“Sepertinya nyonya belum datang.” Gerry ikut memperhatikan pengunjung yang melintas di depan mereka, dan ternyata tidak menemukan Luna ataupun Emma. “Saya akan memberitahu Emma jika Anda sudah menunggu.” Leon mengangguk setuju.Namun, sudah dua kali panggilan Emma tak juga menjawab.“Ada apa?” Leon melihat Gerry bolak-balik menempelkan ponsel ke telinga setelah memastikan layarnya.“Emma tidak menjawab, Tuan.”Leon lantas melirik arloji di pergelangan tangannya. Semalam Luna meminta izin hanya akan satu jam mengunjungi tempat itu, sedangkan sekarang sudah hampir lewat tiga puluh menit Luna belum juga terlihat datang. Sementara Emma malah mengabaikan panggilan Gerry. Leon merasa pasti ada yang tidak beres.“Tuan—”“--kita pergi sekarang.” Belum sempat Gerry menyelesaikan kalimatnya, Leon sudah lebih dulu pergi seraya memberi perintah.*******“Tetap diam di tempat kalian!” Pria itu memperingatkan semua orang. “Dan kau!” Beralih pada Emma yang juga masih bergeming. “Jangan coba-coba me
“Bukankah itu Max?” Leon terkejut begitu turun dari mobil, mengetahui keberadaan pria bertato hampir sekujur tubuh itu ada tidak jauh dari tempat pameran. Meski terhalang mobil-mobil para pengunjung, tapi Leon yakin tidak salah mengenali.Gerry yang sudah berdiri di samping Leon ikut memperhatikan arah yang sama, dan sepertinya juga menunjukan reaksi yang tidak jauh berbeda. Mustahil pria seperti Max mau repot-repot menunjukkan diri di tempat keramaian jika memang tidak ada yang diincar.“Oh sial!”Leon bergegas lari saat melihat Luna dari kejauhan. Gerry juga tak mau ketinggalan untuk ikut menyelamatkan sang nyonya.******Luna panik begitu sadar telah kehabisan peluru, sedangkan pria itu sudah semakin mendekati dirinya sambil memainkan pisau lipat milik Emma.“Kau pikir bisa lolos dariku?”“Kita tidak saling mengenal. Kenapa kau begitu ingin membunuhku?” Luna berkata gugup.Melihat pria itu belum menyerah untuk melukai Luna, tentu saja Emma tidak tinggal diam dengan menyambar satu p
"Menikahlah denganku." Luna terhenyak, tetapi tidak berkata apapun ketika memperhatikan Leon beranjak duduk di sofa. Mengira telah salah mendengar. "Menikahlah denganku," ujar Leon lagi. Tapi kali ini tidak begitu jelas di telinga Luna—ia pun mengabaikannya. Menganggap Leon sudah tidak sabar menunggu minuman dingin yang sebelumnya dipesan. Luna bersiap akan pergi. Namun, baru memutar badan, Leon sudah lebih dulu menahan tangannya. Pria itu kembali bangkit, dan mengatakan sesuatu yang lagi membuat Luna terkejut. "Biarkan aku membuktikan sesuatu padamu." "Lepas." Luna memutar tangannya, agar cengkraman Leon terlepas. Tapi tanpa diduga pria itu justru beralih membelit pinggang Luna. "To-to-tolong.. jangan seperti ini, Tuan. Lepaskan saya." Terkejut bercampur risih, Luna berusaha melepaskan belitan tangan Leon. Sayang, bukannya terlepas, tangan lain pria itu malah mencengkram rahangnya Reflek Luna menahan dada Leon dengan kedua tangan, agar tubuh mereka tidak sampai merapat. "A
"Aku memberimu penawaran menarik." Luna bergeming. Masih sangat marah pada Leon yang sudah sewenang-wenang dengan tubuhnya. "Kau hanya perlu melayaniku di atas ranjang." Luna semakin marah mendengar penawaran Leon yang jelas merugikan dirinya. "Aku bukan jalang." Luna dengan tegas mengingatkan. "Perlu kau ingat, membuat semua mata menatapmu jijik, bukan hal sulit aku lakukan." Merasa diancam, Luna menatap tajam Leon yang justru menyeringai licik. Pria itu merunduk, lantas membelai pipi Luna dengan punggung tangan. "Dengar, Luna. Kau milikku sekarang. Suka atau tidak itulah faktanya." Luna melotot tidak terima, tapi tiba-tiba terkesiap merasakan bibir Leon sudah menempel di bibirnya yang sedikit terbuka. "Dan, jangan lupakan aku yang pernah menawarkan pernikahan padamu." Setelah Leon menjauhkan kepala, Luna segera berpaling. Sengaja menghindar saat tahu Leon hendak mengusap bibirnya yang sempat dibuat basah. "Karena aku tahu pernikahan macam yang kau janjikan," liri
"Apa yang ingin kau tunjukkan? Bentuk tubuhmu? Atau kakimu yang jenjang?" Luna mengepalkan kedua tangan kuat, sampai buku-buku tangannya memutih. Tidak terima dengan tuduhan Leon yang seolah menganggap dirinya gemar memamerkan lekuk tubuh. Selain itu, Luna juga tidak menyangka Leon akan ikut turun. Pasalnya setelah menyambar kaos pria itu dan mengenakannya----Luna sempat memastikan jika Leon benar-benar masih terlelap setelah percintaan panas mereka beberapa saat lalu. "Ini tubuhku, kau tidak berhak mengaturku harus bagaimana!" Luna sangat marah, terlebih mengetahui ada orang lain yang juga ikut mendengar tuduhan Leon padanya. Tanpa mengalihkan pandangan dari Luna yang berdiri di ujung tangga, kaki Leon perlahan turun menapaki anak tangga satu persatu. Hingga tak berselang lama, tubuh tinggi besarnya sudah menjulang di dekat Luna yang semakin terlihat kecil. Leon masih berdiri di dua anak tangga terakhir, ketika menatap pria paruh baya yang berdiri tidak jauh dari Luna. "Pergilah P
Keesokan pagi begitu membuka mata, seperti biasa Luna tidak mendapati Leon ada di sampingnya lagi. Leon yang juga gemar berolahraga, baru akan turun satu jam sebelum berangkat ke kantor. Rutinitas yang sebenarnya tidak sengaja mulai Luna perhatikan. Meski sebenarnya ia juga tidak peduli, kapan pria itu akan naik ke lantai tiga, dan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mempertahankan otot tubuhnya disana. Luna tidak mau ambil pusing apapun yang Leon lakukan baik di dalam, maupun luar mansion. kecuali pada tubuhnya. Untuk itu Luna harus segera melarikan diri, sebelum benar-benar dibuat kehilangan akal. "Lebih baik aku mandi." Muak dengan aroma tubuh Leon yang dirasa masih menempel tubuhnya, Luna bergegas meninggalkan ranjang—melenggang begitu saja meski dengan keadaan polos. Namun, saat akan memasuki bilik shower, langkah Luna terhenti di depan cermin wastafel. Ia tertegun begitu melihat ada banyak tanda kepemilikan yang Leon tinggalkan di tubuhnya. "Dia benar-benar membuatku j
"Tidak kusangka dia akan senikmat itu. Cukup sepadan untuk penolakannya tempo hari." Menatap keramaian kota saat hari mulai gelap, bersamaan dengan lampu dari gedung-gedung pencakar langit lain yang juga mulai dinyalakan, membuat pikiran Leon semakin sulit teralihkan dari Luna. Gadis belia yang sengaja ia jerat dengan cara licik. Luna tidak pernah tahu seberapa besar resiko atas keputusanya telah berani menolak seorang Leon Smith. Tentunya akan ada balasan lebih dari apa yang sudah gadis itu lakukan. Leon bukanlah pribadi yang mudah menyerah. Sekeras apa usaha yang sudah dilakukan, tentunya akan sepadan dengan hasil yang didapat. "Dia masih terlalu lugu." Tersenyum licik seraya memasukan kedua tangan ke dalam saku celana. Pandangan Leon masih lurus ke depan. Menyaksikan sepasang anak manusia yang ada di dalam gedung lain. Kendati jaraknya cukup jauh, tetapi mata tajamnya masih bisa menangkap jelas apa yang sedang mereka lakukan tanpa menutup tirai jendela. "Tidak ada yang lebih ber
Tatapan marah Luna menghunus Leon yang kini duduk di hadapannya. Alih-alih membersihkan diri di bawah shower seperti yang selalu dilakukan, pria itu justru ikut masuk ke dalam jacuzzi. "Kenapa menatapku seperti itu? Kau menganggap hanya dirimu yang berhak menggunakan tempat ini?" Cukup sadar diri, Luna seketika bangkit. Tetapi Leon yang bahkan sudah menutup mata sebelumnya sambil menyandarkan kepala di bibir jacuzzi, dengan cepat menahan tangan Luna. "Lepas! Aku sudah selesai!" Luna menyentak tangan Leon. Tapi cengkraman pria itu tidak terlepas juga. "Lepas, aku bisa kedinginan." "Temani aku." "Tidak mau! Aku juga tidak mau ketinggalan waktu sarapanku lagi." Gerutuan Luna justru ditanggapi kekehan pelan oleh Leon. "Bukankah mandi bersamaku jauh lebih mengenyangkan daripada sarapan? Leon sengaja menggoda Luna yang langsung melotot tajam. "Dasar mesum!" ketus Luna bermaksud akan kembali menyentak tangan Leon lebih keras lagi. Tapi diduga ia justru tergelincir dan nyaris jatuh te