"Apa yang ingin kau tunjukkan? Bentuk tubuhmu? Atau kakimu yang jenjang?"
Luna mengepalkan kedua tangan kuat, sampai buku-buku tangannya memutih. Tidak terima dengan tuduhan Leon yang seolah menganggap dirinya gemar memamerkan lekuk tubuh. Selain itu, Luna juga tidak menyangka Leon akan ikut turun. Pasalnya setelah menyambar kaos pria itu dan mengenakannya----Luna sempat memastikan jika Leon benar-benar masih terlelap setelah percintaan panas mereka beberapa saat lalu. "Ini tubuhku, kau tidak berhak mengaturku harus bagaimana!" Luna sangat marah, terlebih mengetahui ada orang lain yang juga ikut mendengar tuduhan Leon padanya. Tanpa mengalihkan pandangan dari Luna yang berdiri di ujung tangga, kaki Leon perlahan turun menapaki anak tangga satu persatu. Hingga tak berselang lama, tubuh tinggi besarnya sudah menjulang di dekat Luna yang semakin terlihat kecil. Leon masih berdiri di dua anak tangga terakhir, ketika menatap pria paruh baya yang berdiri tidak jauh dari Luna. "Pergilah Pak Jang, biarkan aku yang menemaninya." Luna terhenyak, heran Leon bisa berubah selembut itu saat berbicara dengan Pak Jang----kepala pelayan di mansion pria itu. Dua hari lalu, tepatnya setelah pernikahan itu terjadi, Leon memboyong Luna kembali ke mansion. Tetapi sejak dikenalkan pada seluruh pelayan sebagai 'Nyonya Smith', Luna hilang kepercayaan diri. Bahkan untuk sekedar menyapa mereka saja, Luna tidak sanggup. Terlalu takut menghadapi kenyataan. Dianggap telah menggoda majikan mereka. "Aku tidak butuh teman," ketus Luna segera pergi begitu Pak Jang sudah menjauh. Ia benar-benar bisa gila jika selalu berada di dekat Leon. Atau memang sudah gila, karena nyatanya sekarang mulai terbiasa melayani permainan panas pria itu di atas ranjang. Leon memilih tidak mengikuti Luna. Setelah turun dari anak tangga terakhir, Leon justru menuju arah yang berbeda. Setidaknya sekarang tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Sehingga cukup memperhatikan Luna yang berkeliaran dari tempat persembunyiannya. Duduk di bal stool, sambil menyandarkan punggung pada meja bar. Lewat kaca besar penyekat ruangan, Leon masih memperhatikan Luna yang ternyata tengah memakan sesuatu di meja dapur. Kondisi dapur yang terang, memudahkan Leon bisa memperhatikan Luna dengan jelas. Tapi tidak sebaliknya. Letak bar Leon yang menyimpan berbagai jenis minuman beralkohol, berada di bawah tangga yang bentuknya melengkung setengah lingkaran. Selain itu, pencahayaan sengaja Leon biarkan tamaran. Luna memang tidak pernah tahu ada sepasang mata yang terus mengawasi dirinya. Karena setelah mengambil sebungkus roti dan sekotak susu, ia memilih duduk di kursi dengan posisi membelakangi dinding kaca. "Aku tidak bisa seperti ini. Persetan dengan pernikahan itu, karena memang aku tidak menginginkannya." Sambil kembali menggigit roti yang dikeluarkan setengah bagian dari dalam bungkusnya, Luna masih memikirkan cara bagaimana bisa terbebas dari Leon. "Tapi jika aku nekat pergi, bagaimana dengan ancaman itu? Apakah dia akan tetap baik-baik saja?" Keraguan tiba-tiba muncul, menghancurkan keyakinan yang baru saja terbangun. Luna dilema. Mengedarkan pandangan ke setiap sudut dapur yang berukuran sangat luas. Luna tidak menyangka jika keputusannya datang ke mansion Leon enam bulan lalu, justru menjadi awal petaka untuk dirinya sendiri. Keinginan bisa mengumpulkan banyak uang pun sirna begitu saja. Sekarang Luna hanya berharap bisa pergi, dan kembali menjalani hidup apa adanya. Luna berpikir berada di mansion memiliki peluang lebih besar untuk bisa kabur—setelah dipindahkan dari apartemen Leon. Lantaran Luna menganggap, selain memiliki banyak akses untuk keluar, luasnya halaman diyakini bisa dijadikan tempat persembunyian sementara sebelum sampai gerbang utama. Semua rencana sudah tersusun rapi, dan Luna yakin besok pagi-pagi sekali ia bisa memulai aksinya. ************** Luna yang hampir meraih mimpi tersentak, dan kembali terjaga begitu merasakan ada yang menyusup kedalam selimut yang ia kenakan. Namun, belum sempat menyingkap selimut untuk memastikan. Luna sudah lebih dulu dikejutkan dengan kedua kakinya yang ditekuk dan dibuka lebar. Spontan Luna membuka mulut, bertepatan dengan inti tubuhnya sedang dipermainkan di bawah sana. Dasar Binal! Luna yakin, hanya Leon yang memperlakukan dirinya dengan sangat brengsek dan tidak tahu diri. "Bersikaplah layaknya istri yang baik, dengan begitu kau dan dia akan tetap kupastikan hidup." Luna memejamkan mata, tidak hanya sensasi yang berhasil Leon ciptakan di bawah sana. Tapi juga kalimat sialan itu kembali menari-nari di benaknya setiap kali ia ingin menolak sentuhan Leon. Sialnya, Luna masih cukup keras kepala dengan melakukan penolakan-penolakan kecil. Walaupun sadar itu tidak akan mampu menghentikan kebrutalan Leon terhadap tubuhnya. "Kau tau apa yang bisa kulakukan sekalipun kau tidak menginginkannya," bisik Leon setelah berhasil mencengkram kedua tangan Luna dan meletakkan ke atas kepala. "Kau pria brengsek, mesum, binal. Aku membencimu, Leon!" Luna tidak mau menyerah meski tahu dirinya sudah sangat mustahil bisa terlepas dari kungkungan Leon. "Lakukan apa yang kau inginkan. Sekarang kau istriku. Siapapun tidak ada yang bisa melarangku melakukan apa saja pada tubuhmu," bisik Leon lagi seraya meremas kasar gumpalan lembut Luna secara bergantian. Semakin ingin menghalau gejolak yang selalu berhasil Leon hadirkan pada tubuhnya, yang ada Luna dibuat gelisah menerima sentuhan pria itu yang semakin brutal dan menuntut. Kali ini Luna benar-benar merutuki kecerobohannya yang tidak sempat berpakaian dengan benar, setelah kembali dari dapur. Kurangnya waktu tidur---sering diganggu Leon yang selalu memaksakan kehendaknya, membuat Luna sama sekali tidak bisa mendapatkan tidur yang berkualitas. Lantaran hal tersebutlah Luna terlihat lesu dan nyaris seperti mayat hidup. Sebelumnya Luna juga sempat tertidur sebentar di meja dapur. Karena tersentak, Luna memutuskan kembali ke kamar dan bermaksud ingin melanjutkan tidurnya yang tertunda. Namun, siapa sangka, lagi-lagi kembali diusik oleh pelaku yang sama. "Hentikan!! Tidak bisakah kau membiarkan aku tidur dengan tenang? Sekarang bahkan hampir pagi." Geram. Luna mengerahkan semua tenaga untuk mendorong bahu keras Leon agar belitan di kedua kakinya terlepas. Tetapi bukannya terjadi seperti yang Luna inginkan, Leon yang sudah menenggelamkan wajah di pangkal pahanya, justru menghisap kuat bagian itu. Sontak saja, Luna yang akan kembali mendorong bahu Leon memekik tertahan. "Kau benar-benar gila! Lepaskan aku!" Leon menegakkan kepala. Menyingkap selimut dan melemparkannya ke lantai. Sekarang terlihat jelas bagaimana posisi mengerikan mereka dengan Leon yang kembali menenggelamkan wajah di tempat sebelumnya. Menjilat dan menggigit bagian itu secara brutal. Pria itu benar-benar persis seperti singa yang sesungguhnya. Pria dewasa yang selalu paham, bagaimana harus mengoyak pertahanan Luna hingga membuatnya terombang-ambing, antara ingin menolak atau hanyut dalam permainan kotor Leon. "Tolong hentikan. Biarkan aku tidur, Le." Luna nyaris melebur jika Leon tidak juga menghentikan permainannya. "Aku mohon." Suara Luna sudah tersengal-sengal disertai lenguhan panjang. Luna benci ketika tubuhnya kembali dibuat tak berdaya. Leon memang brengsek dengan semua permainan kotornya. "Ini hukuman untukmu berani keluar dengan hanya memakai pakaianku," lirih Leon tanpa berniat berhenti. Meski tahu Luna sudah tidak cukup bertenaga untuk menolak dirinya. "Kau memang tidak waras!" marah Luna di sisa tenaga. Tapi tak urung kembali mendesah nikmat. "Aku memang tidak waras, dan kau harus menanggung kegilaanku."Keesokan pagi begitu membuka mata, seperti biasa Luna tidak mendapati Leon ada di sampingnya lagi. Leon yang juga gemar berolahraga, baru akan turun satu jam sebelum berangkat ke kantor. Rutinitas yang sebenarnya tidak sengaja mulai Luna perhatikan. Meski sebenarnya ia juga tidak peduli, kapan pria itu akan naik ke lantai tiga, dan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mempertahankan otot tubuhnya disana. Luna tidak mau ambil pusing apapun yang Leon lakukan baik di dalam, maupun luar mansion. kecuali pada tubuhnya. Untuk itu Luna harus segera melarikan diri, sebelum benar-benar dibuat kehilangan akal. "Lebih baik aku mandi." Muak dengan aroma tubuh Leon yang dirasa masih menempel tubuhnya, Luna bergegas meninggalkan ranjang—melenggang begitu saja meski dengan keadaan polos. Namun, saat akan memasuki bilik shower, langkah Luna terhenti di depan cermin wastafel. Ia tertegun begitu melihat ada banyak tanda kepemilikan yang Leon tinggalkan di tubuhnya. "Dia benar-benar membuatku j
"Tidak kusangka dia akan senikmat itu. Cukup sepadan untuk penolakannya tempo hari." Menatap keramaian kota saat hari mulai gelap, bersamaan dengan lampu dari gedung-gedung pencakar langit lain yang juga mulai dinyalakan, membuat pikiran Leon semakin sulit teralihkan dari Luna. Gadis belia yang sengaja ia jerat dengan cara licik. Luna tidak pernah tahu seberapa besar resiko atas keputusanya telah berani menolak seorang Leon Smith. Tentunya akan ada balasan lebih dari apa yang sudah gadis itu lakukan. Leon bukanlah pribadi yang mudah menyerah. Sekeras apa usaha yang sudah dilakukan, tentunya akan sepadan dengan hasil yang didapat. "Dia masih terlalu lugu." Tersenyum licik seraya memasukan kedua tangan ke dalam saku celana. Pandangan Leon masih lurus ke depan. Menyaksikan sepasang anak manusia yang ada di dalam gedung lain. Kendati jaraknya cukup jauh, tetapi mata tajamnya masih bisa menangkap jelas apa yang sedang mereka lakukan tanpa menutup tirai jendela. "Tidak ada yang lebih ber
Tatapan marah Luna menghunus Leon yang kini duduk di hadapannya. Alih-alih membersihkan diri di bawah shower seperti yang selalu dilakukan, pria itu justru ikut masuk ke dalam jacuzzi. "Kenapa menatapku seperti itu? Kau menganggap hanya dirimu yang berhak menggunakan tempat ini?" Cukup sadar diri, Luna seketika bangkit. Tetapi Leon yang bahkan sudah menutup mata sebelumnya sambil menyandarkan kepala di bibir jacuzzi, dengan cepat menahan tangan Luna. "Lepas! Aku sudah selesai!" Luna menyentak tangan Leon. Tapi cengkraman pria itu tidak terlepas juga. "Lepas, aku bisa kedinginan." "Temani aku." "Tidak mau! Aku juga tidak mau ketinggalan waktu sarapanku lagi." Gerutuan Luna justru ditanggapi kekehan pelan oleh Leon. "Bukankah mandi bersamaku jauh lebih mengenyangkan daripada sarapan? Leon sengaja menggoda Luna yang langsung melotot tajam. "Dasar mesum!" ketus Luna bermaksud akan kembali menyentak tangan Leon lebih keras lagi. Tapi diduga ia justru tergelincir dan nyaris jatuh te
Luna mengabaikan rasa asin di bibir bawah bagian dalam atas gigitannya sendiri. Ia juga tidak peduli seberapa dalam giginya tertancap di sana, dan memilih menahan rasa itu dengan menutup mulut rapat-rapat."Rupanya kau lebih suka aku paksa, hm?"Leon masih sangat brutal menghujam Luna dengan posisi berdiri. Mengangkat satu kaki Luna, dan diletakkan ke atas bahu pria itu. Kondisi yang sebenarnya nyaris membuat Luna hilang kesadaran.Namun, Luna gadis yang cukup keras kepala untuk mengakui kekalahannya. Memilih mempertahan ego, meski sebenarnya bernafas pun semakin sulit ia lakukan.."Hentikan! Kau benar-benar kotor," cicit Luna pada akhirnya."Kau yang memintanya dengan berani bermain-main denganku." Tiba-tiba Luna memekik tertahan. Secara mengejutkan Leon mengangkat dan menangkup bokongnya menggunkan kedua tangan, sebelum akhirnya kembali dihentak dengan kasar. "Kau menyakitiku," kata Luna pelan dengan tubuh masih terpantul-pantul. Ia nyaris mati jika Leon tidak juga berniat berhent
"Karena itu kau menikahinya?" "Bukankah semua tetap harus sepadan?" Leon menarik ujung bibirnya hingga memunculkan seringai licik."Aku hanya berharap kau tidak pernah menyesal dengan keputusanmu sekarang.""Tidak akan."Menemukan gurat kecemasan di wajah tua pria yang ada di hadapannya itu, Leon tidak begitu saja terprovokasi. Memilih tetap menujukkan sikap tenang seperti yang selalu dilakukan. "Menginaplah untuk malam ini. Lizzie juga pasti menginginkannya.""Kau tahu jawabanku," singkat Leon yang langsung berdiri dari kursi. "Aku datang untuk mengurus bisnis, bukan menuruti keinginannya."Tuan Smith mendesak nafas kasar, tapi Leon tak acuh dengan memilih segera pergi. Bahkan ketika wanita cantik yang baru datang membawa nampan bermaksud berbasa-basi menyapa---Leon juga mengabaikannya. Tetap melangkah lebar menuju pintu utama."Apa dia baru saja datang?""Seperti yang kau pikirkan."Pandangan wanita itu beralih pada paper bag coklat yang ada di atas meja."Setidaknya dia selalu i
Waktu berlalu, dan tanpa terasa hari berganti begitu cepat. Duduk di kursi taman seorang diri, Luna belum berniat beranjak meski sudah sejak satu jam lalu ada di sana. Tidak tahu pasti apa yang sedang dipikirkan. Memandangi bunga-bunga bermekaran sedang bergoyang tertiup angin, tiba-tiba kehampaan menelungkup hati. Anehnya ada sekelumit rasa yang tidak bisa dijelaskan, tetapi begitu nyata dirasa. Tepatnya sejak terbangun pagi tadi, mendapati sisi samping masih tetap rapi seperti hari kemarin dan lusa. Mendadak timbul kesedihan yang tidak diketahui pasti apa penyebabnya. Mungkinkah ia merindukan Leon?Tidak! Sisi hati Luna yang lain seketika menolak tegas. Rasa itu bukan tentang Leon yang bahkan tidak ada kabarnya sejak pergi satu minggu yang lalu. Kesedihan Luna lantaran teringat pertemuannya dengan Darma tempo hari. Yah! Itu yang sebenarnya terjadi.Mirisnya saat itu Darma tetap menganggapnya pembual. Seberapa keras ia sudah berusaha menjelaskan, tetap saja pria itu mengbabaikanny
"Jaga batasanmu, Ana!"Wanita itu mendengus, tetapi masih urung melakukan apa yang Leon perintahkan. Justru semakin mengeratkan kedua tangannya di leher pria itu."Aku berpikir semesta berpihak padaku dengan menurunkan hujan saat aku sampai di sini," ucapnya manja."Tidak ada gunanya kau bicara omong kosong!" ketus Leon menyentak kasar tangan Anastasya dari lehernya hingga terlepas. "Sekalipun hujan turun sepanjang malam, tidak akan terjadi apapun pada kita." Memilih menghindar dengan bangkit dari sofa, dan berjalan ke dekat jendela.Anastasya telah mengacaukan pikiran liarnya tentang Luna—gadis naif yang masih saja menginginkan pria lain. Tapi sayangnya telah mengusik benaknya sepanjang hari tadi. Kabar dari Pak Jang yang menjelaskan keadaan di sana aman terkendali pun, tak cukup membuatnya lega. Luna masih belum bisa ia tepikan dari benaknya, hingga kemunculan Anastasya yang tiba-tiba."Kenapa Le, kenapa kau selalu menolakku? Bukankah kita sudah pernah melakukannya sampai—""---tutup
Berada di rooftop untuk pertama kalinya, Luna dibuat terheran-heran dengan fasilitas yang ada di tempat tersebut. Selain menutup setengah bagian atas mansion, tempat luas yang memiliki tangga penghubung ke taman samping itu terdapat lounge dengan beberapa sofa panjang, dan kolam renang bertingkat di sisi tepinya. Tidak hanya memiliki view yang memikat mata, dari ketinggi puluhan keter itu Luna juga bisa melihat landasan helikopter pribadi milik Leon yang ada tepat di sisi kanan mansion. Sedangkan saat Luna meluruskan pandangan, jalan menuju pantai dimana ia bermain jet ski bersama Darma kemarin terlihat sebagian, sebelum akhirnya tertutup pepohonan rimbun.Darma?Mengingat pria itu lagi, seketika melenyapkan kekaguman Luna pada keindahan yang ada. Detik berikutnya Luna memilih duduk di salah satu sofa panjang, menatap warna jingga yang kini menghiasi langit senja. Tampak indah, tapi sayang tak cukup menghibur hati yang kembali terperangkap perasaan yang sama. "Semisterius inikah takd