Keesokan pagi begitu membuka mata, seperti biasa Luna tidak mendapati Leon ada di sampingnya lagi. Leon yang juga gemar berolahraga, baru akan turun satu jam sebelum berangkat ke kantor. Rutinitas yang sebenarnya tidak sengaja mulai Luna perhatikan. Meski sebenarnya ia juga tidak peduli, kapan pria itu akan naik ke lantai tiga, dan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mempertahankan otot tubuhnya disana.
Luna tidak mau ambil pusing apapun yang Leon lakukan baik di dalam, maupun luar mansion. kecuali pada tubuhnya. Untuk itu Luna harus segera melarikan diri, sebelum benar-benar dibuat kehilangan akal. "Lebih baik aku mandi." Muak dengan aroma tubuh Leon yang dirasa masih menempel tubuhnya, Luna bergegas meninggalkan ranjang—melenggang begitu saja meski dengan keadaan polos. Namun, saat akan memasuki bilik shower, langkah Luna terhenti di depan cermin wastafel. Ia tertegun begitu melihat ada banyak tanda kepemilikan yang Leon tinggalkan di tubuhnya. "Dia benar-benar membuatku jijik dengan tubuhku sendiri." Kemarahan kembali menguasai diri, kala kilatan kebuasan Leon yang selalu memperlakukan dirinya tak ubahnya jalang---melintasi kepala. Luna benci pada ketidakberdayaannya, dan juga benci tidak cukup punya kemampuan untuk melawan keganasan Leon. Seharusnya Luna mengikuti saran mendiang ibunya dulu, untuk berlatih dasar beladiri agar bisa melindungi diri dari musuh, terlebih pria mesum seperti Leon. "Aku harus menghilangkan semua tanda sialan ini dari tubuhku. Ini sangat menjijikan!" Luna yang kesal mencipratkan air ke leher serta dadanya. Lantas, menggosok kasar kedua bagian tersebut. Berharap tanda itu bisa hilang. Luna benar-benar konyol. Tidak menyadari jika tindakannya justru meninggalkan bekas baru di kulitnya yang mulus. "Pergi! Enyah dari tubuhku. Aku tidak mau melihatnya lagi. Leon sialan!" Naasnya, Luna bahkan tidak segan melukai kulitnya sendiri dengan kuku-kuku panjangnya. Mengabaikan beberapa luka cakaran yang pasti menimbulkan rasa perih, Luna beralih memasuki bilik shower. Menuang banyak sabun ke dalam spon, dan kembali menggosok tidak sabar di bagian yang sama. Luna sudah benar-benar kehilangan akal dengan menyakiti dirinya sendiri. Hanya karena tidak ingin ada jejak Leon di tubuhnya. Tanpa Luna sadari, apa yang sudah pria itu tinggalkan di dalam sana, tidak akan bisa luntur sekalipun ia menyayat kulit tubuhnya. *************** Selesai berpakain, Luna memilih duduk di tepi ranjang. Sekarang selain sekujur tubuhnya terasa sakit, ia juga merasakan perih di sekitar dada dan leher. Sesaat sebelum berpakaian, Luna sempat meringis di depan cermin, mendapati bekas cakaran cukup banyak di sana atas kebodohannya beberapa saat lalu. "Anda ingin sarapan di kamar, Nyonya?" Mendengar suara Tari setelah dipersilahkan masuk, menarik perhatian Luna dari jendela yang terbuka. "Apa Le sudah turun?" "Tuan sudah pergi pagi-pagi sekali, Nyonya." Cukup terkejut mendengarnya, Luna sampai terjingkat bangun. "Benarkah?" "Tuan bahkan tidak melakukan rutinitas paginya sebelum pergi." Senyum samar Luna seketika terbit tanpa Tari ketahui. "Aku akan turun nanti." "Baik. Kalau begitu saya permisi." Tidak terlalu menanggapi ucapan Tari lagi, Luna buru-buru berlari ke arah balkon. Memastikan keadaan di bawah sana, hingga gerbang utama terlihat cukup jelas dari tempatnya. Senyum Luna kembali merekah sempurna, mengetahui penjagaan tidak terlalu ketat seperti kemarin saat ia lewati. Tidak ingin membuang waktu lebih lama lagi, Luna bergegas keluar kamar seperti biasa—tidak ingin rencananya diketahui oleh siapapun, apalagi Pak Jang. Menyadari tidak hanya di lantai dua dan lantai dasar yang sepi, Luna mendesak nafas lega. "Aku pasti bisa," gumamnya penuh percaya diri. Luna berharap tidak ada yang melihatnya berjalan bukan ke arah meja makan. Sambil merapalkan doa, ia melangkah lebar menuju pintu utama. "Nyonya!" Langkah Luna terhenti seketika, ia juga menelan kasar salivanya. Suara yang diyakini milik Tari tak ubahnya seperti peradilan, dan sukses membuat detak jantung Luna berdegup kencang. "Apa yang menarik perhatian Anda sampai memilih meninggalkan meja makan?" Luna segera berbalik merasa Tari sudah ada di belakangnya. "Kak, aku mohon. Bersikaplah seperti tidak melihatku. Aku harus pergi sekarang." "Oh, ya ampun!" Wanita itu sontak membekap mulut dengan tangan dan matanya terbelalak lebar. "Maafkan aku, Kak. Tapi aku harus pergi. Aku tidak bisa tetap seperti ini. Aku, aku—-" "----saya mohon jangan lakukan itu, Nyonya," sela Tari memotong kalimat Luna. Melihat wajah Tari berubah panik, Luna paham akan ketakutan yang dirasakan wanita itu. Tetapi ia juga harus memikirkan dirinya sendiri. Leon bukan sosok yang tepat untuk dijadikan pasangan. "Aku memang egois, tapi untuk tetap bertahan dengannya aku tidak bisa. Ini terlalu menyakitkan, Kak. Aku bukan jalang yang bisa dia gagahi sesuka hati. Tidak hanya tubuhku, tapi dengan tetap disini hatiku juga semakin tersiksa." Pertahanan Luna selalu runtuh setiap kali mengingat senyum itu. Namun sekarang, keadaan telah membuatnya mungkin hanya berani menatap sosok itu dari kejauhan. Mengabaikan kerinduan yang nyatanya begitu dalam Luna rasakan. "Sebenarnya aku tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk padamu setelah kepergianku. Selain tahu apa yang bisa Leon lakukan, aku juga sangat menyayangimu. Tapi aku ingin hidup seperti yang aku inginkan. Di sini aku tidak baik-baik saja, Kak. Aku mohon---" Kalimat Luna langsung terhenti ketika mendengar suara dari arah belakang. "Anda akan tetap baik-baik saja, Nyonya. Asalkan Anda tahu bagaimana bersikap layaknya istri yang baik." Kemunculan Pak Jang dari beranda samping, membuat Tari semakin tertunduk takut. Tapi tidak untuk Luna yang menatap marah pria itu. "Lanjutkan pekerjaanmu." "Baik, Tuan." Tari bergegas pergi setelah Pak Jang memberi perintah. Sementara Luna hanya bisa menatap nanar punggung wanita itu yang sudah semakin menjauh. Sebelum akhirnya kalimat lanjutan Pak Jang memaksanya berpaling. "Sebaiknya Anda jangan pernah berpikir untuk melarikan diri lagi, Nyonya. Karena seberapa sekeras Anda mencobanya. Itu hanya akan berakhir sia-sia." "Apa Paman juga mendukungnya? Mendukung tindakannya yang semena-mena terhadapku?' lirih Luna. "Atau memang ini tujuan Paman membawaku ke tempat ini? Untuk dijadikan pemuas hasrat pria itu, iya? Dimana nuranimu, Paman? Apa kau tidak pernah berpikir bagaimana jika putrimu yang ada di posisiku. Aku yakin kau akan merasakan sakit yang sama seperti ibuku rasakan di atas sana." "Nyonya—" "---aku bahkan sudah menganggapmu ayah. Tapi aku tidak pernah menyangka jika pada akhirnya kau sendiri yang menyerahkanku pada monster itu," serobot Luna. Suara Luna sudah bergetar dengan bulir bening yang semakin deras membasahi pipi. Kekecewaannya terhadap Pak Jang begitu dalam, sampai Luna tidak bisa mengabaikan itu. "Malam itu saya tidak berbohong. Saya demam dan tuan menyarankan saya beristirahat di paviliun." "Tapi kenapa harus aku? Bukanlah banyak pelayan lain," sela Luna lagi. "Apa yang bisa saya lakukan jika tuan menginginkan Anda yang menyambutnya, Nyonya," sanggah Pak Jang yang semakin membuat Luna kesal. Luna segera memalingkan wajah ke arah lain. Tidak tahu kenapa, ajakan menikah Leon sebelum malam itu, tiba-tiba kembali melintasi benaknya. "Bukankah tuan sudah pernah menawarkan pernikahan pada Anda? Tapi Anda terlalu naif dengan memilih mengabaikannya." "Naif?" Sambil mengusap kasar pipinya yang basah, Luna beralih. Kembali menatap kecewa Pak Jang yang bergeming. "Yah! Benar aku terlalu naif karena telah menolak pria sepertinya. Seharusnya Paman juga tidak melupakan tujuanku ikut ke tempat ini. Aku sama sekali tidak pernah bermimpi dijadikan istri oleh pria yang tidak aku inginkan. Apalagi pria bejat seperti Leon. Aku sudah memiliki kekasih, seharusnya Paman ingat itu. Dan sekarang, jangankan menjelaskan apa yang telah terjadi, bahkan untuk menemuinya saja aku tidak memiliki keberanian sebesar itu. "Akan lebih baik jika Anda melupakan dia. Rasa yang ada pada kalian hanya sesaat, dan saya yakin itu akan lenyap seiring berjalannya waktu." Ucapan ringan Pak Jang tak urung membuat Luna semakin marah. "Siapa kau bisa mengatur hidupku! Seberapa dalam rasaku terhadapnya bukan kau yang menentukan. Kita hanya orang asing yang kebetulan bertemu, ingat itu!""Tidak kusangka dia akan senikmat itu. Cukup sepadan untuk penolakannya tempo hari." Menatap keramaian kota saat hari mulai gelap, bersamaan dengan lampu dari gedung-gedung pencakar langit lain yang juga mulai dinyalakan, membuat pikiran Leon semakin sulit teralihkan dari Luna. Gadis belia yang sengaja ia jerat dengan cara licik. Luna tidak pernah tahu seberapa besar resiko atas keputusanya telah berani menolak seorang Leon Smith. Tentunya akan ada balasan lebih dari apa yang sudah gadis itu lakukan. Leon bukanlah pribadi yang mudah menyerah. Sekeras apa usaha yang sudah dilakukan, tentunya akan sepadan dengan hasil yang didapat. "Dia masih terlalu lugu." Tersenyum licik seraya memasukan kedua tangan ke dalam saku celana. Pandangan Leon masih lurus ke depan. Menyaksikan sepasang anak manusia yang ada di dalam gedung lain. Kendati jaraknya cukup jauh, tetapi mata tajamnya masih bisa menangkap jelas apa yang sedang mereka lakukan tanpa menutup tirai jendela. "Tidak ada yang lebih ber
Tatapan marah Luna menghunus Leon yang kini duduk di hadapannya. Alih-alih membersihkan diri di bawah shower seperti yang selalu dilakukan, pria itu justru ikut masuk ke dalam jacuzzi. "Kenapa menatapku seperti itu? Kau menganggap hanya dirimu yang berhak menggunakan tempat ini?" Cukup sadar diri, Luna seketika bangkit. Tetapi Leon yang bahkan sudah menutup mata sebelumnya sambil menyandarkan kepala di bibir jacuzzi, dengan cepat menahan tangan Luna. "Lepas! Aku sudah selesai!" Luna menyentak tangan Leon. Tapi cengkraman pria itu tidak terlepas juga. "Lepas, aku bisa kedinginan." "Temani aku." "Tidak mau! Aku juga tidak mau ketinggalan waktu sarapanku lagi." Gerutuan Luna justru ditanggapi kekehan pelan oleh Leon. "Bukankah mandi bersamaku jauh lebih mengenyangkan daripada sarapan? Leon sengaja menggoda Luna yang langsung melotot tajam. "Dasar mesum!" ketus Luna bermaksud akan kembali menyentak tangan Leon lebih keras lagi. Tapi diduga ia justru tergelincir dan nyaris jatuh te
Luna mengabaikan rasa asin di bibir bawah bagian dalam atas gigitannya sendiri. Ia juga tidak peduli seberapa dalam giginya tertancap di sana, dan memilih menahan rasa itu dengan menutup mulut rapat-rapat."Rupanya kau lebih suka aku paksa, hm?"Leon masih sangat brutal menghujam Luna dengan posisi berdiri. Mengangkat satu kaki Luna, dan diletakkan ke atas bahu pria itu. Kondisi yang sebenarnya nyaris membuat Luna hilang kesadaran.Namun, Luna gadis yang cukup keras kepala untuk mengakui kekalahannya. Memilih mempertahan ego, meski sebenarnya bernafas pun semakin sulit ia lakukan.."Hentikan! Kau benar-benar kotor," cicit Luna pada akhirnya."Kau yang memintanya dengan berani bermain-main denganku." Tiba-tiba Luna memekik tertahan. Secara mengejutkan Leon mengangkat dan menangkup bokongnya menggunkan kedua tangan, sebelum akhirnya kembali dihentak dengan kasar. "Kau menyakitiku," kata Luna pelan dengan tubuh masih terpantul-pantul. Ia nyaris mati jika Leon tidak juga berniat berhent
"Karena itu kau menikahinya?" "Bukankah semua tetap harus sepadan?" Leon menarik ujung bibirnya hingga memunculkan seringai licik."Aku hanya berharap kau tidak pernah menyesal dengan keputusanmu sekarang.""Tidak akan."Menemukan gurat kecemasan di wajah tua pria yang ada di hadapannya itu, Leon tidak begitu saja terprovokasi. Memilih tetap menujukkan sikap tenang seperti yang selalu dilakukan. "Menginaplah untuk malam ini. Lizzie juga pasti menginginkannya.""Kau tahu jawabanku," singkat Leon yang langsung berdiri dari kursi. "Aku datang untuk mengurus bisnis, bukan menuruti keinginannya."Tuan Smith mendesak nafas kasar, tapi Leon tak acuh dengan memilih segera pergi. Bahkan ketika wanita cantik yang baru datang membawa nampan bermaksud berbasa-basi menyapa---Leon juga mengabaikannya. Tetap melangkah lebar menuju pintu utama."Apa dia baru saja datang?""Seperti yang kau pikirkan."Pandangan wanita itu beralih pada paper bag coklat yang ada di atas meja."Setidaknya dia selalu i
Waktu berlalu, dan tanpa terasa hari berganti begitu cepat. Duduk di kursi taman seorang diri, Luna belum berniat beranjak meski sudah sejak satu jam lalu ada di sana. Tidak tahu pasti apa yang sedang dipikirkan. Memandangi bunga-bunga bermekaran sedang bergoyang tertiup angin, tiba-tiba kehampaan menelungkup hati. Anehnya ada sekelumit rasa yang tidak bisa dijelaskan, tetapi begitu nyata dirasa. Tepatnya sejak terbangun pagi tadi, mendapati sisi samping masih tetap rapi seperti hari kemarin dan lusa. Mendadak timbul kesedihan yang tidak diketahui pasti apa penyebabnya. Mungkinkah ia merindukan Leon?Tidak! Sisi hati Luna yang lain seketika menolak tegas. Rasa itu bukan tentang Leon yang bahkan tidak ada kabarnya sejak pergi satu minggu yang lalu. Kesedihan Luna lantaran teringat pertemuannya dengan Darma tempo hari. Yah! Itu yang sebenarnya terjadi.Mirisnya saat itu Darma tetap menganggapnya pembual. Seberapa keras ia sudah berusaha menjelaskan, tetap saja pria itu mengbabaikanny
"Jaga batasanmu, Ana!"Wanita itu mendengus, tetapi masih urung melakukan apa yang Leon perintahkan. Justru semakin mengeratkan kedua tangannya di leher pria itu."Aku berpikir semesta berpihak padaku dengan menurunkan hujan saat aku sampai di sini," ucapnya manja."Tidak ada gunanya kau bicara omong kosong!" ketus Leon menyentak kasar tangan Anastasya dari lehernya hingga terlepas. "Sekalipun hujan turun sepanjang malam, tidak akan terjadi apapun pada kita." Memilih menghindar dengan bangkit dari sofa, dan berjalan ke dekat jendela.Anastasya telah mengacaukan pikiran liarnya tentang Luna—gadis naif yang masih saja menginginkan pria lain. Tapi sayangnya telah mengusik benaknya sepanjang hari tadi. Kabar dari Pak Jang yang menjelaskan keadaan di sana aman terkendali pun, tak cukup membuatnya lega. Luna masih belum bisa ia tepikan dari benaknya, hingga kemunculan Anastasya yang tiba-tiba."Kenapa Le, kenapa kau selalu menolakku? Bukankah kita sudah pernah melakukannya sampai—""---tutup
Berada di rooftop untuk pertama kalinya, Luna dibuat terheran-heran dengan fasilitas yang ada di tempat tersebut. Selain menutup setengah bagian atas mansion, tempat luas yang memiliki tangga penghubung ke taman samping itu terdapat lounge dengan beberapa sofa panjang, dan kolam renang bertingkat di sisi tepinya. Tidak hanya memiliki view yang memikat mata, dari ketinggi puluhan keter itu Luna juga bisa melihat landasan helikopter pribadi milik Leon yang ada tepat di sisi kanan mansion. Sedangkan saat Luna meluruskan pandangan, jalan menuju pantai dimana ia bermain jet ski bersama Darma kemarin terlihat sebagian, sebelum akhirnya tertutup pepohonan rimbun.Darma?Mengingat pria itu lagi, seketika melenyapkan kekaguman Luna pada keindahan yang ada. Detik berikutnya Luna memilih duduk di salah satu sofa panjang, menatap warna jingga yang kini menghiasi langit senja. Tampak indah, tapi sayang tak cukup menghibur hati yang kembali terperangkap perasaan yang sama. "Semisterius inikah takd
"Kalau begitu kurung saja aku seperti yang sebelumnya kau lakukan, dan letakkan lebih banyak lagi penjagaan di luar mansion untuk memastikan aku tidak bisa melewati pagar utama."Leon membeku, bukan karena terenyuh dengan nasib tragis yang pernah Luna alami selama terkurung di apartemennya dulu. Tetapi pria itu tengah menahan diri untuk tidak menampar atau bahkan mencengkram rahang Luna sekarang juga. Wanita itu terlalu berani menantangnya, alih-alih menjelaskan kemana saja dia pergi selama dirinya tidak ada."Kau ingin aku melakukan itu?""Bukankah apapun bisa kau lakukan? Untuk apa kau tanyakan lagi padaku."Luna sebenarnya ingin menertawakan dirinya sendiri yang begitu bodoh telah menaruh kepercayaan terhadap Emma. Tidak memprediksikan jika pada dasarnya wanita itu tetaplah seorang pelayan yang akan lebih mematuhi perintah tuannya, daripada peliharaan sang tuan. Naasnya bagaimana bisa Luna begitu mudah terlena dengan senyum yang ditunjukan, dan menganggap itu bukti akan ketulusan Em