Bima tersenyum mendengar ledakan itu. "Dia sudah mulai, aku penasaran akan seperti apa pertarungan mereka!" batin Bima. Para murid yang terkejut mendengar ledakan dari arah aula tak bisa berbuat apa-apa. Mereka kocar-kacir diserang oleh Bima. "Jangan biarkan musuh begitu saja! Serang dengan kekuatan kalian!" terdengar teriakan dari atas menara. Bima menoleh. Dia terkejut saat satu anak panah sudah ada di depan matanya. Namun dalam sekejap Bima telah menghilang dan berpindah tempat di depan pemanah tersebut. Sang pemanah terkejut. Namun hanya sesaat, karena di detik berikutnya kepalanya telah terlepas dari tubuhnya setelah terkena sabetan pedang milik Bima. Murid-murid yang lain terlihat ketakutan. Ini kali pertama mereka melihat sosok Iblis di depan mereka. "Dia sangat cepat dan ganas... Bagaimana cara kita menahan serangan nya...?" "Gunakan senjata roh! Kita serang bersama-sama!"Bima menatap ke bawah. Jika puluhan pendekar itu menggunakan senjata roh, dia akan cukup kesulita
Malam semakin sunyi dan dingin yang semakin menusuk tulang. Rasa dingin membuat orang-orang enggan untuk keluar dari rumahnya. Begitu juga yang terjadi di Perguruan Julang Emas. Sebuah Perguruan tingkat satu di wilayah barat Negara Angin. Semua orang nyaman di balik selimut mereka. Hanya beberapa murid jaga saja yang berpatroli keliling wilayah perguruan. Beberapa lagi berjaga di dua menara pengawas yang ada di gerbang Perguruan. Malam itu di wilayah barat Negara Angin benar-benar terasa sangat dingin tak biasanya. Tanpa di sadari oleh para penjaga, di balik pepohonan terlihat puluhan orang berpakaian hitam mengawasi pergerakan para penjaga itu. Jumlah mereka sangat banyak! Saat empat murid Perguruan Julang Emas melewati pepohonan tersebut, tiba-tiba sebuah belati terbang mengarah salah satu penjaga. Crash! Satu orang tumbang dengan leher menganga. Darah pun mengalir membasahi tanah yang bersalju. Tiga murid yang lain terkejut. Saat salah satu dari mereka akan menembakkan
Mata Bimasena terbuka perlahan. Apa yang di lihatnya pertama kali adalah sebuah langit-langit yang terbuat dari daun rumbia. Dia masih merasakan punggungnya yang berdenyut sakit. Dengan perlahan dicobanya menggeser tubuhnya agar bisa duduk di atas balai-balai bambu tersebut. Terdengar bunyi berderit dari balai-balai bambu tua itu. Matanya menatap satu cangkir yang terbuat dari bambu berisi entah air apa. Namun air itu masih mengeluarkan uap panas pertanda minuman itu belum lama di seduh. Terdengar suara kayu yang di potong di luar gubuk. Dengan sekuat tenaga sambil menahan sakit, Bima berjalan sambil berpegangan pada dinding gubuk. Wajahnya mengernyit kesakitan. Namun karena penasaran yang tinggi mengalahkan rasa sakitnya, dia tetap berjalan ke arah pintu. Sesampainya di depan pintu, Bima terkejut. Karena gubuk yang dia tempati berada di atas pohon yang tinggi. Matanya menatap ke arah bawah sana, dimana terdengar suara orang yang tengah memotong kayu. Terlihat asap tipis d
Pendeta Barata tersenyum kepada Bimasena yang sangat berhasrat ingin tahu tentang para penjahat yang membantai satu Perguruan dimana Bima tinggal. "Jika kau tahu, apa yang akan kau perbuat? Kemampuanmu saja sangat lemah. Menghindari lemparan batu kecil saja tidak bisa, apa lagi menahan tebasan Pedang dari pendekar hebat? Sudah tewas kau!" ucap Pendeta Barata membuat wajah Bima memerah karena malu dan kesal. "Lalu, apa yang harus aku lakukan kakek?" tanya Bima. "Kau harus melatih dirimu sendiri. Jika kau mau berlatih padaku, ada tiga tahap yang harus kau lalui untuk menjadi pendekar kelas tengah. Itu saja masih belum cukup untukmu bisa melawan mereka," kata Pendeta Barata sambil mengelus jenggot putihnya yang tidak begitu panjang. "Apakah kakek benar-benar mau mengajariku?" tanya Bima penuh harap. Mata si kakek itu melotot membuat Bima merasa ngeri. "Sudah di tolong, sudah di kasih obat, sudah di beri makan, malah sekarang minta di ajari ilmu! Anak siapa kau cah lanang!? Bisa-bis
Tiga tahun pun berlalu dengan cepat. Bimasena telah menguasai semua jurus dan kekuatan tenaga dalam yang Pendeta Barata ajarkan. Latihan yang Pendeta Barata berikan cukup berat. Namun dia berhasil lulus setelah menyelesaikan latihan tahap akhir,atau tahap ke tiga. Bimasena ingat saat dia awal mulai berlatih . Pendeta Barata menyuruhnya memotong kayu, mengisi air, dan mencari batu mulia. Kata Pendeta Barata, batu mulia tersebut bisa menyalurkan tenaga dalam. Dan harga batu mulia itu sangat mahal. Satu batu berwarna merah bisa menghasilkan ratusan tail emas. Tahap pertama pun dia lalui selama satu tahun, hingga dia bisa memotong seribu potong kayu dengan ukuran yang sama persis. Latihan ini adalah soal keseimbangan. Dan Bima berhasil dengan sempurna. Dia pun mengisi air dengan cepat bahkan sambil berlari.Kegunaan latihan ini adalah untuk memperkuat otot-otot lengan dan otot bahu serta kakinya yang nantinya akan di jadikan kuda-kuda saat bertarung. Semuanya harus kuat. Latihan ini be
Hari itu juga setelah Pendeta Barata memberikan petunjuk dan warisan pedang, Bimasena pun pamit undur diri kepada gurunya. Tak henti Bima ucapkan terimakasih kepada kakek gurunya tersebut. Orang yang telah menyelamatkan hidupnya dan mengajarkan ilmu kesaktian kepadanya selama tiga tahun belakangan ini. Dalam tiga tahun akhirnya Bimasena berhasil menguasai seluruh jurus dan kesaktian Pendeta Barata yang pernah mendapat julukan sebagai Sang Iblis Gila. Julukan itu bukan tanpa sebab, dulu Pendeta Barata adalah seorang pembunuh yang sangat liar. Itu sebabnya dia mendapatkan julukan tersebut. Mengenai asal-usul orang tua tersebut, Bima belum mengetahui nya. Namun seiring berjalannya waktu, semua orang akan tahu bahwa si Iblis Gila itu mempunyai seorang penerus. Yaitu Bimasena. Dengan pedang yang menggantung di punggung Bima pun meninggalkan tempat dimana dia berlatih dengan perasaan sedih. Pendeta Barata hanya melambaikan tangan saja ke arahnya dengan perasaan yang sedih bercampur bangg
Bimasena menatap orang yang baru saja datang itu. Dia merasakan hawa yang berbeda. Lelaki bernama Marga itu sedikit lebih kuat dari pada rombongan pecundang yang dia temui sebelumnya di dalam kedai. "Siapa kau sebenarnya!?" hardik Marga keras. Bimasena hanya menghela nafas menatap orang bertubuh cukup tegap itu. Hanya dengan melihat tubuh Marga, Bimasena langsung tahu beberapa titik lemah di tubuh orang itu. Merasa pertanyaannya tak di hiraukan oleh Bima, Marga pun langsung menyerang dengan cepat ke arah pemuda berikat kepala merah itu. Tinju kanannya melayang dengan kekuatan yang tidak main-main. Jika mengenai tubuh, bisa jadi tulangnya akan langsung patah. Namun dengan mudah Bima mengelak dari serangan tersebut. Dia mengelak ke kanan lalu tangan kirinya bergerak cepat ke arah bahu Marga. Tuk! Dua jari Bimasena bersarang di bahu kanan Marga yang baru saja dia gunakan untuk menyerang. Saat itu juga Marga mer
Bimasena melangkahkan kakinya masuk ke dalam tempat pendaftaran peserta sayembara. Ternyata disana sudah di penuhi banyak orang yang mengantri. "Ramai sekali," batin Bima sambil mengamati sekitar. Tiba-tiba ada seorang lelaki berbadan besar menyerobot antrian. Tubuh Bima di tarik keluar dari antrian. "Sampah belakangan! biar aku dulu yang di depan!" teriak lelaki itu. Banyak orang menyingkir karena takut melihat wajahnya yang besar. Lelaki berbadan besar itu akhirnya sampai di urutan pertama. Banyak peserta yang marah karena kejadian itu. Tapi mereka enggan berurusan dengan orang berbadan kekar tersebut. Agaknya mereka tahu siapa lelaki besar itu. Tapi tidak bagi Bimasena. Dia merasa kesal antriannya di serobot di tambah tubuhnya juga di tarik, di tambah lagi lelaki itu menyebutnya sampah. Lelaki besar itu tengah mendaftar kan dirinya untuk mengikuti sayembara. Tiba-tiba satu tangan mencengkram bahu kanannya. Lelaki itu menoleh dan melihat seorang pemuda tampan berpakaian merah
Bima tersenyum mendengar ledakan itu. "Dia sudah mulai, aku penasaran akan seperti apa pertarungan mereka!" batin Bima. Para murid yang terkejut mendengar ledakan dari arah aula tak bisa berbuat apa-apa. Mereka kocar-kacir diserang oleh Bima. "Jangan biarkan musuh begitu saja! Serang dengan kekuatan kalian!" terdengar teriakan dari atas menara. Bima menoleh. Dia terkejut saat satu anak panah sudah ada di depan matanya. Namun dalam sekejap Bima telah menghilang dan berpindah tempat di depan pemanah tersebut. Sang pemanah terkejut. Namun hanya sesaat, karena di detik berikutnya kepalanya telah terlepas dari tubuhnya setelah terkena sabetan pedang milik Bima. Murid-murid yang lain terlihat ketakutan. Ini kali pertama mereka melihat sosok Iblis di depan mereka. "Dia sangat cepat dan ganas... Bagaimana cara kita menahan serangan nya...?" "Gunakan senjata roh! Kita serang bersama-sama!"Bima menatap ke bawah. Jika puluhan pendekar itu menggunakan senjata roh, dia akan cukup kesulita
Bima menatap tajam mata Datuk Manggala. Dia khawatir mayat yang sudah dia hidupkan akan menyerangnya. "Dia saat ini berada di ranah Cakrawala tahap tengah, jika dia menyerangku, akan sangat menyusahkan, sialan..." batin Bima. Datuk Manggala berjalan mendatangi Bima yang masih bersembunyi dibalik dinding es. Setiap langkahnya menggetarkan lantai goa. Blarrrr! Dinding es yang sangat kuat itu hancur hanya dengan telapak tangan Datuk Manggala. Bima bersiap dengan pedang Hantu Biru. Dia harus segera kabur jika Datuk Manggala itu menyerangnya. Namun sesuatu yang membuat Bima terkesima pun terjadi. Datuk Manggala berlutut di depan Bima sambil menyilangkan tangan kanannya di depan dada. "Seorang Pelayan Terkuat ada di depanku..." ucap Bima dalam hati sambil tertawa keras. "Hmm, namamu sekarang adalah Tangan Darah, apakah kau dengar?" ucap Bima. "Saya mendengar tuanku," sahut Datuk Manggala yang sekarang berganti nama menjadi Tangan Darah. Bima mempunyai alasan tersendiri kenapa dia
Bima mendekati empat sosok penjaga berbentuk Iblis Es tersebut. Namun empat penjaga itu langsung menyerangnya dengan kekuatan es. "Hei! Apakah kalian tidak mengenali tubuhku!" teriak Bima yang langsung mengeluarkan pedang es dan menangkis serangan empat penjaga tersebut. Keempat penjaga itu menatap Bima dengan tatapan aneh. "Apakah kau juga pecahan kekuatanku!?" tanya salah satu dari empat Iblis Es tersebut. Bima mengangguk. "Akan ada orang lain yang juga ingin mengambil bunga ini. Aku yakin, kalian tidak akan bisa menghadapinya. Iblis Es di dalam tubuhku sudah berkembang dan menjadi lebih kuat, kalian bisa masuk ke dalam tubuhku dan aku akan mengambil inti bunga tersebut untuk sebuah ritual," kata Bima. "Kami tidak akan setuju begitu saja, coba tunjukkan kemampuan Iblis Es yang ada di dalam tubuhmu," kata salah satu penjaga tersebut. Bima menatap tajam. Tangannya bergerak membuat sebuah rapalan. Dia akan mengeluarkan Jurus Pedang Es miliknya dengan kekuatan tinggi. Empat penj
Mata Bima membesar melihat sebuah benda bersinar warna warni dan melayang di depan Ayu Wulan Paradista. Bima mendekati benda tersebut. "Nona, apa maksudnya ini? Benda apa ini? Aku merasakan tiga kekuatan di dalam benda ini," tanya Bima. Di depan Bima saat ini adalah sebuah cincin perak dengan aura tiga warna. "Cincin ini adalah jelmaan dari roh tiga pilar yang sudah tiada. Mereka menginginkan dirimu untuk memiliki nya sebagai wujud rasa terimakasih mereka padamu," kata Wulan sambil mendorong cincin itu dengan jari nya. Cincin perak itu pun melayang mendekati Bima. Dengan perasaan aneh bercampur takjub Bima memegang cincin tersebut. Dia bisa merasakan aura kekuatan yang luar biasa dari cincin itu. "Kenapa mereka berterimakasih padaku? Apa yang telah aku lakukan pada mereka?" tanya Bima. Wulan tersenyum. Dia bangkit berdiri. "Kamu sudah membunuh Datuk Manggala yang sudah membunuh mereka di masa lalu. Dan juga itu adalah satu-satunya permintaan ku padamu karena aku telah menolong
Bima melayang turun dan mendarat tak jauh dari Ayu Wulan Paradista.Sementara itu, Hujan Es Abadi masih menghantam tubuh Datuk Manggala. Area seluas ratusan tombak itu berubah menjadi lahan es yang sangat dingin. Wulan menahan kekuatan dingin itu dengan Tongkat Penyembuh miliknya. Namun rasa dingin itu tidak bisa ditahan dengan tingkat penyembuh."Apakah kau merasa sangat kedinginan?" tanya Bima. Wanita itu tak menjawab. Tapi Bima tahu hanya dengan melihat bibirnya yang terlihat pucat. "Kekuatan es milikku meningkat hingga beberapa kali lipat sehingga tingkat dinginnya bisa membekukan apa pun, bahkan pendekar Ranah Cakrawala sekalipun," batin Bima lalu tangan kirinya membuat bola api merah. Mata Wulan terlihat membesar melihat Bola Api merah milik Bima. Dia tidak menyangka bahwa pemuda itu pun mempunyai kekuatan api. Bima meletakkan api itu di atas tempat pemujaan. Hawa hangat langsung terasa sehingga Wulan tak perlu lagi menggunakan kekuatan miliknya. "Kamu mempunyai dua elemen
Setelah memukul Bima hingga terpental jauh dan menabrak batu besar, Datuk Manggala langsung melesat menyusul tubuh Bima. Namun matanya terbelalak saat melihat dua larik sinar biru yang menyilang menderu ke arahnya dari dalam gumpalan debu yang berasal dari batu besar. "Masih bisa menyerang!?" batin Datuk Manggala. Dengan cepat Datuk menghindari serangan sinar biru tersebut. Namun dia terkecoh, serangan sebenarnya bukan dua larik sinar biru tersebut, akan tetapi serangan pedang Es yang bergerak sangat cepat dari dalam gelapnya debu. Datuk Manggala menahan pedang es dengan perisai gaib miliknya. Tubuhnya terdorong hingga jatuh ke tanah. Bum!Percikan biru terlihat terus menekan tubuh Datuk Manggala. Dari dalam asap tebal, Bima muncul dalam langsung melesat ke arah Datuk Manggala. "Cobalah jurus ku ini, Pedang Pemotong Roh!" ucap Bima lalu menewaskan pedang nya beberapa kali. Sepuluh larik sinar biru dengan kekuatan dingin luar biasa menderu ke arah Datuk Manggala. "Tenaga bocah
Ledakan terjadi saat dua larik sinar merah menghantam lantai altar pemujaan. Untungnya Bima dengan sigap menyambar tubuh Wulan sehingga wanita itu selamat dari serangan. "Hahahaha! Setelah sekian lama, akhirnya kutemukan lagi tempat ini, hei, wanita, bukankah sudah aku bilang padamu, aku akan mencarimu seumur hidupku!" ucap seseorang dengan suara lantang. Bima menoleh ke arah Wulan. "Apa hubungan orang itu denganmu? Dan siapa dia tiba-tiba datang langsung menyerang?" tanya Bima. Wajah Wulan terlihat pucat. Bima merasa aneh dengan wanita itu. Padahal seorang pelayan Dewa tapi takut terhadap musuh yang baru saja datang. "Apakah dia sangat kuat?" tanya Bima lagi. "Dia... Dia yang telah membunuh tiga pilar lainnya, dan menyisakan diriku. Dia menantikan momen ini, dimana senjata sakti itu turun dan ingin merebutnya." kata Wulan dengan suara parau. Bima menoleh kearah sosok yang datang melayang dengan sayap merah di punggung. "Sayap?" batin Bima. "Bima! Musuh di depan sangat kuat!
Mendengar ucapan Dewa Angin membuat Bima sangat takjub dan penasaran. Siapakah orang yang Dewa Angin maksud tersebut. "Sekuat apa orang ini sehingga membuat gempar dunia dewa?" batin Bima. "Sekarang kau tak perlu memikirkan orang itu. Dia jelas jauh dari tempat ini. Sekarang, aku akan berikan senjata yang mampu merobek langit membelah gunung padamu," kata Dewa Angin. "Tunggu Guru! Aku mau bertanya padamu, apakah senjata ini sedahsyat itu? Daritadi kamu berkata bisa merobek langit dan membelah gunung," potong Bima. Mata Dewa Angin melotot. "Bukan begitu, aku hanya mengatakannya agar terlihat luar biasa. Jika senjata ini mampu merobek langit, bukankah aku akan di hukum oleh para Dewa karena telah membuat senjata yang berbahaya bagi dunia Dewa?" kata Dewa Angin membuat Bima menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Tidak perlu risau, senjata ini tetaplah ciptaan Dewa. Jadi, jangan ragu akan kekuatan nya. Nanti kau bisa mencobanya," kata Dewa Angin. Bima mengangguk. Dewa Angin meminta
Bima mengambil Plat Senjata miliknya. Dia menatap plat dengan bentuk bintang empat sisi di tengahnya. Sisi-sisi itu itu mempunyai warnanya sendiri. "Sebenarnya, plat ini berasal darimana?" tanya Bima. "Plat itu adalah kunci Altar Pemujaan ini. Hilang di curi seseorang. Dan sekarang kembali lagi kesini, bukankah kamu berjodoh dengan tempat ini?" ucap Wulan membuat Bima tak bisa berkata apa-apa lagi. "Lalu... Apa yang akan terjadi nanti jika ini ku letakan di tempatnya?" tanya Bima lagi. Wulan tersenyum. "Kamu sudah lolos ujian ilusi dari Pilar Dewa. Sedangkan Pilar Dewa ini di tugaskan menjaga altar ini untuk menanti kedatangan orang yang di harapkan oleh tuan kami, Dewa Angin. Keuntungan mu menjadi murid Dewa Angin adalah mempunyai senjata hebat ciptaan Dewa Angin sendiri. Empat senjata dari pilar penjaga juga ciptaan darinya." kata Wulan sambil tersenyum. Setelah mendengar hal itu, tanpa ragu lagi Bima meletakkan Plat Senjata miliknya tepat di atas sebuah batu. Di atas batu itu