Niat hati ingin menyusul Leon di ruang kerjanya yang katanya cuma sebentar, tapi sudah lebih dari satu jam tak juga kunjung keluar—-Luna mengerutkan alis mendapati Pak Jang beserta Emma berjalan tergesa menuju gerbang utama. Ingin memastikan apa yang terjadi di sana, Luna semakin mendekati dinding kaca yang berada di dekat tangga lantai dua.Meyakini sesuatu yang genting pasti sedang terjadi, terlebih ada banyak penjagaan di dalam gerbang dibanding hari biasa."Aku penasaran, ada apa di sana?" Namun, detik berikutnya ia terperanjat dengan pemikirannya sendiri. "Apa jangan-jangan ada yang berdemo? Menuntut ganti rugi pada Leon?""Apa yang kau lakukan dengan berdiri di sana?" Mendengar suara Leon, Luna seketika menoleh ke belakang. "Kemarilah, lihat itu. Sepertinya terjadi sesuatu di gerbang utama."Leon yang masih berdiri di dekat pintu ruang kerjanya setelah ditutup, segera mendekat—ikut penasaran dengan apa yang terjadi sebenarnya."Sepertinya ada yang serius, sampai-sampai Pak Jang
Mencengkram kuat seat belt dengan kedua tangan, jantung Luna ikut berpacu kencang lantaran Leon mengajaknya mengunjungi tempat wisata dimana Darma bekerja. Apa yang sebenarnya ingin Leon tunjukan dengan mengajaknya ke sana?Tidak cukup keberanian membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi, keringat dingin mulai membanjiri tubuh Luna.Semakin diselimuti kecemasan saat memasuki halaman parkir, Luna merasa sulit mengendalikan diri, dan nyaris saja tidak bisa bernafas begitu mobil benar-benar berhenti."Ayo turun. Aku sudah lama tidak mengunjungi mereka."Luna masih belum bisa menangkap apa yang Leon sampaikan. Pikirannya terlalu semrawut untuk memprediksi bagaimana reaksi Darma saat melihatnya bersama Leon nanti, begitu juga sebaliknya."Kau tidak mendengarku?""Hah! Ba-baik." Dengan gugup Luna berusaha melepas seat belt yang sialnya menjadi semakin sulit dibuka. "Tekan tombol klipnya, Luna."Namun, nyatanya kegugupan melumpuhkan daya tangkap Luna. Bukannya menekan sepe
Luna merasa buruk lantaran pernah berpikir Leon akan mudah dikendalikan. Selain menyesali keputusan dulu, ia juga mengutuk seseorang yang telah memberinya saran menyesatkan itu. Hingga akhirnya ia yang lugu terperangkap dalam permainannya sendiri.Seandainya dulu Luna bisa lebih tegas menolak, mungkin kemelut yang saat ini ia rasakan tidak akan pernah terjadi."Dengan memberimu kebebasan. Aku pikir kau bisa sedikit menikmati waktu. Tapi ternyata aku salah. Kepercayaan itu justru kau gunakan untuk menemuinya."Merasa tertangkap basah, Luna tidak berniat membela diri. Dengan begitu, ia juga tidak perlu berpura-pura lagi."Apa yang kau pikirkan saat bersamanya? Sedangkan statusmu seorang istri dari pria lain. Apa kau pikir dia akan tetap menginginkanmu?"Rasa bersalah perlahan mulai menyusup. Namun, sebelum menguasai diri sepenuhnya, akal sehat dengan cepat mengingkari. Ia sudah melakukan hal yang benar. Lantaran apa yang terjadi, bukanlah keinginannya."Kau tahu hubungan kami tidak perna
"Siapa gadis itu?""Seseorang membayarnya," jawab Leon singkat penuh ketenangan."Syukurlah. Aku lega mendengarnya." Namun, alih-alih terkesan dengan ungkapan Emma, Leon justru melebarkan tersenyum saat beralih dan mendapati wajah serta penampilan wanita itu mengalami perubahan. "Kau membuatku merinding.""Apa yang terjadi padamu? Kau sedang jatuh cinta?"Emma berdecak sinis, meski sudah menebak sejak awal akan demikian reaksi Leon ketika melihatnya. "Ini semua karena istrimu yang memintanya.""Itu lebih baik. Dengan begitu, laki-laki akan memandangmu sebagai wanita."Enggan menanggapi lagi, Emma hanya melirik singkat Leon yang sudah kembali meluruskan pandangan.Menghadapi kelabilan Luna, rupanya tidak hanya Leon yang sering dibuat kesal. Tetapi Emma juga dituntut harus merubah penampilannya menjadi lebih feminim. Terbiasa mengenakan jaket kulit serta sepatu boot, pun tidak pernah menyentuh wajahnya dengan make up—-kini Emma harus membiasakan diri dengan barang-barang yang selama ini
Jika dengan mengatakan apa yang diinginkan bisa mempermudah keadaan, kenapa harus uring-uringan sebagai cara penyampaian?Tidak semua individu bisa memahami apa yang diinginkan hanya lewat ekspresi maupun gestur tubuh, melainkan butuh penjelasan yang eksplisit. Begitu juga dengan Leon. Kendati hubungan mereka tidak dalam fase baik-baik saja, tetapi Leon yang menyukai ketenangan akan menganggap tidak pernah terjadi apapun pada mereka, jika Luna tetap bisa bersikap baik. Terlebih ketika itu berada di atas ranjang.Ranjang seringkali menjadi solusi memecah masalah dalam rumah tangga, hanya saja tidak sedikit yang mengesampingkan kesenangan itu lantaran adanya tekanan yang sulit dikendalikan. Sampai akhirnya berujung perpisahan.Namun, sekeras apapun Luna mengingkari pernikahan mereka, sekeras itu pula Leon akan menunjukkan kuasanya. Jika ia bisa merebut Luna, maka ia juga pasti bisa mendapatkan hati wanitanya."Ada lagi yang Anda inginkan?""Tidak. Sudah cukup. Kita pulang sekarang."Se
Brak!!"Apa maksudnya ini!"Kerasnya suara gebrakan meja mengejutkan Sesil yang tengah serius berbalas pesan. Ia seketika mendengus begitu mengangkat kepala, dan mengetahui siapa pelakunya."Bukankah sudah kukatakan sebelumnya. Aku tidak mau lagi bekerja untukmu. Jangan khawatir, aku belum menggunakan uang itu sepeserpun. Akan lebih baik jika kau menghitungnya lagi," jelas Sesil lugas. Memilih kembali ke layar gawainya yang masih menyala.Namun, sikap tak acuh Sesil kian memancing amarah wanita di depannya."Bukan itu masalahnya, Sesil. Kenapa kau tiba-tiba berhenti tanpa memberi kejelasan apapun padaku. Katakan saja jika kau meminta lebih dari ini."Melihat Sesil masih cukup tenang, wanita itu bertambah geram. "Sesil!""Pelankan suaramu. Kau menyakiti telingaku." Seraya meletakkan ponsel ke atas meja, Sesil menatap malas wanita itu yang masih menggebu—-seakan ingin melumat Sesil bulat-bulat."Aku tidak bisa mengambil resiko sekecil apapun. Terlebih jika itu menyangkut masa depan Salo
Gugup sekaligus ragu, membuat Luna bimbang hendak membuka pintu ruang kerja Leon, dan menemui empunya yang mungkin saja masih serius mengerjakan sesuatu di dalam sana. Namun, ia tidak bisa menunggu lagi demi mengutarakan apa yang diinginkan. Mengingat esok Leon akan pergi ke luar kota untuk beberapa hari kedepan.Sebenarnya tidak penting akan berapa lama pria itu pergi. Hanya saja, Luna tetap harus mendapat persetujuan Leon agar nanti bisa membungkam mulut semua penjaga, terlebih Pak Jang ketika kembali memperoleh sesuatu yang diinginkan.Setelah beberapa saat menimang, Luna akhirnya memberanikan diri memutar knop pintu. Begitu terbuka, kepalanya menyembul lebih dulu untuk memastikan kondisi di dalam. Terlihat di meja kerjanya, Leon tampak serius memperhatikan layar laptop. "Sepertinya sekarang bukan waktu yang tepat," ujarnya ragu seraya kembali menarik kepala keluar. "Tapi aku tidak bisa menundanya lagi. Aku harus mendapatka itu malam ini juga, atau paling tidak besok pagi sebelum d
Lagi-lagi akal sehat dan hati Luna tidak bisa sinkron. Keduanya bertentangan dengan apa yang Leon lakukan pada tubuhnya sekarang. Seharusnya hal tersebut tidak perlu terjadi, mengingat hanya seks yang Leon inginkan darinya—-mengabaikan perasaan yang sebenarnya tengah dilanda duka nestapa. Semestinya Luna menolak, lantaran setiap kali Leon menjamah tubuhnya, ketidakrelaan selalu meronta di dalam sana. Tapi apa yang terjadi sekarang, sungguh berbeda. Luna justru mendamba Leon segera menenggelamkan dirinya hingga mereka bisa menyelamai kenikmatan bersama. Apa yang terjadi?"Le," rintih Luna gelisah. Pria itu sudah sangat sinting dengan terus mempermainkan Luna tanpa berniat berhenti meski tahu wanitanya sudah kehilangan akal."Oh.. ." Belum juga berniat berhenti, Leon benar-benar tidak memperdulikan Luna yang sudah luluh lantah sejak beberapa saat lalu. Pria kejam itu telah berhasil memporak porandakan pertahanan gadis lugu yang hanyut dalam permainan kotornya."Hentikan. Aku mohon."