Para warga kembali ke Jaya Tonggoh saat matahari sudah hampir tiba di ufuk barat. Lembayung senja menjadi saksi bagaimana jerit tangis warga ketika menyaksikan rumah-rumah mereka hancur dan rata dengan tanah. Malam akhirnya tiba, tetapi mereka belum juga beranjak dari sisa-sisa puing bangunan.Warga dikumpulkan di tanah lapang oleh para pendekar. Lampu-lampu obor menerangi di setiap sisi wilayah perkampungan. Gagah dan megahnya Jaya Tonggoh lenyap dalam hitungan jam, meninggalkan kehancuran dan kepedihan bagi para penghuninya.Para warga tampak berbaris saat menerima hidangan yang dibagikan para pendekar. Mereka kembali duduk berkumpul bersama sanak keluarga, makan dalam diam. Ketakutan tampak jelas terpahat di wajah para penduduk, terlebih ketika mengingat bagaimana bentuk wujud siluman yang mendadak muncul tadi pagi. Muncul pertanyaan dalam benak mereka, mungkinkah dua siluman itu akan kembali menyerang?“Kami pastikan kami akan melindungi kalian semua di sini. Hal yang harus kalian
Malawati mengangkat puing bangunan di depannya lekat-lekat, lantas berjalan mengelilingi bangunan itu hingga beberapa kali. Saat merasakan tidak akan menemukan apa pun, pandangan gadis itu tiba-tiba saja tertuju pada sesuatu di bawah timbunan reruntuhan.Malawati kembali mendekat, berjongkok untuk kemudian menjauhkan puing-puing bangunan. Gadis itu menemukan dua lembar kain yang biasa digunakan untuk ikat kepala. “Ikat kepala putih bercorak hitam dan ikat kepala bercorak putih.”Malawati seketika terhenyak ketika dirinya seperti ditampar kilasan waktu. Peristiwa saat dirinya bersama seorang gadis yang tengah membeli kain-kain ini tiba-tiba mengusik pikiran. Hilangnya ingatannya yang tiba-tiba memang tidak hanya terjadi kali ini saja. Peristiwa ini bisa dibilang pernah terjadi padanya beberapa waktu lalu. Akan tetapi, tanpa diduga ingatannya kembali dengan sendirinya.“Bukankah kain putih polos ini adalah kain yang aku beli untuk kuberikan pada seseorang?” Malawati tercenung sesaat, ke
Nun jauh dari wilayah Jaya Tonggoh, seekor ular tengah bergerak cepat di tengah rerimbunan pohon dan remangnya cahaya bulan. Ular itu memasuki sebuah gua, kemudian berubah wujud menjadi Bangasera.“Sepertinya kalian masih belum sadarkan diri,” ujar Bangasera ketika melihat Wintara dan Nilasari masih terbaring di tanah dengan tubuh yang sebagian terbakar. “Dengan luka ini, setidaknya butuh satu minggu untuk kalian kembali pulih.”Bangasera menoleh ke mulut gua. “Pasukan Wulung, pasukan Argaseni dan Pasukan Brajawesi ternyata sudah lama memasuki wilayah selatan dan bahkan melebarkan pencarian ke arah laut. Aku harus semakin berhati-hati dan bertindak cepat. Ditambah aku mendengar dari pasukanku jika pasukan Kartasura juga mulai bergerak. Sepertinya Kartasura sudah berhasil menemukan cara untuk mengembalikan kedua cecunguknya.”Bangasera mendekat pada Wintara dan Nilasari, mengamati kedua siluman berwujud manusia di depannya lekat-lekat. “Aku masih sangat penasaran siapa pria berbaju hit
“Ramuan itu benar-benar membuatku kehilangan kekuatan dengan sangat cepat, Kakang. Meski aku mengganti kulitku berkali-kali pun, rasa panas dan terbakar itu masih tetap terasa bahkan sampai saat ini,” bisik Nilasari.“Beruntung kita berdua tidak tewas di tempat itu, Nilasari. Mau tak mau kita harus mengakui jika Bangasera sangat berjasa dalam hidup kita.”Bangasera berbalik. “Apa kalian berdua mengenal siapa pendekar berbaju hitam itu?”“Awalnya aku mengira jika pendekar berbaju hitam itu adalah pendekar bernama Aditara yang kami lawan tempo hari, terlebih bisa saja dia dan kedua orang yang bersamanya sudah mengetahui siapa kami sebenarnya. Hanya saja, aku tidak merasakan hawa kehadiran dan bau Aditara pada pendekar itu,” ucap Wintara.“Dua orang yang bersamanya?” Bangasera kembali berbalik.“Pendekar bernama Aditara itu selalu bersama seorang pemuda bernama Bimantara dan seorang gadis yang bernama Sekar Dewi.”Bangasera terdiam sejenak, lantas bergumam, “Firasatku mengatakan jika pen
Matahari terus merangkak menuju pertengahan langit di saat Lingga terus bergumul dengan dua harimau putih yang dikeluarkan Limbur Kancana di dalam kubah tak kasat mata. Pemuda itu bergerak lincah untuk menghindar sekaligus melayangkan serangan.Sekujur tubuh Lingga sudah dipenuhi keringat dengan napas yang mulai terengah-engah. Pemuda itu menyeka peluh, berusaha menghimpun serangan di tengah mata yang terus mengawasi kedua harimau yang memutarinya.Lingga mengentak tubuh sekali, lantas melompat ke atas ketika dua harimau putih itu menyerang dari depan dan belakang dalam waktu bersamaan. Pemuda itu seketika memutar tubuh bersamaan dengan tangan yang bergerak cepat untuk menepis serangan dua harimau yang kini mengarah dari arah bawah.Lingga memutar tubuh ke belakang, mendarat di dinding kubah, kemudian melesat cepat ke arah dua harimau dengan tangan yang terbentang lebar ke samping. Dalam satu ayunan tangan, seketika tercipta embusan angin cepat yang langsung menerjang kedua harimau pu
Lingga duduk dengan pikiran yang masih tertuju pada gambaran-gambaran tersebut. Ia dengan cepat berdiri ketika mulai mengetahui sesuatu. “Dua cahaya itu? Ke mana mereka?”Lingga memutar tubuh, mencari keberadaan dua cahaya tersebut. “Dua cahaya itu pasti bisa memberikanku petunjuk mengenai kejadian-kejadian itu. Di mana mereka?”Lingga mengamati keadaan dengan saksama, memusatkan seluruh perhatian pada sekeliling. Akan tetapi, kedua cahaya itu sama sekali tidak terlihat di mana pun. Hanya kesunyianlah yang ia rasakan dan dapatkan saat ini.Lingga mengembus napas panjang, memutuskan kembali untuk berlatih. Akan tetapi, baru saja akan memasnag kuda-kuda, tiba-tiba muncul Sekar Sari dari arah semak-semak.“Kakang, apa kau tidak apa-apa?” tanya Sekar Sari dengan wajah malu-malu, “kau tampak pucat saat ini? Apa ada sesuatu yang menggangumu?” “Ah tidak. Aku ... aku ....” Lingga menggaruk tengkuk yang tak gatal, menjeda sejenak. “Apa kau melihat dua cahaya itu kembali?”“Dua cahaya?” Seka
Limbur Kancana tiba-tiba berhenti, menimbang keputusan beberapa waktu. Dengan terbukanya hubungan antara Bangasera dan Wintara serta Nilasari, semakin memungkinkan jika keduanya akan menggunakan racun kalong setan untuk menghadapi pergerakan pendekar golongan putih yang akhir-akhir ini justru menyatu untuk membereskan kekacauan yang ada. Jika hal itu benar-benar terjadi, maka para pendekar golongan putih tidak memiliki kesempatan sedikit pun untuk menang. “Paman,” panggil Lingga.Limbur Kancana mengamati para warga yang berbondong-bondong menuju sebuah tanah lapang dengan arahan beberapa pendekar. “Au rasa kita harus membicarakan hal ini dengan Ganawirya lebih dahulu karena hanya dialah yang mengetahui bahan-bahan ramuan itu sekaligus bagaimana membuatnya.”“Sepertinya para pendekar akan menyampaikan sesuatu pada para warga,” ujar Sekar Sari.Tak lama setelahnya, terdengar kentungan ditabuh keras-keras. Para warga yang masih berada di sekitar rumah setengah berlari menuju arah yang
Lingga, Limbur Kancana dan Sekar Sari berada di perkampungan hingga malam tiba. Ketiganya bisa merasakan ketegangan yang melanda hampir semua warga. Suasana begitu sepi hingga yang terdengar hanya suara serangga malam. Para penjaga tampak mondar-mandir di sekitar perkampungan.Lingga mengawasi keadaan luar dari jendela. Kepalan tangannya menguat begitu mengingat perkataan para warga mengenai dirinya. Jujur saja hal itu benar-benar menganggunya meski di saat yang sama dirinya berusaha untuk tidak memedulikan hal itu.“Salah satu tiruanku sudah hampir sampai menuju bukit yang ditengarai adalah tempat Wintara dan Nilasari disegel. Persiapkan diri kalian karena sesaat lagi kita akan segera bertukar tempat dan pakailah pakaian yang sudah aku siapkan sebelumnya,” ujar Limbur Kancana yang tengah duduk bersila di atas dipan.“Baik, Paman.”“Baik, Kakang Guru.”Lingga segera mengganti busannya menjadi serba hitam, tak terkecuali Sekar Sari.Limbur Kancana kembali bersemedi, memusatkan seluruh