Para pendekar golongan hitam itu mulai melayangkan satu per satu serangan. Akan tetapi, serangan mereka sama sekali tidak berdampak apa pun pada Wintara dan Nilasari. Meski begitu, para pendekar itu tidak menyerah dan terus menghantam serangan bergantian.Wintara dan Nilasari saling melilit tubuh masing-masing, kemudian menyapu para pendekar dengan serangan ekor mereka yang lebih kuat dari sebelumnya. Para pendekar itu seketika terpelanting ke sekeliling hingga bertumbangan ke tanah. Hal itu segera dimanfaatkan Wintara dan Nilasari untuk melahap mereka. Meski begitu, masih ada beberapa pendekar yang berhasil menyelamatkan diri.“Kita harus memberi tahu Wulung dengan segera,” ujar salah satu pendekar yang berlari mememasuki kegelapan hutan. Ia menoleh pada tiga rekannya yang ikut berlari di sampingnya. “Sekarang berpencar.”“Baik,” sahut tiga rekan pria itu seraya berlari ke arah yang berbeda.“Ternyata dua siluman itu juga ikut menyerang kami.” Pendekar itu terhenyak ketika mendengar
Kartasura segera mengubah rupa menjadi kelelawar kecil, lalu terbang bersama kumpulan kelelawarnya menuju tempat yang ditunjuk. Di setiap sisi jalan, para pendekar tampak berjaga, hilir mudik mengawasi keadaan sekitar. Namun, sepertinya mereka tidak terlalu peka terhadap kawanan kelelawar yang menuju ke tengah wilayah Jaya Tonggoh. Kartasura dan kawanan kelelawarnya memasuki tempat yang dituju melalui celah kecil atap yang terbuka. Saat sudah berada di dalam, pria itu kembali mengubah wujud menjadi manusia. Ia lantas memerintahkan kumpulan kelelawarnya mencari kitab yang dibutuhkannya. Kartasura berjalan menuju pinggiran ruangan, menghidupkan satu obor, kemudian menggenggamnya seraya melewati kumpulan rak yang berisi kitab-kitab yang tersusun rapi di kiri, kanan, depan dan belakang. Sesuai dengan kabar yang dirinya terima dari salah satu pendekar golongan putih yang ia paksa untuk mengobati Wira dan Danuseka, tempat ini berisi ribuan kitab yang berisi berbagai jenis kitab dari beraga
Matahari sudah beranjak dari ufuk timur. Sinar lembut tampak terperangkap di beningnya embun di atas dedaunan. Jejak kaki silih berganti hadir menginjak jalan setapak. Udara segar dan hangatnya mentari beradu di waktu pagi. Lingga, Limbur Kancana, Sekar Sari dan Malawati tengah berjalan di jalanan setapak. Keempatnya kemudian keluar dari kungkungan pepohonan rindang, melibas pinggiran sungai di mana arusnya tampak cukup deras. Setelah selesai mengisi perut, keempat orang itu bergegas meneruskan perjalan menuju wilayah Jaya Tonggoh. Siang nanti, mereka harus sudah berada di tempat itu. “Aku sungguh tidak sabar untuk segera berada di tempat itu,” ujar Sekar Sari dengan senyum mengembang, “aku sudah menyiapkan beberapa persiapan untuk mengunjungi tempat yang kau sebutkan Malawati.” “Kau sudah mengatakannya berulang kali selama dalam perjalanan kita, Sekar Dewi.” Malawati memutar bola mata. “Aku benar-benar sudah bosan mendengarnya.” “Aku tahu kau hanya iri denganku,” ketus Sekar Sari
Pendekar golongan hitam itu mulai kembali ke keadaan semula. pria itu perlahan menoleh pada Limbur Kancana menggali kembali ingatan yang terjadi padanya semalam. “Se-semalam, aku dan teman-temanku diserang oleh dua ekor siluman ular. Banyak dari teman-temanku yang menjadi korban. Sepertinya hanya aku yang berhasil selamat.”“Dua siluman ular?” Limbur Kancana memastikan apa yang barusan dirinya dengar, menatap pria itu lekat-lekat, mencari kebohongan di kedua bota matanya. Di saat yang sama, Lingga, Sekar Sari dan Malawati ikut terkejut mendengar penjelasan tersebut.Limbur Kancana diam sejenak, menoleh ke sisi lain. Matanya menyipit, tenggelam dalam lamunan. Sesuai dugaannya, dua siluman ular itu akan kembali mengisap kekuatan lawan untuk memulihkan diri. Hanya saja, ia cukup terkejut ketika dua siluman ular itu ikut menjadikan para pendekar golongan hitam sebagai korban. Di sisi lain, jawaban tersebut membuatnya mengetahui keadaan anggota Cakar Setan setelah mendapat serangan dari Li
Kekuatan aneh itu nyatanya berasal dari Kartasura yang saat ini tengah membelah air terjun dengan kedua tangannya. Pria itu tertawa pelan saat menemukan sebuah jalan yang berada di balik air terjun. Tujuannya untuk membangkitkan kembali Wira dan Danuseka akhirnya tinggal beberapa langkah lagi.Pria yang bersama Kartasura berjalan lebih dahulu, disusul Kartasura yang kemudian menutup kembali air terjun. Keduanya berjalan di jalan setapak yang sekelilingnya di penuhi oleh tanaman merambat. Tetes air berjatuhan dari atap yang penuh dengan lumut hijau. Jejak kaki keduanya bersahutan dengan suara deburan air terjun dari luar.Kartasura dan pria yang sudah dalam pengaruh kelelelawarnya tiba di sebuah kolam berair bening tak lama kemudian. Sinar matahari tampak terperangkap di permukaan telaga. Angin sepoi-sepoi berembus pelan, menggerakkan tanaman hijau di sekeliling kolam. Atap ruangan itu nyatanya terdiri dari akar-akar tanaman besar.Kartasura berjalan menuju pinggiran kolam, berjongkok,
Untuk kedua kalinya Lingga merasakan kekuatan aneh yang menyebar dari suatu arah. Pemuda itu berhenti sesaat di pintu warung makan, mengawasi keadaan sekeliling.“Ada apa, Kakang?” tanya Sekar Sari yang terpaksa ikut berhenti di belakang Lingga.“Tidak ada.” Lingga menggeleng, kembali berjalan mengikuti Limbur Kancana yang sudah lebih dahulu masuk ke warung makan bersama pendekar dari golongan hitam.Tiga orang pelayan wanita yang melihat kehadiran Lingga seketika menoleh pada pemuda itu, memperhatikan gerak-geraknya hingga duduk di samping Limbur Kancana. Sekar Sari dan Malawati yang melihat hal itu seketika memelototi ketiga pelayan itu.Sekar Sari dan Malawati buru-buru mendekat pada Lingga. Kedua gadis itu saling menyikut dan melempar tatapan ketus satu sama lain karena ingin berhadapan langsung dengan Lingga. Keduanya baru diam saat Limbur Kancana memelototi mereka.Makan siang berjalan dengan hening meski Sekar Sari dan Malawati tampak sibuk memelototi pada pelayan wanita dan me
“Siapa yang baru saja berbicara padaku?” tanya Lingga. Pandangannya segera mengawasi keadaan sekeliling. Suara itu begitu sangat dekat, tetapi yang berada di sampingnya saat ini hanyalah Sekar Sari dan Malawati saja, sedang orang-orang di sekitarnya berada agak jauh dan terlihat sibuk dengan urusan masing-masing.“Ada apa, Kakang?” Sekar Sari dan Malawati bertanya dalam waktu bersamaan. Kedua gadis itu saling menatap satu sama lain, kemudian memutar bola mata.“Apa kalian mendengar suara tadi?” Lingga balik bertanya. “Aku mendengar suara seorang pria yang memintaku untuk pergi ke suatu tempat.”“Tapi hanya kami berdua yang sejak tadi berada di dekatmu, Kakang,” kata Sekar Sari, “dan aku sama sekali tidak mengatakan apa pun.”Lingga menggaruk rambut yang tak gatal, kembali mengawasi keadaan sekeliling. Ia sangat yakin jika ada seseorang yang berbicara padanya barusan. Namun, di saat yang sama dirinya juga tidak melihat ada orang lain di sampingnya selain Sekar Sari dan Malawati. “Seper
Pria botak pemilik rumah itu perlahan mengerjap, berusaha membuka mata di saat cahaya matahari menerobos dari atap rumah yang berlubang. Ia berusaha duduk, terbatuk beberapa kali hingga tubuhnya bergetar. Lingga dengan sigap memeganginya.“Siapa kalian dan apa yang kalian lakukan di rumahku?” tanya pria botak itu sembari memijat kepalanya yang serasa berputar. Begitu penglihatannya kembali seperti semula, ia terkejut ketika melihat keadaan rumahnya yang berantakan.Pria botak itu segera turun dari dipan dan terjatuh karena kakinya belum bisa menahan bobot tubuh. “Ramuan-ramuanku hancur.”“Minumlah.” Malawati menyodorkan segelas air.Pria botak itu meneguknya hingga habis, memegang tangan Lingga dengan kuat untuk berdiri. Matanya berkaca-kaca saat melihat barang-barang di sekelilingnya hancur, terutama kendi-kendi berisi ramuan yang kini entah ke mana isinya.“Apa yang terjadi denganmu, Paman?” tanya Lingga, “saat kami berkunjung ke rumah ini, keadaan rumahmu sudah kacau balau. Kami me