Share

2. Tidak sah!

"Aku memberimu penawaran menarik." Luna bergeming. Masih sangat marah pada Leon yang sudah sewenang-wenang dengan tubuhnya.

"Kau hanya perlu melayaniku di atas ranjang."

Luna semakin marah mendengar penawaran Leon yang jelas merugikan dirinya.

"Aku bukan jalang." Luna dengan tegas mengingatkan.

"Perlu kau ingat, membuat semua mata menatapmu jijik, bukan hal sulit aku lakukan."

Merasa diancam, Luna menatap tajam Leon yang justru menyeringai licik.

Pria itu merunduk, lantas membelai pipi Luna dengan punggung tangan.

"Dengar, Luna. Kau milikku sekarang. Suka atau tidak itulah faktanya." Luna melotot tidak terima, tapi tiba-tiba terkesiap merasakan bibir Leon sudah menempel di bibirnya yang sedikit terbuka.

"Dan, jangan lupakan aku yang pernah menawarkan pernikahan padamu."

Setelah Leon menjauhkan kepala, Luna segera berpaling. Sengaja menghindar saat tahu Leon hendak mengusap bibirnya yang sempat dibuat basah.

"Karena aku tahu pernikahan macam yang kau janjikan," lirih Luna menekan kalimatnya.

Luna yakin, tidak ada komitmen pernikahan dalam hidup pria seperti Leon, yang ada hanya kesenangan semata.

"Setidaknya itu lebih baik. Pilihan tetap ada padamu. Tapi setuju atau tidak, mulai sekarang tugasmu hanya melayaniku di atas ranjang."

Luna kembali melotot tajam. "Kau memang brengsek!"

"Aku akui itu," balas Leon ringan. "Dan, jangan menganggap dirimu dirugikan kalau kau juga akhirnya menikmati."

Ingin rasanya Luna meninggalkan jejak di wajah tampan Leon dengan kukunya yang tak seberapa panjang. Tapi cukup bisa meninggalkan luka cakaran. Selain brengsek, Leon juga sangat menyebalkan.

"Waktumu dua puluh menit untuk berpikir." Dengan tenangnya Leon duduk bersilang kaki, tersenyum sinis melihat Luna yang nyaris meledak saat itu juga.

"Apa kau sudah gila! Dua puluh menit untuk memutuskan masa depanku. Kau benar-benar sinting!"

"Kau sudah menghilangkan satu menit waktumu. Aku harap sisanya kau pergunakan dengan lebih baik."

Leon mengingatkan agar Luna tidak lagi membuang waktunya, karena sebenarnya Leon juga bukan orang penyabar dalam hal menunggu.

Luna hampir tidak percaya sedang berurusan dengan pria dewasa yang sudah menuju matang, tapi bertingkah seperti remaja labil. Kalau saja bisa, akan lebih baik Luna memilih pergi daripada menanggapi kegilaan Leon yang dirasa jelas tidak masuk akal. Sayangnya, Leon yang sinting mengurungnya entah di kota mana.

Sudah sejak satu minggu yang lalu, Luna terkurung di apartemen Leon yang tidak diketahui persis dimana lokasinya. Ia dibawa dalam keadaan tidak sadarkan diri malam itu. Jangankan melihat kehidupan luar, melewati pintu apartemen saja tidak bisa Luna lakukan. Persis seperti Putri Rapunzel yang dikurung di puncak menara oleh penyihir jahat—hanya bisa melihat kehidupan yang ada di bawah melalui jendela. Sedangkan Luna, lewat balkon.

Luna hanya berpikir dirinya berada di ketinggian puluhan meter dari atas permukaan tanah. Berulang kali Luna berusaha melarikan diri, tetapi usahanya selalu gagal. Lantaran belum juga melihat dua pria yang katanya berjaga di depan pintu apartemen. Seorang wanita yang dua puluh empat jam mengawasinya, selalu berhasil memergoki Luna yang baru mendekati pintu.

Anehnya, wanita itu seperti lenyap ditelan bumi ketika Leon datang. Tapi bukan itu yang terpenting sekarang, melainkan waktu singkat yang Leon berikan membuat Luna justru tidak bisa memikirkan apapun.

Mendadak otak Luna tumpul dengan kemarahan lebih mendominasi.

"Sepuluh menit lagi."

Luna tak acuh. Pura-pura tidak mendengar.

"Tujuh menit lagi."

Tapi sepertinya Leon tidak keberatan untuk terus mengingatkan.

"Tersisa tiga menit lagi."

Muak dengan sikap kekanak-kanakan Leon, Luna bergegas keluar dari kamar. Ia bahkan membanting pintu dengan keras, dan melangkah lebar menuju dapur.

Sesampainya di ruangan yang tidak terlalu luas itu, Luna bergegas memeriksa semua laci yang ada di bawah kompor.

Ceklek

Bersamaan Luna menemukan sebilah pisau dari salah satu laci, tiba-tiba dikejutkan lampu yang menyala dan ruangan yang sebelumnya tamaran berubah terang benderang. Sempat terkejut melihat keberadaan Leon. Tapi Luna yang sudah kepalang tanggung, semakin yakin dengan rencananya.

"Mau apa kau dengan benda itu? Jangan konyol! Atau kau sendiri yang akan rugi." Leon masih cukup tenang meski jelas-jelas matanya memicing curiga—mendapati tangan Luna menggenggam pisau dapur.

"Lebih baik aku mati!" ujar Luna yang sebenarnya hanya untuk menggertak, agar dibebaskan.

Sejak dirinya terkurung, hilang sudah rasa hormat Luna pada Leon yang dianggap tidak perlu dilakukan lagi. Karena sekarang Leon bukan lagi majikannya, melainkan pria bejat yang menindasnya dengan cara picik.

"Matilah jika itu yang kau inginkan. Lakukan sekarang. Aku tidak keberatan jika harus menyaksikannya secara langsung."

Tidak menduga Leon justru mendorongnya, Luna merasa malu jika tidak jadi melakukannya. Akhirnya Luna memberanikan diri mengarahkan mata pisau ke pergelangan tangannya. Luna belum siap mati, tapi jika hidup hanya untuk menjadi pemuas Leon, sepertinya mati menjadi pilihan akhir.

Sementara Leon yang masih bergeming di dekat pintu dapur, tersenyum sinis melihat tangan Luna bergetar.

'Dia tidak akan berani melakukannya.'

Namun sayang, dugaan Leon meleset. Luna yang terdesak benar-benar menyayat pergelangan tangannya. Sebelum darah semakin banyak yang keluar, dan benda bermata tajam itu memutus nadi Luna. Leon segera berlari merampas pisau dari tangan Luna, lantas melemparkannya ke lantai.

"Kau benar-benar gila!" bentak Leon kesal sekaligus tegang. Ternyata Luna sangat berani melukai dirinya sendiri. "Dasar bodoh!"

Leon mencengkram lengan Luna sebelum diobati.

"Bodoh! Kau pikir bisa mati begitu saja," geram Leon yang langsung mengangkat tubuh Luna.

Masih sangat syok dengan tindakannya sendiri, Luna hanya bisa pasrah saat Leon membawanya ke sofa.

Leon segera mencari kotak obat setelah pendudukan Luna di sofa panjang.

"Bagaimana bisa aku bertindak sebodoh ini, dan ternyata rasanya sangat sakit." Luna berdesis menahan nyeri.

'Tapi aku tidak rela dia semena-mena dengan tubuhku.' Luna bermonolog dalam hati, menatap terluka Leon yang sudah berjalan ke arahnya dengan membawa kotak obat.

Pandangan Luna mulai kabur, pun pendengarannya yang tidak sejelas tadi saat mendengar apa yang Leon katakan sambil membalut lukanya, sampai akhirnya Luna benar-benar hilang kesadaran.

**************

Tidak tahu apa yang terjadi setelah dirinya tidak sadarkan diri. Luna yang baru tersadar, tersentak menemukan Leon duduk di hadapan seorang pria, dan tengah mengucap kalimat sakral.

Luna baru akan memekik tidak terima dengan apa yang Leon lakukan, tetapi berubah terbelalak begitu tahu ada dimana.

Pandangan Luna kembali beralih pada Leon yang kini sedang tersenyum puas, saat juga sedang menatapnya sambil beranjak berdiri.

"Pernikahan ini tidak sah!" bentak Luna begitu Leon sudah berdiri di depannya, sampai tiba-tiba Luna dikejutkan dengan seorang pria, dan membawa senjata mendekati pria yang sudah menikahkan membawa senjata.

"Aku akan memasangkan cincin di jari manismu, istriku." Leon memang psikopat gila. Bahkan setelah Luna mengedarkan pandangan, rupanya tidak hanya satu, melainkan ada beberapa pria berbadan tegap yang berjaga di ruangan itu.

"Tidak mau!" Luna segera menyembunyikan tangannya di belakang pinggang.

"Aku tidak sudi memakainya. Aku bukan istrimu." Luna menolak tegas.

"Kau harus memakainya untuk menjamin dia tetap baik-baik saja!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status