Luna tidak peduli dengan tatapan heran Leon padanya. Ia hanya semakin bersemangat menghabiskan bubur di mangkuk kedua. Rasanya masih sama, sangat lezat. Sampai-sampai ia ingin menambah lagi untuk yang ketiga kalinya. Luna benar-benar tidak memperhitungkan waktu, apalagi berapa banyak bubur yang sudah berpindah ke dalam perutnya. Karena nyatanya ia masih ingin lagi dan lagi.Sedangkan Leon yang melihat itu tanpa sengaja ikut menelan saliva. Ia mengira hanya alibi, Luna menginginkan makanan lembut tersebut saat hari hampir tengah malam. Lantaran Leon menganggap, Luna hanya ingin mengajaknya keluar agar bisa bertemu dengan anak pedagang bubur yang tempo hari sempat membuatnya naik pitam.Namun, begitu melihat betapa lahapnya Luna, terselip rasa tidak enak hati telah berprasangka buruk. Leon tidak percaya, Luna benar-benar menginginkan makanan yang biasanya dikonsumsi ketika pagi hari tersebut."Aku mau lagi," ucap Luna seraya mengusap mulutnya dengan tisu, setelah mangkok berukuran sedan
Niat hati ingin menyusul Leon di ruang kerjanya yang katanya cuma sebentar, tapi sudah lebih dari satu jam tak juga kunjung keluar—-Luna mengerutkan alis mendapati Pak Jang beserta Emma berjalan tergesa menuju gerbang utama. Ingin memastikan apa yang terjadi di sana, Luna semakin mendekati dinding kaca yang berada di dekat tangga lantai dua.Meyakini sesuatu yang genting pasti sedang terjadi, terlebih ada banyak penjagaan di dalam gerbang dibanding hari biasa."Aku penasaran, ada apa di sana?" Namun, detik berikutnya ia terperanjat dengan pemikirannya sendiri. "Apa jangan-jangan ada yang berdemo? Menuntut ganti rugi pada Leon?""Apa yang kau lakukan dengan berdiri di sana?" Mendengar suara Leon, Luna seketika menoleh ke belakang. "Kemarilah, lihat itu. Sepertinya terjadi sesuatu di gerbang utama."Leon yang masih berdiri di dekat pintu ruang kerjanya setelah ditutup, segera mendekat—ikut penasaran dengan apa yang terjadi sebenarnya."Sepertinya ada yang serius, sampai-sampai Pak Jang
Mencengkram kuat seat belt dengan kedua tangan, jantung Luna ikut berpacu kencang lantaran Leon mengajaknya mengunjungi tempat wisata dimana Darma bekerja. Apa yang sebenarnya ingin Leon tunjukan dengan mengajaknya ke sana?Tidak cukup keberanian membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi, keringat dingin mulai membanjiri tubuh Luna.Semakin diselimuti kecemasan saat memasuki halaman parkir, Luna merasa sulit mengendalikan diri, dan nyaris saja tidak bisa bernafas begitu mobil benar-benar berhenti."Ayo turun. Aku sudah lama tidak mengunjungi mereka."Luna masih belum bisa menangkap apa yang Leon sampaikan. Pikirannya terlalu semrawut untuk memprediksi bagaimana reaksi Darma saat melihatnya bersama Leon nanti, begitu juga sebaliknya."Kau tidak mendengarku?""Hah! Ba-baik." Dengan gugup Luna berusaha melepas seat belt yang sialnya menjadi semakin sulit dibuka. "Tekan tombol klipnya, Luna."Namun, nyatanya kegugupan melumpuhkan daya tangkap Luna. Bukannya menekan sepe
Luna merasa buruk lantaran pernah berpikir Leon akan mudah dikendalikan. Selain menyesali keputusan dulu, ia juga mengutuk seseorang yang telah memberinya saran menyesatkan itu. Hingga akhirnya ia yang lugu terperangkap dalam permainannya sendiri.Seandainya dulu Luna bisa lebih tegas menolak, mungkin kemelut yang saat ini ia rasakan tidak akan pernah terjadi."Dengan memberimu kebebasan. Aku pikir kau bisa sedikit menikmati waktu. Tapi ternyata aku salah. Kepercayaan itu justru kau gunakan untuk menemuinya."Merasa tertangkap basah, Luna tidak berniat membela diri. Dengan begitu, ia juga tidak perlu berpura-pura lagi."Apa yang kau pikirkan saat bersamanya? Sedangkan statusmu seorang istri dari pria lain. Apa kau pikir dia akan tetap menginginkanmu?"Rasa bersalah perlahan mulai menyusup. Namun, sebelum menguasai diri sepenuhnya, akal sehat dengan cepat mengingkari. Ia sudah melakukan hal yang benar. Lantaran apa yang terjadi, bukanlah keinginannya."Kau tahu hubungan kami tidak perna
"Siapa gadis itu?""Seseorang membayarnya," jawab Leon singkat penuh ketenangan."Syukurlah. Aku lega mendengarnya." Namun, alih-alih terkesan dengan ungkapan Emma, Leon justru melebarkan tersenyum saat beralih dan mendapati wajah serta penampilan wanita itu mengalami perubahan. "Kau membuatku merinding.""Apa yang terjadi padamu? Kau sedang jatuh cinta?"Emma berdecak sinis, meski sudah menebak sejak awal akan demikian reaksi Leon ketika melihatnya. "Ini semua karena istrimu yang memintanya.""Itu lebih baik. Dengan begitu, laki-laki akan memandangmu sebagai wanita."Enggan menanggapi lagi, Emma hanya melirik singkat Leon yang sudah kembali meluruskan pandangan.Menghadapi kelabilan Luna, rupanya tidak hanya Leon yang sering dibuat kesal. Tetapi Emma juga dituntut harus merubah penampilannya menjadi lebih feminim. Terbiasa mengenakan jaket kulit serta sepatu boot, pun tidak pernah menyentuh wajahnya dengan make up—-kini Emma harus membiasakan diri dengan barang-barang yang selama ini
Jika dengan mengatakan apa yang diinginkan bisa mempermudah keadaan, kenapa harus uring-uringan sebagai cara penyampaian?Tidak semua individu bisa memahami apa yang diinginkan hanya lewat ekspresi maupun gestur tubuh, melainkan butuh penjelasan yang eksplisit. Begitu juga dengan Leon. Kendati hubungan mereka tidak dalam fase baik-baik saja, tetapi Leon yang menyukai ketenangan akan menganggap tidak pernah terjadi apapun pada mereka, jika Luna tetap bisa bersikap baik. Terlebih ketika itu berada di atas ranjang.Ranjang seringkali menjadi solusi memecah masalah dalam rumah tangga, hanya saja tidak sedikit yang mengesampingkan kesenangan itu lantaran adanya tekanan yang sulit dikendalikan. Sampai akhirnya berujung perpisahan.Namun, sekeras apapun Luna mengingkari pernikahan mereka, sekeras itu pula Leon akan menunjukkan kuasanya. Jika ia bisa merebut Luna, maka ia juga pasti bisa mendapatkan hati wanitanya."Ada lagi yang Anda inginkan?""Tidak. Sudah cukup. Kita pulang sekarang."Se
Brak!!"Apa maksudnya ini!"Kerasnya suara gebrakan meja mengejutkan Sesil yang tengah serius berbalas pesan. Ia seketika mendengus begitu mengangkat kepala, dan mengetahui siapa pelakunya."Bukankah sudah kukatakan sebelumnya. Aku tidak mau lagi bekerja untukmu. Jangan khawatir, aku belum menggunakan uang itu sepeserpun. Akan lebih baik jika kau menghitungnya lagi," jelas Sesil lugas. Memilih kembali ke layar gawainya yang masih menyala.Namun, sikap tak acuh Sesil kian memancing amarah wanita di depannya."Bukan itu masalahnya, Sesil. Kenapa kau tiba-tiba berhenti tanpa memberi kejelasan apapun padaku. Katakan saja jika kau meminta lebih dari ini."Melihat Sesil masih cukup tenang, wanita itu bertambah geram. "Sesil!""Pelankan suaramu. Kau menyakiti telingaku." Seraya meletakkan ponsel ke atas meja, Sesil menatap malas wanita itu yang masih menggebu—-seakan ingin melumat Sesil bulat-bulat."Aku tidak bisa mengambil resiko sekecil apapun. Terlebih jika itu menyangkut masa depan Salo
Gugup sekaligus ragu, membuat Luna bimbang hendak membuka pintu ruang kerja Leon, dan menemui empunya yang mungkin saja masih serius mengerjakan sesuatu di dalam sana. Namun, ia tidak bisa menunggu lagi demi mengutarakan apa yang diinginkan. Mengingat esok Leon akan pergi ke luar kota untuk beberapa hari kedepan.Sebenarnya tidak penting akan berapa lama pria itu pergi. Hanya saja, Luna tetap harus mendapat persetujuan Leon agar nanti bisa membungkam mulut semua penjaga, terlebih Pak Jang ketika kembali memperoleh sesuatu yang diinginkan.Setelah beberapa saat menimang, Luna akhirnya memberanikan diri memutar knop pintu. Begitu terbuka, kepalanya menyembul lebih dulu untuk memastikan kondisi di dalam. Terlihat di meja kerjanya, Leon tampak serius memperhatikan layar laptop. "Sepertinya sekarang bukan waktu yang tepat," ujarnya ragu seraya kembali menarik kepala keluar. "Tapi aku tidak bisa menundanya lagi. Aku harus mendapatka itu malam ini juga, atau paling tidak besok pagi sebelum d
“Bukankah itu Max?” Leon terkejut begitu turun dari mobil, mengetahui keberadaan pria bertato hampir sekujur tubuh itu ada tidak jauh dari tempat pameran. Meski terhalang mobil-mobil para pengunjung, tapi Leon yakin tidak salah mengenali.Gerry yang sudah berdiri di samping Leon ikut memperhatikan arah yang sama, dan sepertinya juga menunjukan reaksi yang tidak jauh berbeda. Mustahil pria seperti Max mau repot-repot menunjukkan diri di tempat keramaian jika memang tidak ada yang diincar.“Oh sial!”Leon bergegas lari saat melihat Luna dari kejauhan. Gerry juga tak mau ketinggalan untuk ikut menyelamatkan sang nyonya.******Luna panik begitu sadar telah kehabisan peluru, sedangkan pria itu sudah semakin mendekati dirinya sambil memainkan pisau lipat milik Emma.“Kau pikir bisa lolos dariku?”“Kita tidak saling mengenal. Kenapa kau begitu ingin membunuhku?” Luna berkata gugup.Melihat pria itu belum menyerah untuk melukai Luna, tentu saja Emma tidak tinggal diam dengan menyambar satu p
“Sepertinya nyonya belum datang.” Gerry ikut memperhatikan pengunjung yang melintas di depan mereka, dan ternyata tidak menemukan Luna ataupun Emma. “Saya akan memberitahu Emma jika Anda sudah menunggu.” Leon mengangguk setuju.Namun, sudah dua kali panggilan Emma tak juga menjawab.“Ada apa?” Leon melihat Gerry bolak-balik menempelkan ponsel ke telinga setelah memastikan layarnya.“Emma tidak menjawab, Tuan.”Leon lantas melirik arloji di pergelangan tangannya. Semalam Luna meminta izin hanya akan satu jam mengunjungi tempat itu, sedangkan sekarang sudah hampir lewat tiga puluh menit Luna belum juga terlihat datang. Sementara Emma malah mengabaikan panggilan Gerry. Leon merasa pasti ada yang tidak beres.“Tuan—”“--kita pergi sekarang.” Belum sempat Gerry menyelesaikan kalimatnya, Leon sudah lebih dulu pergi seraya memberi perintah.*******“Tetap diam di tempat kalian!” Pria itu memperingatkan semua orang. “Dan kau!” Beralih pada Emma yang juga masih bergeming. “Jangan coba-coba me
Tidak mudah mencari tahu kehidupan seorang Leon Smith. Kendati sudah bukan rahasia umum lagi pria itu memiliki kebiasaan bergonta-ganti wanita, tapi sampai detik ini belum ada yang tahu pasti siapa wanita yang sedang bersamanya dan memiliki hubungan khusus dengannya. Atau memang tidak pernah ada komitmen setia dalam diri pria seperti Leon.Selain Ayumi, ada beberapa wanita dari kalangan pebisnis maupun artis yang mengaku pernah memiliki hubungan dekat dengan Leon. Namun, Leon sendiri enggan menanggapi kabar tersebut. Tidak hanya sulit didekati, Leon juga terlalu dingin pada siapa saja, tak terkecuali para pemburu berita yang ingin mengulik kehidupan pribadinya.Sampai ketika berita kehamilan Ayumi mencuat ke publik, tidak sedikit yang menduga Leon lah ayah bayi itu. Pasalnya jika dihitung dari usia kehamilan Ayumi, dan hari dimana wanita itu menyebut dirinya tengah memiliki hubungan Leon. Untuk itu tidak heran jika Leon kandidat yang paling tepat."Belum diketahui dengan siapa dia tin
Hari sudah lewat tengah malam, tapi Luna belum juga bisa tidur setelah keluar dari ruang rahasia Leon dua jam lalu. Luna masih belum tenang memikirkan untuk apa Leon menyimpan senjata sebanyak itu. Belum lagi rasa penasaran akan rahasia Leon, benar-benar membuat Luna terus memikirkannya."Aku ragu kematian Nyonya Lauren ada hubungannya dengan Pak Jang. Dilihat bagaimana sikap Leon begitu menghormati Pak Jang, sepertinya semakin tidak mungkin." Lelah hanya duduk bersandar di ranjang, Luna memilih bangkit lantas berjalan mendekati pintu balkon."Lalu bagaimana dengan Kak Emma? Bukankah mereka berteman?"Pertanyan itu masih saja mengusik Luna, sebagaimana yang ia ketahui, Emma dan Leon bahkan sudah berteman sejak remaja. "Astaga! Atau jangan-jangan dia?"Tiba-tiba saja Luna merasakan panas di sekujur tubuh. Pendingin ruangan seakan tidak mampu menghalau rasa panas yang sekarang menjalar hingga pembuluh darah. Luna lantas membuka satu daun pintu kaca, demi mendapat udara dari luar. "Te
Luna jadi tahu apa fungsi ruang rahasia Leon. Digunakan untuk penyimpanan senjata-senjata mematikan. Ternyata selain dingin dan menyebalkan—Leon memiliki hobi diluar nalar manusia dengan menjadi kolektor senjata api."Apa dia segila itu?" Belum hilang keheranan Luna atas apa yang dilihatnya.Pemikiran sederhana Luna belum bisa memahami untuk apa Leon menyimpan senjata sebanyak itu, dengan jenis yang sama."Tapi tidak ada yang perlu dikhawatirkan setelah aku mengetahui semua ini." Luna kembali bermonolog. "Yang terpenting aku harus bisa membuatnya tunduk, dan menuruti apa saja yang aku inginkan." Untuk pertama kali seringai licik muncul di ujung bibir Luna, mengingat rencana yang sudah tersusun rapi di kepala. Kali ini Luna harus berhasil, lantaran tidak hanya untuk keselamatan dirinya, melainkan juga seseorang yang sampai saat ini masih sering ia khawatirkan. Sadar tidak bisa pergi dari jalan manapun, Luna mulai berpikir cerdas dalam menentukan sikap. Jika tidak bisa melepaskan diri
Luna sudah berdiri di depan pintu ruang rahasia Leon. Setelah mendorongnya, dan terbuka, Luna tidak langsung masuk. Melainkan mencari tahu bagaimana bisa membuka pintu itu lagi ketika dirinya sudah ada di dalam. "Apa mungkin ada tombol tertentu di dalam?" Luna dilema. Masih sangat takut untuk masuk lagi. Tapi juga tidak bisa menunda waktu demi menuntaskan rasa ingin tahunya. Luna harus bergerak cepat sebelum Leon kembali.**********Leon mengendarai sendiri kendaraan roda empatnya. Setelah menyelesaikan pekerjaannya bersama Gerry. Leon memutuskan memutar arah untuk menuju suatu tempat.Suara mesin mobil Leon berdengung sangar, saat membelah jalanan yang sepi di bawah naungan langit cerah. Cepatnya laju kendaraan setara angin beliung yang bisa menyapu jalanan ketika melintas. Leon yang sudah tidak sabar ingin segera sampai tujuan, tidak mengurangi kecepatan sedikitpun meski kondisi jalan menikung. Tak ayal lantaran ketidak sabarannya itu, mobil Leon sempat menabrak pembatas jalan, lan
"Aku bosan di dalam." Sebelum Emma bertanya, Luna lebih dulu menjelaskan. "Terkadang saya juga suka duduk disini untuk sekedar menikmati malam, Nyonya." Emma ikut duduk di kursi seberang Luna. "Melihat langit saat malam hari memberi saya ketenangan." Luna balas tersenyum ringan. Apa yang Emma katakan memang benar, baru saja beberapa menit ada disana, Luna merasa suasana hatinya sedikit membaik. Tidak hanya itu, sejenak Luna juga bisa mengalihkan keingintahuannya akan rahasia Leon. Tapi sayangnya, ketika menatap langit bertabur bintang, mendadak Luna mengingat satu orang yang paling dirindukan. Ibu. Sosok yang paling berpengaruh dalam hidup Luna sampai akhirnya takdir memaksa mereka untuk perpisah. Namun, kendati demikian, Luna merasa sosok itu akan selalu ada di hati serta ingatannya. "Apa benar, setelah meninggal orang bisa melihat kita dari atas sana?" Emma terhenyak, meski tak ayal ikut mendongak. Sejenak Emma berpikir, lantaran belum memiliki jawaban yang tepat. "Saya
"Kau sudah terlalu banyak bicara, Luna. Aku tidak suka itu." Tidak bisa disangkal lagi, memang ada rahasia yang sengaja Leon tutupi. Luna hanya semakin penasaran meski tahu itu bukan urusannya."Kau cuma perlu menjadi istri yang baik, hanya itu."Seharusnya Luna paham, sekalipun hubungan mereka membaik, tetap ada batasan yang harus dipatuhi. Mendapat pengecualian untuk bisa bergerak bebas kemanapun, baik luar maupun dalam mansion, bukan berarti Luna juga berhak mengetahui apa yang Leon rencanakan, juga apa yang menjadi tujuan utamanya selama ini."Segeralah turun untuk sarapan," kata Luna lantas melangkah pergi.Leon tidak menjawab, hanya masih menatap datar kepergian Luna. Sampai kemudian perhatiannya teralihkan oleh suara panggilan dari ponselnya yang ada di atas meja kerja. Leon segera mendekat untuk memastikan siapa yang menelpon."Ada apa?" ujarnya begitu sambungan terhubung."Wan
"Apa dia akan baik-baik saja? Aku lihat lukanya lumayan dalam." Bruri benar-benar khawatir sesuatu yang buruk bisa saja terjadi, setelah dengan mata kepalanya sendiri, ia melihat pria itu menggores lengan yang terbungkus jaket kulit, hingga darah segar merembes keluar."Dia sendiri yang menolak dibawa ke rumah sakit. Aku bisa apa." Darma tidak mau disalahkan setelah niat baiknya ditolak tegas.Berdiri di samping Darma yang sedang mengaduk kopi, Bruri kembali memperhatikan Emma yang duduk sendiri di kursi."Setidaknya lakukan sesuatu agar lukanya tidak infeksi. Jika terjadi sesuatu padanya, kita juga dalam masalah."Alih-alih menanggapi kecemasan Bruri, selesai mengaduk dan meletakkan dua gelas kopi di atas nampan, Darma lantas mengangkat nampan tersebut menggunakan kedua tangan. "Milikmu aduk sendiri," ujarnya memberitahu sebelum berlalu."Baiklah. Kopi hitam di pagi hari memang selalu dinanti," celoteh Bruri setelah sempat mendesak nafas sekali."White kopi untukmu. Maaf hanya ini y