Tumbukan dua kekuatan itu lagi-lagi menciptakan deru angin yang mengembus kencang ke sekeliling, ditambah dengan asap putih yang menyelimuti sekitar. Limbur Kancana tiba-tiba keluar dari kekangan asap putih dengan tangan yang langsung menghantam kepala siluman ular itu hingga terlempar ke belakang dengan kuat. Dari cahaya yang berkumpul di kedua tangannya, tiba-tiba tercipta sebuah kubah merah.Wintara yang menyadari hal itu segera bergerak cepat untuk meloloskan diri dari kungkungan kubah seraya melemparkan tombak hitam ke langit. Akan tetapi, ia mendapat tendangan kuat di kepala dari dua tiruan Limbur Kancana yang mendadak munucl hingga kembali mundur. Saat tubuhnya akan sepenuhnya terkurung dalam kubah, dari arah hutan Nilasari tiba-tiba muncul dan langsung melemparkan susuk-susuk hitamnya.Dua tiruan Limbur Kancana seketika lenyap seperti debu tertiup angin, begitupun dengan kubah merah yang pecah berhamburan setelah terkena serangan ekor Nilasari dan ratusan tombak hitam yang dim
Limbur Kancana terdorong ke belakang hingga menabrak Lingga yang sedang berjaga di dekat gua. Keduanya jatuh hingga berkalang tanah.“Paman, apa yang terjadi?” tanya Lingga.Limbur Kancana dengan cepat menggetok kepala Lingga, bangkit berdiri dengan tatapan yang tertuju ke sekeliling.Lingga ikut berdiri dengan wajah cemberut. “Kenapa Paman memukul kepalaku? Padahal aku sangat mengkhawatirkan Paman.”“Itu karena kewaspadaanmu masih sangat lemah.” Limbur Kancana menoleh ke sekeliling, melirik ke dalam gua. Pria itu terpejam untuk melihat bayangan peristiwa yang sudah terjadi pada tiruannya yang berada di sekitar sini. Ia tercekat sesaat ketika mendapat gambaran satu siluman ular berada di perkampungan, ditambah tiruannya yang menemani Sekar Sari ke perkampungan, lalu membawa seorang anak kecil ke dalam gua. “Ceritakan apa yang sudah terjadi.”Limbur Kancana berjalan menjauhi gua setelah membuat tiruan untuk berjaga di mulut gua. Lingga segera mengikuti dari belakang.Lingga menoleh sin
Bangasera tiba-tiba tertawa ketika melihat raut keterkejutan Wintara. Pria bersisik ular itu berjalan mendekat. “Sepertinya kalian berdua mendapat lawan yang tangguh hingga kesulitan untuk mengalahkan musuh kalian.”“Apa yang kau mau dariku?” Wintara segera berdiri, melirik Nilasari yang terkapar tak sadarkan diri. Ia menggertakkan gigi kuat-kuat saat melihat tubuh gadis itu terbakar di bagian lengan, leher, kaki dan sebagian wajah. Amarahnya mendadak meluap saat mengingat pertarungannya dengan sosok pendekar asing tadi.“Aku hanya ingin menolong kalian,” jawab Bangasera dengan senyum tipis, “sudah menjadi kewajibanku untuk menolong bawahanku sendiri.”“Kau!” tunjuk Wintara dengan wajah memerah menahan amarah.Bangasera tertawa menggelegar. “Sepertinya pendekar yang kau lawan bukanlah pendekar semebarangan. Dia cukup tangguh, bahkan sampai bisa melukaimu dan adikmu. Apa kau bisa menjelaskan padaku secara rinci bagaimana sosok pendekar yang kau lawan barusan, Wintara?”“Untuk apa aku m
“Bagus, itu berarti tidak sia-sia aku menolong kalian berdua beberapa waktu lalu.” Bangasera menoleh ke arah selatan. Seekor ular tiba-tiba muncul di bahunya, berdesis beberapa kali. Setelahnya, makhluk melata itu kembali menghilang.“Salah satu pasukan Wulung, Argaseni, Brajawesi sedang bergerak menuju wilayah selatan,” gumam Bangasera seraya memutar tubuh membelakangi Wintara dan Nilasari. “Lalu di mana pasukan Kartasura sekarang berada? Sampai saat ini aku hanya mendapati kumpulan kelelawarnya yang terus mengikuti pasukanku dan pasukan anggota Cakar Setan yang lain. Sepertinya dia ingin bertindak curang.”Bangasera kembali berbalik, menatap Wintara dan Nilasari bergantian. “Aku sangat berharap kalian bisa menghabisi Tarusbawa dengan segera. Hanya saja, dengan keadaan kalian saat ini, kalian membutuhkan waktu untuk memulihkan diri.”“Tanpa perlu kau katakan, kami tahu apa yang harus kami lakukan, Bangasera.” Nilasari memutar bola mata. “Jangan harap karena kau menolongku, aku dan Ka
Lingga, Limbur Kancana, Sekar Sari, Malawati dan para warga kembali ke perkampungan saat matahari mulai terbit dari ufuk timur. Keadaan tempat itu porak poranda laksana baru saja diterjang badai. Para tabib tampak sibuk mengumpulkan para pendekar yang menjadi korban di tengah perkampungan. Di sisi lain, para pendekar yang berhasil selamat ikut memadati perkampungan dan membantu beberapa warga yang juga menjadi korban.Beberapa wanita terlihat jatuh pingsan ketika melihat reruntuhan rumahnya. Anak-anak tampak menangis ketika ibu mereka tergeletak tak berdaya berkalang tanah.Melihat perkampungan yang hancur serta para korban yang bergelimpangan, membuat Lingga kembali mengingat kejadian penyerangan pasukan pendekar golongan hitam. Pemuda itu menggigit bibir bawah kuat-kuat, merutuk dirinya sendiri karena tidak bisa membantu apa pun dalam menangani masalah ini.“Kita harus segera pergi,” ujar Limbur Kancana serya menyentuh bahu Lingga.Lingga mengembus napas panjang, mengangguk paham. P
Lingga dan Limbur Kancana sengaja menjauh untuk melakukan latihan. Untuk menghindari kecurigaan Malawati, Sekar Sari sengaja membawa gadis itu pergi menjauh dari tempat latihan.Limbur Kancana segera membuat sebuah kubah tak kasat mata yang menghalangi pandangan orang-orang di sekitar. Tempatnya berada di sebuah tanah lapang yang berada di pedalam hutav. “Hari ini aku akan mengajarimu sebuah jurus baru, Lingga.”“Jurus baru?” Lingga mendadak bersemangat. “Cepat ajari aku, Paman.”“Jurus ini termasuk jurus tingkat lanjut dari jurus harimau putih. Jurus ini bernama jurus auman harimau putih dan termasuk ke dalam jurus yang memiliki tingkat kerumitan dan kesulitan yang tinggi untuk dikuasai. Jurus ini adalah jurus yang diciptakan oleh aki-aki bau itu. Aku harap kau bisa menguasainya dalam waktu cepat.”“Aki,” gumam Lingga dengan wajah yang mendadak serius, menunduk dengan tatapan yang tertuju pada kedua telapak tangan. Perhatiannya menjadi terpecah sesaat, dan ketika menoleh ke arah Limb
Sekar Sari yang akan mengeluarkan kendi berisi cairan hitam seketika terdiam. Pikirannya kembali terbang pada kejadian sesaat setelah pertarungannya dengan ular siluman itu di mana ia melihat seorang gadis berlari ke luar dari perkampungan. Entah mengapa pikirannya justru langsung tertuju pada Nilasari. Ia juga tidak melihat gadis itu di perkampungan pagi hari tadi. “Aku sama sekali tidak melihat mereka.”“Apa mungkin mereka sudah melarikan diri atau terluka di suatu tempat?” Malawati menggoyang-goyangkan kakinya di dalam air. “Bukankah tujuan mereka untuk mengalahkan dua siluman ular itu?”“Aku rasa mereka bisa menjaga diri mereka sendiri,” kata Sekar Sari yang kemudian membuka tutup kendi berisi cairan hitam dengan napas tertahan. Ia harus kuat menahan bau busuk setiap kali hal itu terjadi. “Jika mereka berhasil selamat, kemungkinan besar kita akan bertemu kembali dengan mereka di Jaya Tonggoh.”“Apa kau merasa jika mereka berdua sedikit aneh?” tanya Malawati dengan wajah tertuju pa
Bulan menggantung di langit bersamaan dengan malam yang kembali tiba. Dua bayangan hitam tampak bergerak ke luar gua dan tak lama setelahnya menampilkan sosok Wintara dan Nilasari saat cahaya menyinari keduanya.“Waktunya sudah tiba, Nilasari,” ujar Wintara seraya terkekeh pelan, “meski kita belum sepenuhnya pulih, tapi kita harus bergerak cepat untuk segera pergi ke wilayah Jaya Tonggoh. Jika yang dikatakan Bangasera benar, kita bisa menemukan pasukan pendekar golongan hitam yang sedang bergerak ke wilayah selatan.”“Aku mengerti, Kakang. Aku juga sudah menantikan malam ini tiba.”Wintara dan Nilasari segera mengubah wujud menjadi ular siluman, lalu bergerak memasuki belantara hutan. Keduanya melewati deretan pepohonan di tengah temaramnya cahaya bulan. Dari kejauhan, kedua kakak beradik itu seperti dua bayangan yang bergerak sangat cepat.Wintara dan Nilasari berhenti ketika menemukan sekumpulan pendekar dalam jumlah cukup banyak sedang beristirahat di tengah hutan dengan api unggun
Panji Laksana dan Saraswati seketika berdiri dan membungkuk hormat ketika melihat kemunculan Tarusbawa. Lingga berdiri di belakang Tarusbawa, mengamati Ganawirya, Limbur Kancana, Sekar Sari, dan dua sosok asing yang membungkuk hormat pada Tarusbawa. “Siapa mereka? Aku baru pertama kali bertemu dengan mereka. Mereka terlihat kuat.” Panji Laksana dan Saraswati kembali berdiri tegak, menoleh pada Lingga. Keduanya saling melirik sesaat, memberi salam penghormatan untuk Lingga. “Aku Panji Laksana. Aku merasa bangga bisa bertemu dengan pemuda pewaris kujang emas,” ujar Panji Laksana. Saraswati menunduk malu, menyembunyikan pipinya yang memerah. “Pemuda itu memang sangat tampan sesuai dengan perkataan orang-orang,” gumamnya. Saraswati berdeham saat Panji Laksana menyikutnya. “Aku Saraswati. Aku juga merasa bangga bisa bertemu denganmu.” Lingga membalas salam dua saudara kembar itu. “Namaku Lingga. Senang bertemu dengan kalian. Aku harap kita bisa berteman dengan baik.” Sekar
Lingga segera mendekati Tarusbawa. “Guru, apa kau baik-baik saja?” Tarusbawa seketika berjongkok, menahan rasa panas dan sesak yang semakin menjalar di dadanya. Ia sontak terdiam saat mendengarkan ucapan seseorang. Sebuah cahaya merah seketika terlihat di dada Tarusbawa, bergerak beberapa kali. “Guru.” Lingga mengamati cahaya itu saksama, melompat mundur saat cahaya itu keluar dari dada Tarusbawa. “Cahaya merah apa itu?” Cahaya itu mengelilingi Lingga selama beberapa kali, terbang ke langit, kemudian perlahan turun hingga berhadapan dengan Lingga. Tak lama setelahnya, cahaya itu berubah menjadi sosok Prabu Nilakendra. “Prabu.” Lingga segera memberikan salam penghormatan. “Kau sudah menunjukkan perjuangan hingga sampai di titik ini. Dengan munculnya mustika merah ini dari Tarusbawa, maka waktu ujianmu akan segera dimulai,” ujar Prabu Nilakendra sembari menunjukkan sebuah benda bulat bercahaya merah di tangannya. “Waktu ujianku sudah dimulai?” “Aku ingin mengingatkanm
“Baik, Guru.” Sekar Sari mengangguk.“Indra, antarkan Panji Laksana ke ruangan kalian. Dia juga akan tinggal bersamamu dan yang lain mulai sekarang,” ujar Ganawirya.Panji Laksana mengikuti Indra. Kedua pemuda itu menghilang saat melewati beberapa gubuk. Suasana masih terasa canggung, apalagi bagi Sekar Sari dan Saraswati yang saling mengamati satu sama lain.Sekar Sari dan Saraswati berjalan menuju gubuk para wanita, sedangkan Meswara, Jaka, dan Arya masih berada di depan gubuk saat Ganawirya memberi perintah pada mereka.Sekar Sari melirik Saraswati berkali-kali. Kepalanya penuh dengan pertanyaan saat ini. “Hanya dengan melihat matanya saja, dia pastilah gadis yang sangat cantik. Aku melihat Kakang Indra dan yang lain juga terpana saat melihatnya.”Saraswati mengamati keadaan sekeliling. “Padepokan ini sangat tenang dan menyenangkan. Aku menyukai tempat ini.”Sekar Sari berhenti di depan sebuah gubuk, menaiki undakan tangga kecil, membuka pintu. “Ini adalah gubuk tempat tinggalku. A
Panji Laksana mengangguk. “Aki kami, Sanjaya, memerintahkan kami berdua untuk menemui kalian bertiga atau salah satu dari kalian bertiga. Aki ingin memberi tahukan soal keberadaannya pada kalian. Beberapa bulan lalu setelah kami melihat dan merasakan kekuatan pusaka kujang emas, Aki mengingat semua kembali ingatannya yang telah hilang.”“Bangkitnya pusaka kujang emas terjadi untuk ketiga kalinya. Terakhir kali saat kami, pasukan pendekar golongan putih, melawan dua siluman kembar dan para pendekar golongan hitam. Lingga mengurung mereka di Jaya Tonggoh,” ujar Tarusbawa. Panji Laksana memberikan sebuah pisau pada Tarusbawa. “Aki memerintahkan kami untuk memberikan pisau ini pada pemuda pewaris kujang emas. Pisau itu adalah kunci untuk memasuki Nusa Larang, tempat di mana Aki dan kami berada selama ini. Saat pisau itu bersinar, maka saat itulah waktu yang tepat bagi si pewaris kujang emas untuk menemui Aki.”Tarusbawa mengambil pisau itu, mengamati saksama. “Lingga sedang berlatih saat
Atap-atap gubuk mulai terlihat saat Panji Laksana dan Saraswati keluar dari kungkungan pohon. Mereka melihat sebuah ari terjun dan sungai yang mengalir jernih. Begitu memasuki padepokan, mereka mendapati beberapa murid dan tabib yang tampak hilir mudik.Panji Laksana dan Saraswati mengamati keadaan sekeliling. Beberapa murid melihat kedatangan mereka dengan tatapan bertanya-tanya, saling berbisik-bisik.“Aku sudah lama tidak melihat sebuah padepokan, Kakang.” Saraswati tersenyum saat melihat beberapa gadis tampak berbondong-bondong menuju sebuah tepat.“Kau tampaknya menyukai tempat ini, Saraswati.” Panji Laksana mengamati beberapa pemuda seusianya yang beriringan menuju arah utara.“Tentu saja aku menyuai tempat ini, kakang. Sejak kecil, kita hidup bersama Aki di tempat rahasia yang tidak dimasuki oleh orang-orang. Kita hanya bisa melihat mereka dari jarak jauh. Aku sejujurnya ingin seperti gadis lainnya.”“Semua yang Aki perintahkan semata-mata untuk melindungi kita, Saraswati.”“Ak
Ganawirya menoleh pada Jaka sesaat. “Jaka, kau dan yang lain harus ikut bersama kami ke sisi Lebak Angin. Aku dan Raka Limbur Kancana akan menunggu kalian di sana.”Jaka mengangguk meski masih bingung dengan keadaan yang terjadi. “Aku mengerti, Guru. Aku dan yang lain akan segera pergi secepatnya.”Ganawirya dan Limbur Kancana segera menghilang dari gubuk.Jaka bergegas keluar dari gubuk, mengamati keadaan sekeliling. Ia melompat ke atap gubuk, bersiul beberapa kali.Sekar Sari berhenti meramu obat sesaat, menoleh saat melihat beberapa bayangan berkelebat sangat cepat di langit. “Aku melihat Kakang Indra dan Kakang Meswara berlari menuju gubuk Guru. Apa sudah terjadi sesuatu?”Sekar Sari berlari menuju luar gubuk setelah menyimpan ramuan ke lemari. Gadis itu terdiam saat melihat Indra dan yang lain bergerak sangat cepat. “Sepertinya memang sudah terjadi sesuatu. Tapi, kenapa mereka tidak memberi tahuku?”Sekar Sari bergegas menuju gubuk Ganawirya, mengintip keadaan di dalam ruangan me
“Kalian bukankah anggota rombongan pengantar bahan baku dan makanan ke Lebak Angin. Kalian adalah pendekar,” ujar si pemimpin pendekar. Panji Laksana dan Saraswati turun dari kuda, mengamati para pendekar yang masih mengelilingi mereka. “Katakan siapa kalian dan tujuan kalian. Jika kalian tetap tutup mulut, kami akan bertindak kasar pada kalian!”“Tunggu, Kisanak. Kami memang bukanlah anggota rombongan, tetapi kami bukanlah orang jahat. Kami ingin pergi ke Lebak Angin untuk bertemu dengan pendekar bernama Ganawirya. Kami memiliki pesan penting,” kata Panji Laksana. “Kalian masih belum menjawab pertanyaan kami. Siapa kalian?”“Aku Panji Laksana dan gadis ini adalah adik kembarku, Saraswati. Kami berasal dari wilayah yang bernama Nusa Larang.” “Nusa Larang?” Para pendekar saling bertatapan sesaat, berbisik-bisik. “Periksa mereka sekarang juga!”Satu pendekar pria segera memeriksa Panji Laksana, dan seorang pendekar wanita bergegas mendekati Sarawati. Keduanya melakukan pemeriksaan
Langit tampak sangat cerah. Kawanan burung bergerak ke arah timur. Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan. Beberapa tupai terlihat berada di sebuah dahan pohon, mengamati seorang pemuda yang tengah duduk di atas sebuah batu.Pemuda itu tidak lain adalah Lingga. Tak lama setelah tiba di tempat ini, ia segera berlatih. Tarusbawa memperhatikannya dari puncak pohon, tidak berkata apa pun.Lingga tiba-tiba melompat ke langit, melakukan gerakan pemanggil kujang emas. Begitu pusaka itu muncul dan berada di tangannya, beberapa hewan dengan segera menjauh.Lingga mendarat di sungai, mengambang di atas aliran air yang tenang. Begitu matanya terbuka, kakinya mengentak air dan melesat ke arah depan. Air seketika memercik ke sekeliling. Pemuda itu menggerakkan kujang ke kiri dan kanan.Tarusbawa duduk bersila, memejamkan mata, berusaha menghubungi sosok pendekar Sayap Putih bernama Sanjaya. Akan tetapi, ia masih belum bisa terhubung dengan temannya.Matahari terus b
“Sanjaya,” ujar Tarusbawa yang kemudian termenung agak lama.Tarusbawa berdiri dari semedinya, mengamati keadaan ruangan yang temaram. Langit tampak gelap di mana cahaya bulan terhalang oleh awan hitam.Api obor bergerak-gerak saat Tarusbawa meninggalkan ruangan. Pendekar itu menuruni tangga kayu, berdiri di tengah-tengah tanah lapang. Saat mendongak ke langit, awan-awan hitam bergerak menjauh hingga bulan nyaris sempurna terlihat.Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan.“Aku merasakan kekuatan Sanjaya. Dia kemungkinan sudah terlepas dari jurus Aji Panday sehingga bisa mengingat jelas semua kejadian yang lalu. Aku harus segera bertemu dengannya.”“Tidak. Ini bukan waktu yang tepat.” Tarusbawa mengepal tangan erat-erat, menyentuh dadanya. “Lingga harus lulus dari ujian lebih dahulu sebelum aku dan dia bertemu dengan Sanjaya. Dengan merasakan kekuatannya, aku bisa tahu jika Sanjaya masih hidup di suatu tempat.”Tarusbawa mengentak kedua kaki kuat-kuat, me