Share

4. Kecewa

Keesokan pagi begitu membuka mata, seperti biasa Luna tidak mendapati Leon ada di sampingnya lagi. Leon yang juga gemar berolahraga, baru akan turun satu jam sebelum berangkat ke kantor. Rutinitas yang sebenarnya tidak sengaja mulai Luna perhatikan. Meski sebenarnya ia juga tidak peduli, kapan pria itu akan naik ke lantai tiga, dan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mempertahankan otot tubuhnya disana. 

Luna tidak mau ambil pusing apapun yang Leon lakukan baik di dalam, maupun luar mansion. kecuali pada tubuhnya. Untuk itu Luna harus segera melarikan diri, sebelum benar-benar dibuat kehilangan akal.

"Lebih baik aku mandi." Muak dengan aroma tubuh Leon yang dirasa masih menempel tubuhnya, Luna bergegas meninggalkan ranjang—melenggang begitu saja meski dengan keadaan polos. 

Namun, saat akan memasuki bilik shower, langkah Luna terhenti di depan cermin wastafel. Ia tertegun begitu melihat ada banyak tanda kepemilikan yang Leon tinggalkan di tubuhnya. 

"Dia benar-benar membuatku jijik dengan tubuhku sendiri." Kemarahan kembali menguasai diri, kala kilatan kebuasan Leon yang selalu memperlakukan dirinya tak ubahnya jalang---melintasi kepala. Luna benci pada ketidakberdayaannya, dan juga benci tidak cukup punya kemampuan untuk melawan keganasan Leon.

Seharusnya Luna mengikuti saran mendiang ibunya dulu, untuk berlatih dasar beladiri agar bisa melindungi diri dari musuh, terlebih pria mesum seperti Leon. 

"Aku harus menghilangkan semua tanda sialan ini dari tubuhku. Ini sangat menjijikan!"

Luna yang kesal mencipratkan air ke leher serta dadanya. Lantas, menggosok kasar kedua bagian tersebut. Berharap tanda itu bisa hilang. Luna benar-benar konyol. Tidak menyadari jika tindakannya justru meninggalkan bekas baru di kulitnya yang mulus.

"Pergi! Enyah dari tubuhku. Aku tidak mau melihatnya lagi. Leon sialan!" Naasnya, Luna bahkan tidak segan melukai kulitnya sendiri dengan kuku-kuku panjangnya.

Mengabaikan beberapa luka cakaran yang pasti menimbulkan rasa perih, Luna beralih memasuki bilik shower. Menuang banyak sabun ke dalam spon, dan kembali menggosok tidak sabar di bagian yang sama. Luna sudah benar-benar kehilangan akal dengan menyakiti dirinya sendiri. Hanya karena tidak ingin ada jejak Leon di tubuhnya. Tanpa Luna sadari, apa yang sudah pria itu tinggalkan di dalam sana, tidak akan bisa luntur sekalipun ia menyayat kulit tubuhnya.

***************

Selesai berpakain, Luna memilih duduk di tepi ranjang. Sekarang selain sekujur tubuhnya terasa sakit, ia juga merasakan perih di sekitar dada dan leher. Sesaat sebelum berpakaian, Luna sempat meringis di depan cermin, mendapati bekas cakaran cukup banyak di sana atas kebodohannya beberapa saat lalu.

"Anda ingin sarapan di kamar, Nyonya?" Mendengar suara Tari setelah dipersilahkan masuk, menarik perhatian Luna dari jendela yang terbuka.

"Apa Le sudah turun?"

"Tuan sudah pergi pagi-pagi sekali, Nyonya."

Cukup terkejut mendengarnya, Luna sampai terjingkat bangun. "Benarkah?"

"Tuan bahkan tidak melakukan rutinitas paginya sebelum pergi."

Senyum samar Luna seketika terbit tanpa Tari ketahui. "Aku akan turun nanti."

"Baik. Kalau begitu saya permisi."

Tidak terlalu menanggapi ucapan Tari lagi, Luna buru-buru berlari ke arah balkon. Memastikan keadaan di bawah sana, hingga gerbang utama terlihat cukup jelas dari tempatnya. Senyum Luna kembali merekah sempurna, mengetahui penjagaan tidak terlalu ketat seperti kemarin saat ia lewati.

Tidak ingin membuang waktu lebih lama lagi, Luna bergegas keluar kamar seperti biasa—tidak ingin rencananya diketahui oleh siapapun, apalagi Pak Jang. Menyadari tidak hanya di lantai dua dan lantai dasar yang sepi, Luna mendesak nafas lega.

"Aku pasti bisa," gumamnya penuh percaya diri.

Luna berharap tidak ada yang melihatnya berjalan bukan ke arah meja makan. Sambil merapalkan doa, ia melangkah lebar menuju pintu utama.

"Nyonya!" 

Langkah Luna terhenti seketika, ia juga menelan kasar salivanya. Suara yang diyakini milik Tari tak ubahnya seperti peradilan, dan sukses membuat detak jantung Luna berdegup kencang.

"Apa yang menarik perhatian Anda sampai memilih meninggalkan meja makan?" 

Luna segera berbalik merasa Tari sudah ada di belakangnya. "Kak, aku mohon. Bersikaplah seperti tidak melihatku. Aku harus pergi sekarang." 

"Oh, ya ampun!" Wanita itu sontak membekap mulut dengan tangan dan matanya terbelalak lebar.

"Maafkan aku, Kak. Tapi aku harus pergi. Aku tidak bisa tetap seperti ini. Aku, aku—-"

"----saya mohon jangan lakukan itu, Nyonya," sela Tari memotong kalimat Luna.

Melihat wajah Tari berubah panik, Luna paham akan ketakutan yang dirasakan wanita itu. Tetapi ia juga harus memikirkan dirinya sendiri. Leon bukan sosok yang tepat untuk dijadikan pasangan.

"Aku memang egois, tapi untuk tetap bertahan dengannya aku tidak bisa. Ini terlalu menyakitkan, Kak. Aku bukan jalang yang bisa dia gagahi sesuka hati. Tidak hanya tubuhku, tapi dengan tetap disini hatiku juga semakin tersiksa." 

Pertahanan Luna selalu runtuh setiap kali mengingat senyum itu. Namun sekarang, keadaan telah membuatnya mungkin hanya berani menatap sosok itu dari kejauhan. Mengabaikan kerinduan yang nyatanya begitu dalam Luna rasakan.

"Sebenarnya aku tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk padamu setelah kepergianku. Selain tahu apa yang bisa Leon lakukan, aku juga sangat menyayangimu. Tapi aku ingin hidup seperti yang aku inginkan. Di sini aku tidak baik-baik saja, Kak. Aku mohon---"

Kalimat Luna langsung terhenti ketika mendengar suara dari arah belakang. 

"Anda akan tetap baik-baik saja, Nyonya. Asalkan Anda tahu bagaimana bersikap layaknya istri yang baik."

Kemunculan Pak Jang dari beranda samping, membuat Tari semakin tertunduk takut. Tapi tidak untuk Luna yang menatap marah pria itu. 

"Lanjutkan pekerjaanmu."

"Baik, Tuan." Tari bergegas pergi setelah Pak Jang memberi perintah.

Sementara Luna hanya bisa menatap nanar punggung wanita itu yang sudah semakin menjauh. Sebelum akhirnya kalimat lanjutan Pak Jang memaksanya berpaling.

"Sebaiknya Anda jangan pernah berpikir untuk melarikan diri lagi, Nyonya. Karena seberapa sekeras Anda mencobanya. Itu hanya akan berakhir sia-sia." 

"Apa Paman juga mendukungnya? Mendukung tindakannya yang semena-mena terhadapku?' lirih Luna. 

"Atau memang ini tujuan Paman membawaku ke tempat ini? Untuk dijadikan pemuas hasrat pria itu, iya? Dimana nuranimu, Paman? Apa kau tidak pernah berpikir bagaimana jika putrimu yang ada di posisiku. Aku yakin kau akan merasakan sakit yang sama seperti ibuku rasakan di atas sana." 

"Nyonya—"

"---aku bahkan sudah menganggapmu ayah. Tapi aku tidak pernah menyangka jika pada akhirnya kau sendiri yang menyerahkanku pada monster itu," serobot Luna. 

Suara Luna sudah bergetar dengan bulir bening yang semakin deras membasahi pipi. Kekecewaannya terhadap Pak Jang begitu dalam, sampai Luna tidak bisa mengabaikan itu.

"Malam itu saya tidak berbohong. Saya demam dan tuan menyarankan saya beristirahat di paviliun."

"Tapi kenapa harus aku? Bukanlah banyak pelayan lain," sela Luna lagi.

"Apa yang bisa saya lakukan jika tuan menginginkan Anda yang menyambutnya, Nyonya," sanggah Pak Jang yang semakin membuat Luna kesal. 

Luna segera memalingkan wajah ke arah lain. Tidak tahu kenapa, ajakan menikah Leon sebelum malam itu, tiba-tiba kembali melintasi benaknya. 

"Bukankah tuan sudah pernah menawarkan pernikahan pada Anda? Tapi Anda terlalu naif dengan memilih mengabaikannya."

"Naif?" Sambil mengusap kasar pipinya yang basah, Luna beralih. Kembali menatap kecewa Pak Jang yang bergeming. "Yah! Benar aku terlalu naif karena telah menolak pria sepertinya. Seharusnya Paman juga tidak melupakan tujuanku ikut ke tempat ini. Aku sama sekali tidak pernah bermimpi dijadikan istri oleh pria yang tidak aku inginkan. Apalagi pria bejat seperti Leon. Aku sudah memiliki kekasih, seharusnya Paman ingat itu. Dan sekarang, jangankan menjelaskan apa yang telah terjadi, bahkan untuk menemuinya saja aku tidak memiliki keberanian sebesar itu.

"Akan lebih baik jika Anda melupakan dia. Rasa yang ada pada kalian hanya sesaat, dan saya yakin itu akan lenyap seiring berjalannya waktu."

Ucapan ringan Pak Jang tak urung membuat Luna semakin marah.

"Siapa kau bisa mengatur hidupku! Seberapa dalam rasaku terhadapnya bukan kau yang menentukan. Kita hanya orang asing yang kebetulan bertemu, ingat itu!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status