Sekar Sari mengamati tubuh bagian luar pria yang berbaring di depannya dari atas hingga bawah. “Pria ini sepertinya tak sadarkan diri karena terkena racun ular. Bukan hanya satu kali, melainkan berkali-kali. Untung saja aku masih bisa mengeluarkan semua racun dalam tubuhnya tepat waktu sehingga dia masih bisa diselamatkan. Sisanya hanya luka karena benturan keras.” “Aku sepertinya pernah melihat pria ini,” ujar Limbur Kancana seraya mengamati pria di depannya dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Pria ini adalah salah satu pendekar yang berhadapan dengan Wintara di perkampungan tadi.” Lingga dan Sekar Sari seketika menoleh pada Limbur Kancana. “Apa yang sebenarnya terjadi di perkampungan, Paman?” Lingga bertanya. “Apa Paman berhasil membongkar kedok Wintara dan Nilasari pada pendekar golongan putih?” “Awalnya pertemuan itu berlangsung dengan lancar sampai akhirnya nama Ganawirya disebut oleh salah satu petinggi pendekar golongan putih,” jawab Limbur Kancana, “tak lama setelah itu,
“Seperti yang pernah kita duga sebelumnya, Wintara dan Nilasari ternyata memiliki hubungan dengan salah satu anggota Cakar Setan. Dan bangasera adalah salah satu anggota Cakar Setan yang paling memungkinkan untuk berhubungan dengan mereka. Penjelasan pria ini menguatkan hal itu pada kita,” ujar Limbur Kancana.Limbur Kancana berjalan menuju Telaga Asri. “Jika kita tidak bisa menemukan Tarusbawa dalam waktu cepat, kita akan semakin terdesak dengan keadaan saat ini, terlebih Bangasera ternyata berada di belakang Wintara dan Nilasari. Ditambah Kartasura sudah berhasil membebaskan Wira dan Danuseka dari jurus pengunci raga.”“Apa maksudnya dengan Kartasura sudah berhasil membebaskan Wira dan Danuseka dari jursu pengunci raga, Paman?” Lingga tercekat ketika mendengarnya.“Kakang, apa kau masih mengingat pria bernama Darta yang dikabarkan menghilang setelah membuat kekacauan dengan orang asing yang dibawanya pada paman Sudata?
“Saat keributan besar terjadi, kami para tabib tetap bertahan untuk menyelamatkan para korban ke tempat yang aman,” jawab salah satu tabib yang berada paling dekat dengan Sekar Sari, “saat ini pun, kami berusaha membawa korban dua siluman ke tempat para korban lain berada.”“Kenapa kalian tidak lari seperti yang lain?” tanya Sekar Sari.“Kami masih memiliki tanggung jawab untuk menyembuhkan mereka, Nyai. Para pendekar sudah mempercayakan mereka pada kami. Tentu kami tidak bisa lari dari tanggung jawab. Kami harus melaksanakan tugas kami hingga tuntas.”“Apa kau sedang mencari temanmu, Nyai?” tanya tabib yang satunya.“Benar, Kisanak.”“Para korban akibat ulah ular dua siluman itu semakin bertambah. Kami menemukan beberapa pendekar yang menjadi korban mereka di tempat pertarungan. Saat ini teman-teman kami sedang membawa mereka ke tempat ini, Nyai. Dengan keadaan Jaya Tonggoh yang porak poranda seperti saat ini, kami akan semakin kesulitan untuk menyembuhkan para korban.”Sekar Sari te
Selepas kepergian Lingga, Limbur Kancana dan Sekar Sari, Wirayuda, Ekawira, Jatiraga serta para pendekar yang mengejar Wintara dan Nilasari kembali ke Jaya Tonggoh tepat saat matahari berada di puncak langit. Mereka harus menelan kekecewaan besar karena tidak berhasil menangkap kedua siluman ular itu setelah melakukan pencarian hingga ke setiap sudut hutan dan perkampungan terdekat.Empat petinggi golongan putih itu dan para pendekar berisitirahat di dekat reruntuhan pohon dan bangunan. Wajah penat begitu kentara di paras mereka.“Terkutuk! Dua siluman itu berhasil melarikan diri dariku!” Wirayuda mengentak tanah kuat-kuat dengan mata menatap nyalang. Ia bisa melihat para pendekar yang ikut dalam pengejaran sudah berada dalam titik lemah. Meski ia sangat berambisi untuk menangkap dua siluman ular itu, tetapi dirinya tetap berusaha berpikir jernih dengan menghentikan pencarian. Salah-salah para pendekar yang tersisa bisa menjadi mangsa yang mudah untuk dihabisi lawan.“Kalau saja ular
Para warga kembali ke Jaya Tonggoh saat matahari sudah hampir tiba di ufuk barat. Lembayung senja menjadi saksi bagaimana jerit tangis warga ketika menyaksikan rumah-rumah mereka hancur dan rata dengan tanah. Malam akhirnya tiba, tetapi mereka belum juga beranjak dari sisa-sisa puing bangunan.Warga dikumpulkan di tanah lapang oleh para pendekar. Lampu-lampu obor menerangi di setiap sisi wilayah perkampungan. Gagah dan megahnya Jaya Tonggoh lenyap dalam hitungan jam, meninggalkan kehancuran dan kepedihan bagi para penghuninya.Para warga tampak berbaris saat menerima hidangan yang dibagikan para pendekar. Mereka kembali duduk berkumpul bersama sanak keluarga, makan dalam diam. Ketakutan tampak jelas terpahat di wajah para penduduk, terlebih ketika mengingat bagaimana bentuk wujud siluman yang mendadak muncul tadi pagi. Muncul pertanyaan dalam benak mereka, mungkinkah dua siluman itu akan kembali menyerang?“Kami pastikan kami akan melindungi kalian semua di sini. Hal yang harus kalian
Malawati mengangkat puing bangunan di depannya lekat-lekat, lantas berjalan mengelilingi bangunan itu hingga beberapa kali. Saat merasakan tidak akan menemukan apa pun, pandangan gadis itu tiba-tiba saja tertuju pada sesuatu di bawah timbunan reruntuhan.Malawati kembali mendekat, berjongkok untuk kemudian menjauhkan puing-puing bangunan. Gadis itu menemukan dua lembar kain yang biasa digunakan untuk ikat kepala. “Ikat kepala putih bercorak hitam dan ikat kepala bercorak putih.”Malawati seketika terhenyak ketika dirinya seperti ditampar kilasan waktu. Peristiwa saat dirinya bersama seorang gadis yang tengah membeli kain-kain ini tiba-tiba mengusik pikiran. Hilangnya ingatannya yang tiba-tiba memang tidak hanya terjadi kali ini saja. Peristiwa ini bisa dibilang pernah terjadi padanya beberapa waktu lalu. Akan tetapi, tanpa diduga ingatannya kembali dengan sendirinya.“Bukankah kain putih polos ini adalah kain yang aku beli untuk kuberikan pada seseorang?” Malawati tercenung sesaat, ke
Nun jauh dari wilayah Jaya Tonggoh, seekor ular tengah bergerak cepat di tengah rerimbunan pohon dan remangnya cahaya bulan. Ular itu memasuki sebuah gua, kemudian berubah wujud menjadi Bangasera.“Sepertinya kalian masih belum sadarkan diri,” ujar Bangasera ketika melihat Wintara dan Nilasari masih terbaring di tanah dengan tubuh yang sebagian terbakar. “Dengan luka ini, setidaknya butuh satu minggu untuk kalian kembali pulih.”Bangasera menoleh ke mulut gua. “Pasukan Wulung, pasukan Argaseni dan Pasukan Brajawesi ternyata sudah lama memasuki wilayah selatan dan bahkan melebarkan pencarian ke arah laut. Aku harus semakin berhati-hati dan bertindak cepat. Ditambah aku mendengar dari pasukanku jika pasukan Kartasura juga mulai bergerak. Sepertinya Kartasura sudah berhasil menemukan cara untuk mengembalikan kedua cecunguknya.”Bangasera mendekat pada Wintara dan Nilasari, mengamati kedua siluman berwujud manusia di depannya lekat-lekat. “Aku masih sangat penasaran siapa pria berbaju hit
“Ramuan itu benar-benar membuatku kehilangan kekuatan dengan sangat cepat, Kakang. Meski aku mengganti kulitku berkali-kali pun, rasa panas dan terbakar itu masih tetap terasa bahkan sampai saat ini,” bisik Nilasari.“Beruntung kita berdua tidak tewas di tempat itu, Nilasari. Mau tak mau kita harus mengakui jika Bangasera sangat berjasa dalam hidup kita.”Bangasera berbalik. “Apa kalian berdua mengenal siapa pendekar berbaju hitam itu?”“Awalnya aku mengira jika pendekar berbaju hitam itu adalah pendekar bernama Aditara yang kami lawan tempo hari, terlebih bisa saja dia dan kedua orang yang bersamanya sudah mengetahui siapa kami sebenarnya. Hanya saja, aku tidak merasakan hawa kehadiran dan bau Aditara pada pendekar itu,” ucap Wintara.“Dua orang yang bersamanya?” Bangasera kembali berbalik.“Pendekar bernama Aditara itu selalu bersama seorang pemuda bernama Bimantara dan seorang gadis yang bernama Sekar Dewi.”Bangasera terdiam sejenak, lantas bergumam, “Firasatku mengatakan jika pen