Kartasura segera mengubah rupa menjadi kelelawar kecil, lalu terbang bersama kumpulan kelelawarnya menuju tempat yang ditunjuk. Di setiap sisi jalan, para pendekar tampak berjaga, hilir mudik mengawasi keadaan sekitar. Namun, sepertinya mereka tidak terlalu peka terhadap kawanan kelelawar yang menuju ke tengah wilayah Jaya Tonggoh. Kartasura dan kawanan kelelawarnya memasuki tempat yang dituju melalui celah kecil atap yang terbuka. Saat sudah berada di dalam, pria itu kembali mengubah wujud menjadi manusia. Ia lantas memerintahkan kumpulan kelelawarnya mencari kitab yang dibutuhkannya. Kartasura berjalan menuju pinggiran ruangan, menghidupkan satu obor, kemudian menggenggamnya seraya melewati kumpulan rak yang berisi kitab-kitab yang tersusun rapi di kiri, kanan, depan dan belakang. Sesuai dengan kabar yang dirinya terima dari salah satu pendekar golongan putih yang ia paksa untuk mengobati Wira dan Danuseka, tempat ini berisi ribuan kitab yang berisi berbagai jenis kitab dari beraga
Matahari sudah beranjak dari ufuk timur. Sinar lembut tampak terperangkap di beningnya embun di atas dedaunan. Jejak kaki silih berganti hadir menginjak jalan setapak. Udara segar dan hangatnya mentari beradu di waktu pagi. Lingga, Limbur Kancana, Sekar Sari dan Malawati tengah berjalan di jalanan setapak. Keempatnya kemudian keluar dari kungkungan pepohonan rindang, melibas pinggiran sungai di mana arusnya tampak cukup deras. Setelah selesai mengisi perut, keempat orang itu bergegas meneruskan perjalan menuju wilayah Jaya Tonggoh. Siang nanti, mereka harus sudah berada di tempat itu. “Aku sungguh tidak sabar untuk segera berada di tempat itu,” ujar Sekar Sari dengan senyum mengembang, “aku sudah menyiapkan beberapa persiapan untuk mengunjungi tempat yang kau sebutkan Malawati.” “Kau sudah mengatakannya berulang kali selama dalam perjalanan kita, Sekar Dewi.” Malawati memutar bola mata. “Aku benar-benar sudah bosan mendengarnya.” “Aku tahu kau hanya iri denganku,” ketus Sekar Sari
Pendekar golongan hitam itu mulai kembali ke keadaan semula. pria itu perlahan menoleh pada Limbur Kancana menggali kembali ingatan yang terjadi padanya semalam. “Se-semalam, aku dan teman-temanku diserang oleh dua ekor siluman ular. Banyak dari teman-temanku yang menjadi korban. Sepertinya hanya aku yang berhasil selamat.”“Dua siluman ular?” Limbur Kancana memastikan apa yang barusan dirinya dengar, menatap pria itu lekat-lekat, mencari kebohongan di kedua bota matanya. Di saat yang sama, Lingga, Sekar Sari dan Malawati ikut terkejut mendengar penjelasan tersebut.Limbur Kancana diam sejenak, menoleh ke sisi lain. Matanya menyipit, tenggelam dalam lamunan. Sesuai dugaannya, dua siluman ular itu akan kembali mengisap kekuatan lawan untuk memulihkan diri. Hanya saja, ia cukup terkejut ketika dua siluman ular itu ikut menjadikan para pendekar golongan hitam sebagai korban. Di sisi lain, jawaban tersebut membuatnya mengetahui keadaan anggota Cakar Setan setelah mendapat serangan dari Li
Kekuatan aneh itu nyatanya berasal dari Kartasura yang saat ini tengah membelah air terjun dengan kedua tangannya. Pria itu tertawa pelan saat menemukan sebuah jalan yang berada di balik air terjun. Tujuannya untuk membangkitkan kembali Wira dan Danuseka akhirnya tinggal beberapa langkah lagi.Pria yang bersama Kartasura berjalan lebih dahulu, disusul Kartasura yang kemudian menutup kembali air terjun. Keduanya berjalan di jalan setapak yang sekelilingnya di penuhi oleh tanaman merambat. Tetes air berjatuhan dari atap yang penuh dengan lumut hijau. Jejak kaki keduanya bersahutan dengan suara deburan air terjun dari luar.Kartasura dan pria yang sudah dalam pengaruh kelelelawarnya tiba di sebuah kolam berair bening tak lama kemudian. Sinar matahari tampak terperangkap di permukaan telaga. Angin sepoi-sepoi berembus pelan, menggerakkan tanaman hijau di sekeliling kolam. Atap ruangan itu nyatanya terdiri dari akar-akar tanaman besar.Kartasura berjalan menuju pinggiran kolam, berjongkok,
Untuk kedua kalinya Lingga merasakan kekuatan aneh yang menyebar dari suatu arah. Pemuda itu berhenti sesaat di pintu warung makan, mengawasi keadaan sekeliling.“Ada apa, Kakang?” tanya Sekar Sari yang terpaksa ikut berhenti di belakang Lingga.“Tidak ada.” Lingga menggeleng, kembali berjalan mengikuti Limbur Kancana yang sudah lebih dahulu masuk ke warung makan bersama pendekar dari golongan hitam.Tiga orang pelayan wanita yang melihat kehadiran Lingga seketika menoleh pada pemuda itu, memperhatikan gerak-geraknya hingga duduk di samping Limbur Kancana. Sekar Sari dan Malawati yang melihat hal itu seketika memelototi ketiga pelayan itu.Sekar Sari dan Malawati buru-buru mendekat pada Lingga. Kedua gadis itu saling menyikut dan melempar tatapan ketus satu sama lain karena ingin berhadapan langsung dengan Lingga. Keduanya baru diam saat Limbur Kancana memelototi mereka.Makan siang berjalan dengan hening meski Sekar Sari dan Malawati tampak sibuk memelototi pada pelayan wanita dan me
“Siapa yang baru saja berbicara padaku?” tanya Lingga. Pandangannya segera mengawasi keadaan sekeliling. Suara itu begitu sangat dekat, tetapi yang berada di sampingnya saat ini hanyalah Sekar Sari dan Malawati saja, sedang orang-orang di sekitarnya berada agak jauh dan terlihat sibuk dengan urusan masing-masing.“Ada apa, Kakang?” Sekar Sari dan Malawati bertanya dalam waktu bersamaan. Kedua gadis itu saling menatap satu sama lain, kemudian memutar bola mata.“Apa kalian mendengar suara tadi?” Lingga balik bertanya. “Aku mendengar suara seorang pria yang memintaku untuk pergi ke suatu tempat.”“Tapi hanya kami berdua yang sejak tadi berada di dekatmu, Kakang,” kata Sekar Sari, “dan aku sama sekali tidak mengatakan apa pun.”Lingga menggaruk rambut yang tak gatal, kembali mengawasi keadaan sekeliling. Ia sangat yakin jika ada seseorang yang berbicara padanya barusan. Namun, di saat yang sama dirinya juga tidak melihat ada orang lain di sampingnya selain Sekar Sari dan Malawati. “Seper
Pria botak pemilik rumah itu perlahan mengerjap, berusaha membuka mata di saat cahaya matahari menerobos dari atap rumah yang berlubang. Ia berusaha duduk, terbatuk beberapa kali hingga tubuhnya bergetar. Lingga dengan sigap memeganginya.“Siapa kalian dan apa yang kalian lakukan di rumahku?” tanya pria botak itu sembari memijat kepalanya yang serasa berputar. Begitu penglihatannya kembali seperti semula, ia terkejut ketika melihat keadaan rumahnya yang berantakan.Pria botak itu segera turun dari dipan dan terjatuh karena kakinya belum bisa menahan bobot tubuh. “Ramuan-ramuanku hancur.”“Minumlah.” Malawati menyodorkan segelas air.Pria botak itu meneguknya hingga habis, memegang tangan Lingga dengan kuat untuk berdiri. Matanya berkaca-kaca saat melihat barang-barang di sekelilingnya hancur, terutama kendi-kendi berisi ramuan yang kini entah ke mana isinya.“Apa yang terjadi denganmu, Paman?” tanya Lingga, “saat kami berkunjung ke rumah ini, keadaan rumahmu sudah kacau balau. Kami me
“Harusnya kami yang bertanya padamu, Kakang,” kata Sekar Sari dengan raut khawatir, mengamati Lingga yang sejak tadi bertingkah aneh.Lingga mundur beberapa langkah, kembali mengawasi keadaan di depannya yang berupa tebing curam. Entah bagaimana dirinya bisa berada di tempat ini, padahal seingatnya ia sedang berada di sekitar rumah pria botak penjual ramuan obat.“Apa yang terjadi denganku?” tanya Lingga, “bagaimana aku bisa berada di tempat ini?”Malawati dan Sekar Sari menoleh satu sama lain untuk sesaat.“Kau tiba-tiba saja berjalan ke tempat ini, Kakang. Kau bahkan mengabaikan panggilanku dan panggilan Malawati,” terang Sekar Sari, “kau seperti tengah ditarik sesuatu untuk sampai ke tempat ini. Untunglah aku dan Malawati bisa menghentikanmu tepat waktu.”“Kakang, sepertinya kau membutuhkan istirahat. Wajahmu sedikit pucat dan kau terlihaat seperti orang yang kebingungan sejak tadi.” Malawati ikut berbicara.“Itu benar, Kakang,” sahut Sekar Sari, “beristirahatlah sampai keadaanmu k
Panji Laksana dan Saraswati seketika berdiri dan membungkuk hormat ketika melihat kemunculan Tarusbawa. Lingga berdiri di belakang Tarusbawa, mengamati Ganawirya, Limbur Kancana, Sekar Sari, dan dua sosok asing yang membungkuk hormat pada Tarusbawa. “Siapa mereka? Aku baru pertama kali bertemu dengan mereka. Mereka terlihat kuat.” Panji Laksana dan Saraswati kembali berdiri tegak, menoleh pada Lingga. Keduanya saling melirik sesaat, memberi salam penghormatan untuk Lingga. “Aku Panji Laksana. Aku merasa bangga bisa bertemu dengan pemuda pewaris kujang emas,” ujar Panji Laksana. Saraswati menunduk malu, menyembunyikan pipinya yang memerah. “Pemuda itu memang sangat tampan sesuai dengan perkataan orang-orang,” gumamnya. Saraswati berdeham saat Panji Laksana menyikutnya. “Aku Saraswati. Aku juga merasa bangga bisa bertemu denganmu.” Lingga membalas salam dua saudara kembar itu. “Namaku Lingga. Senang bertemu dengan kalian. Aku harap kita bisa berteman dengan baik.” Sekar
Lingga segera mendekati Tarusbawa. “Guru, apa kau baik-baik saja?” Tarusbawa seketika berjongkok, menahan rasa panas dan sesak yang semakin menjalar di dadanya. Ia sontak terdiam saat mendengarkan ucapan seseorang. Sebuah cahaya merah seketika terlihat di dada Tarusbawa, bergerak beberapa kali. “Guru.” Lingga mengamati cahaya itu saksama, melompat mundur saat cahaya itu keluar dari dada Tarusbawa. “Cahaya merah apa itu?” Cahaya itu mengelilingi Lingga selama beberapa kali, terbang ke langit, kemudian perlahan turun hingga berhadapan dengan Lingga. Tak lama setelahnya, cahaya itu berubah menjadi sosok Prabu Nilakendra. “Prabu.” Lingga segera memberikan salam penghormatan. “Kau sudah menunjukkan perjuangan hingga sampai di titik ini. Dengan munculnya mustika merah ini dari Tarusbawa, maka waktu ujianmu akan segera dimulai,” ujar Prabu Nilakendra sembari menunjukkan sebuah benda bulat bercahaya merah di tangannya. “Waktu ujianku sudah dimulai?” “Aku ingin mengingatkanm
“Baik, Guru.” Sekar Sari mengangguk.“Indra, antarkan Panji Laksana ke ruangan kalian. Dia juga akan tinggal bersamamu dan yang lain mulai sekarang,” ujar Ganawirya.Panji Laksana mengikuti Indra. Kedua pemuda itu menghilang saat melewati beberapa gubuk. Suasana masih terasa canggung, apalagi bagi Sekar Sari dan Saraswati yang saling mengamati satu sama lain.Sekar Sari dan Saraswati berjalan menuju gubuk para wanita, sedangkan Meswara, Jaka, dan Arya masih berada di depan gubuk saat Ganawirya memberi perintah pada mereka.Sekar Sari melirik Saraswati berkali-kali. Kepalanya penuh dengan pertanyaan saat ini. “Hanya dengan melihat matanya saja, dia pastilah gadis yang sangat cantik. Aku melihat Kakang Indra dan yang lain juga terpana saat melihatnya.”Saraswati mengamati keadaan sekeliling. “Padepokan ini sangat tenang dan menyenangkan. Aku menyukai tempat ini.”Sekar Sari berhenti di depan sebuah gubuk, menaiki undakan tangga kecil, membuka pintu. “Ini adalah gubuk tempat tinggalku. A
Panji Laksana mengangguk. “Aki kami, Sanjaya, memerintahkan kami berdua untuk menemui kalian bertiga atau salah satu dari kalian bertiga. Aki ingin memberi tahukan soal keberadaannya pada kalian. Beberapa bulan lalu setelah kami melihat dan merasakan kekuatan pusaka kujang emas, Aki mengingat semua kembali ingatannya yang telah hilang.”“Bangkitnya pusaka kujang emas terjadi untuk ketiga kalinya. Terakhir kali saat kami, pasukan pendekar golongan putih, melawan dua siluman kembar dan para pendekar golongan hitam. Lingga mengurung mereka di Jaya Tonggoh,” ujar Tarusbawa. Panji Laksana memberikan sebuah pisau pada Tarusbawa. “Aki memerintahkan kami untuk memberikan pisau ini pada pemuda pewaris kujang emas. Pisau itu adalah kunci untuk memasuki Nusa Larang, tempat di mana Aki dan kami berada selama ini. Saat pisau itu bersinar, maka saat itulah waktu yang tepat bagi si pewaris kujang emas untuk menemui Aki.”Tarusbawa mengambil pisau itu, mengamati saksama. “Lingga sedang berlatih saat
Atap-atap gubuk mulai terlihat saat Panji Laksana dan Saraswati keluar dari kungkungan pohon. Mereka melihat sebuah ari terjun dan sungai yang mengalir jernih. Begitu memasuki padepokan, mereka mendapati beberapa murid dan tabib yang tampak hilir mudik.Panji Laksana dan Saraswati mengamati keadaan sekeliling. Beberapa murid melihat kedatangan mereka dengan tatapan bertanya-tanya, saling berbisik-bisik.“Aku sudah lama tidak melihat sebuah padepokan, Kakang.” Saraswati tersenyum saat melihat beberapa gadis tampak berbondong-bondong menuju sebuah tepat.“Kau tampaknya menyukai tempat ini, Saraswati.” Panji Laksana mengamati beberapa pemuda seusianya yang beriringan menuju arah utara.“Tentu saja aku menyuai tempat ini, kakang. Sejak kecil, kita hidup bersama Aki di tempat rahasia yang tidak dimasuki oleh orang-orang. Kita hanya bisa melihat mereka dari jarak jauh. Aku sejujurnya ingin seperti gadis lainnya.”“Semua yang Aki perintahkan semata-mata untuk melindungi kita, Saraswati.”“Ak
Ganawirya menoleh pada Jaka sesaat. “Jaka, kau dan yang lain harus ikut bersama kami ke sisi Lebak Angin. Aku dan Raka Limbur Kancana akan menunggu kalian di sana.”Jaka mengangguk meski masih bingung dengan keadaan yang terjadi. “Aku mengerti, Guru. Aku dan yang lain akan segera pergi secepatnya.”Ganawirya dan Limbur Kancana segera menghilang dari gubuk.Jaka bergegas keluar dari gubuk, mengamati keadaan sekeliling. Ia melompat ke atap gubuk, bersiul beberapa kali.Sekar Sari berhenti meramu obat sesaat, menoleh saat melihat beberapa bayangan berkelebat sangat cepat di langit. “Aku melihat Kakang Indra dan Kakang Meswara berlari menuju gubuk Guru. Apa sudah terjadi sesuatu?”Sekar Sari berlari menuju luar gubuk setelah menyimpan ramuan ke lemari. Gadis itu terdiam saat melihat Indra dan yang lain bergerak sangat cepat. “Sepertinya memang sudah terjadi sesuatu. Tapi, kenapa mereka tidak memberi tahuku?”Sekar Sari bergegas menuju gubuk Ganawirya, mengintip keadaan di dalam ruangan me
“Kalian bukankah anggota rombongan pengantar bahan baku dan makanan ke Lebak Angin. Kalian adalah pendekar,” ujar si pemimpin pendekar. Panji Laksana dan Saraswati turun dari kuda, mengamati para pendekar yang masih mengelilingi mereka. “Katakan siapa kalian dan tujuan kalian. Jika kalian tetap tutup mulut, kami akan bertindak kasar pada kalian!”“Tunggu, Kisanak. Kami memang bukanlah anggota rombongan, tetapi kami bukanlah orang jahat. Kami ingin pergi ke Lebak Angin untuk bertemu dengan pendekar bernama Ganawirya. Kami memiliki pesan penting,” kata Panji Laksana. “Kalian masih belum menjawab pertanyaan kami. Siapa kalian?”“Aku Panji Laksana dan gadis ini adalah adik kembarku, Saraswati. Kami berasal dari wilayah yang bernama Nusa Larang.” “Nusa Larang?” Para pendekar saling bertatapan sesaat, berbisik-bisik. “Periksa mereka sekarang juga!”Satu pendekar pria segera memeriksa Panji Laksana, dan seorang pendekar wanita bergegas mendekati Sarawati. Keduanya melakukan pemeriksaan
Langit tampak sangat cerah. Kawanan burung bergerak ke arah timur. Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan. Beberapa tupai terlihat berada di sebuah dahan pohon, mengamati seorang pemuda yang tengah duduk di atas sebuah batu.Pemuda itu tidak lain adalah Lingga. Tak lama setelah tiba di tempat ini, ia segera berlatih. Tarusbawa memperhatikannya dari puncak pohon, tidak berkata apa pun.Lingga tiba-tiba melompat ke langit, melakukan gerakan pemanggil kujang emas. Begitu pusaka itu muncul dan berada di tangannya, beberapa hewan dengan segera menjauh.Lingga mendarat di sungai, mengambang di atas aliran air yang tenang. Begitu matanya terbuka, kakinya mengentak air dan melesat ke arah depan. Air seketika memercik ke sekeliling. Pemuda itu menggerakkan kujang ke kiri dan kanan.Tarusbawa duduk bersila, memejamkan mata, berusaha menghubungi sosok pendekar Sayap Putih bernama Sanjaya. Akan tetapi, ia masih belum bisa terhubung dengan temannya.Matahari terus b
“Sanjaya,” ujar Tarusbawa yang kemudian termenung agak lama.Tarusbawa berdiri dari semedinya, mengamati keadaan ruangan yang temaram. Langit tampak gelap di mana cahaya bulan terhalang oleh awan hitam.Api obor bergerak-gerak saat Tarusbawa meninggalkan ruangan. Pendekar itu menuruni tangga kayu, berdiri di tengah-tengah tanah lapang. Saat mendongak ke langit, awan-awan hitam bergerak menjauh hingga bulan nyaris sempurna terlihat.Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan.“Aku merasakan kekuatan Sanjaya. Dia kemungkinan sudah terlepas dari jurus Aji Panday sehingga bisa mengingat jelas semua kejadian yang lalu. Aku harus segera bertemu dengannya.”“Tidak. Ini bukan waktu yang tepat.” Tarusbawa mengepal tangan erat-erat, menyentuh dadanya. “Lingga harus lulus dari ujian lebih dahulu sebelum aku dan dia bertemu dengan Sanjaya. Dengan merasakan kekuatannya, aku bisa tahu jika Sanjaya masih hidup di suatu tempat.”Tarusbawa mengentak kedua kaki kuat-kuat, me