Luna merasa buruk lantaran pernah berpikir Leon akan mudah dikendalikan. Selain menyesali keputusan dulu, ia juga mengutuk seseorang yang telah memberinya saran menyesatkan itu. Hingga akhirnya ia yang lugu terperangkap dalam permainannya sendiri.Seandainya dulu Luna bisa lebih tegas menolak, mungkin kemelut yang saat ini ia rasakan tidak akan pernah terjadi."Dengan memberimu kebebasan. Aku pikir kau bisa sedikit menikmati waktu. Tapi ternyata aku salah. Kepercayaan itu justru kau gunakan untuk menemuinya."Merasa tertangkap basah, Luna tidak berniat membela diri. Dengan begitu, ia juga tidak perlu berpura-pura lagi."Apa yang kau pikirkan saat bersamanya? Sedangkan statusmu seorang istri dari pria lain. Apa kau pikir dia akan tetap menginginkanmu?"Rasa bersalah perlahan mulai menyusup. Namun, sebelum menguasai diri sepenuhnya, akal sehat dengan cepat mengingkari. Ia sudah melakukan hal yang benar. Lantaran apa yang terjadi, bukanlah keinginannya."Kau tahu hubungan kami tidak perna
"Siapa gadis itu?""Seseorang membayarnya," jawab Leon singkat penuh ketenangan."Syukurlah. Aku lega mendengarnya." Namun, alih-alih terkesan dengan ungkapan Emma, Leon justru melebarkan tersenyum saat beralih dan mendapati wajah serta penampilan wanita itu mengalami perubahan. "Kau membuatku merinding.""Apa yang terjadi padamu? Kau sedang jatuh cinta?"Emma berdecak sinis, meski sudah menebak sejak awal akan demikian reaksi Leon ketika melihatnya. "Ini semua karena istrimu yang memintanya.""Itu lebih baik. Dengan begitu, laki-laki akan memandangmu sebagai wanita."Enggan menanggapi lagi, Emma hanya melirik singkat Leon yang sudah kembali meluruskan pandangan.Menghadapi kelabilan Luna, rupanya tidak hanya Leon yang sering dibuat kesal. Tetapi Emma juga dituntut harus merubah penampilannya menjadi lebih feminim. Terbiasa mengenakan jaket kulit serta sepatu boot, pun tidak pernah menyentuh wajahnya dengan make up—-kini Emma harus membiasakan diri dengan barang-barang yang selama ini
Jika dengan mengatakan apa yang diinginkan bisa mempermudah keadaan, kenapa harus uring-uringan sebagai cara penyampaian?Tidak semua individu bisa memahami apa yang diinginkan hanya lewat ekspresi maupun gestur tubuh, melainkan butuh penjelasan yang eksplisit. Begitu juga dengan Leon. Kendati hubungan mereka tidak dalam fase baik-baik saja, tetapi Leon yang menyukai ketenangan akan menganggap tidak pernah terjadi apapun pada mereka, jika Luna tetap bisa bersikap baik. Terlebih ketika itu berada di atas ranjang.Ranjang seringkali menjadi solusi memecah masalah dalam rumah tangga, hanya saja tidak sedikit yang mengesampingkan kesenangan itu lantaran adanya tekanan yang sulit dikendalikan. Sampai akhirnya berujung perpisahan.Namun, sekeras apapun Luna mengingkari pernikahan mereka, sekeras itu pula Leon akan menunjukkan kuasanya. Jika ia bisa merebut Luna, maka ia juga pasti bisa mendapatkan hati wanitanya."Ada lagi yang Anda inginkan?""Tidak. Sudah cukup. Kita pulang sekarang."Se
Brak!!"Apa maksudnya ini!"Kerasnya suara gebrakan meja mengejutkan Sesil yang tengah serius berbalas pesan. Ia seketika mendengus begitu mengangkat kepala, dan mengetahui siapa pelakunya."Bukankah sudah kukatakan sebelumnya. Aku tidak mau lagi bekerja untukmu. Jangan khawatir, aku belum menggunakan uang itu sepeserpun. Akan lebih baik jika kau menghitungnya lagi," jelas Sesil lugas. Memilih kembali ke layar gawainya yang masih menyala.Namun, sikap tak acuh Sesil kian memancing amarah wanita di depannya."Bukan itu masalahnya, Sesil. Kenapa kau tiba-tiba berhenti tanpa memberi kejelasan apapun padaku. Katakan saja jika kau meminta lebih dari ini."Melihat Sesil masih cukup tenang, wanita itu bertambah geram. "Sesil!""Pelankan suaramu. Kau menyakiti telingaku." Seraya meletakkan ponsel ke atas meja, Sesil menatap malas wanita itu yang masih menggebu—-seakan ingin melumat Sesil bulat-bulat."Aku tidak bisa mengambil resiko sekecil apapun. Terlebih jika itu menyangkut masa depan Salo
Gugup sekaligus ragu, membuat Luna bimbang hendak membuka pintu ruang kerja Leon, dan menemui empunya yang mungkin saja masih serius mengerjakan sesuatu di dalam sana. Namun, ia tidak bisa menunggu lagi demi mengutarakan apa yang diinginkan. Mengingat esok Leon akan pergi ke luar kota untuk beberapa hari kedepan.Sebenarnya tidak penting akan berapa lama pria itu pergi. Hanya saja, Luna tetap harus mendapat persetujuan Leon agar nanti bisa membungkam mulut semua penjaga, terlebih Pak Jang ketika kembali memperoleh sesuatu yang diinginkan.Setelah beberapa saat menimang, Luna akhirnya memberanikan diri memutar knop pintu. Begitu terbuka, kepalanya menyembul lebih dulu untuk memastikan kondisi di dalam. Terlihat di meja kerjanya, Leon tampak serius memperhatikan layar laptop. "Sepertinya sekarang bukan waktu yang tepat," ujarnya ragu seraya kembali menarik kepala keluar. "Tapi aku tidak bisa menundanya lagi. Aku harus mendapatka itu malam ini juga, atau paling tidak besok pagi sebelum d
Lagi-lagi akal sehat dan hati Luna tidak bisa sinkron. Keduanya bertentangan dengan apa yang Leon lakukan pada tubuhnya sekarang. Seharusnya hal tersebut tidak perlu terjadi, mengingat hanya seks yang Leon inginkan darinya—-mengabaikan perasaan yang sebenarnya tengah dilanda duka nestapa. Semestinya Luna menolak, lantaran setiap kali Leon menjamah tubuhnya, ketidakrelaan selalu meronta di dalam sana. Tapi apa yang terjadi sekarang, sungguh berbeda. Luna justru mendamba Leon segera menenggelamkan dirinya hingga mereka bisa menyelamai kenikmatan bersama. Apa yang terjadi?"Le," rintih Luna gelisah. Pria itu sudah sangat sinting dengan terus mempermainkan Luna tanpa berniat berhenti meski tahu wanitanya sudah kehilangan akal."Oh.. ." Belum juga berniat berhenti, Leon benar-benar tidak memperdulikan Luna yang sudah luluh lantah sejak beberapa saat lalu. Pria kejam itu telah berhasil memporak porandakan pertahanan gadis lugu yang hanyut dalam permainan kotornya."Hentikan. Aku mohon."
"Apa dia belum berniat turun?"Bertanya pada Leon, tetapi pandangan Emma tertuju ke lantai dua. Luna-lah yang dimaksud. Pasalnya tidak biasanya sang nyonya tidak ikut turun untuk sarapan. Sedikit kekhawatiran Emma rasakan. Namun, melihat ketenangan Leon, Emma bisa menyimpulkan tidak ada yang serius dengan pasangan suami-istri tersebut."Sepertinya akan terlambat." Leon menjawab tak acuh setelah mengusap mulut menggunakan tisu. Ia baru menyelesaikan sarapannya.Emma mengangguk sekali saat beralih pada Leon yang tengah melirik arloji di tangannya. "Kau sudah akan pergi?""Masih ada sepuluh menit lagi.""Tapi aku belum melihat asistenmu?""Dia ada di paviliun."Sebenarnya Emma merasa heran, sekaligus janggal. Setiap datang, Gerry selalu menyempatkan diri mendatangi paviliun. Seolah ada yang menunggunya di sana. Tapi siapa?Jangankan dirinya, Pak Jang saja tidak tahu apa yang sebenarnya Gerry tunggu. Tapi dari desas-desus yang sempat beredar, seorang pelayan pernah memergoki pria bertubuh
"Apa ini, Kak?"Beralih dari paper bag di depannya, Luna menatap penuh tanya Emma yang baru meletakan benda tersebut di atas meja. "Itu ponsel Anda, Nyonya. Tuan Le sudah kembali memberi izin Anda menggunakan alat komunikasi," balas Emma setelah berdiri dengan benar.Alih-alih senang, wajah Luna justru merengut kecewa. "Tapi aku menginginkan ponselku, Kak. Bukan yang baru." Sampai butuh beberapa kali Luna mengatur nafas, agar kekecewaan itu tidak meruntuhkan benteng hatinya. Ia sudah tidak ingin menangis lagi, terlebih jika itu berhubungan dengan manusia bernama Leon."Mungkin sebagian orang menganggap ponsel benda yang sangat mudah diganti, selain dengan fitur yang lebih memadai, ponsel keluaran terbaru juga selalu diminati. Sehingga tidak heran jika satu orang saja bisa memiliki dua bahkan lebih benda itu, "lanjut Luna. "Apalagi bagi orang seperti Leon, ponsel dengan harga puluhan juta pun tidak ada artinya. Tapi tidak untuk kaum rendahan sepertiku.""Untuk ponsel dengan harga tere