“Kau sejatinya tidak peduli dengan kesembuhan para korban dua siluman ular itu, Wiaryuda. Bagimu keberadaan pewaris kujang emas itu adalah hal terpenting saat ini,” ujar Jatiraga.“Hanya orang bodoh yang akan terjebak dengan akal bulusmu,” tambah Galisaka.Wirayuda tertawa terbahak-bahak hingga memegang perut. “Kalian bertiga berbicara seolah-seolah kalian adalah pendekar paling suci di dunia ini. Aku tahu jika kalian juga ingin mengetahui di mana pemuda pewaris kujang emas itu berada melalui Ganawirya. Sebelum kalian menghinaku, bercerminlah di air keruh.”Wirayuda, Ekawira, Galisaka dan Jatiraga mulai menarik senjata masing-masing. Para pendekar yang berada di dalam ruangan ikut melakukan hal yang sama. Suasana mendadak hening di mana tatapan para pendekar mulai mengawasi orang-orang di sekitarnya. Ujung senjata dan mata yang menajam membuat hampir semua orang yang berada di dalam ruangan menjadi sangat waspada, kecuali Wintara yang begitu menikmati kejadian ini.Wintara mengamati e
Limbur Kancana berhasil menghindar dengan cara melompat, lalu mendarat di ujung pedang Galisaka dengan tatapan tertuju pada Wintara.“Ah!” Wintara tiba-tiba berteriak ketika tubuh bagian sampingnya mulai dipenuhi asap hitam dan tak lama setelahnya api dengan cepat menjalar dari tempat yang sama.“Pemuda itu adalah jelmaan siluman ular yang bernama Wintara,” tunjuk Limbur Kancana, “aku baru saja melemparkan kendi yang berisi ramuan pemusnah siluman pada kalian semua. Dan hanya pemuda itulah yang meringis kesakitan karena ramuan itu.”Para pendekar seketika menatap Wintara yang tengah berusaha memadamkan api dari tubuhnya, mulai mengelilingi pemuda itu dengan senjata teracung.Rasa sakit yang Wintara rasakan sekarang memang tidak sebanding dengan rasa sakit yang pernah ia terima ketika berhadapan dengan pendekar bernama Aditara waktu itu. Luka yang diakibatkan ramuan pemusnah siluman yang dirinya terima saat ini hanya menyakitinya sementara. Wirayuda, Ekawira, Galisaka, Jatiraga serta
Wirayuda, Ekawira, Galisaka dan Jatiraga segera menghimpun kekuatan dengan cepat. Tubuh mereka perlahan kembali terangkat. Satu per satu dari mereka melemparkan para pendekar yang ikut terisap keluar dari kubangan. Pendekar lain dengan segera menangkap pendekar yang dilemparkan tersebut.Empat petinggi pendekar golongan putih itu melayangkan serangan ke arah tanah. Dalam waktu singkat, mereka berhasil melepaskan diri dari jurus Wintara.“Kejar siluman itu!” perintah Wirayuda, Ekawira, Galisaka dan Jatiraga seraya mengangkat tingg-tinggi senjata mereka masing-masing.Para pendekar golongan putih bergegas mengejar Wintara yang sudah berlari ke depan. Akan tetapi, tindakan mereka terhalang karena serangan tombak yang meluncur dari depan. Pendekar-pendekar itu berusaha menepis serangan meski beberapa di antara mereka terkena serangan tombak hingga ambruk di tanah.Wirayuda, Ekawira, Galisaka dan Jatiraga melesat cepat di antara para pendekar golongan putih. Dalam waktu bersamaan, mereka m
Wintara tiba-tiba menjatuhkan diri hingga tanah berguncang keras. Matanya terpejam kuat di mana api masih berkobar dari mulut dan ekornya.“Serang siluman ular itu!” teriak salah satu pendekar seraya melesat maju. Para pendekar lain segera mengikuti jejaknya.Beragam senjata berhasil mendarat di tubuh Wintara tanpa adanya perlawanan sedikit pun. Akan tetapi, begitu para pendekar itu sudah berada di atas tubuh siluman ular itu untuk bersiap kembali menyerang, tiba-tiba saja Wintara bergerak sangat cepat untuk menelan mereka.Hampir semua pendekar yang menyerang berhasil dilahap Wintara hidup-hidup di mana hanya tiga pendekar saja yang berhasil menghindar dan menyelamatkan diri.“Siluman ular itu menipu kita!” teriak salah satu pendekar yang berada di atas puncak pohon.Wintara terkekeh meski mulutnya masih terasa sakit. Ia seketika memukul tanah dengan ekornya hingga para pendekar yang akan menyerang memilih untuk menghindar dengan cara melompat ke udara. Begitu musuh sudah berada di a
“Itu siluman ular yang lain!” teriak salah satu pendekar sembari membantu rekannya berdiri.Wirayuda, Ekawira, Galisaka, Jatiraga serta para pendekar yang lain segera menjauh beberapa tombak. Semuanya menatap dua siluman di depan mereka dengan tatapan terkejut.“Ini gawat,” ujar Wirayuda, “satu siluman ular saja sudah membuat kita kerepotan, ditambah saat ini siluman lain tiba-tiba muncul.”“Dasar lemah!” rutuk Ekawira, “harusnya kau senang karena musuh mendatangi kita dengan sendirinya. Dengan begitu kita bisa menghabisi mereka sekaligus di sini.”“Kau sepertinya tidak bisa mengukur kemampuan lawan, Ekawira.” Wirayuda membalas sengit. “Bukankah kau sendiri kesulitan untuk menghadapi satu siluman ular itu? Bagaimana mungkin kau bisa dengan sembrono mengatakan akan menghadapi dua siluman ular sekaligus?”“Dua siluman itu jauh lebih kuat dari dugaanku maupun laporan yang sudah diberikan para bawahanku. Meski waktu masih menunjukkan siang, tapi kekuatan mereka tidak bisa dianggap remeh.
Para pendekar yang mendapatkan tanda dari empat petinggi golongan putih itu segera menjauh dari Wintara dan Nilasari. Mereka kembali bersiap di tempat masing-masing untuk menunggu tanda berikutnya.Wintara dan Nilasari bersiap untuk melayangkan serangan dengan membuka mulut lebar-lebar. Akan tetapi, serangan mereka berhasil dipatahkan dengan serangan dari empat pedang yang dilayangkan Wirayuda, Ekawira, Galisaka dan Jatiraga hingga mencipta gelombang angin yang kuat ke sekeliling.Wintara dan Nilasari terdorong beberapa langkah ke belakang. Keduanya kembali bersiap untuk melayangkan serangan. Akan tetapi, dari debu dan asap yang menghalangi pandangan mereka, tiba-tiba saja muncul empat pedang lawan yang melesat ke arah mereka.Dua pedang mendarat di punggung dan perut bagian samping Wintara, sedangkan dua pedang lain mendarat di puncak kepala Nilasari dan bagian ekornya. Dalam sekejap, muncul kobaran api dari tempat tertancapnya pedang-pedang tersebut.“AH!” Wintara dan Nilasari memek
Bangasera segera mengubah wujudnya menjadi seekor ular kecil, lalu menuruni jurang untuk mengejar para pendekar yang berusaha menangkap Wintara dan Nilasari. Ia bergerak sangat cepat di antara deretan batu terjal dan dahan-dahan pohon. Dari kejauhan, pria setengah siluman itu bisa melihat para pendekar yang menyebar ke sekeliling hutan di bawahnya.Bangasera bergerak cepat ke salah satu sisi, mengawasi beberapa pendekar yang tengah melakukan pencarian di atas puncak pohon. Begitu para pendekar itu akan berpindah tempat, Bangasera berubah menjadi ular berukuran besar dan langsung menjerat salah satu pendekar, lalu menariknya menjauh dari pendekar lain.Pendekar itu berontak sekuat tenaga, tetapi tenaganya dengan cepat melemah karena patukan di lehernya. Tubuhnya menjadi kaku meski mulutnya masih bisa bergerak tanpa suara.Bangasera mengubah wujud menjadi manusia, menarik baju pendekar itu dengan kuat.“Kau.” Pendekar itu terperangah hingga matanya membulat sangat lebar. “Kau anggota Ca
Sekar Sari mengamati tubuh bagian luar pria yang berbaring di depannya dari atas hingga bawah. “Pria ini sepertinya tak sadarkan diri karena terkena racun ular. Bukan hanya satu kali, melainkan berkali-kali. Untung saja aku masih bisa mengeluarkan semua racun dalam tubuhnya tepat waktu sehingga dia masih bisa diselamatkan. Sisanya hanya luka karena benturan keras.” “Aku sepertinya pernah melihat pria ini,” ujar Limbur Kancana seraya mengamati pria di depannya dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Pria ini adalah salah satu pendekar yang berhadapan dengan Wintara di perkampungan tadi.” Lingga dan Sekar Sari seketika menoleh pada Limbur Kancana. “Apa yang sebenarnya terjadi di perkampungan, Paman?” Lingga bertanya. “Apa Paman berhasil membongkar kedok Wintara dan Nilasari pada pendekar golongan putih?” “Awalnya pertemuan itu berlangsung dengan lancar sampai akhirnya nama Ganawirya disebut oleh salah satu petinggi pendekar golongan putih,” jawab Limbur Kancana, “tak lama setelah itu,