"Karena itu kau menikahinya?"
"Bukankah semua tetap harus sepadan?" Leon menarik ujung bibirnya hingga memunculkan seringai licik."Aku hanya berharap kau tidak pernah menyesal dengan keputusanmu sekarang.""Tidak akan."Menemukan gurat kecemasan di wajah tua pria yang ada di hadapannya itu, Leon tidak begitu saja terprovokasi. Memilih tetap menujukkan sikap tenang seperti yang selalu dilakukan."Menginaplah untuk malam ini. Lizzie juga pasti menginginkannya.""Kau tahu jawabanku," singkat Leon yang langsung berdiri dari kursi. "Aku datang untuk mengurus bisnis, bukan menuruti keinginannya."Tuan Smith mendesak nafas kasar, tapi Leon tak acuh dengan memilih segera pergi. Bahkan ketika wanita cantik yang baru datang membawa nampan bermaksud berbasa-basi menyapa---Leon juga mengabaikannya. Tetap melangkah lebar menuju pintu utama."Apa dia baru saja datang?""Seperti yang kau pikirkan."Pandangan wanita itu beralih pada paper bag coklat yang ada di atas meja."Setidaknya dia selalu ingat hari ulang tahun Lizzie, bukankah itu yang kau inginkan?""Kau benar. Sekarang minumlah jusmu, setelah itu aku bantu kau membersihkan diri.""Baiklah, berikan padaku."Disaat Tuan Smith sedang berusaha menghabiskan jus yang ia berikan, wanita cantik itu beralih mengambil paper bag di atas meja. Namun, sesaat setelah mengetahui apa isi di dalam paper bag tersebut, mulutnya berdecak tidak suka.'Apa dia tidak bisa menyiapkan yang lain?'Sementara di halaman depan kediaman Smith, Leon yang akan memasuki mobil mendadak berhenti begitu mendengar seruan dari arah samping. Seorang gadis berambut pirang sedang berlari ke arahnya setelah turun dari mobil yang baru berhenti."Kau sudah akan pergi?""Ada pekerjaan yang harus aku selesaikan.""Apa kau akan kembali untuk bermalam?""Tidak."Menanggapi sikap dingin Leon, Lizzie memanyunkan bibir."Sebenarnya aku sangat ingin makan di meja yang sama denganmu," ungkap Lizzie penuh harap."Aku sibuk.""Kau selalu saja sibuk," protes gadis itu dengan suara yang sangat pelan. Tapi Leon masih bisa mendengarnya.Sialnya ketika Leon beralih dari depan, justru menemukan cairan benih sudah menganak sungai di pelupuk mata Lizzie, dan dipastikan akan langsung terjun bebas hanya dengan satu kali kedipan saja."Besok ulang tahunku," kata Lizzie lagi dengan suara nyaris tenggelam."Masuklah… hadiahmu sudah ada di dalam." Mendengar suara Leon berubah lembut, Lizzie yang sebelumnya sempat menundukkan kepala segera mengangkat pandangan. "Beritahu aku jika kau menginginkan yang lain. Hadiah yang lain." Leon buru-buru meralat ucapannya bahkan sebelum Lizzie membuka mulut."Baiklah. Terimakasih." Dengan langkah gontai Lizzie mulai menjauh Loen."Selamat ulang tahun."Lizzie seketika mematung disaat kakinya hendak melewati anak tangga pertama menuju beranda. Namun, saat menoleh kebelakang, Leon sudah lebih dulu memasuki mobil, dan detik berikutnya kendaraan mewah pria itu mulai meninggalkan halaman.*****Emma mengerutkan alis mengetahui mereka tiba di sebuah pemakaman umum. Cukup terkejut setelah sebelumnya menganggap Luna akan mengajaknya mendatangi pusat perbelanjaan. Atau paling tidak tempat dimana sang nyonya bisa melihat orang berlalu-lalang guna menyingkirkan rasa jenuh.Pasalnya dari apa yang Emma dengar, Luna tidak dibiarkan pergi kemanapun setelah menjadi nyonya smith. Tak ayal anggapan itulah yang seketika muncul di kepala, ketika Luna tiba-tiba mengajaknya pergi, bahkan saat matahari sudah semakin condong ke barat."Siapa yang ingin Anda kunjungi, Nyonya?""Ibu dan adikku."Begitu mobil sudah terparkir dengan benar, Luna turun lebih dulu. Berjalan pelan memasuki area pemakaman dan diikuti Emma di belakangnya.Luna melangkah dengan sangat hati-hati melewati beberapa batu nisan, begitu juga dengan Emma. Setelah cukup jauh berjalan, akhirnya Luna berhenti di dekat dua makam yang berjejer serta memiliki warna batu nisan yang sama."Mereka beruntung bisa mendapat tempat berdekatan."Luna yang sudah akan merendahkan tubuh, menyempatkan menoleh Emma yang ternyata ada di dekatnya."Kakak benar, tidak tahu kebaikan apa yang pernah ibuku lakukan semasa hidupnya dulu. Sampai bisa sedekat ini dengan putranya yang bahkan kepergian mereka saja berselang tiga tahun."Emma mengangguk setuju, terlebih setelah memastikan tahun kematian di kedua batu nisan tersebut."Tapi apa tidak ada seseorang yang merawat tempat ini?"Sebenarnya Emma merasa cukup heran. Setelah memperhatikan sekitar, hanya kedua makam di hadapannya itu yang berbeda dari yang lain—banyak ditumbuhi rumput liar."Sebelumnya aku sendiri yang memilih membersihkan tempat ini. Aku selalu datang dua hari sekali untuk memastikan tidak ada rumput liar yang tumbuh. Tapi…"Luna mendadak ragu saat ingin melanjutkan kalimatnya, mengingat mereka hanya orang asing yang baru mengenal. Terlebih Emma juga memiliki hubungan dekat dengan Leon. Luna tetap harus berhati-hati, mungkin saja sikap ramah Emma hanya sementara. Mustahil tidak bisa berubah kapan saja, jika memang itu wujud aslinya.Emma memilih berdiri menjaga jarak dari Luna yang sedang khusyuk melantunkan doa dalam hati.Selesai berdoa, jari lentik Luna beralih mencabuti rumput di sekitar makam. Tidak ingin sang nyonya melakukannya sendiri, Emma ikut merendahkan tubuh, dan sigap membantu."Lebih baik bersihkan tangan Anda, Nyonya. Biarkan saya yang melakukannya.""Terima kasih. Tapi ini sudah tugasku sebagai seorang anak dan kakak. Aku tidak mau orang lain melakukannya selagi aku sendiri masih sanggup."*****"Luna!"Baru selesai membersihkan tangan, Luna berubah gugup saat tahu siapa yang memanggilnya. Terlebih sosok itu tengah berjalan cepat ke arahnya, membuat Luna semakin gelisah.Hari yang buruk. Kenapa mereka dipertemukan disaat dirinya belum siap. Terlebih dengan keberadaan Emma bersamanya."Kemana saja kau dua bulan ini? Aku sangat mengkhawatirkanmu?"Mengetahui Darma langsung menggenggam kedua tangannya, nafas Luna seakan tertahan di tenggorokan. Ia benar-benar tidak ingin Darma dalam masalah. Terlebih ketika Leon mengetahui apa yang terjadi hari ini."Katakan sesuatu, Luna. Apa terjadi padamu sebenarnya?" Luna segera melempar tatapan mengiba pada Emma yang menatap penuh arti Darma."Kak, bisakah beri kami sedikit waktu?""Baik, Nyo—""----aku janji tidak akan lama." Luna segera menyela. Tidak ingin Darma tahu sebutan Emma padanya.Setelah mengangguk samar, Emma memilih mendekati mobilnya yang terparkir di dekat pintu masuk."Terimakasih sudah mengkhawatirkan aku, Kak." Luna menarik tangannya. Meski tahu tindakan tersebut membuat Darma kecewa, tetapi ia tetap harus melakukannya."Ada apa denganmu? Apa aku sudah melakukan kesalahan?"Menggeleng tegas, suara Luna berubah parau "Tidak.""Lantas, apa yang membuatmu seperti ini? Aku merasa kau tidak baik-baik saja. Katakan padaku, apa yang sebenarnya terjadi? Kita pasti bisa melewatinya seperti yang sudah-sudah. Kau masih percaya padaku, bukan?""Kak…"Suara Luna lagi-lagi tercekat di tenggorokan, dan detik berikutnya ia hanya bisa terisak.Kendati dengan benak menerka-berka, Darma segera memeluk Luna."Tetaplah hidup dengan baik, Kak. Carilah kebahagiaanmu.""Apa yang kau bicarakan?" Seketika Darma melepas pelukannya. Dicengkramnya pelan kedua bahu Luna, agar bisa melihat jelas wajah wanita yang sangat ia rindukan itu. "Bukankah kita sudah sama-sama yakin untuk melangkah bersama apapun yang terjadi? Jangan bilang kau berubah pikiran dan tidak ingin menikah denganku lagi?""Maafkan aku.""Jangan katakan itu lagi. Aku tidak mau mendengarnya." Luna semakin terisak begitu Darma memilih berpaling. Ia tahu pria itu berusaha menyembunyikan kekecewaan yang teramat dalam padanya. "Kalau saja kau tau, aku hampir gila saat tidak menemukanmu dimanapun selama dua bulan terakhir. Kemana kau sebenarnya? Kenapa tiba-tiba mengatakan ini padaku. Apa mungkin kau…?" Kembali menghadap Luna dan menangkup pipi gadis itu dengan kedua tangannya. Darma menuntut penjelasan."Apa mungkin ada pria lain yang sudah menggantikan posisiku di hatimu?"Waktu berlalu, dan tanpa terasa hari berganti begitu cepat. Duduk di kursi taman seorang diri, Luna belum berniat beranjak meski sudah sejak satu jam lalu ada di sana. Tidak tahu pasti apa yang sedang dipikirkan. Memandangi bunga-bunga bermekaran sedang bergoyang tertiup angin, tiba-tiba kehampaan menelungkup hati. Anehnya ada sekelumit rasa yang tidak bisa dijelaskan, tetapi begitu nyata dirasa. Tepatnya sejak terbangun pagi tadi, mendapati sisi samping masih tetap rapi seperti hari kemarin dan lusa. Mendadak timbul kesedihan yang tidak diketahui pasti apa penyebabnya. Mungkinkah ia merindukan Leon?Tidak! Sisi hati Luna yang lain seketika menolak tegas. Rasa itu bukan tentang Leon yang bahkan tidak ada kabarnya sejak pergi satu minggu yang lalu. Kesedihan Luna lantaran teringat pertemuannya dengan Darma tempo hari. Yah! Itu yang sebenarnya terjadi.Mirisnya saat itu Darma tetap menganggapnya pembual. Seberapa keras ia sudah berusaha menjelaskan, tetap saja pria itu mengbabaikanny
"Jaga batasanmu, Ana!"Wanita itu mendengus, tetapi masih urung melakukan apa yang Leon perintahkan. Justru semakin mengeratkan kedua tangannya di leher pria itu."Aku berpikir semesta berpihak padaku dengan menurunkan hujan saat aku sampai di sini," ucapnya manja."Tidak ada gunanya kau bicara omong kosong!" ketus Leon menyentak kasar tangan Anastasya dari lehernya hingga terlepas. "Sekalipun hujan turun sepanjang malam, tidak akan terjadi apapun pada kita." Memilih menghindar dengan bangkit dari sofa, dan berjalan ke dekat jendela.Anastasya telah mengacaukan pikiran liarnya tentang Luna—gadis naif yang masih saja menginginkan pria lain. Tapi sayangnya telah mengusik benaknya sepanjang hari tadi. Kabar dari Pak Jang yang menjelaskan keadaan di sana aman terkendali pun, tak cukup membuatnya lega. Luna masih belum bisa ia tepikan dari benaknya, hingga kemunculan Anastasya yang tiba-tiba."Kenapa Le, kenapa kau selalu menolakku? Bukankah kita sudah pernah melakukannya sampai—""---tutup
Berada di rooftop untuk pertama kalinya, Luna dibuat terheran-heran dengan fasilitas yang ada di tempat tersebut. Selain menutup setengah bagian atas mansion, tempat luas yang memiliki tangga penghubung ke taman samping itu terdapat lounge dengan beberapa sofa panjang, dan kolam renang bertingkat di sisi tepinya. Tidak hanya memiliki view yang memikat mata, dari ketinggi puluhan keter itu Luna juga bisa melihat landasan helikopter pribadi milik Leon yang ada tepat di sisi kanan mansion. Sedangkan saat Luna meluruskan pandangan, jalan menuju pantai dimana ia bermain jet ski bersama Darma kemarin terlihat sebagian, sebelum akhirnya tertutup pepohonan rimbun.Darma?Mengingat pria itu lagi, seketika melenyapkan kekaguman Luna pada keindahan yang ada. Detik berikutnya Luna memilih duduk di salah satu sofa panjang, menatap warna jingga yang kini menghiasi langit senja. Tampak indah, tapi sayang tak cukup menghibur hati yang kembali terperangkap perasaan yang sama. "Semisterius inikah takd
"Kalau begitu kurung saja aku seperti yang sebelumnya kau lakukan, dan letakkan lebih banyak lagi penjagaan di luar mansion untuk memastikan aku tidak bisa melewati pagar utama."Leon membeku, bukan karena terenyuh dengan nasib tragis yang pernah Luna alami selama terkurung di apartemennya dulu. Tetapi pria itu tengah menahan diri untuk tidak menampar atau bahkan mencengkram rahang Luna sekarang juga. Wanita itu terlalu berani menantangnya, alih-alih menjelaskan kemana saja dia pergi selama dirinya tidak ada."Kau ingin aku melakukan itu?""Bukankah apapun bisa kau lakukan? Untuk apa kau tanyakan lagi padaku."Luna sebenarnya ingin menertawakan dirinya sendiri yang begitu bodoh telah menaruh kepercayaan terhadap Emma. Tidak memprediksikan jika pada dasarnya wanita itu tetaplah seorang pelayan yang akan lebih mematuhi perintah tuannya, daripada peliharaan sang tuan. Naasnya bagaimana bisa Luna begitu mudah terlena dengan senyum yang ditunjukan, dan menganggap itu bukti akan ketulusan Em
Sempat terkejut dengan suara klakson yang ditekan lama dari kendaraan lain, dan disusul teriakan Luna—Leon buru-buru turun. Tapi mendadak diam di tempat, karena ingin melihat apa yang akan terjadi setelah itu."Gadis bodoh!! Apa kau tidak bisa memperhatikan jalan sebelum menyebrang!" Tak kalah terkejut, Luna masih mematung dengan kedua tangan menutup telinga. Tidak hanya itu, ia bahkan menganggap dirinya sudah berada di alam yang berbeda."Hei! Apa kau tuli!!" Mendengar ada yang berteriak lagi, dan dirasa sangat dekat dengannya, perlahan Luna mulai membuka mata. Namun, ia yang linglung justru menatap nanar kedua kakinya yang nyaris bersentuhan dengan bumper depan mobil. Baru setelah itu ia dasar, jika di samping mobil tersebut berdiri seorang wanita dengan pakaian yang super seksi."Cih! Dasar kampungan! Apa seumur hidupmu tidak pernah melihat mobil mewah?" "Ma-maaf. Saya benar-benar minta maaf, N
Leon langsung mengunci pintu kamarnya sesaat setelah membawa paksa Luna masuk bersama. Ia sudah hampir menggila melihat sikap pemuda tidak tahu diri tadi yang terus menyela kalimat Luna, dan sialnya tidak ada sikap tegas dari gadis itu."Apa yang ingin kau tujukan dengan makan di tempat itu, hah! Kedekatanmu dengan pemuda sialan tadi?""Kenapa kau bisa semarah ini? Kau bahkan tidak membiarkan aku menghabiskan buburku!"Leon nyaris meledak jika tidak ingat rona bahagia Luna ketika bubur disajikan. Ia tahu seberapa ingin gadis itu menghabiskan pesanannya, sebelum akhirnya ia hilang kesabaran karena tingkah pemuda tadi."Aku hanya ingin menghabiskan buburku, itu saja," sanggah Luna berusaha menutupi ketakutannya. Ia masih tidak menyangka, Leon akan langsung menyeretnya keluar setelah sempat membuat hidung Abbas berdarah. Tetapi alasan apa yang mendasari Leon bertindak segila itu yang tidak Luna mengerti. Luna memang akan selalu tidak mengerti dengan tindakan dan aturan-aturan Leon yang
Luna tidak tahu pasti apakah yang didapatkan sekarang merupakan sebuah keberuntungan, atau justru balasan atas apa yang sudah ia serahkan. Tidak mungkin bisa melepaskan diri begitu saja dari cengkraman Leon, Luna memilih berdamai dengan keadaan. Setidaknya menerima pernikahan yang sudah dijalani beberapa bulan terakhir dengan pria itu, jauh lebih baik daripada terus menyesali apa yang sudah terjadi. Karena itu hanya akan membuang-buang waktu.Lantas, bagaimana dengan Darma?Biarlah nama itu tersimpan indah di sudut hati, Luna hanya perlu menunggu, dan berharap ada keajaiban yang bisa membawanya kembali pada pria itu. Meski harapan hanya sehelai rambut.Sekarang Luna hanya ingin mengikuti arus. Sebab, sadar diri untuk melawan arus itu sesuatu yang mustahil bisa dilakukan. Selebihnya biarlah garis hidup yang menentukan. Akan seperti apa kelak hidupnya di masa depan. Tetap menjadi pemuas hasrat Leon dengan status istri? Atau justru terhempas be
Setelah kemarin hampir seharian menemani Luna ke makam ibu serta adiknya, keesokan hari—tepatnya setelah sarapan, mobil Leon meninggalkan mansion. Pria itu ingin mengajak Luna mendatangi suatu tempat. Namun, dimana pastinya tidak dijelaskan lebih spesifik. Leon tampak begitu tenang mengendarai kendaraannya membelah jalanan kota. Dibalik kacamata hitam yang bertengger manis di hidungnya yang mancung, pandangan pria itu lurus ke depan. Hanya sesekali ia melirik ke samping kiri—dimana Luna duduk dan tengah memperhatikan apa saja yang dilalui. Setidaknya Leon merasa lega mengetahui Luna cukup menikmati perjalan mereka. Awalnya Leon sempat khawatir, Luna akan banyak mengeluh di tengah perjalanan yang memang membutuhkan waktu lebih dari satu jam menuju tempat tujuan.Tapi ternyata yang terjadi, Luna sangat antusias. Pengalaman pertama meninggalkan kota kelahiran sekaligus tempat dirinya dibesarkan, Luna tak henti-hentinya berdecak kagum ketika melintasi padang