Waktu berlalu, dan tanpa terasa hari berganti begitu cepat. Duduk di kursi taman seorang diri, Luna belum berniat beranjak meski sudah sejak satu jam lalu ada di sana. Tidak tahu pasti apa yang sedang dipikirkan. Memandangi bunga-bunga bermekaran sedang bergoyang tertiup angin, tiba-tiba kehampaan menelungkup hati.
Anehnya ada sekelumit rasa yang tidak bisa dijelaskan, tetapi begitu nyata dirasa. Tepatnya sejak terbangun pagi tadi, mendapati sisi samping masih tetap rapi seperti hari kemarin dan lusa. Mendadak timbul kesedihan yang tidak diketahui pasti apa penyebabnya.Mungkinkah ia merindukan Leon?Tidak! Sisi hati Luna yang lain seketika menolak tegas. Rasa itu bukan tentang Leon yang bahkan tidak ada kabarnya sejak pergi satu minggu yang lalu. Kesedihan Luna lantaran teringat pertemuannya dengan Darma tempo hari.Yah! Itu yang sebenarnya terjadi.Mirisnya saat itu Darma tetap menganggapnya pembual. Seberapa keras ia sudah berusaha menjelaskan, tetap saja pria itu mengbabaikannya dengan memilih pergi meninggalkan dirinya yang hanya bisa terisak di tempat."Aku harus bagaimana sekarang? Aku bahkan sudah mengorbankan perasaanku demi keselamatanya. Tapi kenapa dia tidak bisa mempercayaiku."Menghela nafas pelan, Luna menopang dagu dengan pandangan tetap lurus ke depan. Darma masih menghantui pikirannya. Tapi tidak tahu kenapa, ada hal lain yang lebih mempengaruhi dirinya untuk tetap berlama-lama disana. Perasaan aneh yang Luna sendiri tidak tahu bagaimana mengatasinya."Ada apa denganku, kenapa perasaan ini sering muncul akhir-akhir ini? Apakah benar aku butuh suasana baru?""Anda ingin berkunjung ke suatu tempat, Nyonya?"Sempat terkejut mengetahui Emma sudah berdiri di dekatnya, Luna segera menegakkan punggung."Seperti yang Tuan jelaskan sebelum pergi ke Sydney, Anda diizinkan kemana saja selama itu bersama saya dan tetap di kota ini.""Aku tidak mau kemanapun. Kapan dia akan kembali?" Detik berikutnya Luna mendongak—menatap Emma dengan mata mengerjap berulang kali. Sepertinya cukup terkejut bibirnya justru melontarkan pernyataan yang sebenarnya tidak ingin ia tanyakan. Terjadi kontradiksi di dalam sana. "Lupakan," ujarnya cepat sebelum Emma berspekulasi apapun tentang dirinya.Sialnya mendapati bibir Emma berkedut, Luna yakin supirnya itu telah menyimpulkan sesuatu yang ia khawatirkan."Saya tidak tahu pasti, Nyonya. Tapi biasanya Tuan bisa lebih lama berada di sana. Selain pekerjaan, ada alasan lain yang membuat tuan tidak bisa kembali tepat waktu."'Itu karena di sana dia juga punya peliharaan.'"Seperti yang aku duga, kedekatan kalian tidak hanya sebatas majikan dan pelayan. Benarkah begitu?" tebak Luna semakin yakin."Kami memang sudah saling mengenal sejak beranjak remaja. Tapi saya tidak berani menyebut kedekatan kami setara teman. Saya tidak cukup pantas mendapat gelar tersebut."'Yah! setidaknya kau banyak tahu tentang dia.'Kembali menghela nafas pelan saat beralih lagi ke depan, mendadak Luna berubah kesal membayangkan Leon tengah bercumbu dengan wanita lain. Detik berikut tidak ingin rasa itu semakin menguasai akal sehat, Luna segara bangkit. "Aku ingin ke pantai."*****Berjalan di atas pasir tanpa alas kali, membiarkan beberapa kali ombak kecil menampar kulit kakinya, Luna merasa lebih baik. Setidaknya membaur dengan pengunjung lain, membuat kekesalan yang sempat merongrong hati sedikit teralihkan.Sebenarnya Emma sudah menawarkan destinasi wisata yang lebih privat, tetapi Luna yang memang menyukai keramaian menjadikan tempat itu sebagai pilihan. Selain lokasinya tidak jauh dari mansion Leon. Dulu sebelum memutuskan menjadi pelayan pria itu, Luna juga sering datang untuk sekedar menikmati hari libur. Tentunya dengan tujuan yang lain.Langkah Luna mendadak terhenti, seorang pria yang tengah berolahraga flyboarding di atas permukaan air dengan kedalam puluhan meter itu, menarik perhatiannya. Kendati sudah sering menyaksikan para atlet baik pria maupun wanita melakukan olahraga ekstrim tersebut, nyatanya Luna masih saja enggan berpaling---menatap kagum.Bukan saja atraksinya saat meliuk-liuk diatas air dan bisa terbang ke udara layaknya Iron man yang menarik perhatian Luna. Tetapi begitu meyakini siapa pengendali alat itu, memunculkan keinginan untuk dibawa lagi bersamanya.'Lupakan Luna. Masa-masa itu tidak akan terulang lagi. Ingat kau sudah menentukan pilihan, dan bersikaplah selayaknya istri yang bermartabat.'Pada akhirnya perlahan kaki telanjang Luna bergerak meninggalkan pantai. Ia tidak ingin mengambil resiko apapun, terlebih jika itu menyangkut Darma. Lelaki yang sebenarnya sangat berat untuk ia tinggalkan. Tetapi kekuasaan Leon juga bukan perkara remeh yang bisa diabaikan begitu saja. Bahkan untuk menghancurkan sepuluh Darma pun, akan sangat mudah Leon lakukan."Kak, ada yang ingin bertemu denganmu, di sana."Luna yang sebelumnya berjalan dengan kepala tertunduk, seketika mengangkat pandangan. Alisnya mengkerut mengetahui gadis yang menghadangnya, meruncingkan jari ke arah dermaga jet ski."Kau bicara denganku?" ujarnya ragu seraya menunjuk dirinya sendiri. Karena memang tidak ada siapapun di dekatnya."Iya, aku berbicara denganmu, Kak. Pergilah. Dia sudah menunggumu di sana.""Siapa?" Kembali menoleh ke arah yang gadis itu tunjukan, Luna masih terlihat ragu. Pasalnya tidak ada yang ia kenal di sana. Sedangkan Emma saja ia minta menunggu di cabana terdekat."Kau akan tahu setelah melihatnya. Sudah ya, aku harus pergi sekarang."Melihat gadis itu langsung berlari menjauh, Luna yang tidak ingin menanggapi serius memilih melanjutkan perjalanan menuju tempat dimana Emma duduk, serius dengan ponsel di tangannya."Kakak tidak ingin melakukan sesuatu?""Apa yang ingin Anda lakukan bersama saya, Nyonya." Mengetahui kehadiran Luna, Emma segera memasukan ponsel ke dalam saku celana dan memilih berdiri. "Silahkan duduk.""Sebenarnya aku ingin sekali berputar-putar menggunakan jet ski. Tapi aku tidak bisa mengendarainya.""Jet ski?""Hem. Lupakan jika Kakak juga tidak bisa.""Sebenarnya itu sangat mudah, hanya saja—""---apa Le yang melarang?" sela Luna cepat melihat keraguan Emma.Merasa tidak enak hati telah membuat sang nyonya kecewa, Emma memastikan waktu lebih dulu dari pergelangan tangannya, sebelum akhirnya kembali berkata, "jika Anda tidak mabuk laut, kita bisa melakukannya sekarang.""Tidak. Aku sudah beberapa kali diajak berputar-putar oleh seseorang."Terlalu semangat Luna sampai tidak sadar dengan apa yang baru saja diucapkan. Mengulas senyum samar, Emma segera mengikuti sang nyonya yang sudah berjalan lebih dulu.Menunggu tidak sabar Emma yang sedang menemui petugas jet ski, senyum Luna merekah indah kala membayangkan keseruan bisa kembali memutari sebagian kecil lautan dengan transportasi air tersebut. Ia benar-benar sepenuhnya percaya Emma bisa melakukannya, mengingat cara berkemudi wanita itu yang sudah sangat mahir."Dengan siapa kau datang?"Senyum itu perlahan menyusut ketika menoleh ke samping, menemukan Darma dengan pakaian dinasnya tengah menyatukan tangan di depan perut."Darma…""Apa kau datang dengan dia lagi?" Paham sudah pasti Emma yang pria itu bicarakan, Luna memaksakan diri untuk kembali tersenyum ketika mengangguk samar."Dia kakakku," kilahnya.Tidak mungkin menjelaskan siapa Emma, selain tidak ingin menyakiti Darma begitu tahu statusnya yang sekarang. Rasa tidak rela masih saja tertinggal di dalam sana. Kontradiksi itu kembali terjadi. Luna selalu berada pada pilihan sulit ketika itu bersama Darma. Keyakinan yang sebelumnya diperkuat pun seketika melemah. Ketegaran jiwanya pun terguncang, setiap menatap dalam manik teduh pria yang dicintainya."Siapa dia yang sudah membuatmu berpaling dariku? Apakah dia seseorang yang berkuasa? Dan kau tidak memiliki pilihan lain selain berpisah dariku?"Glek!Luna merasa waktu benar-benar berhenti. Haruskah ia jujur sekarang?Namun, belum sempat ia membuka mulut, kalimat lanjutan Darma semakin meyayat perih hatinya."Atau kau bosan denganku yang miskin ini?""Jaga batasanmu, Ana!"Wanita itu mendengus, tetapi masih urung melakukan apa yang Leon perintahkan. Justru semakin mengeratkan kedua tangannya di leher pria itu."Aku berpikir semesta berpihak padaku dengan menurunkan hujan saat aku sampai di sini," ucapnya manja."Tidak ada gunanya kau bicara omong kosong!" ketus Leon menyentak kasar tangan Anastasya dari lehernya hingga terlepas. "Sekalipun hujan turun sepanjang malam, tidak akan terjadi apapun pada kita." Memilih menghindar dengan bangkit dari sofa, dan berjalan ke dekat jendela.Anastasya telah mengacaukan pikiran liarnya tentang Luna—gadis naif yang masih saja menginginkan pria lain. Tapi sayangnya telah mengusik benaknya sepanjang hari tadi. Kabar dari Pak Jang yang menjelaskan keadaan di sana aman terkendali pun, tak cukup membuatnya lega. Luna masih belum bisa ia tepikan dari benaknya, hingga kemunculan Anastasya yang tiba-tiba."Kenapa Le, kenapa kau selalu menolakku? Bukankah kita sudah pernah melakukannya sampai—""---tutup
Berada di rooftop untuk pertama kalinya, Luna dibuat terheran-heran dengan fasilitas yang ada di tempat tersebut. Selain menutup setengah bagian atas mansion, tempat luas yang memiliki tangga penghubung ke taman samping itu terdapat lounge dengan beberapa sofa panjang, dan kolam renang bertingkat di sisi tepinya. Tidak hanya memiliki view yang memikat mata, dari ketinggi puluhan keter itu Luna juga bisa melihat landasan helikopter pribadi milik Leon yang ada tepat di sisi kanan mansion. Sedangkan saat Luna meluruskan pandangan, jalan menuju pantai dimana ia bermain jet ski bersama Darma kemarin terlihat sebagian, sebelum akhirnya tertutup pepohonan rimbun.Darma?Mengingat pria itu lagi, seketika melenyapkan kekaguman Luna pada keindahan yang ada. Detik berikutnya Luna memilih duduk di salah satu sofa panjang, menatap warna jingga yang kini menghiasi langit senja. Tampak indah, tapi sayang tak cukup menghibur hati yang kembali terperangkap perasaan yang sama. "Semisterius inikah takd
"Kalau begitu kurung saja aku seperti yang sebelumnya kau lakukan, dan letakkan lebih banyak lagi penjagaan di luar mansion untuk memastikan aku tidak bisa melewati pagar utama."Leon membeku, bukan karena terenyuh dengan nasib tragis yang pernah Luna alami selama terkurung di apartemennya dulu. Tetapi pria itu tengah menahan diri untuk tidak menampar atau bahkan mencengkram rahang Luna sekarang juga. Wanita itu terlalu berani menantangnya, alih-alih menjelaskan kemana saja dia pergi selama dirinya tidak ada."Kau ingin aku melakukan itu?""Bukankah apapun bisa kau lakukan? Untuk apa kau tanyakan lagi padaku."Luna sebenarnya ingin menertawakan dirinya sendiri yang begitu bodoh telah menaruh kepercayaan terhadap Emma. Tidak memprediksikan jika pada dasarnya wanita itu tetaplah seorang pelayan yang akan lebih mematuhi perintah tuannya, daripada peliharaan sang tuan. Naasnya bagaimana bisa Luna begitu mudah terlena dengan senyum yang ditunjukan, dan menganggap itu bukti akan ketulusan Em
Sempat terkejut dengan suara klakson yang ditekan lama dari kendaraan lain, dan disusul teriakan Luna—Leon buru-buru turun. Tapi mendadak diam di tempat, karena ingin melihat apa yang akan terjadi setelah itu."Gadis bodoh!! Apa kau tidak bisa memperhatikan jalan sebelum menyebrang!" Tak kalah terkejut, Luna masih mematung dengan kedua tangan menutup telinga. Tidak hanya itu, ia bahkan menganggap dirinya sudah berada di alam yang berbeda."Hei! Apa kau tuli!!" Mendengar ada yang berteriak lagi, dan dirasa sangat dekat dengannya, perlahan Luna mulai membuka mata. Namun, ia yang linglung justru menatap nanar kedua kakinya yang nyaris bersentuhan dengan bumper depan mobil. Baru setelah itu ia dasar, jika di samping mobil tersebut berdiri seorang wanita dengan pakaian yang super seksi."Cih! Dasar kampungan! Apa seumur hidupmu tidak pernah melihat mobil mewah?" "Ma-maaf. Saya benar-benar minta maaf, N
Leon langsung mengunci pintu kamarnya sesaat setelah membawa paksa Luna masuk bersama. Ia sudah hampir menggila melihat sikap pemuda tidak tahu diri tadi yang terus menyela kalimat Luna, dan sialnya tidak ada sikap tegas dari gadis itu."Apa yang ingin kau tujukan dengan makan di tempat itu, hah! Kedekatanmu dengan pemuda sialan tadi?""Kenapa kau bisa semarah ini? Kau bahkan tidak membiarkan aku menghabiskan buburku!"Leon nyaris meledak jika tidak ingat rona bahagia Luna ketika bubur disajikan. Ia tahu seberapa ingin gadis itu menghabiskan pesanannya, sebelum akhirnya ia hilang kesabaran karena tingkah pemuda tadi."Aku hanya ingin menghabiskan buburku, itu saja," sanggah Luna berusaha menutupi ketakutannya. Ia masih tidak menyangka, Leon akan langsung menyeretnya keluar setelah sempat membuat hidung Abbas berdarah. Tetapi alasan apa yang mendasari Leon bertindak segila itu yang tidak Luna mengerti. Luna memang akan selalu tidak mengerti dengan tindakan dan aturan-aturan Leon yang
Luna tidak tahu pasti apakah yang didapatkan sekarang merupakan sebuah keberuntungan, atau justru balasan atas apa yang sudah ia serahkan. Tidak mungkin bisa melepaskan diri begitu saja dari cengkraman Leon, Luna memilih berdamai dengan keadaan. Setidaknya menerima pernikahan yang sudah dijalani beberapa bulan terakhir dengan pria itu, jauh lebih baik daripada terus menyesali apa yang sudah terjadi. Karena itu hanya akan membuang-buang waktu.Lantas, bagaimana dengan Darma?Biarlah nama itu tersimpan indah di sudut hati, Luna hanya perlu menunggu, dan berharap ada keajaiban yang bisa membawanya kembali pada pria itu. Meski harapan hanya sehelai rambut.Sekarang Luna hanya ingin mengikuti arus. Sebab, sadar diri untuk melawan arus itu sesuatu yang mustahil bisa dilakukan. Selebihnya biarlah garis hidup yang menentukan. Akan seperti apa kelak hidupnya di masa depan. Tetap menjadi pemuas hasrat Leon dengan status istri? Atau justru terhempas be
Setelah kemarin hampir seharian menemani Luna ke makam ibu serta adiknya, keesokan hari—tepatnya setelah sarapan, mobil Leon meninggalkan mansion. Pria itu ingin mengajak Luna mendatangi suatu tempat. Namun, dimana pastinya tidak dijelaskan lebih spesifik. Leon tampak begitu tenang mengendarai kendaraannya membelah jalanan kota. Dibalik kacamata hitam yang bertengger manis di hidungnya yang mancung, pandangan pria itu lurus ke depan. Hanya sesekali ia melirik ke samping kiri—dimana Luna duduk dan tengah memperhatikan apa saja yang dilalui. Setidaknya Leon merasa lega mengetahui Luna cukup menikmati perjalan mereka. Awalnya Leon sempat khawatir, Luna akan banyak mengeluh di tengah perjalanan yang memang membutuhkan waktu lebih dari satu jam menuju tempat tujuan.Tapi ternyata yang terjadi, Luna sangat antusias. Pengalaman pertama meninggalkan kota kelahiran sekaligus tempat dirinya dibesarkan, Luna tak henti-hentinya berdecak kagum ketika melintasi padang
Luna tampak sangat kebingungan dengan menatap wanita tua di depannya itu beserta Leon secara bergantian. Berpikir kenapa wanita itu menyebut dirinya seakan pernah datang sebelumnya. Padahal jelas-jelas ia baru pertama kali berkunjung ke tempat asing tersebut, dan siapa wanita tua itu juga Luna tidak tahu. Rasa kesalnya bertambah manakala mengetahui Leon tak acuh, dan lebih mementingkan menerima panggilan. Alih-alih menampakkan diri lebih dulu ke hadapan wanita tua itu, agar kesalahpahaman tidak terjadi."Siapa yang kau bawa sekarang, hah! Apa kau menganggap aku akan berubah pikiran setelah tahu kau datang tidak sendiri?"Luna menghela nafas pelan sebelum menjawab. Ia tidak boleh terpancing. Biar bagaimanapun wanita tua itu patut dihormati, tidak peduli siapapun dirinya. "Maaf, Nyonya. Tapi ini kedatangan pertama saya. Bagaimana mungkin Anda bisa mengatakan—""----wait!" sela wanita itu tiba-tiba seraya mengangkat tangan. Lantas, berteriak ke arah dalam. "Tatik! Ambilkan kacamataku!"