Tarusbawa mulai melompat di atas batu. Kaki kanannya mendarat di telapak tangan kanan, begitupun saat giliran kaki kirinya meloncat. Ketika mendarat kembali di batu, ia memutar tubuh satu kali dengan tumpuan kaki kiri di mana kaki kanannya tertuju ke atas sejajar dengan kaki kiri.Tarusbawa memukul ruang kosong di depan dengan gerakan yang sangat cepat, kemudian melakukan pukulan ke atas, berpindah ke kanan dan kiri. Gerakan tersebut menghasilkan angin yang berembus kencang ke sekeliling, membuat air terpercik ke sekitar, menciptakan pusaran air yang mengelilinginya.Selesai dengan gerakan memukul, Tarusbawa menendang arah depan, belakang, atas dan bawah dengan gerakan kian cepat. Tebasan angin seketika menerjang ke semua arah mata angin. Sosoknya berubah menjadi sekelebat bayangan yang bergerak cepat di tengah pusaran air dan embusan angin yang sangat kencang.Lingga memandang dengan penuh takjub. Tatapannya tak lepas dari sosok pemuda berbaju putih di depannya yang kini mulai melaya
Lingga segera melompat ke arah orang itu dan tercekat ketika melihat seorang pendekar dengan deretan luka dan darah yang mengucur deras. Tubuhnya tampak lemah dengan napas yang terputus-putus. Tak jauh dari pria itu, terdapat dua orang pendekar lain yang sudah tak bernyawa.Lingga bermaksud untuk membantu pendekar itu, tetapi tangannya lagi-lagi menembus tubuh. Ia menoleh ke samping ketika mendapati Tarusbawa baru saja mendarat.“Apa yang terjadi denganmu, Kisanak?” tanya Tarusbawa seraya mengangkat kepala pendekar yang terkulai lemas itu. Tatapannya beralih pada dua pendekar yang tak jauh darinya. Ia mengamati keduanya saksama, terpejam sesaat.“Aku dan kedua temanku adalah pendekar yang ditugaskan untuk melenyapkan dua siluman ular yang terkenal dengan sebutan Dewa Sanca dan Dewi Sanca. Hanya saja seluruh rekan-rekan kami tewas di tangan dua siluman itu. Hanya kami bertiga yang berhasil selamat.” Pendekar itu tiba-tiba menangis, menoleh ke arah dua temannya yang sudah tidak menunjuk
Lama bersiaga nyatanya Tarusbawa tidak menemukan siapa pun dan apa pun di tempat ini. Kewaspadaannya mulai menurun meski tatapannya masih mengawasi keadaan sekeliling. Pemuda itu mengembus napas panjang, berusaha menenangkan diri. Untuk kedua kalinya ia merasakan seseorang sedang mengawasinya. Akan tetapi, ketika sudah menajamkan seluruh indra, dirinya sama sekali lagi-lagi tidak mendapati sosok penguntit itu.Tarusbawa kembali bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Pemuda itu meninggalkan Telaga Asri, berjalan ke arah mulut gua. Langkah kakinya memercik suara di tengah deburan air terjun yang mulai terdengar.“Bagaimana jadinya jika aku berendam di Telaga Asri saat ini?” tanya Lingga seraya mendekat ke arah kolam berarih jernih itu. Ketika sudah berada di pinggir telaga, ia justru terkejut ketika tidak mendapati bayangannya di sana.Lingga menoleh ke arah mulut gua di mana Tarusbawa sudah tidak terlihat lagi. Pemuda itu mengambil ancang-ancang untuk melompat ke dalam telaga. Saat tubu
Lingga kontan melompat untuk menangkap para pendekar yang terbang ke arahnya. Akan tetapi, tubuhnya ditembus begitu saja oleh pendekar itu.Tarusbawa menangkap satu per satu pendekar yang terpelanting ke arahnya. Pemuda itu lalu meletakkan ketiga pendekar itu di tanah, memeriksa keadaan mereka. “Mereka bertiga masih hidup. Mereka hanya tidak sadarkan diri.”Tarusbawa membuat sebuah kubah gaib untuk melindungi ketiga pendekar itu. Ia menghimpun kekuatan di kedua kaki. Saat kakinya mengentak tanah, tubuhnya seketika melesat cepat ke atas bukit. Dari tempatnya saat ini, ia bisa melihat dua siluman ular itu masih bertarung dengan lima orang pendekar yang tersisa.“Jurus harimau putih,” ujar Lingga dengan tatapan kagum. Pemuda itu segera menghimpun kekuatan di kedua kaki, bersiap untuk melompat. Namun, secara tiba-tiba ia sudah berada di sisi medan pertempuran, menyaksikan lima pendekar bergelut dengan dua siluman ular itu yang melayangkan serangan ekor ke sekeliling arah.Lima pendekar it
Tarusbawa memandang Wintara dan Nilasari dengan tatapan tegas. Kedua tangannya terkepal erat karena amarah yang meluap-luap. Ia sudah melihat puluhan pendekar meregang nyawa selama dalam pencarian, ditambah mendengar ratusan warga dan pendekar yang sudah menjadi korban keganasan dua siluman itu.Tarusbawa berusaha tenang meski amarah terus memuncak ketika melihat dua sosok jelamaan siluman ular di depannya tampak tidak merasa bersalah dengan para korban yang sudah berguguran. “Jadi kalian berdua adalah sosok jelmaan dua siluman ular yang sudah banyak membunuh para pendekar dan warga. Aku tidak akan membiarkan kalian kembali berbuat kekacauan lebih jauh dari ini.”“Jika benar, apa yang kau inginkan dariku?” tanya Wintara.“Aku akan melenyapkan kalian berdua.”Wintara berdecak, maju beberapa langkah. “Kau sombong sekali. Kau pikir dengan kemampuanmu sekarang kau bisa mengalahkan kami berdua?”Wintara terkekeh, memelotot tajam. “Apa kau tidak melihat puluhan pendekar yang sudah kami habi
Lingga mengamati jalannya pertarungan dari sisi tebing. Tatapannya berpindah dari Taruswaba dan tiruannya pada Wintara dan Nilasari secara bergantian. Pertempuran dalam jarak dekat itu terus berlangsung hingga beberapa waktu ke depan. Setiap kali benturan jurus dan kekuatan beradu, gelombang angin seketika menerjang ke sekeliling.Keempat sosok itu terus berusaha saling melumpuhkan lawan. Mereka berubah menjadi empat bayangan hitam yang saling berkelebat, berbenturan di udara beberapa kali, lalu kembali mendarat di tanah dengan keadaan saling berhadap-hadapan.Tarusbawa dan tiruannya kembali menghimpun kekuatan di tangan, dan dalam satu kali entakkan kaki di tanah, keduanya melesat maju seraya menyerang dengan gerakan tombak yang sangat cepat hingga tangan mereka seolah menjadi ratusan.Wintara dan Nilasari membalas serangan tersebut dengan tombak dan susuk hitam mereka. Akan tetapi, serangan Tarusbawa dan tiruannya tak mampu dibendung hingga mereka terus terdesak ke belakang.Tarusba
“Gawat,” ujar Lingga ketika melihat dua siluman ular itu kini melilit Tarusbawa.“Harus kuakui kalau kau cukup tangguh untuk seorang pendekar muda,” puji Wintara seraya terkekeh kencang. “Hanya saja kau telah salah memilih lawan. Kami berdua bukanlah lawan yang bisa kau kalahkan dengan mudah. Aku bisa mendengar tulang-tulangmu yang patah saat ini.”Nilasari mendengkus kesal. “Dasar laki-laki besar mulut! Kau bahkan tidak bisa melepaskan diri dari kuncian ini. Aku pastikan kau akan mati sebentar lagi.”Wintara dan Nilasari semakian erat melilit Tarusbawa. Keduanya memutari tubuh pendekar berbaju putih itu dengan lidah menjulur dan mulut terbuka lebar.Lingga hanya mampu melihat jalannya pertarungan tanpa bisa melakukan apa pun. Ia penasaran dengan pertempuran yang akan terjadi selanjutnya, terlebih ketika mengingat rantai putih yang sempat dikeluarkan Tarusbawa ketika berlatih di tengah sungai.Tarusbawa menghimpun kekuatan di seluruh tubuhnya bersamaan dengan matanya mulai terpejam. R
Tarusbawa kembali terdorong ke belakang ketika gagal menahan gempuran serangan ekor Wintara dan Nilasari dari atas. Tubuhnya berguling-guling dan baru berhenti ketika ia menancapkan tombaknya dengan kuat ke tanah. Tetes darah tumpah dari dahi dan wajah.Tarusbawa lagi-lagi terdorong ketika tak bisa menahan serangan ekor Wintara dan Nilasari. Saat akan membalas serangan, ia justru mendapat serangan tak terduga dari atas. Kedua kakinya seketika melesak ke dalam tanah meski serangan musuh masih bisa ditahan.Wintara dan Nilasari menyerang Tarusbawa dari arah berlawanan dengan hujan tombak dan susuk. Tarusbawa menepis dengan kedua tangan meski beberapa serangan berhasil mendarat di tubuhnya. Bersama dengan luka dan darah yang kian menetes, pendekar berbaju putih itu terus menghadang serangan.Tarusbawa membuat sebuah kubah pelindung di sekelilingnya. Serangan tombak dan susuk hitam dari Wintara dan Nilasari seketika terlempar ke sekeliling. Dua ekor siluman itu segera menerjang dari sisi