"Jaga batasanmu, Ana!"
Wanita itu mendengus, tetapi masih urung melakukan apa yang Leon perintahkan. Justru semakin mengeratkan kedua tangannya di leher pria itu."Aku berpikir semesta berpihak padaku dengan menurunkan hujan saat aku sampai di sini," ucapnya manja."Tidak ada gunanya kau bicara omong kosong!" ketus Leon menyentak kasar tangan Anastasya dari lehernya hingga terlepas. "Sekalipun hujan turun sepanjang malam, tidak akan terjadi apapun pada kita." Memilih menghindar dengan bangkit dari sofa, dan berjalan ke dekat jendela.Anastasya telah mengacaukan pikiran liarnya tentang Luna—gadis naif yang masih saja menginginkan pria lain. Tapi sayangnya telah mengusik benaknya sepanjang hari tadi. Kabar dari Pak Jang yang menjelaskan keadaan di sana aman terkendali pun, tak cukup membuatnya lega. Luna masih belum bisa ia tepikan dari benaknya, hingga kemunculan Anastasya yang tiba-tiba."Kenapa Le, kenapa kau selalu menolakku? Bukankah kita sudah pernah melakukannya sampai—""---tutup mulutmu!" sergah Leon cepat, tidak ingin Anastasya melanjutkan kalimatnya. "Pergilah sebelum kau melihat kemarahanku," lanjutnya dingin."Tidak! Sekalipun kau memaksaku, itu tidak akan aku lakukan. Kau datang satu tahun sekali, mana mungkin aku menyia-nyiakan kesempatan ini."Leon hanya merespon dengan lirikan singkat, sebelum akhirnya kembali meluruskan pandangan, dengan tangan terlipat di dada."Lizzie menginginkan hadiah yang lain. Apa salahnya kau bawa dia berkeliling besok. Aku tahu kau belum akan kembali, bukan?"Sontak saja, Leon menoleh tegas. Melepaskan lipatan tangan dan beralih menghadap Anastasya yang masih melengkung senyum terbaik."Apa yang kau harapkan dari semua itu? Aku bisa lebih dekat dengannya? Kau tahu jawabanku, Ana. Jangan lagi meminta sesuatu yang mustahil aku lakukan." Leon segera mengangkat tangan, mengetahui Anastasya berusaha menyela. "Satu lagi. Jaga batasanmu sebagai istri. Tidak peduli siapa yang kau nikahi."Setelahnya Leon melenggang pergi. Namun, ketika akan menanggapi pintu, kalimat Anastasya seketika menghentikannya."Apa artinya malam itu bagimu? Tidak cukupkah pengorbananku dengan menghabiskan masa mudaku bersama laki-laki tua itu?"Leon segera memutar badan, menatap semakin dingin Anastasya yang sudah dibanjiri air mata. "Itu pilihanmu. Ada banyak laki-laki muda yang bisa kau pilih, kenapa kau memilih laki-laki itu sebagai suami sekaligus ayah untuk putrimu!""Kau yang membuatmu memilihnya, Le! Jangan lupakan itu!" geram Anastasya tidak terima. "Seharusnya kau cukup sadar diri betapa pengecutnya dirimu dengan mengabaikan kami! Melupakan tanggung jawab yang seharusnya itu kau lakukan setelah apa yang terjadi padaku!"Suara lantang Anastasya tak cukup membuat Leon bergeming. Hanya urat rahangnya yang terlihat mengeras. Sebenarnya ia sudah sangat muak selalu disudutkan, tetapi untuk mengungkap segalanya, masih belum saatnya. Semua masih harus berjalan seperti yang terlihat sekarang, pun dengan opini yang terlanjur menghakimi dirinya sebagai pengecut."Dan sekarang kau menyebut itu pilihanku? Dimana akalmu, hah!" lanjut Anastasya menggebu."Setidaknya aku sudah beri kalian kehidupan yang layak. Terlalu serakah jika kau menginginkan yang lebih dariku."Mengusap kasar pipinya yang basah, Anastasya melangkah lebar menghampiri Leon. Menatap marah pria itu dengan nafas memburu. "Kau pikir apa yang sudah kau berikan selama ini cukup membuat kami bahagia? Tidak! Itu tidak akan pernah sepadan. Terlebih waktuku yang sudah terbuang sia-sia untuk merawat ayahmu! Kau memang punya segalanya, tapi bagiku kau tak lebih dari pria menyedihkan yang berdiri dibelakang nama besar Smith!" kata Anastasia lantangDetik berikutnya wanita itu meringis. Cengkraman Leon di tangannya seakan mampu mematahkan tulang yang masih dibungkus daging dan dilapisi kulitnya yang mulus.Kendati ringisan Anastasya berubah rintihan, Leon belum berniat melepaskan cengkramannya. Wanita itu sudah sangat berani melewati batasan. Kemajuan yang cukup menyentak kemarahan yang sejak tadi berusaha ia tekan."Lantas, aku harus melupakan apa yang sudah kau lakukan dulu? Bertindak bodoh dengan menerimamu lagi, begitu?!""Tapi Le—""---sudahlah. Jangan bersikap seakan kau korban. Aku muak mendengarnya."Leon menghempaskan tangan Anastasya dan sedikit mendorong wanita itu menjauh agar tidak menghalangi jalannya.*****"Seperti yang aku duga, Le sudah melakukan kesalahan dengan merampasnya dari pria itu," gumam Emma menyaksikan Luna masih memeluk erat pinggang Darma, saat dibawa ke tengah lautan menggunakan jet ski.Beberapa saat lalu Darma meminta langsung padanya, jika dia sendiri yang ingin membawa Luna bermain ski untuk yang terakhir kali. Meski tidak tahu perjanjian apa yang sebelumnya telah disepakati pasangan itu, tetapi mendapati tatapan mengiba sang nyonya, Emma hanya bisa menurut pasrah.Tidak hanya itu, sesaat sebelum meninggalkan dirinya, Luna meminta penuh harap agar ia tidak melaporkan apapun pada Leon yang terjadi hari itu, pun pertemuan sebelumnya dengan Darma. Dan, tanpa pertimbangan lagi Emma langsung menjawab tegas. Sekalipun benaknya menentang, tetapi hatinya lebih memilih mematuhi perintah sang nyonya.Tak berselang lama, Emma berjingkat bangkit dari duduknya—mengetahui ski yang Darma kemudikan melaju kencang menuju dermaga. Bersikap layaknya seorang kakak yang mengkhawatirkan adiknya, dan lagi-lagi atas perintah Luna—Emma menanti dengan sabar pasangan itu mendekat.Menerima uluran tangan Emma, Luna segera melompat ke dermaga. "Sebaiknya kita pulang sekarang, Kak. Hari sudah hampir malam," kata Luna setelah sempat melirik Darma yang tidak ikut turun."Baiklah.. aku bantu melepas pelampungnya dulu."Setelah benda tersebut terlepas dari tubuh Luna, Emma menyerahkan pada petugas yang baru saja datang."Terima kasih." Keduanya kompak menoleh ke belakang, bahkan sebelum sempat melangkah. "Terima kasih telah memberi kami sedikit waktu untuk berdua," kata Darma lagi.Sementara Emma langsung mengangguk, Luna hanya bisa tertunduk. Tidak memiliki cukup keberanian membalas, atau sekedar kembali menoleh Darma."Aku hanya berharap siapapun laki-laki itu, tidak akan tega menyakiti dia. Sekalipun itu hanya goresan kecil. Dia terlalu berharga untuk disakiti. Kelak, jika laki-laki itu tidak lagi menginginkannya, antarkan dia padaku." Seketika Luna mengangkat kepala, matanya sudah berkaca-kaca menatap manik Darma yang seolah terkunci pada dirinya. "Bagaimanapun keadaannya nanti, aku orang pertama yang selalu siap menyambut kedatangannya.""Kak," ucap Luna pelan disertai lelehan bening berlomba-lomba terjun bebas. Hatinya hancur, bukan hanya penyerahan Darma, tetapi juga kepasrahan pria itu mampu meruntuhkan pertahanan dirinya hingga tak berbentuk lagi. "Aku mohon jangan lakukan itu. Kau harus hidup dengan baik. Aku yakin kau pasti bisa mendapatkan gadis yang jauh lebih layak dariku.""Tidak semudah itu, Luna. Yang lebih baik darimu memang banyak. Tapi belum tentu mereka bisa menggantikan posisimu, di sini." Melihat Darma menunjuk dadanya sendiri, Luna semakin hancur. "Aku bahkan ragu masih ada ruang untuk gadis lain. Walaupun sebenarnya aku juga sadar, kau bukan lagi milikku."Luna semakin terisak mendengar kalimat memilukan tersebut keluar dari mulut pria yang dicintainya. Sedangkan Emma yang melihat segera mendekat, menyalurkan ketenangan dari pelukannya yang hangat dan penuh kasih sayang. Benar-benar seperti seorang kakak pada adiknya."Kembalilah sekarang, matahari sudah hampir tenggelam. Aku mengkhawatirkan dirimu." Detik berikutnya Darma ikut naik ke dermaga. Melenggang begitu saja menuju lorong ruang ganti khusus petugas.Dalam dekapan Emma, Luna merasa hatinya sudah seperti serpihan kecil yang mustahil bisa disatukan lagi. Darma bersikap seolah benar-benar mengetahui apa yang terjadi pada dirinya. Kediaman pria itu selama mereka berada di atas ski pun, tak urung memuncul beberapa spekulasi di benaknya. Terlebih penyerahan Darma yang mendadak sebelum ia menjelaskan apapun, semakin meyakinkan. Jika pria itu sudah mengetahui kebenaran tentang dirinya, walaupun mungkin hanya sebagian."Dia sudah pergi. Sebaiknya kita juga pergi sekarang?"Luna mengangguk, tetapi disusul pekikan lantang Emma. "Astaga!! Nyonya!!"Berada di rooftop untuk pertama kalinya, Luna dibuat terheran-heran dengan fasilitas yang ada di tempat tersebut. Selain menutup setengah bagian atas mansion, tempat luas yang memiliki tangga penghubung ke taman samping itu terdapat lounge dengan beberapa sofa panjang, dan kolam renang bertingkat di sisi tepinya. Tidak hanya memiliki view yang memikat mata, dari ketinggi puluhan keter itu Luna juga bisa melihat landasan helikopter pribadi milik Leon yang ada tepat di sisi kanan mansion. Sedangkan saat Luna meluruskan pandangan, jalan menuju pantai dimana ia bermain jet ski bersama Darma kemarin terlihat sebagian, sebelum akhirnya tertutup pepohonan rimbun.Darma?Mengingat pria itu lagi, seketika melenyapkan kekaguman Luna pada keindahan yang ada. Detik berikutnya Luna memilih duduk di salah satu sofa panjang, menatap warna jingga yang kini menghiasi langit senja. Tampak indah, tapi sayang tak cukup menghibur hati yang kembali terperangkap perasaan yang sama. "Semisterius inikah takd
"Kalau begitu kurung saja aku seperti yang sebelumnya kau lakukan, dan letakkan lebih banyak lagi penjagaan di luar mansion untuk memastikan aku tidak bisa melewati pagar utama."Leon membeku, bukan karena terenyuh dengan nasib tragis yang pernah Luna alami selama terkurung di apartemennya dulu. Tetapi pria itu tengah menahan diri untuk tidak menampar atau bahkan mencengkram rahang Luna sekarang juga. Wanita itu terlalu berani menantangnya, alih-alih menjelaskan kemana saja dia pergi selama dirinya tidak ada."Kau ingin aku melakukan itu?""Bukankah apapun bisa kau lakukan? Untuk apa kau tanyakan lagi padaku."Luna sebenarnya ingin menertawakan dirinya sendiri yang begitu bodoh telah menaruh kepercayaan terhadap Emma. Tidak memprediksikan jika pada dasarnya wanita itu tetaplah seorang pelayan yang akan lebih mematuhi perintah tuannya, daripada peliharaan sang tuan. Naasnya bagaimana bisa Luna begitu mudah terlena dengan senyum yang ditunjukan, dan menganggap itu bukti akan ketulusan Em
Sempat terkejut dengan suara klakson yang ditekan lama dari kendaraan lain, dan disusul teriakan Luna—Leon buru-buru turun. Tapi mendadak diam di tempat, karena ingin melihat apa yang akan terjadi setelah itu."Gadis bodoh!! Apa kau tidak bisa memperhatikan jalan sebelum menyebrang!" Tak kalah terkejut, Luna masih mematung dengan kedua tangan menutup telinga. Tidak hanya itu, ia bahkan menganggap dirinya sudah berada di alam yang berbeda."Hei! Apa kau tuli!!" Mendengar ada yang berteriak lagi, dan dirasa sangat dekat dengannya, perlahan Luna mulai membuka mata. Namun, ia yang linglung justru menatap nanar kedua kakinya yang nyaris bersentuhan dengan bumper depan mobil. Baru setelah itu ia dasar, jika di samping mobil tersebut berdiri seorang wanita dengan pakaian yang super seksi."Cih! Dasar kampungan! Apa seumur hidupmu tidak pernah melihat mobil mewah?" "Ma-maaf. Saya benar-benar minta maaf, N
Leon langsung mengunci pintu kamarnya sesaat setelah membawa paksa Luna masuk bersama. Ia sudah hampir menggila melihat sikap pemuda tidak tahu diri tadi yang terus menyela kalimat Luna, dan sialnya tidak ada sikap tegas dari gadis itu."Apa yang ingin kau tujukan dengan makan di tempat itu, hah! Kedekatanmu dengan pemuda sialan tadi?""Kenapa kau bisa semarah ini? Kau bahkan tidak membiarkan aku menghabiskan buburku!"Leon nyaris meledak jika tidak ingat rona bahagia Luna ketika bubur disajikan. Ia tahu seberapa ingin gadis itu menghabiskan pesanannya, sebelum akhirnya ia hilang kesabaran karena tingkah pemuda tadi."Aku hanya ingin menghabiskan buburku, itu saja," sanggah Luna berusaha menutupi ketakutannya. Ia masih tidak menyangka, Leon akan langsung menyeretnya keluar setelah sempat membuat hidung Abbas berdarah. Tetapi alasan apa yang mendasari Leon bertindak segila itu yang tidak Luna mengerti. Luna memang akan selalu tidak mengerti dengan tindakan dan aturan-aturan Leon yang
Luna tidak tahu pasti apakah yang didapatkan sekarang merupakan sebuah keberuntungan, atau justru balasan atas apa yang sudah ia serahkan. Tidak mungkin bisa melepaskan diri begitu saja dari cengkraman Leon, Luna memilih berdamai dengan keadaan. Setidaknya menerima pernikahan yang sudah dijalani beberapa bulan terakhir dengan pria itu, jauh lebih baik daripada terus menyesali apa yang sudah terjadi. Karena itu hanya akan membuang-buang waktu.Lantas, bagaimana dengan Darma?Biarlah nama itu tersimpan indah di sudut hati, Luna hanya perlu menunggu, dan berharap ada keajaiban yang bisa membawanya kembali pada pria itu. Meski harapan hanya sehelai rambut.Sekarang Luna hanya ingin mengikuti arus. Sebab, sadar diri untuk melawan arus itu sesuatu yang mustahil bisa dilakukan. Selebihnya biarlah garis hidup yang menentukan. Akan seperti apa kelak hidupnya di masa depan. Tetap menjadi pemuas hasrat Leon dengan status istri? Atau justru terhempas be
Setelah kemarin hampir seharian menemani Luna ke makam ibu serta adiknya, keesokan hari—tepatnya setelah sarapan, mobil Leon meninggalkan mansion. Pria itu ingin mengajak Luna mendatangi suatu tempat. Namun, dimana pastinya tidak dijelaskan lebih spesifik. Leon tampak begitu tenang mengendarai kendaraannya membelah jalanan kota. Dibalik kacamata hitam yang bertengger manis di hidungnya yang mancung, pandangan pria itu lurus ke depan. Hanya sesekali ia melirik ke samping kiri—dimana Luna duduk dan tengah memperhatikan apa saja yang dilalui. Setidaknya Leon merasa lega mengetahui Luna cukup menikmati perjalan mereka. Awalnya Leon sempat khawatir, Luna akan banyak mengeluh di tengah perjalanan yang memang membutuhkan waktu lebih dari satu jam menuju tempat tujuan.Tapi ternyata yang terjadi, Luna sangat antusias. Pengalaman pertama meninggalkan kota kelahiran sekaligus tempat dirinya dibesarkan, Luna tak henti-hentinya berdecak kagum ketika melintasi padang
Luna tampak sangat kebingungan dengan menatap wanita tua di depannya itu beserta Leon secara bergantian. Berpikir kenapa wanita itu menyebut dirinya seakan pernah datang sebelumnya. Padahal jelas-jelas ia baru pertama kali berkunjung ke tempat asing tersebut, dan siapa wanita tua itu juga Luna tidak tahu. Rasa kesalnya bertambah manakala mengetahui Leon tak acuh, dan lebih mementingkan menerima panggilan. Alih-alih menampakkan diri lebih dulu ke hadapan wanita tua itu, agar kesalahpahaman tidak terjadi."Siapa yang kau bawa sekarang, hah! Apa kau menganggap aku akan berubah pikiran setelah tahu kau datang tidak sendiri?"Luna menghela nafas pelan sebelum menjawab. Ia tidak boleh terpancing. Biar bagaimanapun wanita tua itu patut dihormati, tidak peduli siapapun dirinya. "Maaf, Nyonya. Tapi ini kedatangan pertama saya. Bagaimana mungkin Anda bisa mengatakan—""----wait!" sela wanita itu tiba-tiba seraya mengangkat tangan. Lantas, berteriak ke arah dalam. "Tatik! Ambilkan kacamataku!"
"Siasat apa yang kau mainkan sampai dia mau menikah denganmu?""Tidak ada. Memangnya apa yang Oma pikirkan tentangku?" "Cih! Kau pikir aku akan percaya begitu saja?"Mendesak alis tinggi, Leon memilih tidak menanggapi kesinisan oma. Setidaknya setelah sedikit berbincang dengan Luna tadi, sikap wanita yang sudah lebih dari tujuh dekade itu tidak segarang sebelumnya. Leon juga melihat Luna mulai nyaman dengan oma.Kendati tidak lagi khawatir akan sikap oma pada Luna, tetapi untuk menjelaskan alasannya menikahi gadis itu, tidak akan Leon lakukan sekarang. Membiarkan dulu oma tidak mengetahui apapun sampai kebenaran terkuak, dan membuktikan segalanya."Kau masih menerima banyak pesanan?" Melihat tangan keriput oma masih sangat terampil merajut manik-manik, Leon curiga oma masih banjir pesanan seperti dua tahun lalu."Hanya beberapa dari mereka yang mau sabar menunggu.""Sudah saatnya kau istirahat. Ikutlah kami ke Kota. Kami akan mengurusmu di sana." Perlahan Leon menyadarkan punggung, me