kilat.Amarah sang prajurit semakin menggelegak. Sudah sejak tadi-tadi ia ingin menghabisi Ranajaya. Namun tiga anak buah lelaki biadab itu tiba-tiba datang menghalangi."Ah, ah, kau ini sungguh lucu, Tumanggala," sahut Ranajaya, masih dengan nada mengejek. "Aku sama sekali tidak membunuh anak dan isterimu. Bagaimana mungkin kau bilang aku harus mati sebagai balasan kematian mereka?"Tumanggala kertakkan rahang. Ia hendak menanggapi ucapan lawan, namun Ranajaya sudah mendahului."Anak
TUMANGGALA dapat menduga apa yang tengah dilakukan lawan. Tentulah lelaki yang sudah terdesak itu memanggil bala bantuan.Benar saja. Tak lama berselang muncul dua lelaki yang juga bercambang bauk lebat dari arah berlainan. Setengah berlari keduanya menuju ke arena pertarungan sembari mengacungkan golok besar di tangan masing-masing.Tumanggala mendengus. Bibirnya mengukir seringai lebar."Bagus! Cepat ke sini kalian berdua, biar sekalian aku habisi!" geram Tumanggala begitu melihat dua lawan barunya tersebut."Jangan besar mulut! Kaulah yang akan mati di tangan kami!" bentak salah satu dari dua lelaki yang baru muncul.Tanpa memperpanjang kata lagi, dua lelaki yang baru muncul sudah menyerbu ke arah Tumanggala. Dua golok besar disabetkan ke depan. Satu mengarah ke ulu hati, satunya lagi mengarah ke batang leher!"Hiaaaat!"Wuuut! Wuuut!Sambaran golok menimbulkan suara menderu. Gaungnya yang terdengar jelas membuat bulu kuduk
MENDENGAR bentakan tersebut Tumanggala terkaget-kaget. Cepat sang prajurit Panjalu balikkan badan untuk melihat siapa yang berada di belakangnya. Satu tindakan seketika yang terhitung ceroboh.Rasa kaget Tumanggala kemudian bertambah-tambah. Belum sempat matanya melihat orang yang berteriak tadi dengan jelas, satu serangan deras sudah menyambut. Sebilah golok besar menyambar ke arahnya.Wuutt!Suara menderu keras terdengar bersamaan dengan datangnya sambaran golok. Tumanggala yang tak siap dengan serangan itu mengambil cara termudah untuk mempertahankan diri.Dalam satu gerak cepat pedang di tangan sang prajurit diayunkan untuk menyambut datangnya serangan. Tak lupa tenaga dalam ia kerahkan.Sriiing!Angin yang dibelah laju pedang menimbulkan suara berdesing. Cahaya kobaran api dari rumah-rumah terbakar yang jatuh di badan pedang, membuat senjata andalan Tumanggala itu terlihat berkilat-kilat.Lalu sekejap kemudian ....Trang!
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen