Malam semakin menggurita. Dari pekatnya hutan, samarnya cahaya bulan, suara serangga malam, dua ekor ular tengah bergerak cepat menaiki sebatang pohon. Begitu sudah mencapai puncak, dua ular itu berubah wujud menjadi Wintara dan Nilasari. “Kita sudah sampai di wilayah Jaya Tonggoh, Nilasari,” ujar Wintara dengan senyum bengis. Dari jaraknya saat ini, ia bisa merasakan banyaknya pendekar yang berada di tempat itu. “Benar, Kakang,” sahut Nilasari, “aku benar-benar tidak sabar untuk mengisap kekuatan para pendekar itu. Dengan begitu, aku akan segera melenyapkan gadis bernama Sekar Dewi, termasuk pendekar yang bernama Aditara yang selalu bersamanya.” “Sayangnya, kita tidak akan menelan mereka malam ini, Nilasari.” Wintara melompat turun, berjalan menuju arah gerbang Jaya Tonggoh. Nilasari ikut meloncat, buru-buru menyejajarkan langkah dengan Wintara. “Apa maksudmu, Kakang? Bukankah kau mengatakan jika kita harus menelan kekuatan para pendekar secepat mungkin untuk meningkatkan kekuatan
“Apa benar dua orang itu adalah jelmaan ular siluman yang kau maksud?” tanya Limbur Kancana seraya mengamati Wintara dan Nilasari lekat-lekat. Ia teringat saat pertama kali berjumpa dengan kedua orang itu di mana kedua orang itu memancarkan getaran aneh. “Be-benar, aku tidak mungkin berbohong.” Pendekar golongan hitam itu terbata-bata. Wajahnya mendadak pucat pasi seperti mayat. Keringat dengan cepat membasahi tubuh karena ia tiba-tiba teringat pembantaian yang dilakukan dua siluman ular itu. Ada amarah dan ketakutan yang dirasakannya saat ini. Limbur Kancana menoleh pada pria di sampingnya yang mendadak ketakutan. Ia berharap pria itu memang berkata terus terang. Hanya saja, dirinya harus tetap membuktikannya sendiri. “Kau tentu tahu apa balasan dari seseorang yang berani membohongiku.” “A-aku tentu tahu.” Pendekar golongan hitam itu menutup mata. Limbur Kancana memerintahkan satu tiruannya untuk mengawasi Wintara dan Nilasari dari jauh. Ia kemudian segera melumpuhkan pendekar gol
“Kami akan mengikuti pertemuan esok hari sebagai wakil dari padepokan kami,” jawab Nilasari dengan tatapan jengkel pada Sekar Sari.Wintara terdiam ketika merasakan getaran kuat yang dipancarkan sosok yang dikenalnya sebagai Aditara. Untuk sekali lagi, ia juga merasakan sesuatu yang tak biasa dari pemuda yang mengenalkan dirinya sebagai Bimantara. Bulu kuduknya berdiri sesaat. “Dari padepokan mana kalian berasal?” Sekar Sari memandang sinis Nilasari. Kedua tangannya sudah bersiap untuk menempel ramuan pemusnah siluman pada Nilasari dan Wintara. Ia benar-benar jengkel karena Nilasari terus-menerus memandang Lingga.“Kami berasal dari Padepokan Dewa Sanca,” jawab Nilasari asal.“Padepokan Dewa Sanca,” gumam Limbur Kancana dengan tatapan terkejut. Seluruh teka-teki yang berkeliaran dalam pikirannya seketika terhubung dan membawanya pada sebuah kesimpulan. Ruang gelap dalam pikirannya dengan cepat dipenuhi cahaya yang mampu menjelaskan semua pertanyaan yang menggantung selama ini. Ia bur
Wintara dan Nilasari menepi ke pinggiran perkampungan tak lama setelah kepergian Lingga, Limbur Kancana dan Sekar Sari. Kulit mereka masih meninggalkan bekas hitam dan rasa perih akibat terbakar.“Aku merasa jika pemuda bernama Bimantara dan gadis bernama Sekar Dewi itu sengaja menyentuh kita untuk mencelakai kita,” ujar Wintara dengan mata memelotot.“Aku juga berpikir hal yang sama, Kakang,” sahut Malawati dengan tatapan tajam, “kulit kita tiba-tiba saja terbakar setelah mereka berdua menyentuh kita. Rasa panas yang saat ini kurasakan mengingatkanku pada rasa panas yang dihasilkan dari ramuan pemusnah siluman yang pernah kurasakan dari pertarunganku dengan Sekar Dewi dan Aditara.”“Sepertinya mereka menaruh curiga pada kita kalau kita berdua adalah siluman ular yang sudah membuat kekacauan selama ini. Pendekar bernama Aditara itu jelas bukan pendekar bodoh. Tujuan mereka bertemu kita tadi tidak lain untuk membuktikan kecurigaan mereka. Setelah mereka berhasil membuktikannya, mereka
Lingga, Limbur Kancana dan Sekar Sari tengah mengamati keadaan perkampungan dari atap penginapan. Mereka berada di dalam perlindungan kubah gaib yang mampu menghilangkan hawa keberadaan. Ketiganya terkejut ketika mendapati tempat ini menjadi sunyi senyap dalam waktu singkat. Para warga dalam sekejap memasuki rumah masing-masing, sedang para pendekar segera menyebar dan berkeliling ke semua titik perkampungan hingga ke pinggiran.“Sesuai dugaanku, para pendekar di tempat ini sudah mempersiapkan segala sesuatu jika dua siluman ular itu menyerang malam ini,” ujar Limbur Kancana, “berdasarkan penglihatanku, para warga segera memasuki ruangan bawah tanah di rumah mereka untuk berlindung.” “Apa mungkin Wintara dan Nilasari akan tetap menyerang malam ini, Kakang Guru?” tanya Sekar Sari. Ia merasa khawatir terhadap keadaan Malawati.“Sepertinya mereka berdua memilih berhati-hati dalam mengambil tindakan setelah saat ini. Salah satu tiruanku melihat jika Wintara dan Nilasari memilih menjauh d
Begitu Lingga tiba di dasar kolam, ia dengan cepat mengentak tubuh, kemudian melompat dengan sekuat tenaga. Tubuhnya melesat cepat ke arah atas hingga muncul dari permukaan air. Akan tetapi, ia nyatanya tidak mendarat di pinggiran kolam seperti sebelum memasuki kolam tersebut, melainkan berada di sebuah kawasan asing di mana pendekar muda itu berada.“Kenapa aku bisa berada di sini?” tanya Lingga seraya mengawasi keadaan sekeliling yang dipenuhi oleh pepohonan yang menjulang tinggi. Cahaya matahari tampak mengintip dicelah dedaunan yang rimbun.Lingga mendekat ke arah pemuda berbaju putih di depannya, tetapi pemuda itu justru berjalan lebih dahulu. Ketika akan menepuk pundaknya, Lingga justru terkejut ketika tangannya menembus raga pemuda tersebut.“Apa yang terjadi?” Lingga terdiam beberapa saat, mengamati kedua tangannya saksama. Inagatannya melayang pada saat dirinya pernah menghadapai keadaan yang sama beberapa waktu lalu. “Mungkinkah aku kembali ke masa lalu seperti waktu itu? Ta
Tarusbawa mulai melompat di atas batu. Kaki kanannya mendarat di telapak tangan kanan, begitupun saat giliran kaki kirinya meloncat. Ketika mendarat kembali di batu, ia memutar tubuh satu kali dengan tumpuan kaki kiri di mana kaki kanannya tertuju ke atas sejajar dengan kaki kiri.Tarusbawa memukul ruang kosong di depan dengan gerakan yang sangat cepat, kemudian melakukan pukulan ke atas, berpindah ke kanan dan kiri. Gerakan tersebut menghasilkan angin yang berembus kencang ke sekeliling, membuat air terpercik ke sekitar, menciptakan pusaran air yang mengelilinginya.Selesai dengan gerakan memukul, Tarusbawa menendang arah depan, belakang, atas dan bawah dengan gerakan kian cepat. Tebasan angin seketika menerjang ke semua arah mata angin. Sosoknya berubah menjadi sekelebat bayangan yang bergerak cepat di tengah pusaran air dan embusan angin yang sangat kencang.Lingga memandang dengan penuh takjub. Tatapannya tak lepas dari sosok pemuda berbaju putih di depannya yang kini mulai melaya
Lingga segera melompat ke arah orang itu dan tercekat ketika melihat seorang pendekar dengan deretan luka dan darah yang mengucur deras. Tubuhnya tampak lemah dengan napas yang terputus-putus. Tak jauh dari pria itu, terdapat dua orang pendekar lain yang sudah tak bernyawa.Lingga bermaksud untuk membantu pendekar itu, tetapi tangannya lagi-lagi menembus tubuh. Ia menoleh ke samping ketika mendapati Tarusbawa baru saja mendarat.“Apa yang terjadi denganmu, Kisanak?” tanya Tarusbawa seraya mengangkat kepala pendekar yang terkulai lemas itu. Tatapannya beralih pada dua pendekar yang tak jauh darinya. Ia mengamati keduanya saksama, terpejam sesaat.“Aku dan kedua temanku adalah pendekar yang ditugaskan untuk melenyapkan dua siluman ular yang terkenal dengan sebutan Dewa Sanca dan Dewi Sanca. Hanya saja seluruh rekan-rekan kami tewas di tangan dua siluman itu. Hanya kami bertiga yang berhasil selamat.” Pendekar itu tiba-tiba menangis, menoleh ke arah dua temannya yang sudah tidak menunjuk