Kecemasan itu masih Luna rasakan meski mereka sudah meninggalkan Bukit Lauren. Naasnya sekarang ia berubah waspada, bahkan untuk sekedar menatap wajah Leon yang berselimut kegelapan—sama seperti yang kala itu ia temui, nyalinya mendadak menciut. Wajah itu terlalu mengerikan. Selain itu Leon juga lebih banyak diam, setelah tiba-tiba pergi tanpa mengajaknya. Sikap yang berbanding terbalik ketika mereka datang.Namun, kendati demikian, Luna tidak menyesal sudah melangkah sejauh ini dengan pria itu. Lantaran apapun yang ia korbankan sekarang, semua demi kebahagiaannya di masa depan."Le, aku rasa ini bukan jalan menuju rumah oma?"Satu detik, dua detik hingga hampir satu menit menunggu, tidak juga ada jawaban. Leon mengunci mulutnya rapat-rapat. Sikap dingin kembali pria itu tunjukan pasca termenung lama di dekat pusaran ibunya. Mungkinkah rasa itu kembali muncul, hingga membuat Leon berubah dingin seperti sekarang?Mencoba memahami situasi yang terjadi dengan diam. Lantaran tidak ingin
"Apa kita akan mengunjungi seseorang?"Setelah mati-matian melawan rasa takut saat melewati jembatan, sekarang Luna bisa bernafas lega. Menatap bangungan yang jika dilihat dari struktur bentuk serta ukurannya seperti hunian, anehnya saat diperhatikan tampak sepi. Tidak menemukan aktivitas apapun, seperti tak berprnghuni. Demi menuntaskan rasa ingin tahunya, Luna kembali berucap, "mungkinkah rumah-rumah ini sengaja ditinggalkan oleh pemiliknya?""Kau salah. Ini bukan rumah warga. Melainkan tempat pengrajin tembikar.""Hah? Pengrajin tembikar?" Wajah cengo Luna beralih pada Leon sebentar, belum akhirnya kembali memperhatikan sekitar. "Apa tembikar sejenis gerabah?" "Banyak yang menganggap keduanya sama, karena memiliki bahan dasar dari tanah liat. Padahal jelas berbeda. Jika tembikar dilapisi gilap atau porselen lebih dulu sebelum dibakar, sementara gerabah setelah berhasil dibuat langsung dibakar tanpa tambahan apapun. Sedangkan pembakaran tembikar sendiri berada pada suhu 1.000-1.200
"Anda mencari siapa, Nona?"Namun, bukannya menjawab, wanita itu hanya menoleh singkat saat seorang pria bertubuh besar dan tegap menyapanya."Yang pasti aku tidak mencarimu. Cepat buka gerbangnya! Aku mau masuk."Mendesah nafas kasar, pria itu menelisik dari atas hingga bawah penampilan wanita seksi yang tampak begitu percaya diri berdiri di samping mobil mewahnya. Tidak dipungkiri dari stylishnya yang modis, wanita itu terlihat sangat cantik dan menggoda. Tapi sayang, bukan itu alsannya tetap bergeming di tempat, melainkan memastikan untuk apa wanita itu datang."Memangnya siapa Anda sampai saya harus membukakan gerbang?""Kau!" Terhenyak dengan pertanyaan itu, si wanita lantas melepas kacamata hitam yang menutupi hampir setelah wajahnya. "Kau akan tahu nanti setelah tuanmu melihatku," ujarnya sinis.Alih-alih terkesan, pria itu kembali mendesak nafas. Jengah. Wanita itu sengaja memberi jawaban yang menurutkan omong kosong. "Kalau begitu silahkan pergi. Kami tidak bisa membiarkan or
Luna memasukan kembali kapsul yang hampir ditelan ke dalam laci, begitu mendengar suara Leon sudah akan keluar dari walk in closet. Saat knop pintu diputar, Luna seketika terjingkat berdiri. Bersikap senormal mungkin di hadapan Leon yang bahkan belum melihat ke arahnya."Aku akan turun sekarang.""Apa Gerry sudah datang?" Leon mengangguk sesampainya di depan Luna. "Sudah akan pergi sekarang?""Iya. Dan, sepertinya akan pulang sedikit terlambat.""Baiklah." Leon sudah akan berlalu ketika Luna tiba-tiba memanggilnya. "Apa aku boleh pergi? Aku ingin mengajak Kak Emma ke pantai.""Pergilah."Setelah mengambil ponsel pribadinya di atas nakas, Leon berlalu dengan langkah lebar. Luna tahu suaminya sedang terburu-buru, untuk itu ia merasa semakin yakin akan tujuannya hari itu.Melihat Leon sudah hilang di balik pintu kamar, Luna mengulas senyum penuh arti. Kendati semalam Leon langsung menolak saat ia meminta tetap tinggal di rumah oma, setidaknya pria itu tidak pernah tahu apa yang sebenarny
"Kak! Kakak dari mana saja? Aku mencarimu sejak tadi." Melihat Emma berjalan menuju dapur, Luna yang masih berada di lorong—--arah paviliun segera berjalan cepat. Pun dengan Emma yang seketika itu berbalik arah, memilih mendekati sang Nyonya."Aku baru saja dari paviliun. Aku kira kau kembali setelah menemaniku sarapan tadi. Ternyata aku salah." Menunjukkan raut sendu, Luna merasa sangat lelah setelah berjalan kesana-kemari."Maaf Nyonya, saya baru saja menemui Pak Jang." Sontak, bukan hanya terkejut mengetahui Emma dari mana, melainkan mendapati mata merah wanita itu juga membuat Luna curiga sesuatu telah terjadi pada Emma."Apa semua baik-baik saja?" Berubah cemas, Luna membombardir Emma dengan pertanyaan yang seketika itu melintasi kepala. "Dia memarahimu? Pak Jang tahu kita menemui Darma hari itu?" Setelahnya, Luna beralih pada sekitar—khawatir ada orang lain yang ikut mendengar ucapannya. Ternyata benar, Pak Jang tidak bisa dianggap remeh. Pria yang seharusnya ia waspadai sejak
"Turun! Aku bukan dia!"Terkejut dengan suara berat Leon yang berada tepat di dekat telinganya, Luna yang masih setengah sadar, seketika beringsut turun dari atas pangkuan pria yang kini tengah menatap tajam dirinya.Luna bingung, kenapa Leon bisa berucap sedingin itu padanya. Terlebih bagaimana bisa ia tertidur di atas pangkuan pria itu? Bukankah sebelumnya ia tidur di sofa bundar yang ada di balkon? Tapi kenapa sekarang sudah berada di kamar bersama Leon?'Mungkinkah tadi aku tidak sedang bermimpi? Itu artinya dia yang menggendongku kemari?'Namun, masih sibuk mengurutkan peristiwa yang baru saja terjadi, lagi-lagi suara Leon menyentak kesadarannya."Jadi karena dia kau memilih mengurung diri di kamar! Mengabaikan makan malammu?""Dia, dia siapa? Kenapa kau terus menyebut dia yang tidak aku mengerti?" balas Luna ragu. Sejujurnya ia sangat takut telah menyebut nama Darma tanpa disadari saat tertidur tadi. "Aku lelah setelah kembali dari rumah oma, begitu juga selera makanku hilang ka
Luna tidak peduli dengan tatapan heran Leon padanya. Ia hanya semakin bersemangat menghabiskan bubur di mangkuk kedua. Rasanya masih sama, sangat lezat. Sampai-sampai ia ingin menambah lagi untuk yang ketiga kalinya. Luna benar-benar tidak memperhitungkan waktu, apalagi berapa banyak bubur yang sudah berpindah ke dalam perutnya. Karena nyatanya ia masih ingin lagi dan lagi.Sedangkan Leon yang melihat itu tanpa sengaja ikut menelan saliva. Ia mengira hanya alibi, Luna menginginkan makanan lembut tersebut saat hari hampir tengah malam. Lantaran Leon menganggap, Luna hanya ingin mengajaknya keluar agar bisa bertemu dengan anak pedagang bubur yang tempo hari sempat membuatnya naik pitam.Namun, begitu melihat betapa lahapnya Luna, terselip rasa tidak enak hati telah berprasangka buruk. Leon tidak percaya, Luna benar-benar menginginkan makanan yang biasanya dikonsumsi ketika pagi hari tersebut."Aku mau lagi," ucap Luna seraya mengusap mulutnya dengan tisu, setelah mangkok berukuran sedan
Niat hati ingin menyusul Leon di ruang kerjanya yang katanya cuma sebentar, tapi sudah lebih dari satu jam tak juga kunjung keluar—-Luna mengerutkan alis mendapati Pak Jang beserta Emma berjalan tergesa menuju gerbang utama. Ingin memastikan apa yang terjadi di sana, Luna semakin mendekati dinding kaca yang berada di dekat tangga lantai dua.Meyakini sesuatu yang genting pasti sedang terjadi, terlebih ada banyak penjagaan di dalam gerbang dibanding hari biasa."Aku penasaran, ada apa di sana?" Namun, detik berikutnya ia terperanjat dengan pemikirannya sendiri. "Apa jangan-jangan ada yang berdemo? Menuntut ganti rugi pada Leon?""Apa yang kau lakukan dengan berdiri di sana?" Mendengar suara Leon, Luna seketika menoleh ke belakang. "Kemarilah, lihat itu. Sepertinya terjadi sesuatu di gerbang utama."Leon yang masih berdiri di dekat pintu ruang kerjanya setelah ditutup, segera mendekat—ikut penasaran dengan apa yang terjadi sebenarnya."Sepertinya ada yang serius, sampai-sampai Pak Jang
“Bukankah itu Max?” Leon terkejut begitu turun dari mobil, mengetahui keberadaan pria bertato hampir sekujur tubuh itu ada tidak jauh dari tempat pameran. Meski terhalang mobil-mobil para pengunjung, tapi Leon yakin tidak salah mengenali.Gerry yang sudah berdiri di samping Leon ikut memperhatikan arah yang sama, dan sepertinya juga menunjukan reaksi yang tidak jauh berbeda. Mustahil pria seperti Max mau repot-repot menunjukkan diri di tempat keramaian jika memang tidak ada yang diincar.“Oh sial!”Leon bergegas lari saat melihat Luna dari kejauhan. Gerry juga tak mau ketinggalan untuk ikut menyelamatkan sang nyonya.******Luna panik begitu sadar telah kehabisan peluru, sedangkan pria itu sudah semakin mendekati dirinya sambil memainkan pisau lipat milik Emma.“Kau pikir bisa lolos dariku?”“Kita tidak saling mengenal. Kenapa kau begitu ingin membunuhku?” Luna berkata gugup.Melihat pria itu belum menyerah untuk melukai Luna, tentu saja Emma tidak tinggal diam dengan menyambar satu p
“Sepertinya nyonya belum datang.” Gerry ikut memperhatikan pengunjung yang melintas di depan mereka, dan ternyata tidak menemukan Luna ataupun Emma. “Saya akan memberitahu Emma jika Anda sudah menunggu.” Leon mengangguk setuju.Namun, sudah dua kali panggilan Emma tak juga menjawab.“Ada apa?” Leon melihat Gerry bolak-balik menempelkan ponsel ke telinga setelah memastikan layarnya.“Emma tidak menjawab, Tuan.”Leon lantas melirik arloji di pergelangan tangannya. Semalam Luna meminta izin hanya akan satu jam mengunjungi tempat itu, sedangkan sekarang sudah hampir lewat tiga puluh menit Luna belum juga terlihat datang. Sementara Emma malah mengabaikan panggilan Gerry. Leon merasa pasti ada yang tidak beres.“Tuan—”“--kita pergi sekarang.” Belum sempat Gerry menyelesaikan kalimatnya, Leon sudah lebih dulu pergi seraya memberi perintah.*******“Tetap diam di tempat kalian!” Pria itu memperingatkan semua orang. “Dan kau!” Beralih pada Emma yang juga masih bergeming. “Jangan coba-coba me
Tidak mudah mencari tahu kehidupan seorang Leon Smith. Kendati sudah bukan rahasia umum lagi pria itu memiliki kebiasaan bergonta-ganti wanita, tapi sampai detik ini belum ada yang tahu pasti siapa wanita yang sedang bersamanya dan memiliki hubungan khusus dengannya. Atau memang tidak pernah ada komitmen setia dalam diri pria seperti Leon.Selain Ayumi, ada beberapa wanita dari kalangan pebisnis maupun artis yang mengaku pernah memiliki hubungan dekat dengan Leon. Namun, Leon sendiri enggan menanggapi kabar tersebut. Tidak hanya sulit didekati, Leon juga terlalu dingin pada siapa saja, tak terkecuali para pemburu berita yang ingin mengulik kehidupan pribadinya.Sampai ketika berita kehamilan Ayumi mencuat ke publik, tidak sedikit yang menduga Leon lah ayah bayi itu. Pasalnya jika dihitung dari usia kehamilan Ayumi, dan hari dimana wanita itu menyebut dirinya tengah memiliki hubungan Leon. Untuk itu tidak heran jika Leon kandidat yang paling tepat."Belum diketahui dengan siapa dia tin
Hari sudah lewat tengah malam, tapi Luna belum juga bisa tidur setelah keluar dari ruang rahasia Leon dua jam lalu. Luna masih belum tenang memikirkan untuk apa Leon menyimpan senjata sebanyak itu. Belum lagi rasa penasaran akan rahasia Leon, benar-benar membuat Luna terus memikirkannya."Aku ragu kematian Nyonya Lauren ada hubungannya dengan Pak Jang. Dilihat bagaimana sikap Leon begitu menghormati Pak Jang, sepertinya semakin tidak mungkin." Lelah hanya duduk bersandar di ranjang, Luna memilih bangkit lantas berjalan mendekati pintu balkon."Lalu bagaimana dengan Kak Emma? Bukankah mereka berteman?"Pertanyan itu masih saja mengusik Luna, sebagaimana yang ia ketahui, Emma dan Leon bahkan sudah berteman sejak remaja. "Astaga! Atau jangan-jangan dia?"Tiba-tiba saja Luna merasakan panas di sekujur tubuh. Pendingin ruangan seakan tidak mampu menghalau rasa panas yang sekarang menjalar hingga pembuluh darah. Luna lantas membuka satu daun pintu kaca, demi mendapat udara dari luar. "Te
Luna jadi tahu apa fungsi ruang rahasia Leon. Digunakan untuk penyimpanan senjata-senjata mematikan. Ternyata selain dingin dan menyebalkan—Leon memiliki hobi diluar nalar manusia dengan menjadi kolektor senjata api."Apa dia segila itu?" Belum hilang keheranan Luna atas apa yang dilihatnya.Pemikiran sederhana Luna belum bisa memahami untuk apa Leon menyimpan senjata sebanyak itu, dengan jenis yang sama."Tapi tidak ada yang perlu dikhawatirkan setelah aku mengetahui semua ini." Luna kembali bermonolog. "Yang terpenting aku harus bisa membuatnya tunduk, dan menuruti apa saja yang aku inginkan." Untuk pertama kali seringai licik muncul di ujung bibir Luna, mengingat rencana yang sudah tersusun rapi di kepala. Kali ini Luna harus berhasil, lantaran tidak hanya untuk keselamatan dirinya, melainkan juga seseorang yang sampai saat ini masih sering ia khawatirkan. Sadar tidak bisa pergi dari jalan manapun, Luna mulai berpikir cerdas dalam menentukan sikap. Jika tidak bisa melepaskan diri
Luna sudah berdiri di depan pintu ruang rahasia Leon. Setelah mendorongnya, dan terbuka, Luna tidak langsung masuk. Melainkan mencari tahu bagaimana bisa membuka pintu itu lagi ketika dirinya sudah ada di dalam. "Apa mungkin ada tombol tertentu di dalam?" Luna dilema. Masih sangat takut untuk masuk lagi. Tapi juga tidak bisa menunda waktu demi menuntaskan rasa ingin tahunya. Luna harus bergerak cepat sebelum Leon kembali.**********Leon mengendarai sendiri kendaraan roda empatnya. Setelah menyelesaikan pekerjaannya bersama Gerry. Leon memutuskan memutar arah untuk menuju suatu tempat.Suara mesin mobil Leon berdengung sangar, saat membelah jalanan yang sepi di bawah naungan langit cerah. Cepatnya laju kendaraan setara angin beliung yang bisa menyapu jalanan ketika melintas. Leon yang sudah tidak sabar ingin segera sampai tujuan, tidak mengurangi kecepatan sedikitpun meski kondisi jalan menikung. Tak ayal lantaran ketidak sabarannya itu, mobil Leon sempat menabrak pembatas jalan, lan
"Aku bosan di dalam." Sebelum Emma bertanya, Luna lebih dulu menjelaskan. "Terkadang saya juga suka duduk disini untuk sekedar menikmati malam, Nyonya." Emma ikut duduk di kursi seberang Luna. "Melihat langit saat malam hari memberi saya ketenangan." Luna balas tersenyum ringan. Apa yang Emma katakan memang benar, baru saja beberapa menit ada disana, Luna merasa suasana hatinya sedikit membaik. Tidak hanya itu, sejenak Luna juga bisa mengalihkan keingintahuannya akan rahasia Leon. Tapi sayangnya, ketika menatap langit bertabur bintang, mendadak Luna mengingat satu orang yang paling dirindukan. Ibu. Sosok yang paling berpengaruh dalam hidup Luna sampai akhirnya takdir memaksa mereka untuk perpisah. Namun, kendati demikian, Luna merasa sosok itu akan selalu ada di hati serta ingatannya. "Apa benar, setelah meninggal orang bisa melihat kita dari atas sana?" Emma terhenyak, meski tak ayal ikut mendongak. Sejenak Emma berpikir, lantaran belum memiliki jawaban yang tepat. "Saya
"Kau sudah terlalu banyak bicara, Luna. Aku tidak suka itu." Tidak bisa disangkal lagi, memang ada rahasia yang sengaja Leon tutupi. Luna hanya semakin penasaran meski tahu itu bukan urusannya."Kau cuma perlu menjadi istri yang baik, hanya itu."Seharusnya Luna paham, sekalipun hubungan mereka membaik, tetap ada batasan yang harus dipatuhi. Mendapat pengecualian untuk bisa bergerak bebas kemanapun, baik luar maupun dalam mansion, bukan berarti Luna juga berhak mengetahui apa yang Leon rencanakan, juga apa yang menjadi tujuan utamanya selama ini."Segeralah turun untuk sarapan," kata Luna lantas melangkah pergi.Leon tidak menjawab, hanya masih menatap datar kepergian Luna. Sampai kemudian perhatiannya teralihkan oleh suara panggilan dari ponselnya yang ada di atas meja kerja. Leon segera mendekat untuk memastikan siapa yang menelpon."Ada apa?" ujarnya begitu sambungan terhubung."Wan
"Apa dia akan baik-baik saja? Aku lihat lukanya lumayan dalam." Bruri benar-benar khawatir sesuatu yang buruk bisa saja terjadi, setelah dengan mata kepalanya sendiri, ia melihat pria itu menggores lengan yang terbungkus jaket kulit, hingga darah segar merembes keluar."Dia sendiri yang menolak dibawa ke rumah sakit. Aku bisa apa." Darma tidak mau disalahkan setelah niat baiknya ditolak tegas.Berdiri di samping Darma yang sedang mengaduk kopi, Bruri kembali memperhatikan Emma yang duduk sendiri di kursi."Setidaknya lakukan sesuatu agar lukanya tidak infeksi. Jika terjadi sesuatu padanya, kita juga dalam masalah."Alih-alih menanggapi kecemasan Bruri, selesai mengaduk dan meletakkan dua gelas kopi di atas nampan, Darma lantas mengangkat nampan tersebut menggunakan kedua tangan. "Milikmu aduk sendiri," ujarnya memberitahu sebelum berlalu."Baiklah. Kopi hitam di pagi hari memang selalu dinanti," celoteh Bruri setelah sempat mendesak nafas sekali."White kopi untukmu. Maaf hanya ini y