Lingga, Limbur Kancana, Sekar Sari, Malawati dan para warga kembali ke perkampungan saat matahari mulai terbit dari ufuk timur. Keadaan tempat itu porak poranda laksana baru saja diterjang badai. Para tabib tampak sibuk mengumpulkan para pendekar yang menjadi korban di tengah perkampungan. Di sisi lain, para pendekar yang berhasil selamat ikut memadati perkampungan dan membantu beberapa warga yang juga menjadi korban.Beberapa wanita terlihat jatuh pingsan ketika melihat reruntuhan rumahnya. Anak-anak tampak menangis ketika ibu mereka tergeletak tak berdaya berkalang tanah.Melihat perkampungan yang hancur serta para korban yang bergelimpangan, membuat Lingga kembali mengingat kejadian penyerangan pasukan pendekar golongan hitam. Pemuda itu menggigit bibir bawah kuat-kuat, merutuk dirinya sendiri karena tidak bisa membantu apa pun dalam menangani masalah ini.“Kita harus segera pergi,” ujar Limbur Kancana serya menyentuh bahu Lingga.Lingga mengembus napas panjang, mengangguk paham. P
Lingga dan Limbur Kancana sengaja menjauh untuk melakukan latihan. Untuk menghindari kecurigaan Malawati, Sekar Sari sengaja membawa gadis itu pergi menjauh dari tempat latihan.Limbur Kancana segera membuat sebuah kubah tak kasat mata yang menghalangi pandangan orang-orang di sekitar. Tempatnya berada di sebuah tanah lapang yang berada di pedalam hutav. “Hari ini aku akan mengajarimu sebuah jurus baru, Lingga.”“Jurus baru?” Lingga mendadak bersemangat. “Cepat ajari aku, Paman.”“Jurus ini termasuk jurus tingkat lanjut dari jurus harimau putih. Jurus ini bernama jurus auman harimau putih dan termasuk ke dalam jurus yang memiliki tingkat kerumitan dan kesulitan yang tinggi untuk dikuasai. Jurus ini adalah jurus yang diciptakan oleh aki-aki bau itu. Aku harap kau bisa menguasainya dalam waktu cepat.”“Aki,” gumam Lingga dengan wajah yang mendadak serius, menunduk dengan tatapan yang tertuju pada kedua telapak tangan. Perhatiannya menjadi terpecah sesaat, dan ketika menoleh ke arah Limb
Sekar Sari yang akan mengeluarkan kendi berisi cairan hitam seketika terdiam. Pikirannya kembali terbang pada kejadian sesaat setelah pertarungannya dengan ular siluman itu di mana ia melihat seorang gadis berlari ke luar dari perkampungan. Entah mengapa pikirannya justru langsung tertuju pada Nilasari. Ia juga tidak melihat gadis itu di perkampungan pagi hari tadi. “Aku sama sekali tidak melihat mereka.”“Apa mungkin mereka sudah melarikan diri atau terluka di suatu tempat?” Malawati menggoyang-goyangkan kakinya di dalam air. “Bukankah tujuan mereka untuk mengalahkan dua siluman ular itu?”“Aku rasa mereka bisa menjaga diri mereka sendiri,” kata Sekar Sari yang kemudian membuka tutup kendi berisi cairan hitam dengan napas tertahan. Ia harus kuat menahan bau busuk setiap kali hal itu terjadi. “Jika mereka berhasil selamat, kemungkinan besar kita akan bertemu kembali dengan mereka di Jaya Tonggoh.”“Apa kau merasa jika mereka berdua sedikit aneh?” tanya Malawati dengan wajah tertuju pa
Bulan menggantung di langit bersamaan dengan malam yang kembali tiba. Dua bayangan hitam tampak bergerak ke luar gua dan tak lama setelahnya menampilkan sosok Wintara dan Nilasari saat cahaya menyinari keduanya.“Waktunya sudah tiba, Nilasari,” ujar Wintara seraya terkekeh pelan, “meski kita belum sepenuhnya pulih, tapi kita harus bergerak cepat untuk segera pergi ke wilayah Jaya Tonggoh. Jika yang dikatakan Bangasera benar, kita bisa menemukan pasukan pendekar golongan hitam yang sedang bergerak ke wilayah selatan.”“Aku mengerti, Kakang. Aku juga sudah menantikan malam ini tiba.”Wintara dan Nilasari segera mengubah wujud menjadi ular siluman, lalu bergerak memasuki belantara hutan. Keduanya melewati deretan pepohonan di tengah temaramnya cahaya bulan. Dari kejauhan, kedua kakak beradik itu seperti dua bayangan yang bergerak sangat cepat.Wintara dan Nilasari berhenti ketika menemukan sekumpulan pendekar dalam jumlah cukup banyak sedang beristirahat di tengah hutan dengan api unggun
“Pemuda itu bernama Lingga,” jawab pria itu dengan keringat yang mulai bercucuran, “dia bertubuh tinggi, berkulit putih bersih dengan alis tebal. Dia selalu bersama dengan pendekar yang bernama Limbur Kancana. Terakhir kali dia berada di kawasan hutan Lebak Angin.” “Lingga?” gumam Wintara dan Nilasari bersamaan. “Lalu di pihak siapa kau sekarang?” tanya Wintara kemudian. “A-aku ... berada di bawah kepemimpinan anggota Cakar Setan yang bernama Argaseni.” “Jelaskan padaku lebih rinci mengenai Argaseni!” perintah Wintara seraya memelotot tajam. Pria itu memejamkan mata ketakutan. Bibirnya setengah terbuka dan bergetar di saat yang bersamaan. Ketika kembali membuka mata, tubuhnya tiba-tiba mengejang hingga lepas dari cengkeraman Wintara. “To-tolong,” ujar pria itu seraya memegangi lehernya sendiri di mana tubuhnya berguling-guling ke kiri dan kanan. Tingkahnya seperti ikan yang jauh dari air. “Apa yang terjadi dengan pria itu, Kakang?” tanya Nilasari. “Sepertinya anggota Cakar Set
Para pendekar golongan hitam itu mulai melayangkan satu per satu serangan. Akan tetapi, serangan mereka sama sekali tidak berdampak apa pun pada Wintara dan Nilasari. Meski begitu, para pendekar itu tidak menyerah dan terus menghantam serangan bergantian.Wintara dan Nilasari saling melilit tubuh masing-masing, kemudian menyapu para pendekar dengan serangan ekor mereka yang lebih kuat dari sebelumnya. Para pendekar itu seketika terpelanting ke sekeliling hingga bertumbangan ke tanah. Hal itu segera dimanfaatkan Wintara dan Nilasari untuk melahap mereka. Meski begitu, masih ada beberapa pendekar yang berhasil menyelamatkan diri.“Kita harus memberi tahu Wulung dengan segera,” ujar salah satu pendekar yang berlari mememasuki kegelapan hutan. Ia menoleh pada tiga rekannya yang ikut berlari di sampingnya. “Sekarang berpencar.”“Baik,” sahut tiga rekan pria itu seraya berlari ke arah yang berbeda.“Ternyata dua siluman itu juga ikut menyerang kami.” Pendekar itu terhenyak ketika mendengar
Kartasura segera mengubah rupa menjadi kelelawar kecil, lalu terbang bersama kumpulan kelelawarnya menuju tempat yang ditunjuk. Di setiap sisi jalan, para pendekar tampak berjaga, hilir mudik mengawasi keadaan sekitar. Namun, sepertinya mereka tidak terlalu peka terhadap kawanan kelelawar yang menuju ke tengah wilayah Jaya Tonggoh. Kartasura dan kawanan kelelawarnya memasuki tempat yang dituju melalui celah kecil atap yang terbuka. Saat sudah berada di dalam, pria itu kembali mengubah wujud menjadi manusia. Ia lantas memerintahkan kumpulan kelelawarnya mencari kitab yang dibutuhkannya. Kartasura berjalan menuju pinggiran ruangan, menghidupkan satu obor, kemudian menggenggamnya seraya melewati kumpulan rak yang berisi kitab-kitab yang tersusun rapi di kiri, kanan, depan dan belakang. Sesuai dengan kabar yang dirinya terima dari salah satu pendekar golongan putih yang ia paksa untuk mengobati Wira dan Danuseka, tempat ini berisi ribuan kitab yang berisi berbagai jenis kitab dari beraga
Matahari sudah beranjak dari ufuk timur. Sinar lembut tampak terperangkap di beningnya embun di atas dedaunan. Jejak kaki silih berganti hadir menginjak jalan setapak. Udara segar dan hangatnya mentari beradu di waktu pagi. Lingga, Limbur Kancana, Sekar Sari dan Malawati tengah berjalan di jalanan setapak. Keempatnya kemudian keluar dari kungkungan pepohonan rindang, melibas pinggiran sungai di mana arusnya tampak cukup deras. Setelah selesai mengisi perut, keempat orang itu bergegas meneruskan perjalan menuju wilayah Jaya Tonggoh. Siang nanti, mereka harus sudah berada di tempat itu. “Aku sungguh tidak sabar untuk segera berada di tempat itu,” ujar Sekar Sari dengan senyum mengembang, “aku sudah menyiapkan beberapa persiapan untuk mengunjungi tempat yang kau sebutkan Malawati.” “Kau sudah mengatakannya berulang kali selama dalam perjalanan kita, Sekar Dewi.” Malawati memutar bola mata. “Aku benar-benar sudah bosan mendengarnya.” “Aku tahu kau hanya iri denganku,” ketus Sekar Sari