Sempat terkejut dengan suara klakson yang ditekan lama dari kendaraan lain, dan disusul teriakan Luna—Leon buru-buru turun. Tapi mendadak diam di tempat, karena ingin melihat apa yang akan terjadi setelah itu."Gadis bodoh!! Apa kau tidak bisa memperhatikan jalan sebelum menyebrang!" Tak kalah terkejut, Luna masih mematung dengan kedua tangan menutup telinga. Tidak hanya itu, ia bahkan menganggap dirinya sudah berada di alam yang berbeda."Hei! Apa kau tuli!!" Mendengar ada yang berteriak lagi, dan dirasa sangat dekat dengannya, perlahan Luna mulai membuka mata. Namun, ia yang linglung justru menatap nanar kedua kakinya yang nyaris bersentuhan dengan bumper depan mobil. Baru setelah itu ia dasar, jika di samping mobil tersebut berdiri seorang wanita dengan pakaian yang super seksi."Cih! Dasar kampungan! Apa seumur hidupmu tidak pernah melihat mobil mewah?" "Ma-maaf. Saya benar-benar minta maaf, N
Leon langsung mengunci pintu kamarnya sesaat setelah membawa paksa Luna masuk bersama. Ia sudah hampir menggila melihat sikap pemuda tidak tahu diri tadi yang terus menyela kalimat Luna, dan sialnya tidak ada sikap tegas dari gadis itu."Apa yang ingin kau tujukan dengan makan di tempat itu, hah! Kedekatanmu dengan pemuda sialan tadi?""Kenapa kau bisa semarah ini? Kau bahkan tidak membiarkan aku menghabiskan buburku!"Leon nyaris meledak jika tidak ingat rona bahagia Luna ketika bubur disajikan. Ia tahu seberapa ingin gadis itu menghabiskan pesanannya, sebelum akhirnya ia hilang kesabaran karena tingkah pemuda tadi."Aku hanya ingin menghabiskan buburku, itu saja," sanggah Luna berusaha menutupi ketakutannya. Ia masih tidak menyangka, Leon akan langsung menyeretnya keluar setelah sempat membuat hidung Abbas berdarah. Tetapi alasan apa yang mendasari Leon bertindak segila itu yang tidak Luna mengerti. Luna memang akan selalu tidak mengerti dengan tindakan dan aturan-aturan Leon yang
Luna tidak tahu pasti apakah yang didapatkan sekarang merupakan sebuah keberuntungan, atau justru balasan atas apa yang sudah ia serahkan. Tidak mungkin bisa melepaskan diri begitu saja dari cengkraman Leon, Luna memilih berdamai dengan keadaan. Setidaknya menerima pernikahan yang sudah dijalani beberapa bulan terakhir dengan pria itu, jauh lebih baik daripada terus menyesali apa yang sudah terjadi. Karena itu hanya akan membuang-buang waktu.Lantas, bagaimana dengan Darma?Biarlah nama itu tersimpan indah di sudut hati, Luna hanya perlu menunggu, dan berharap ada keajaiban yang bisa membawanya kembali pada pria itu. Meski harapan hanya sehelai rambut.Sekarang Luna hanya ingin mengikuti arus. Sebab, sadar diri untuk melawan arus itu sesuatu yang mustahil bisa dilakukan. Selebihnya biarlah garis hidup yang menentukan. Akan seperti apa kelak hidupnya di masa depan. Tetap menjadi pemuas hasrat Leon dengan status istri? Atau justru terhempas be
Setelah kemarin hampir seharian menemani Luna ke makam ibu serta adiknya, keesokan hari—tepatnya setelah sarapan, mobil Leon meninggalkan mansion. Pria itu ingin mengajak Luna mendatangi suatu tempat. Namun, dimana pastinya tidak dijelaskan lebih spesifik. Leon tampak begitu tenang mengendarai kendaraannya membelah jalanan kota. Dibalik kacamata hitam yang bertengger manis di hidungnya yang mancung, pandangan pria itu lurus ke depan. Hanya sesekali ia melirik ke samping kiri—dimana Luna duduk dan tengah memperhatikan apa saja yang dilalui. Setidaknya Leon merasa lega mengetahui Luna cukup menikmati perjalan mereka. Awalnya Leon sempat khawatir, Luna akan banyak mengeluh di tengah perjalanan yang memang membutuhkan waktu lebih dari satu jam menuju tempat tujuan.Tapi ternyata yang terjadi, Luna sangat antusias. Pengalaman pertama meninggalkan kota kelahiran sekaligus tempat dirinya dibesarkan, Luna tak henti-hentinya berdecak kagum ketika melintasi padang
Luna tampak sangat kebingungan dengan menatap wanita tua di depannya itu beserta Leon secara bergantian. Berpikir kenapa wanita itu menyebut dirinya seakan pernah datang sebelumnya. Padahal jelas-jelas ia baru pertama kali berkunjung ke tempat asing tersebut, dan siapa wanita tua itu juga Luna tidak tahu. Rasa kesalnya bertambah manakala mengetahui Leon tak acuh, dan lebih mementingkan menerima panggilan. Alih-alih menampakkan diri lebih dulu ke hadapan wanita tua itu, agar kesalahpahaman tidak terjadi."Siapa yang kau bawa sekarang, hah! Apa kau menganggap aku akan berubah pikiran setelah tahu kau datang tidak sendiri?"Luna menghela nafas pelan sebelum menjawab. Ia tidak boleh terpancing. Biar bagaimanapun wanita tua itu patut dihormati, tidak peduli siapapun dirinya. "Maaf, Nyonya. Tapi ini kedatangan pertama saya. Bagaimana mungkin Anda bisa mengatakan—""----wait!" sela wanita itu tiba-tiba seraya mengangkat tangan. Lantas, berteriak ke arah dalam. "Tatik! Ambilkan kacamataku!"
"Siasat apa yang kau mainkan sampai dia mau menikah denganmu?""Tidak ada. Memangnya apa yang Oma pikirkan tentangku?" "Cih! Kau pikir aku akan percaya begitu saja?"Mendesak alis tinggi, Leon memilih tidak menanggapi kesinisan oma. Setidaknya setelah sedikit berbincang dengan Luna tadi, sikap wanita yang sudah lebih dari tujuh dekade itu tidak segarang sebelumnya. Leon juga melihat Luna mulai nyaman dengan oma.Kendati tidak lagi khawatir akan sikap oma pada Luna, tetapi untuk menjelaskan alasannya menikahi gadis itu, tidak akan Leon lakukan sekarang. Membiarkan dulu oma tidak mengetahui apapun sampai kebenaran terkuak, dan membuktikan segalanya."Kau masih menerima banyak pesanan?" Melihat tangan keriput oma masih sangat terampil merajut manik-manik, Leon curiga oma masih banjir pesanan seperti dua tahun lalu."Hanya beberapa dari mereka yang mau sabar menunggu.""Sudah saatnya kau istirahat. Ikutlah kami ke Kota. Kami akan mengurusmu di sana." Perlahan Leon menyadarkan punggung, me
"Le, untuk apa kau mengajakku ke tempat ini?""Kau akan tahu nanti setelah masuk, ayo."Selain hanya bisa menurut saat Leon membawanya melewati pagar besi, sebenarnya Luna tidak habis pikir kenapa justru diajak ke tempat itu, alih-alih langsung menemui ibu mertuanya seperti yang dijelaskan semalam. Atau mungkin mereka hanya singgah, sebelum menemui ibu dari suaminya itu?Bukit LaurenNaasnya, baru berada di depan pintu masuknya saja, sebenarnya hati Luna sudah dibuat langsung terpana. Apalagi ketika ia tiba di puncak sana?Berada di bagian tepi barat perkampungan yang dikelilingi hamparan sawah, bisa dibayangkan betapa indah panorama yang tersuguh di atas sana, dan dipastikan akan semakin memikat hati ketika ada di sana saat hari menjelang petang. Membayangkan itu, Luna pun jadi tak sabar."Le, bukankah kau bilang ibumu juga tinggal di bukit? Tapi yang pasti bukan bukit ini, 'kan?"Pasalnya saat menaiki tangga menuju puncak, seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan. Padahal jika diteli
Kecemasan itu masih Luna rasakan meski mereka sudah meninggalkan Bukit Lauren. Naasnya sekarang ia berubah waspada, bahkan untuk sekedar menatap wajah Leon yang berselimut kegelapan—sama seperti yang kala itu ia temui, nyalinya mendadak menciut. Wajah itu terlalu mengerikan. Selain itu Leon juga lebih banyak diam, setelah tiba-tiba pergi tanpa mengajaknya. Sikap yang berbanding terbalik ketika mereka datang.Namun, kendati demikian, Luna tidak menyesal sudah melangkah sejauh ini dengan pria itu. Lantaran apapun yang ia korbankan sekarang, semua demi kebahagiaannya di masa depan."Le, aku rasa ini bukan jalan menuju rumah oma?"Satu detik, dua detik hingga hampir satu menit menunggu, tidak juga ada jawaban. Leon mengunci mulutnya rapat-rapat. Sikap dingin kembali pria itu tunjukan pasca termenung lama di dekat pusaran ibunya. Mungkinkah rasa itu kembali muncul, hingga membuat Leon berubah dingin seperti sekarang?Mencoba memahami situasi yang terjadi dengan diam. Lantaran tidak ingin