Home / Pendekar / Arya Tumanggala / Fitnah untuk Tumanggala

Share

Fitnah untuk Tumanggala

Author: Kebo Rawis
last update Last Updated: 2021-05-25 07:06:37

KEESOKAN harinya, pagi-pagi sekali Arya Lembana mendatangi ruang pengobatan istana. Sang senopati ingin menanyai beberapa hal pada Triguna.

Begitu Arya Lembana memasuki ruang pengobatan, semua orang yang ada di dalam sana langsung berdiri memberi hormat. Yang dibalas oleh senopati Panjalu tersebut dengan anggukan kepala.

Triguna tampak hendak beranjak turun dari tempat tidurnya. Agar dapat memberi hormat dengan sikap sempurna. Namun Arya Lembana mencegah.

“Tetap di tempatmu, Prajurit. Kau masih terluka parah,” ujar sang senopati seraya melangkah mendekat.

“Terima kasih, Gusti Senopati,” balas Triguna dengan takzim.

Prajurit yang sudah berusia kepala tiga tersebut tengah dibaluri ramuan obat oleh seorang tabib. Luka besar di dadanya tak lagi mengeluarkan darah. Namun masih tampak basah.

“Bagaimana keadaan lukanya?” tanya Arya Lembana pada tabib.

“Sudah lebih baik, Gusti. Kalau aliran darah putih ini sudah berhenti, luka ini akan segera mengering dalam beberapa hari,” sahut tabib.

Arya Lembana tampak manggut-manggut. Sepasang matanya menatap luka yang tengah diborehi ramuan obat. Besar sekali luka itu. Melintang panjang dari bawah ketiak kiri hingga ke atas perut bagian kanan.

Untung saja sayatan tersebut tidak terlalu dalam. Sehingga luka yang tercipta tak sampai menampakkan tulang dada. Apalagi membuat usus mengintip keluar dari luka di bagian atas perut.

“Jika kau sudah selesai, aku ingin berbicara empat mata dengan prajurit ini,” ujar Arya Lembana pada tabib kemudian.

Yang diajak bicara anggukkan kepala dalam-dalam.

“Baik, Gusti,” sahutnya.

Setelah memberi borehan sekali lagi, tabib tersebut langsung menyingkir. Keluar dari dalam ruang pengobatan setelah sebelumnya memberi penghormatan pada Arya Lembana.

“Kau sudah tidak merasa kesakitan, bukan?” tanya sang senopati setelah tinggal berdua dengan Triguna.

“Tidak, Gusti. Hanya terasa nyeri sedikit, tapi saya baik-baik saja,” sahut Triguna.

“Bagus!” sergah Arya Lembana. “Sekarang coba kau ceritakan apa yang sebenarnya terjadi siang kemarin.”

Triguna tampak menelan ludah sesaat. Rasa ngeri seketika kembali merayapi dirinya. Teringat betapa tegang dirinya ketika mengetahui tengah berhadapan dengan gerombolan begal paling ditakuti di wilayah barat Kerajaan Panjalu.

Setelah mengatur napas beberapa kejap, prajurit tersebut menceritakan peristiwa kemarin. Dimulai dari saat mereka tiba di hutan kaki Gunung Pawinihan, lalu berhenti karena ada pohon tumbang di tengah jalan.

Kemudian disusul kemunculan gerombolan Begal Alas Wengker yang menginginkan barang bawaan mereka. Dan diakhiri dengan pertempuran yang memakan korban seluruh anggota rombongan. Kecuali dirinya, Tumanggala, dan sais gerobak.

“Apakah kau menangkap ada hal-hal yang menurutmu mencurigakan sebelum kejadian tersebut?” tanya Arya Lembana setelah Triguna menyelesaikan ceritanya.

Yang ditanya tampak berpikir sejenak. Sebenarnya di dalam hati Triguna ragu-ragu. Apakah sebaiknya ia sampaikan saja apa yang membuatnya kesal pada Tumanggala kemarin?

“Sebelumnya saya mohon ampun, Gusti. Mana tahu dugaan saya ini salah,” ujar Triguna setelah memantapkan hati.

“Tidak apa-apa. Katakan saja,” sahut Arya Lembana seraya congkakkan kepala.

“Saat kami hendak meninggalkan Wurawan, Ki Bekel Jayapati sudah menyiapkan pasukan pengawal berkekuatan dua lusin prajurit. Namun, Tumanggala kemudian mengusulkan agar jumlah tersebut dikurangi menjadi separuhnya saja ....”

“Hmm, kenapa begitu?” tukas Arya Lembana dengan raut muka keheranan.

“Tumanggala beralasan jumlah pasukan yang terlalu banyak akan membuat rombongan terlihat mencolok. Karena jelas-jelas menunjukkan rombongan tengah mengawal barang-barang berharga. Ia khawatir hal tersebut menarik perhatian para penjahat,” jelas Triguna.

“Dan yang membuat saya heran, Ki Bekel Jayapati menyetujui usulan tersebut. Sehingga akhirnya kami berangkat hanya dengan sebelas prajurit dan seorang sais. Jumlah anggota rombongan keseluruhannya tiga belas orang bersama Ki Bekel,” tambahnya.

Arya Lembana menarik napas panjang. Pelipisnya tampak bergerak-gerak.

“Hmm, tiga belas,” ulang sang senopati mendesis. “Jumlah itu saja sudah merupakan satu pertanda buruk.”

Tanpa sadar Triguna anggukkan kepala menyetujui. Angka tiga belas memang dikenal sebagai angka pembawa sial. Menandakan sesuatu yang buruk akan terjadi. Juga merupakan angka kematian.

“Itulah, Gusti. Saya juga heran mengapa Ki Bekel setuju saja dengan usulan Tumanggala tersebut,” timpal Triguna.

“Aku dapat memaklumi alasan Tumanggala tersebut,” ujar Arya Lembana.

Ucapan tersebut bukan bermaksud membela Tumanggala. Sang senopati hanya tak mau terpancing untuk buru-buru menaruh syak pada pasukannya sendiri.

“Apakah ada hal lain lagi yang menurutmu layak dicurigai?” tanya Arya Lembana lagi.

“Ada, Gusti,” sahut Triguna cepat. “Saya juga masih bertanya-tanya, apa kiranya yang menjadi alasan Tumanggala mengusulkan agar kami lewat jalan pintas yang kemudian muncul para begal itu ....”

“Dan lagi-lagi Jayapati menyetujui usulannya itu?” tukas Arya Lembana bertanya.

Triguna mengangguk.

“Benar sekali, Gusti. Ki Bekel menyetujuinya,” jawab si prajurit. “Dengan alasan kami dapat menyingkat waktu perjalanan dibanding lewat Hasin.”

Arya Lembana mengangguk-anggukkan kepala mendengar penjelasan itu. Otaknya segera berputar, mencerna keterangan yang diberikan prajurit di hadapannya tersebut.

Namun sang senopati belum dapat mengambil kesimpulan. Seperti dikatakan Triguna sendiri, dugaan itu bisa saja salah. Meski layak dilakukan penyelidikan lebih lanjut, tapi mungkin saja rangkaian peristiwa tersebut tidak saling terkait.

Masih butuh petunjuk serta gelagat lain yang lebih meyakinkan, untuk sampai pada kesimpulan bahwa memang terdapat persekongkolan jahat. Persekongkolan yang mencelakakan rombongan Ki Bekel Jayapati, dan menyebabkan upeti bagi Sri Maharaja Jayabhaya dibegal di tengah jalan.

“Baiklah, terima kasih atas keteranganmu, Prajurit. Kau boleh kembali beristirahat,” ujar Arya Lembana kemudian.

Usai berkata begitu senopati Panjalu tersebut keluar dari ruang pengobatan. Triguna buru-buru memberi menghaturkan sembah, walau dalam keadaan terbaring di atas pembaringan.

Begitu tubuh Arya Lembana menghilang di balik pintu, wajah Triguna kembangkan seringai lebar. Kepalanya kemudian mendongak. Pandangan matanya menerawang ke arah langit-langit ruangan.

"Sekarang rasakan olehmu, Tumanggala," desisnya. "Sudah empat warsa aku pendam rasa sakit ini. Sekarang giliranmu menerima akibatnya!"

Sementara itu, dengan dikawal dua prajurit Arya Lembana menuju ke ruangan di mana Tumanggala berada. Keterangan Triguna tadi harus dicocokkan dengan pengakuan Tumanggala sendiri.

“Saya mengusulkan demikian untuk kebaikan perjalanan kami sendiri, Gusti. Sama sekali tidak ada maksud lain,” kata Tumanggala setelah Arya Lembana menanyainya mengenai usulan-usulan yang diberikan prajurit tersebut pada Ki Bekel Jayapati.

“Apakah kau pernah melewati jalur itu sebelumnya?” tanya Arya Lembana.

Tumanggala mengangguk.

“Beberapa kali saya melewati jalur tersebut ketika mendapat penugasan ke Wurawan maupun Wengker,” jawabnya.

Arya Lembana angkat kedua alisnya tinggi-tinggi. Satu dugaan seketika menyeruak di dalam benak sang senopati.

“Artinya, aku sudah sangat mengenali jalur tersebut, Tumanggala?” tanyanya.

Ditanya begitu Tumanggala terkesiap. Ia merasakan ada sesuatu yang tidak enak dari cara senopati tersebut mengajukan pertanyaan.

“Ma-maaf, Gusti, saya tidak paham apa maksud pertanyaan Gusti,” ujar si prajurit kebingungan.

Terdengar helaan napas panjang dari Arya Lembana. Senopati Panjalu tersebut arahkan pandangannya pada Tumanggala dengan mata tajam berkilat-kilat. Berusaha menangkap adakah sinar kepalsuan yang terpancar dari manik mata prajurit tersebut.

“Kau sudah beberapa kali melewati jalur tersebut. Artinya, kau tentu juga tahu jika ada gerombolan begal yang berkeliaran di tempat tersebut,” ujar Arya Lembana menjelaskan maksudnya.

Tumanggala sontak menggeleng.

“Mohon maaf, Gusti. Kalau mengenai hal itu saya sama sekali tidak menyangka. Selama melewati jalur tersebut saya tidak pernah bertemu ataupun diadang begal,” sahutnya.

“Hmm, begitu?” tanya Arya Lembana. Nada bicaranya terdengar meragu.

Tak ada jawaban. Tumanggala bingung harus berkata apa.

“Lalu, dapatkah kau jelaskan mengapa dari seluruh anggota rombongan hanya dirimu yang tidak mengalami luka?” tanya Arya Lembana lagi.

Tumanggala terhenyak. Kali ini pertanyaan senopati tersebut jelas-jelas berusaha menyudutkan dirinya.

***

Related chapters

  • Arya Tumanggala   Hukum Pancung

    UNTUK beberapa saat Tumanggala terdiam. Prajurit muda tersebut benar-benar tak tahu harus menjawab bagaimana. Namun dari pertanyaan terakhir Arya Lembana, ia tahu persis dirinya sedang dicurigai. Ketegangan tiba-tiba saja mengisi ruangan tersebut. Ada rasa tidak nyaman yang dirasakan oleh Tumanggala. Sebab ia tahu sebagai prajurit kedudukannya sangat tidak menguntungkan di saat-saat seperti itu. "Gusti Senopati, sekali lagi saya tegaskan saya memberi usulan-usulan tadi kepada Ki Bekel Jayapati semata-mata agar kami dapat lekas tiba di Kotaraja ini. Sungguh sama sekali tidak ada maksud lain," ujar Tumanggala kemudian. Arya Lembana tampak menyeringai. Tatapan mata senopati Panjalu itu terlihat aneh bagi Tumanggala. "Dengar, Prajurit. Aku sebetulnya tidak ingin mencurigai dan menuduh anggota pasukanku sendiri. Tapi dari keterangan-keterangan yang aku kumpulkan pagi ini, agaknya aku sudah dapat mengambil satu kesimpulan," ujar sang senopati. Tuman

    Last Updated : 2021-05-28
  • Arya Tumanggala   Akal Licik Kridapala

    NAMUN agaknya nasib baik masih menaungi Tumanggala. Beberapa saat setelah meninggalkan dirinya dalam ketakutan, Senopati Arya Lembana mengadakan pembicaraan dengan Kridapala. Sebuah pertemuan yang mengubah keputusan sang senopati.Kridapala adalah seorang berpangkat bekel. Sama halnya Ki Bekel Jayapati, orang tersebut merupakan tangan kanan kepercayaan Arya Lembana. Setiap kali menghadapi persoalan pelik, sang senopati akan meminta pendapat pada bawahannya tersebut.Termasuk saat itu. Di mana Arya Lembana sebenarnya diliputi kebimbangan. Ia sebenarnya tidak terlalu yakin Tumanggala terlibat dalam peristiwa pembegalan yang menimpa Ki Bekel Jayapati. Namun dari tiga anggota rombongan yang tersisa, hanya prajurit satu itu yang paling layak dicurigai."Menurut saya, Gusti Senopati tidak dapat begitu saja menghukum prajurit itu," kata Kridapala, menanggapi cerita Arya Lembana."Mengapa demikian, Ki Bekel?" tanya sang senopati penasaran."Bukankah Gusti

    Last Updated : 2021-05-31
  • Arya Tumanggala   Pasukan Penyergap

    KEESOKAN harinya, empat prajurit meminta bertemu dengan Arya Lembana. Ada kabar penting mengenai tempat persembunyian Begal Alas Wengker yang ingin mereka sampaikan langsung pada sang senopati. Tanpa banyak tanya lagi Arya Lembana segera menemui keempat prajurit tersebut. Mereka adalah bagian dari enam belas prajurit yang dua hari lalu dilepasnya untuk melacak keberadaan para begal. Keempat prajurit membungkuk hormat begitu melihat kemunculan Arya Lembana. Sang senopati hanya membalas dengan kibasan tangan. "Apa yang ingin kalian laporkan?" tanya Arya Lembana tanpa basa-basi. Salah satu dari empat prajurit tersebut maju satu langkah. Sekali lagi memberi hormat sebelum buka suara. "Gusti Senopati, kami sudah mengetahui tempat persembunyian Begal Alas Wengker," ujar prajurit tersebut. Arya Lembana angkat alisnya tinggi-tinggi. Meski merasa senang, tapi ia cukup terkejut juga para prajurit tersebut dapat melakukan tugas secepat ini.

    Last Updated : 2021-06-01
  • Arya Tumanggala   Rencana Wipaksa

    ALAS Wengker yang menjadi tujuan penyergapan berjarak hampir lima puluh satu ribu depa dari Dahanapura. Atau sekitar seratus sembilan puluh li jika memakai satuan ukuran bangsa Song. Bukan jarak yang terhitung dekat. Lebih-lebih jalur yang dilalui berupa lereng pegunungan. Sebab antara Dahanapura dan Wengker terpisah oleh Gunung Pawinihan nan menjulang. Karena itu pasukan penyergap yang dipimpin Kridapala musti mengambil jalan memutar. Dari Dahanapura lurus terus menuju Katang Katang. Untuk kemudian berbelok ke barat dan menyusuri lereng selatan gunung. "Apakah kita akan langsung menyergap gerombolan begal itu malam ini juga, Ki Bekel?" tanya Wipaksa kepada Kridapala. Ketika itu rombongan mereka baru saja menyeberangi Bengawan Sigarada. Sebuah parit alam maha luas yang menjadi batas sekaligus pelindung kotaraja. Ditanya begitu rupa, Kridapala tak langsung menjawab. Pandangan lelaki paruh baya itu tampak menerawang ke depan. Menatap ja

    Last Updated : 2021-06-05
  • Arya Tumanggala   Jerat untuk Tumanggala

    MENDENGAR aba-aba tersebut seluruh anggota pasukan sontak hentikan kuda masing-masing. Tempat itu pun seketika menjadi ramai oleh ringkikan nyaring yang saling tindih-menindih. Di tempatnya, Tumanggala tengah berusaha menjinakkan kudanya yang gelisah akibat terkejut. Sembari mengelus-elus surai pada tengkuk hewan tersebut, sang prajurit edarkan pandangan ke sekeliling. Tapi ke mana pun matanya memandang yang terlihat hanyalah kegelapan menghitam. Tumanggala segera maklum, mereka berhenti di jalur yang berada di tengah-tengah hutan lebat. "Tumanggala!" Terdengar Kridapala berseru memanggil. Tumanggala bergegas mengarahkan kudanya ke arah depan untuk mendekati lelaki paruh baya tersebut. "Sendika dawuh, Ki Bekel," ujar Tumanggala seraya memberi sikap menghormat dari atas punggung kuda. "Kau tentu masih ingat di mana tempat rombongan kalian tempo hari diadang gerombolan begal itu, bukan?" tanya Kridapala tanpa tedeng aling-aling.

    Last Updated : 2021-06-06
  • Arya Tumanggala   Sarang Begal

    MALAM dengan cepat berlalu. Tepat pada saat kokok ayam jantan pertama kali terdengar, para prajurit Panjalu yang bermalam di hutan tersebut sudah kembali terjaga.Pagi masih jauh. Bahkan langit di ufuk timur masih hitam kelam. Namun suasana di tempat tersebut sudah terlihat sangat sibuk. Saat itu juga mereka harus bersiap-siap melakukan penyergapan ke Alas Wengker.Tak ada makan pagi. Para prajurit hanya dibekali beberapa macam buah-buahan untuk mengganjal perut. Begitu seluruhnya sudah bersiaga, Kridapala selaku pemimpin rombongan langsung memimpin perjalanan."Ingat rencana yang sudah kita susun, Wipaksa," ujar Kridapala begitu rombongan mereka bergerak melanjutkan perjalanan ke arah timur.Wipaksa hanya mengangguk. Lurah prajurit itu masih ingat betul rencana yang dibeberkan atasannya tersebut kemarin."Empat ratus depa di dekat sarang para begal keparat itu, kita berpencar. Kau dan selusin prajurit terus merangsek ke dalam. Sedangkan aku dan ya

    Last Updated : 2021-06-08
  • Arya Tumanggala   Serangan di Pagi Buta

    KEMARAHAN yang seketika membakar hatinya membuat Tumanggala secara tak sadar berjingkat. Membuat gerakan hendak bangkit berdiri ke depan. Namun gerak tubuh prajurit itu segera tertahan oleh rentangan tangan Wipaksa."Tahan dulu amarahmu, Prajurit," ujar Wipaksa setengah berbisik. Sepasang matanya memandangi Tumanggala dengan tatapan tajam."Ini bukan penyergapan main-main. Setiap gerakan harus diperhitungkan dengan matang. Aku tidak mau amarahmu merusak tugas kita di sini," tambah Wipaksa.Meski disampaikan dengan perlahan, lagi setengah berbisik, namun dari nada bicaranya Wipaksa terdengar tengah mengancam Tumanggala. Lurah prajurit itu memang tidak main-main dengan ucapannya tersebut.Hal itu membuat Tumanggala kertakakkan rahang sekali lagi. Gerahamnya terdengar bergemeletuk keras. Dengan susah payah ditekannya hawa amarah yang serasa sudah berada di ubun-ubun.Seraya menghela napas panjang, perlahan Tumanggala kembali duduk berjongkok. Kembali

    Last Updated : 2021-06-10
  • Arya Tumanggala   Siasat Ranasura

    HUTAN yang semula sunyi senyap itu mendadak berubah riuh. Diawali oleh suara bentakan-bentakan marah, lalu disusul kerasnya dentrangan senjata nan nyaring. Gemeletak kayu atap pondok yang mulai terbakar api turut terdengar samar-samar. Pertempuran bersenjata antara dua begal melawan tiga prajurit Panjalu pecah. Kedua kubu saling bertukar serangan, saling mengancam. Senjata di tangan masing-masing bergantian berkelebat mencari mangsa. "Hiaaattt!" Sring! Sring! Trang! Trang! Dalam suasana yang berubah panik dan mencekam seperti itu, kembali keluar beberapa orang begal dari dalam pondok. Wajah mereka langsung berubah tegang begitu menyadari pondok terbakar hebat. Juga melihat pertarungan yang tengah berlangsung di halaman depan. Salah seorang dari begal yang baru keluar itu sangat dikenali oleh Tumanggala. Membuat wajah prajurit tersebut kelam membesi begitu melihatnya. Tak lain tak bukan, itulah dia Ranasura sang gembong Begal Alas Wengk

    Last Updated : 2021-06-11

Latest chapter

  • Arya Tumanggala   Arya Tumanggala

    BEGITULAH kehidupan di dunia. Tak selamanya kegelapan nan muram menyungkupi. Selama bumi masih berputar, maka akan ada saatnya matahari muncul memancarkan sinar. Memberi terang pada seluruh makhluk. Malam yang gelap pun berganti menjadi siang nan benderang. Selubung hitam menghilang bersama menguapnya embun di dedaunan. Tumanggala sedang berada pada titik itu. Di mana kegetiran yang memayungi kehidupannya perlahan-lahan sirna. Dari keadaan terpuruk hampir mati, prajurit Panjalu tersebut memperoleh kejayaan yang tak disangka-sangka. "Lagi-lagi kau menanamkan jasa besar bagi kerajaan, Tumanggala. Gusti Prabu merasa sangat senang sekali persekongkolan jahat Agreswara terbongkar. Semua berkat dirimu," kata Rakryan Tumenggung pada Tumanggala sore itu. Yang diajak bicara tentu saja senang dipuji begitu. Namun ia pendam dalam-dalam kebanggaan itu. Kepalanya tetap ditundukkan dengan takzim. "Saya hanya menjalankan dharma bakti sebagai seorang prajurit Panjalu, Gusti Tumenggung. Sebagai se

  • Arya Tumanggala   Kotaraja Geger

    KOTARAJA tiba-tiba saja berubah sibuk pagi itu. Pengakuan Ganaseta membuat Arya Lembana bergerak cepat. Senopati tersebut langsung menghadap Rakryan Rangga dan Rakryan Tumenggung sekaligus.Di hadapan panglima tertinggi Kerajaan Panjalu itu, kembali Ganaseta mengulangi keterangannya. Bahwa perampokan demi perampokan yang terjadi di seantero kerajaan selama ini didalangi oleh seorang berpangkat tinggi.Pejabat itulah yang mengatur tempat-tempat mana saja yang harus dikacau dengan perampokan. Dimulai dari desa-desa yang jauh. Lalu semakin lama semakin mendekat ke Kotaraja.Tujuan akhir dari rencana itu adalah menggoyang kewibawaan Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya, raja Panjalu yang tengah bertahta.Sayang, baru sampai Katang Katang dan Lusem rencana itu agaknya harus berakhir. Bermaksud membalaskan dendam pribadinya, Tumanggala secara tak sengaja justru berhadapan dengan kelompok itu dan membongkar niat jahat mereka."Berarti benar dugaan kita. Ru

  • Arya Tumanggala   Tumanggala Menghadap

    SENOPATI Arya Lembana bergegas keluar kamar begitu diberi tahu ada telik sandi datang menghadap. Langkah kakinya diayunkan cepat-cepat menuju pendopo. Tamunya sudah menunggu di sana. Hari masih sangat pagi. Permukaan dedaunan masih berhias embun yang bening laksana kristal. Di langit, mendung kelabu nan tebal menghalangi sinar matahari. Membuat keadaan remang-remang. Telik sandi di pendopo langsung haturkan sembah hormat begitu melihat kedatangan Arya Lembana. Orangnya masih muda, berusia kisaran pertengahan dua puluhan. Badannya kukuh, tegap berisi selayaknya prajurit Panjalu lain. "Ada kabar apa?" tanya Arya Lembana setelah menerima haturan sembah. "Saya membawa kabar dari Lusem, Gusti Senopati," jawab telik sandi tersebut. "Hmm, Lusem?" Arya Lembana amat-amati telik sandi di hadapannya. Barulah sang senopati ingat kalau orang itu memang yang ditugaskan di kawasan barat Kotaraja. "Benar, Gusti," sahut si telik sandi. "Semalam terjadi

  • Arya Tumanggala   Tawaran Ganaseta

    UCAPAN anak buah Ranajaya itu membuat Tumanggala kernyitkan kening. Raut keheranan tampak jelas pada wajah prajurit Panjalu itu. Apa lagi ini? Batinnya bertanya-tanya. Tumanggala tinggalkan Ranajaya begitu saja. Ia sama sekali tak khawatir buruannya itu kabur, sebab sudah tak mampu bergerak lagi. Sang prajurit lebih tertarik pada keterangan lelaki tadi. "Jelaskan apa maksud ucapanmu!" ujar Tumanggala begitu tiba di sebelah si lelaki. Belum sempat lelaki tadi menjawab, Ranajaya sudah menghardik anak buahnya itu. "Keparat kau, Ganaseta! Apa yang akan kau katakan?" Hal ini membuat Tumanggala semakin tertarik. Dari berdiri, kini sang prajurit jongkok di sebelah lelaki yang dipanggil Ganaseta oleh Ranajaya tadi. Dalam jarak sedekat itu Tumanggala dapat melihat lebih jelas wajah orang. Seketika parasnya berubah. Wajah itu tidak asing dalam ingatannya. Rasa-rasanya pernah bertemu, tapi entah di mana. "Tunggu! Aku rasa kita pernah bert

  • Arya Tumanggala   Menghajar Ranajaya

    PERTARUNGAN satu lawan satu pun pecah. Ranajaya yang sebenarnya sudah kecut nyali berlaku nekat. Ia tak hendak menyerah begitu saja. Meski semakin lama semakin terdesak, sebisa mungkin ia ladeni serangan Tumanggala.Bisa ditebak, pertarungan itu berjalan berat sebelah. Hanya dalam tempo dua setengah jurus berselang, terlihat bagaimana Tumanggala sangat menguasai keadaan. Pukulan dan tendangannya berkali-kali mendarat di tubuh Ranajaya.Buk! Buk! Buk!Dalam satu kesempatan, Tumanggala mengirim tiga pukulan beruntun menggunakan tangan kiri. Sasaran tinju itu adalah dada Ranajaya yang sama sekali tak dapat mengelak.Tubuh lelaki bercambang bauk lebat itu tersuruk ke belakang. Terkena telaknya pukulan beruntun Tumanggala. Belum puas, sang prajurit sudah menambahkan serangan lagi. Kali ini dengan tiga tendangan berturut-turut.Des! Des! Des!"Aaaaaa!"Lagi-lagi Ranajaya tak kuasa berkelit. Hantaman tiga tendangan beruntun tersebut membuat

  • Arya Tumanggala   Unggul Jauh

    DIKEROYOK empat lawan bersenjata seperti itu tentulah bukan perkara mudah. Karenanya pada awal-awal pertarunganTumanggala agak keteteran. Namun setelah berjalan beberapa jurus, mulai terlihat bahwa dua dari empat lawannya tersebut sudah tak bertenaga.Dengan cerdik sang prajurit lantas pusatkan serangannya pada dua orang tersebut. Dua lelaki yang punggungnya terluka parah, dan telah kehilangan begitu banyak darah.Sembari berkelit menghindari tusukan dan sambaran golok Ranajaya serta satu anak buahnya yang lain, Tumanggala berhasil mengirim tendangan keras ke dua lelaki yang menjadi sasaran utamanya."Hiaaaat!"Des! Des!Dua lelaki tersebut terpekik. Dada mereka serasa sesak bukan main saat kaki Tumanggala singgah. Tubuh keduanya terjajar mundur. Baru berhenti saat punggung mereka yang sudah terluka menghantam dinding salah satu rumah penduduk.Setelah itu kedua lelaki tersebut jatuh duduk, lalu terguling-guling berselimut lumpur nan k

  • Arya Tumanggala   Tambah Lawan

    TUMANGGALA sontak batalkan niat. Pedang yang sudah teracung di atas kepala perlahan-lahan diturunkan kembali. Kepalanya berputar, memandang ke arah Ranajaya yang sudah berada tak jauh darinya."Ah, Tumanggala. Sungguh tak kusangka seorang kesatria Panjalu bisa punya pikiran serendah ini," ujar Ranajaya bermaksud mengejek."Lelaki jahanam! Kau harus mati di tanganku sebagai balasan kematian anak dan isteriku!" balas Tumanggala menggeram. Tatapan matanya berkilat-kilat.Amarah sang prajurit semakin menggelegak. Sudah sejak tadi-tadi ia ingin menghabisi Ranajaya. Namun tiga anak buah lelaki biadab itu tiba-tiba datang menghalangi."Ah, ah, kau ini sungguh lucu, Tumanggala," sahut Ranajaya, masih dengan nada mengejek. "Aku sama sekali tidak membunuh anak dan isterimu. Bagaimana mungkin kau bilang aku harus mati sebagai balasan kematian mereka?"Tumanggala kertakkan rahang. Ia hendak menanggapi ucapan lawan, namun Ranajaya sudah mendahului."Anak

  • Arya Tumanggala   Dikeroyok Perampok

    TUMANGGALA dapat menduga apa yang tengah dilakukan lawan. Tentulah lelaki yang sudah terdesak itu memanggil bala bantuan.Benar saja. Tak lama berselang muncul dua lelaki yang juga bercambang bauk lebat dari arah berlainan. Setengah berlari keduanya menuju ke arena pertarungan sembari mengacungkan golok besar di tangan masing-masing.Tumanggala mendengus. Bibirnya mengukir seringai lebar."Bagus! Cepat ke sini kalian berdua, biar sekalian aku habisi!" geram Tumanggala begitu melihat dua lawan barunya tersebut."Jangan besar mulut! Kaulah yang akan mati di tangan kami!" bentak salah satu dari dua lelaki yang baru muncul.Tanpa memperpanjang kata lagi, dua lelaki yang baru muncul sudah menyerbu ke arah Tumanggala. Dua golok besar disabetkan ke depan. Satu mengarah ke ulu hati, satunya lagi mengarah ke batang leher!"Hiaaaat!"Wuuut! Wuuut!Sambaran golok menimbulkan suara menderu. Gaungnya yang terdengar jelas membuat bulu kuduk

  • Arya Tumanggala   Pertarungan Awal

    MENDENGAR bentakan tersebut Tumanggala terkaget-kaget. Cepat sang prajurit Panjalu balikkan badan untuk melihat siapa yang berada di belakangnya. Satu tindakan seketika yang terhitung ceroboh.Rasa kaget Tumanggala kemudian bertambah-tambah. Belum sempat matanya melihat orang yang berteriak tadi dengan jelas, satu serangan deras sudah menyambut. Sebilah golok besar menyambar ke arahnya.Wuutt!Suara menderu keras terdengar bersamaan dengan datangnya sambaran golok. Tumanggala yang tak siap dengan serangan itu mengambil cara termudah untuk mempertahankan diri.Dalam satu gerak cepat pedang di tangan sang prajurit diayunkan untuk menyambut datangnya serangan. Tak lupa tenaga dalam ia kerahkan.Sriiing!Angin yang dibelah laju pedang menimbulkan suara berdesing. Cahaya kobaran api dari rumah-rumah terbakar yang jatuh di badan pedang, membuat senjata andalan Tumanggala itu terlihat berkilat-kilat.Lalu sekejap kemudian ....Trang!

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status