"Le, untuk apa kau mengajakku ke tempat ini?""Kau akan tahu nanti setelah masuk, ayo."Selain hanya bisa menurut saat Leon membawanya melewati pagar besi, sebenarnya Luna tidak habis pikir kenapa justru diajak ke tempat itu, alih-alih langsung menemui ibu mertuanya seperti yang dijelaskan semalam. Atau mungkin mereka hanya singgah, sebelum menemui ibu dari suaminya itu?Bukit LaurenNaasnya, baru berada di depan pintu masuknya saja, sebenarnya hati Luna sudah dibuat langsung terpana. Apalagi ketika ia tiba di puncak sana?Berada di bagian tepi barat perkampungan yang dikelilingi hamparan sawah, bisa dibayangkan betapa indah panorama yang tersuguh di atas sana, dan dipastikan akan semakin memikat hati ketika ada di sana saat hari menjelang petang. Membayangkan itu, Luna pun jadi tak sabar."Le, bukankah kau bilang ibumu juga tinggal di bukit? Tapi yang pasti bukan bukit ini, 'kan?"Pasalnya saat menaiki tangga menuju puncak, seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan. Padahal jika diteli
Kecemasan itu masih Luna rasakan meski mereka sudah meninggalkan Bukit Lauren. Naasnya sekarang ia berubah waspada, bahkan untuk sekedar menatap wajah Leon yang berselimut kegelapan—sama seperti yang kala itu ia temui, nyalinya mendadak menciut. Wajah itu terlalu mengerikan. Selain itu Leon juga lebih banyak diam, setelah tiba-tiba pergi tanpa mengajaknya. Sikap yang berbanding terbalik ketika mereka datang.Namun, kendati demikian, Luna tidak menyesal sudah melangkah sejauh ini dengan pria itu. Lantaran apapun yang ia korbankan sekarang, semua demi kebahagiaannya di masa depan."Le, aku rasa ini bukan jalan menuju rumah oma?"Satu detik, dua detik hingga hampir satu menit menunggu, tidak juga ada jawaban. Leon mengunci mulutnya rapat-rapat. Sikap dingin kembali pria itu tunjukan pasca termenung lama di dekat pusaran ibunya. Mungkinkah rasa itu kembali muncul, hingga membuat Leon berubah dingin seperti sekarang?Mencoba memahami situasi yang terjadi dengan diam. Lantaran tidak ingin
"Apa kita akan mengunjungi seseorang?"Setelah mati-matian melawan rasa takut saat melewati jembatan, sekarang Luna bisa bernafas lega. Menatap bangungan yang jika dilihat dari struktur bentuk serta ukurannya seperti hunian, anehnya saat diperhatikan tampak sepi. Tidak menemukan aktivitas apapun, seperti tak berprnghuni. Demi menuntaskan rasa ingin tahunya, Luna kembali berucap, "mungkinkah rumah-rumah ini sengaja ditinggalkan oleh pemiliknya?""Kau salah. Ini bukan rumah warga. Melainkan tempat pengrajin tembikar.""Hah? Pengrajin tembikar?" Wajah cengo Luna beralih pada Leon sebentar, belum akhirnya kembali memperhatikan sekitar. "Apa tembikar sejenis gerabah?" "Banyak yang menganggap keduanya sama, karena memiliki bahan dasar dari tanah liat. Padahal jelas berbeda. Jika tembikar dilapisi gilap atau porselen lebih dulu sebelum dibakar, sementara gerabah setelah berhasil dibuat langsung dibakar tanpa tambahan apapun. Sedangkan pembakaran tembikar sendiri berada pada suhu 1.000-1.200
"Anda mencari siapa, Nona?"Namun, bukannya menjawab, wanita itu hanya menoleh singkat saat seorang pria bertubuh besar dan tegap menyapanya."Yang pasti aku tidak mencarimu. Cepat buka gerbangnya! Aku mau masuk."Mendesah nafas kasar, pria itu menelisik dari atas hingga bawah penampilan wanita seksi yang tampak begitu percaya diri berdiri di samping mobil mewahnya. Tidak dipungkiri dari stylishnya yang modis, wanita itu terlihat sangat cantik dan menggoda. Tapi sayang, bukan itu alsannya tetap bergeming di tempat, melainkan memastikan untuk apa wanita itu datang."Memangnya siapa Anda sampai saya harus membukakan gerbang?""Kau!" Terhenyak dengan pertanyaan itu, si wanita lantas melepas kacamata hitam yang menutupi hampir setelah wajahnya. "Kau akan tahu nanti setelah tuanmu melihatku," ujarnya sinis.Alih-alih terkesan, pria itu kembali mendesak nafas. Jengah. Wanita itu sengaja memberi jawaban yang menurutkan omong kosong. "Kalau begitu silahkan pergi. Kami tidak bisa membiarkan or
Luna memasukan kembali kapsul yang hampir ditelan ke dalam laci, begitu mendengar suara Leon sudah akan keluar dari walk in closet. Saat knop pintu diputar, Luna seketika terjingkat berdiri. Bersikap senormal mungkin di hadapan Leon yang bahkan belum melihat ke arahnya."Aku akan turun sekarang.""Apa Gerry sudah datang?" Leon mengangguk sesampainya di depan Luna. "Sudah akan pergi sekarang?""Iya. Dan, sepertinya akan pulang sedikit terlambat.""Baiklah." Leon sudah akan berlalu ketika Luna tiba-tiba memanggilnya. "Apa aku boleh pergi? Aku ingin mengajak Kak Emma ke pantai.""Pergilah."Setelah mengambil ponsel pribadinya di atas nakas, Leon berlalu dengan langkah lebar. Luna tahu suaminya sedang terburu-buru, untuk itu ia merasa semakin yakin akan tujuannya hari itu.Melihat Leon sudah hilang di balik pintu kamar, Luna mengulas senyum penuh arti. Kendati semalam Leon langsung menolak saat ia meminta tetap tinggal di rumah oma, setidaknya pria itu tidak pernah tahu apa yang sebenarny
"Kak! Kakak dari mana saja? Aku mencarimu sejak tadi." Melihat Emma berjalan menuju dapur, Luna yang masih berada di lorong—--arah paviliun segera berjalan cepat. Pun dengan Emma yang seketika itu berbalik arah, memilih mendekati sang Nyonya."Aku baru saja dari paviliun. Aku kira kau kembali setelah menemaniku sarapan tadi. Ternyata aku salah." Menunjukkan raut sendu, Luna merasa sangat lelah setelah berjalan kesana-kemari."Maaf Nyonya, saya baru saja menemui Pak Jang." Sontak, bukan hanya terkejut mengetahui Emma dari mana, melainkan mendapati mata merah wanita itu juga membuat Luna curiga sesuatu telah terjadi pada Emma."Apa semua baik-baik saja?" Berubah cemas, Luna membombardir Emma dengan pertanyaan yang seketika itu melintasi kepala. "Dia memarahimu? Pak Jang tahu kita menemui Darma hari itu?" Setelahnya, Luna beralih pada sekitar—khawatir ada orang lain yang ikut mendengar ucapannya. Ternyata benar, Pak Jang tidak bisa dianggap remeh. Pria yang seharusnya ia waspadai sejak
"Turun! Aku bukan dia!"Terkejut dengan suara berat Leon yang berada tepat di dekat telinganya, Luna yang masih setengah sadar, seketika beringsut turun dari atas pangkuan pria yang kini tengah menatap tajam dirinya.Luna bingung, kenapa Leon bisa berucap sedingin itu padanya. Terlebih bagaimana bisa ia tertidur di atas pangkuan pria itu? Bukankah sebelumnya ia tidur di sofa bundar yang ada di balkon? Tapi kenapa sekarang sudah berada di kamar bersama Leon?'Mungkinkah tadi aku tidak sedang bermimpi? Itu artinya dia yang menggendongku kemari?'Namun, masih sibuk mengurutkan peristiwa yang baru saja terjadi, lagi-lagi suara Leon menyentak kesadarannya."Jadi karena dia kau memilih mengurung diri di kamar! Mengabaikan makan malammu?""Dia, dia siapa? Kenapa kau terus menyebut dia yang tidak aku mengerti?" balas Luna ragu. Sejujurnya ia sangat takut telah menyebut nama Darma tanpa disadari saat tertidur tadi. "Aku lelah setelah kembali dari rumah oma, begitu juga selera makanku hilang ka
Luna tidak peduli dengan tatapan heran Leon padanya. Ia hanya semakin bersemangat menghabiskan bubur di mangkuk kedua. Rasanya masih sama, sangat lezat. Sampai-sampai ia ingin menambah lagi untuk yang ketiga kalinya. Luna benar-benar tidak memperhitungkan waktu, apalagi berapa banyak bubur yang sudah berpindah ke dalam perutnya. Karena nyatanya ia masih ingin lagi dan lagi.Sedangkan Leon yang melihat itu tanpa sengaja ikut menelan saliva. Ia mengira hanya alibi, Luna menginginkan makanan lembut tersebut saat hari hampir tengah malam. Lantaran Leon menganggap, Luna hanya ingin mengajaknya keluar agar bisa bertemu dengan anak pedagang bubur yang tempo hari sempat membuatnya naik pitam.Namun, begitu melihat betapa lahapnya Luna, terselip rasa tidak enak hati telah berprasangka buruk. Leon tidak percaya, Luna benar-benar menginginkan makanan yang biasanya dikonsumsi ketika pagi hari tersebut."Aku mau lagi," ucap Luna seraya mengusap mulutnya dengan tisu, setelah mangkok berukuran sedan