KABAR mengenai pembegalan yang dialami rombongan dari Wurawan langsung terdengar hingga Kotaraja. Sore itu juga petinggi keprajuritan Panjalu yang berwenang sudah mengetahui peristiwa tersebut.
Adalah sais gerobak yang membawa kabar muram ke Kotaraja. Lelaki berbadan tambun tersebut diperintah oleh Tumanggala. Awalnya ia menolak karena masih gemetar ketakutan. Namun Tumanggala berhasil meyakinkannya untuk pergi.
"Tinggal dirimu harapan kami. Jadi, aku mohon pergilah ke Kotaraja. Sampaikan kejadian ini pada Senopati Arya Lembana," ujar Tumanggala sebelumnya. Tepatnya tak lama setelah si prajurit memastikan kematian Ki Bekel Jayapati.
Sais gerobak terpekur sejenak. Rasa takutnya belum lagi hilang. Karenanya ia masih tidak dapat membayangkan harus pergi sendirian menembus hutan yang sepi, menuju Kotaraja yang jaraknya tidak bisa dibilang dekat.
"A-aku ... aku takut, Tumanggala," jawab sais gerobak akhirnya, berterus terang.
"Tidak ada yang perlu kau takuti," sahut Tumanggala. "Tak sampai dua penanakan nasi dari sini kau sudah akan tiba di Katang Katang. Selepas itu jalan yang kau lalui merupakan jalur ramai."
Sais gerobak membenarkan ucapan Tumanggala. Namun ia tidak langsung menyahut. Terdiam beberapa saat dalam kemelut pikirannya sendiri.
"Ba-bagaimana denganmu, Tumanggala? Juga Triguna?" tanya sais gerobak kemudian.
Selain takut, rupanya ia juga merasa ragu-ragu meninggalkan rekan-rekan seperjalanannya yang dalam keadaan terluka parah.
"Jangan pedulikan aku!" sergah Tumanggala seraya mengibaskan tangan. "Lukaku agaknya tidak terlalu parah. Dan Triguna akan aku obati sebisa mungkin. Semoga saja belum terlambat."
"Baiklah kalau begitu," sahut sais gerobak. Ia harus memberanikan diri. Kabar mengenai kejadian ini harus segera disampaikan pada pejabat berwenang di Dahanapura.
"Ingat, jangan beri tahu siapa pun mengenai hal ini sebelum kau menemui Senopati Arya Lembana," susul Tumanggala sebelum sais gerobak pergi.
Sais gerobak hanya mengangguk. Lalu dengan tergopoh-gopoh ia langsung menaiki salah satu kuda. Dan dalam beberapa kejap saja bayangan tubuhnya sudah hilang dari pandangan.
Sesampainya di Dahanapura, sais gerobak minta dipertemukan dengan Arya Lembana. Senopati tersebut adalah atasan Ki Bekel Jayapati. Sekaligus juga atasan tidak langsung Tumanggala dan Triguna.
Sontak kabar yang disampaikan sais gerobak membuat kaget sang senopati. Pasalnya, rombongan dari Wurawan yang dipimpin Ki Bekel Jayapati tersebut membawa upeti untuk Sri Maharaja Jayabhaya.
"Ini gawat! Benar-benar gawat!" desis Arya Lembana dengan wajah mengeras. Kedua tangannya terkepal kencang.
Suasana di dalam ruangan tersebut mendadak berubah mencekam. Sais gerobak hanya bisa menundukkan kepala. Sama sekali tak berani beradu pandang dengan sang senopati.
"Jadi yang masih hidup hanya tinggal dua orang?" tanya Arya Lembana kemudian.
"Benar, Gusti Senopati," sahut sais gerobak.
"Siapa saja? Bagaimana dengan Jayapati?" tanya sang senopati lagi.
"Sayangnya, Ki Bekel gugur, Gusti," jawab sais gerobak dengan nada menyesal.
"Apa?!" seru Arya Lembana kaget.
Sepasang mata sang senopati membelalak lebar mendengar itu. Ki Bekel Jayapati salah satu perwira rendah Panjalu berkemampuan di atas rata-rata. Bagaimana mungkin dapat dikalahkan oleh seorang begal?
Atau ini menjadi pertanda bahwa begal yang mengadang bukanlah gerombolan sembarangan? Kalau menilik dari keberanian mereka membegal rombongan kerajaan, jelas mereka bukan jenis begal kemarin sore.
"Yang masih hidup hanya dua prajurit, Gusti. Tumanggala dan Triguna. Itu pun mereka dalam keadaan terluka parah," tambah sais gerobak memecah kesunyian.
Arya Lembana menarik napas dalam-dalam. Kepalanya mendongak sedikit ke atas. Pandangannya menerawang ke arah langit-langit ruangan.
"Selain aku, siapa lagi yang sudah kau beri tahu mengenai hal ini?" tanya sang senopati kemudian.
"Tidak ada, Gusti Senopati. Tumanggala berpesan agar saya hanya memberi tahu kabar ini pada Gusti Senopati seorang," jawab sais gerobak.
"Bagus!" sergah Arya Lembana. "Kalau begitu sekarang juga antarkan aku ke tempat kejadian."
"Baik, Gusti," sahut sais gerobak seraya menunduk hormat.
Beberapa saat kemudian Arya Lembana dan sais gerobak meninggalkan gerbang Kotaraja. Sang senopati membawa satu pasukan bersenjata lengkap. Terdiri atas dua lusin prajurit.
Tepat saat gelap mulai merayap, Arya Lembana dan pasukannya tiba di tempat rombongan Ki Bekel Jayapati dibegal. Puluhan obor yang mereka bawa membuat bagian hutan tersebut terang benderang.
Sewaktu mereka tiba, Tumanggala tengah melumuri luka di dada Triguna dengan berbagai dedaunan obat. Prajurit muda itu langsung menyembah hormat begitu melihat kehadiran Arya Lembana.
"Gusti Senopati," sambut Tumanggala dengan takzim.
Arya Lembana tak menanggapi. Kepalanya berputar, memandang berkeliling dengan tatapan mata berkilat-kilat. Tampak geraham sang senopati bergerak-gerak. Pertanda tengah menahan amarah.
Kejap berikutnya Arya Lembana melangkah menghampiri tubuh kaku Ki Bekel Jayapati. Terdengar suara mendengus ketika senopati Panjalu itu melihat keadaan sang bekel.
"Siapa yang telah melakukan perbuatan keji ini?" tanya Arya Lembana kemudian, masih dengan memandangi mayat Ki Bekel Jayapati.
Agak takut-takut, Tumanggala mendekati Arya Lembana. Lalu berdiri beberapa langkah di belakang senopati tersebut.
"Orang itu mengaku sebagai Ranasura, Gusti Senopati. Begal Alas Wengker," jawab Tumanggala dengan tenggorokan tercekat.
"Hmm, sudah aku duga," sahut Arya Lembana sembari balikkan badan. Pandangannya yang tajam tertuju pada Tumanggala. Si prajurit sendiri tertunduk.
"Gerombolan itu memang sering sekali mencari gara-gara di sekitaran tempat ini. Tapi untuk kali ini perbuatan mereka sudah sangat keterlaluan. Mereka harus menerima akibat dari apa yang telah mereka lakukan hari ini," tambah sang senopati.
Setelah diam beberapa saat, Arya Lembana lantas membagi pasukan yang ia bawa dari Kotaraja menjadi dua bagian. Yang pertama terdiri atas enam belas orang, diberi perintah untuk melacak tempat persembunyian Begal Alas Wengker.
Pasukan kecil ini langsung bergerak. Mereka berpencar menjadi empat regu. Masing-masing regu terdiri atas empat orang dan menuju ke satu arah.
Tugas mereka hanyalah mengetahui letak tempat persembunyian Begal Alas Wengker. Karenanya para prajurit itu dipesankan agar selalu berhati-hati. Jangan sampai keberadaan mereka diketahui para begal yang diintai.
"Siapa pun di antara kalian yang terlebih dahulu mengetahui tempat persembunyian kawanan begal keparat itu, segera kembali ke Kotaraja dan melapor padaku," pesan Arya Lembana sebelum enam belas prajurit tersebut pergi.
Sedangkan delapan prajurit lainnya bertugas mengawal sang senopati kembali ke Dahanapura. Sebelum itu, mereka diperintahkan untuk terlebih dulu mengurus mayat-mayat yang ada di sana.
Arya Lembana dan rombongan tiba di Dahanapura sebelum tengah malam. Sang senopati memerintahkan agar Tumanggala ditempatkan dalam satu kamar khusus dan dikawal ketat. Prajurit muda itu tidak boleh keluar dari kamar tanpa izin.
Lalu Triguna dikirim ke balai pengobatan dalam pengawalan ketat. Ia dilarang keras menceritakan kejadian yang baru saja dialami kepada siapa pun. Termasuk pada tabib istana yang kelak mengobatinya.
Tak hanya bagi Tumanggala dan Triguna, larangan sama juga disampaikan Arya Lembana pada delapan prajurit yang tadi mengawalnya.
"Ingat, apa yang terjadi pada rombongan Jayapati jangan sampai kalian ceritakan kepada siapa pun. Cukup kita saja yang tahu," pesan sang senopati sebelum membubarkan delapan prajurit tersebut.
"Aku tidak mau kejadian tadi bocor ke luar lingkaran pasukanku. Lebih-lebih lagi sampai bocor ke telinga Rakryan Rangga atau pun Rakryan Tumenggung!" tegasnya.
Delapan prajurit di hadapan Arya Lembana mengangguk patuh. Mereka paham betul, ini perkara gawat. Berani melanggar larangan tersebut sama saja minta mati!
***
Sekedar mengingatkan, kotaraja adalah sebutan bagi ibukota kerajaan. Yakni tempat di mana sang raja bersemayam dan merupakan pusat pemerintahan. Pada masa Raja Jayabhaya, kotaraja Kerajaan Panjalu adalah Dahanapura.
KEESOKAN harinya, pagi-pagi sekali Arya Lembana mendatangi ruang pengobatan istana. Sang senopati ingin menanyai beberapa hal pada Triguna. Begitu Arya Lembana memasuki ruang pengobatan, semua orang yang ada di dalam sana langsung berdiri memberi hormat. Yang dibalas oleh senopati Panjalu tersebut dengan anggukan kepala. Triguna tampak hendak beranjak turun dari tempat tidurnya. Agar dapat memberi hormat dengan sikap sempurna. Namun Arya Lembana mencegah. “Tetap di tempatmu, Prajurit. Kau masih terluka parah,” ujar sang senopati seraya melangkah mendekat. “Terima kasih, Gusti Senopati,” balas Triguna dengan takzim. Prajurit yang sudah berusia kepala tiga tersebut tengah dibaluri ramuan obat oleh seorang tabib. Luka besar di dadanya tak lagi mengeluarkan darah. Namun masih tampak basah. “Bagaimana keadaan lukanya?” tanya Arya Lembana pada tabib. “Sudah lebih baik, Gusti. Kalau aliran darah putih ini sudah berhenti, luka ini akan
UNTUK beberapa saat Tumanggala terdiam. Prajurit muda tersebut benar-benar tak tahu harus menjawab bagaimana. Namun dari pertanyaan terakhir Arya Lembana, ia tahu persis dirinya sedang dicurigai. Ketegangan tiba-tiba saja mengisi ruangan tersebut. Ada rasa tidak nyaman yang dirasakan oleh Tumanggala. Sebab ia tahu sebagai prajurit kedudukannya sangat tidak menguntungkan di saat-saat seperti itu. "Gusti Senopati, sekali lagi saya tegaskan saya memberi usulan-usulan tadi kepada Ki Bekel Jayapati semata-mata agar kami dapat lekas tiba di Kotaraja ini. Sungguh sama sekali tidak ada maksud lain," ujar Tumanggala kemudian. Arya Lembana tampak menyeringai. Tatapan mata senopati Panjalu itu terlihat aneh bagi Tumanggala. "Dengar, Prajurit. Aku sebetulnya tidak ingin mencurigai dan menuduh anggota pasukanku sendiri. Tapi dari keterangan-keterangan yang aku kumpulkan pagi ini, agaknya aku sudah dapat mengambil satu kesimpulan," ujar sang senopati. Tuman
NAMUN agaknya nasib baik masih menaungi Tumanggala. Beberapa saat setelah meninggalkan dirinya dalam ketakutan, Senopati Arya Lembana mengadakan pembicaraan dengan Kridapala. Sebuah pertemuan yang mengubah keputusan sang senopati.Kridapala adalah seorang berpangkat bekel. Sama halnya Ki Bekel Jayapati, orang tersebut merupakan tangan kanan kepercayaan Arya Lembana. Setiap kali menghadapi persoalan pelik, sang senopati akan meminta pendapat pada bawahannya tersebut.Termasuk saat itu. Di mana Arya Lembana sebenarnya diliputi kebimbangan. Ia sebenarnya tidak terlalu yakin Tumanggala terlibat dalam peristiwa pembegalan yang menimpa Ki Bekel Jayapati. Namun dari tiga anggota rombongan yang tersisa, hanya prajurit satu itu yang paling layak dicurigai."Menurut saya, Gusti Senopati tidak dapat begitu saja menghukum prajurit itu," kata Kridapala, menanggapi cerita Arya Lembana."Mengapa demikian, Ki Bekel?" tanya sang senopati penasaran."Bukankah Gusti
KEESOKAN harinya, empat prajurit meminta bertemu dengan Arya Lembana. Ada kabar penting mengenai tempat persembunyian Begal Alas Wengker yang ingin mereka sampaikan langsung pada sang senopati. Tanpa banyak tanya lagi Arya Lembana segera menemui keempat prajurit tersebut. Mereka adalah bagian dari enam belas prajurit yang dua hari lalu dilepasnya untuk melacak keberadaan para begal. Keempat prajurit membungkuk hormat begitu melihat kemunculan Arya Lembana. Sang senopati hanya membalas dengan kibasan tangan. "Apa yang ingin kalian laporkan?" tanya Arya Lembana tanpa basa-basi. Salah satu dari empat prajurit tersebut maju satu langkah. Sekali lagi memberi hormat sebelum buka suara. "Gusti Senopati, kami sudah mengetahui tempat persembunyian Begal Alas Wengker," ujar prajurit tersebut. Arya Lembana angkat alisnya tinggi-tinggi. Meski merasa senang, tapi ia cukup terkejut juga para prajurit tersebut dapat melakukan tugas secepat ini.
ALAS Wengker yang menjadi tujuan penyergapan berjarak hampir lima puluh satu ribu depa dari Dahanapura. Atau sekitar seratus sembilan puluh li jika memakai satuan ukuran bangsa Song. Bukan jarak yang terhitung dekat. Lebih-lebih jalur yang dilalui berupa lereng pegunungan. Sebab antara Dahanapura dan Wengker terpisah oleh Gunung Pawinihan nan menjulang. Karena itu pasukan penyergap yang dipimpin Kridapala musti mengambil jalan memutar. Dari Dahanapura lurus terus menuju Katang Katang. Untuk kemudian berbelok ke barat dan menyusuri lereng selatan gunung. "Apakah kita akan langsung menyergap gerombolan begal itu malam ini juga, Ki Bekel?" tanya Wipaksa kepada Kridapala. Ketika itu rombongan mereka baru saja menyeberangi Bengawan Sigarada. Sebuah parit alam maha luas yang menjadi batas sekaligus pelindung kotaraja. Ditanya begitu rupa, Kridapala tak langsung menjawab. Pandangan lelaki paruh baya itu tampak menerawang ke depan. Menatap ja
MENDENGAR aba-aba tersebut seluruh anggota pasukan sontak hentikan kuda masing-masing. Tempat itu pun seketika menjadi ramai oleh ringkikan nyaring yang saling tindih-menindih. Di tempatnya, Tumanggala tengah berusaha menjinakkan kudanya yang gelisah akibat terkejut. Sembari mengelus-elus surai pada tengkuk hewan tersebut, sang prajurit edarkan pandangan ke sekeliling. Tapi ke mana pun matanya memandang yang terlihat hanyalah kegelapan menghitam. Tumanggala segera maklum, mereka berhenti di jalur yang berada di tengah-tengah hutan lebat. "Tumanggala!" Terdengar Kridapala berseru memanggil. Tumanggala bergegas mengarahkan kudanya ke arah depan untuk mendekati lelaki paruh baya tersebut. "Sendika dawuh, Ki Bekel," ujar Tumanggala seraya memberi sikap menghormat dari atas punggung kuda. "Kau tentu masih ingat di mana tempat rombongan kalian tempo hari diadang gerombolan begal itu, bukan?" tanya Kridapala tanpa tedeng aling-aling.
MALAM dengan cepat berlalu. Tepat pada saat kokok ayam jantan pertama kali terdengar, para prajurit Panjalu yang bermalam di hutan tersebut sudah kembali terjaga.Pagi masih jauh. Bahkan langit di ufuk timur masih hitam kelam. Namun suasana di tempat tersebut sudah terlihat sangat sibuk. Saat itu juga mereka harus bersiap-siap melakukan penyergapan ke Alas Wengker.Tak ada makan pagi. Para prajurit hanya dibekali beberapa macam buah-buahan untuk mengganjal perut. Begitu seluruhnya sudah bersiaga, Kridapala selaku pemimpin rombongan langsung memimpin perjalanan."Ingat rencana yang sudah kita susun, Wipaksa," ujar Kridapala begitu rombongan mereka bergerak melanjutkan perjalanan ke arah timur.Wipaksa hanya mengangguk. Lurah prajurit itu masih ingat betul rencana yang dibeberkan atasannya tersebut kemarin."Empat ratus depa di dekat sarang para begal keparat itu, kita berpencar. Kau dan selusin prajurit terus merangsek ke dalam. Sedangkan aku dan ya
KEMARAHAN yang seketika membakar hatinya membuat Tumanggala secara tak sadar berjingkat. Membuat gerakan hendak bangkit berdiri ke depan. Namun gerak tubuh prajurit itu segera tertahan oleh rentangan tangan Wipaksa."Tahan dulu amarahmu, Prajurit," ujar Wipaksa setengah berbisik. Sepasang matanya memandangi Tumanggala dengan tatapan tajam."Ini bukan penyergapan main-main. Setiap gerakan harus diperhitungkan dengan matang. Aku tidak mau amarahmu merusak tugas kita di sini," tambah Wipaksa.Meski disampaikan dengan perlahan, lagi setengah berbisik, namun dari nada bicaranya Wipaksa terdengar tengah mengancam Tumanggala. Lurah prajurit itu memang tidak main-main dengan ucapannya tersebut.Hal itu membuat Tumanggala kertakakkan rahang sekali lagi. Gerahamnya terdengar bergemeletuk keras. Dengan susah payah ditekannya hawa amarah yang serasa sudah berada di ubun-ubun.Seraya menghela napas panjang, perlahan Tumanggala kembali duduk berjongkok. Kembali
BEGITULAH kehidupan di dunia. Tak selamanya kegelapan nan muram menyungkupi. Selama bumi masih berputar, maka akan ada saatnya matahari muncul memancarkan sinar. Memberi terang pada seluruh makhluk. Malam yang gelap pun berganti menjadi siang nan benderang. Selubung hitam menghilang bersama menguapnya embun di dedaunan. Tumanggala sedang berada pada titik itu. Di mana kegetiran yang memayungi kehidupannya perlahan-lahan sirna. Dari keadaan terpuruk hampir mati, prajurit Panjalu tersebut memperoleh kejayaan yang tak disangka-sangka. "Lagi-lagi kau menanamkan jasa besar bagi kerajaan, Tumanggala. Gusti Prabu merasa sangat senang sekali persekongkolan jahat Agreswara terbongkar. Semua berkat dirimu," kata Rakryan Tumenggung pada Tumanggala sore itu. Yang diajak bicara tentu saja senang dipuji begitu. Namun ia pendam dalam-dalam kebanggaan itu. Kepalanya tetap ditundukkan dengan takzim. "Saya hanya menjalankan dharma bakti sebagai seorang prajurit Panjalu, Gusti Tumenggung. Sebagai se
KOTARAJA tiba-tiba saja berubah sibuk pagi itu. Pengakuan Ganaseta membuat Arya Lembana bergerak cepat. Senopati tersebut langsung menghadap Rakryan Rangga dan Rakryan Tumenggung sekaligus.Di hadapan panglima tertinggi Kerajaan Panjalu itu, kembali Ganaseta mengulangi keterangannya. Bahwa perampokan demi perampokan yang terjadi di seantero kerajaan selama ini didalangi oleh seorang berpangkat tinggi.Pejabat itulah yang mengatur tempat-tempat mana saja yang harus dikacau dengan perampokan. Dimulai dari desa-desa yang jauh. Lalu semakin lama semakin mendekat ke Kotaraja.Tujuan akhir dari rencana itu adalah menggoyang kewibawaan Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya, raja Panjalu yang tengah bertahta.Sayang, baru sampai Katang Katang dan Lusem rencana itu agaknya harus berakhir. Bermaksud membalaskan dendam pribadinya, Tumanggala secara tak sengaja justru berhadapan dengan kelompok itu dan membongkar niat jahat mereka."Berarti benar dugaan kita. Ru
SENOPATI Arya Lembana bergegas keluar kamar begitu diberi tahu ada telik sandi datang menghadap. Langkah kakinya diayunkan cepat-cepat menuju pendopo. Tamunya sudah menunggu di sana. Hari masih sangat pagi. Permukaan dedaunan masih berhias embun yang bening laksana kristal. Di langit, mendung kelabu nan tebal menghalangi sinar matahari. Membuat keadaan remang-remang. Telik sandi di pendopo langsung haturkan sembah hormat begitu melihat kedatangan Arya Lembana. Orangnya masih muda, berusia kisaran pertengahan dua puluhan. Badannya kukuh, tegap berisi selayaknya prajurit Panjalu lain. "Ada kabar apa?" tanya Arya Lembana setelah menerima haturan sembah. "Saya membawa kabar dari Lusem, Gusti Senopati," jawab telik sandi tersebut. "Hmm, Lusem?" Arya Lembana amat-amati telik sandi di hadapannya. Barulah sang senopati ingat kalau orang itu memang yang ditugaskan di kawasan barat Kotaraja. "Benar, Gusti," sahut si telik sandi. "Semalam terjadi
UCAPAN anak buah Ranajaya itu membuat Tumanggala kernyitkan kening. Raut keheranan tampak jelas pada wajah prajurit Panjalu itu. Apa lagi ini? Batinnya bertanya-tanya. Tumanggala tinggalkan Ranajaya begitu saja. Ia sama sekali tak khawatir buruannya itu kabur, sebab sudah tak mampu bergerak lagi. Sang prajurit lebih tertarik pada keterangan lelaki tadi. "Jelaskan apa maksud ucapanmu!" ujar Tumanggala begitu tiba di sebelah si lelaki. Belum sempat lelaki tadi menjawab, Ranajaya sudah menghardik anak buahnya itu. "Keparat kau, Ganaseta! Apa yang akan kau katakan?" Hal ini membuat Tumanggala semakin tertarik. Dari berdiri, kini sang prajurit jongkok di sebelah lelaki yang dipanggil Ganaseta oleh Ranajaya tadi. Dalam jarak sedekat itu Tumanggala dapat melihat lebih jelas wajah orang. Seketika parasnya berubah. Wajah itu tidak asing dalam ingatannya. Rasa-rasanya pernah bertemu, tapi entah di mana. "Tunggu! Aku rasa kita pernah bert
PERTARUNGAN satu lawan satu pun pecah. Ranajaya yang sebenarnya sudah kecut nyali berlaku nekat. Ia tak hendak menyerah begitu saja. Meski semakin lama semakin terdesak, sebisa mungkin ia ladeni serangan Tumanggala.Bisa ditebak, pertarungan itu berjalan berat sebelah. Hanya dalam tempo dua setengah jurus berselang, terlihat bagaimana Tumanggala sangat menguasai keadaan. Pukulan dan tendangannya berkali-kali mendarat di tubuh Ranajaya.Buk! Buk! Buk!Dalam satu kesempatan, Tumanggala mengirim tiga pukulan beruntun menggunakan tangan kiri. Sasaran tinju itu adalah dada Ranajaya yang sama sekali tak dapat mengelak.Tubuh lelaki bercambang bauk lebat itu tersuruk ke belakang. Terkena telaknya pukulan beruntun Tumanggala. Belum puas, sang prajurit sudah menambahkan serangan lagi. Kali ini dengan tiga tendangan berturut-turut.Des! Des! Des!"Aaaaaa!"Lagi-lagi Ranajaya tak kuasa berkelit. Hantaman tiga tendangan beruntun tersebut membuat
DIKEROYOK empat lawan bersenjata seperti itu tentulah bukan perkara mudah. Karenanya pada awal-awal pertarunganTumanggala agak keteteran. Namun setelah berjalan beberapa jurus, mulai terlihat bahwa dua dari empat lawannya tersebut sudah tak bertenaga.Dengan cerdik sang prajurit lantas pusatkan serangannya pada dua orang tersebut. Dua lelaki yang punggungnya terluka parah, dan telah kehilangan begitu banyak darah.Sembari berkelit menghindari tusukan dan sambaran golok Ranajaya serta satu anak buahnya yang lain, Tumanggala berhasil mengirim tendangan keras ke dua lelaki yang menjadi sasaran utamanya."Hiaaaat!"Des! Des!Dua lelaki tersebut terpekik. Dada mereka serasa sesak bukan main saat kaki Tumanggala singgah. Tubuh keduanya terjajar mundur. Baru berhenti saat punggung mereka yang sudah terluka menghantam dinding salah satu rumah penduduk.Setelah itu kedua lelaki tersebut jatuh duduk, lalu terguling-guling berselimut lumpur nan k
TUMANGGALA sontak batalkan niat. Pedang yang sudah teracung di atas kepala perlahan-lahan diturunkan kembali. Kepalanya berputar, memandang ke arah Ranajaya yang sudah berada tak jauh darinya."Ah, Tumanggala. Sungguh tak kusangka seorang kesatria Panjalu bisa punya pikiran serendah ini," ujar Ranajaya bermaksud mengejek."Lelaki jahanam! Kau harus mati di tanganku sebagai balasan kematian anak dan isteriku!" balas Tumanggala menggeram. Tatapan matanya berkilat-kilat.Amarah sang prajurit semakin menggelegak. Sudah sejak tadi-tadi ia ingin menghabisi Ranajaya. Namun tiga anak buah lelaki biadab itu tiba-tiba datang menghalangi."Ah, ah, kau ini sungguh lucu, Tumanggala," sahut Ranajaya, masih dengan nada mengejek. "Aku sama sekali tidak membunuh anak dan isterimu. Bagaimana mungkin kau bilang aku harus mati sebagai balasan kematian mereka?"Tumanggala kertakkan rahang. Ia hendak menanggapi ucapan lawan, namun Ranajaya sudah mendahului."Anak
TUMANGGALA dapat menduga apa yang tengah dilakukan lawan. Tentulah lelaki yang sudah terdesak itu memanggil bala bantuan.Benar saja. Tak lama berselang muncul dua lelaki yang juga bercambang bauk lebat dari arah berlainan. Setengah berlari keduanya menuju ke arena pertarungan sembari mengacungkan golok besar di tangan masing-masing.Tumanggala mendengus. Bibirnya mengukir seringai lebar."Bagus! Cepat ke sini kalian berdua, biar sekalian aku habisi!" geram Tumanggala begitu melihat dua lawan barunya tersebut."Jangan besar mulut! Kaulah yang akan mati di tangan kami!" bentak salah satu dari dua lelaki yang baru muncul.Tanpa memperpanjang kata lagi, dua lelaki yang baru muncul sudah menyerbu ke arah Tumanggala. Dua golok besar disabetkan ke depan. Satu mengarah ke ulu hati, satunya lagi mengarah ke batang leher!"Hiaaaat!"Wuuut! Wuuut!Sambaran golok menimbulkan suara menderu. Gaungnya yang terdengar jelas membuat bulu kuduk
MENDENGAR bentakan tersebut Tumanggala terkaget-kaget. Cepat sang prajurit Panjalu balikkan badan untuk melihat siapa yang berada di belakangnya. Satu tindakan seketika yang terhitung ceroboh.Rasa kaget Tumanggala kemudian bertambah-tambah. Belum sempat matanya melihat orang yang berteriak tadi dengan jelas, satu serangan deras sudah menyambut. Sebilah golok besar menyambar ke arahnya.Wuutt!Suara menderu keras terdengar bersamaan dengan datangnya sambaran golok. Tumanggala yang tak siap dengan serangan itu mengambil cara termudah untuk mempertahankan diri.Dalam satu gerak cepat pedang di tangan sang prajurit diayunkan untuk menyambut datangnya serangan. Tak lupa tenaga dalam ia kerahkan.Sriiing!Angin yang dibelah laju pedang menimbulkan suara berdesing. Cahaya kobaran api dari rumah-rumah terbakar yang jatuh di badan pedang, membuat senjata andalan Tumanggala itu terlihat berkilat-kilat.Lalu sekejap kemudian ....Trang!