"Anda mencari siapa, Nona?"Namun, bukannya menjawab, wanita itu hanya menoleh singkat saat seorang pria bertubuh besar dan tegap menyapanya."Yang pasti aku tidak mencarimu. Cepat buka gerbangnya! Aku mau masuk."Mendesah nafas kasar, pria itu menelisik dari atas hingga bawah penampilan wanita seksi yang tampak begitu percaya diri berdiri di samping mobil mewahnya. Tidak dipungkiri dari stylishnya yang modis, wanita itu terlihat sangat cantik dan menggoda. Tapi sayang, bukan itu alsannya tetap bergeming di tempat, melainkan memastikan untuk apa wanita itu datang."Memangnya siapa Anda sampai saya harus membukakan gerbang?""Kau!" Terhenyak dengan pertanyaan itu, si wanita lantas melepas kacamata hitam yang menutupi hampir setelah wajahnya. "Kau akan tahu nanti setelah tuanmu melihatku," ujarnya sinis.Alih-alih terkesan, pria itu kembali mendesak nafas. Jengah. Wanita itu sengaja memberi jawaban yang menurutkan omong kosong. "Kalau begitu silahkan pergi. Kami tidak bisa membiarkan or
Luna memasukan kembali kapsul yang hampir ditelan ke dalam laci, begitu mendengar suara Leon sudah akan keluar dari walk in closet. Saat knop pintu diputar, Luna seketika terjingkat berdiri. Bersikap senormal mungkin di hadapan Leon yang bahkan belum melihat ke arahnya."Aku akan turun sekarang.""Apa Gerry sudah datang?" Leon mengangguk sesampainya di depan Luna. "Sudah akan pergi sekarang?""Iya. Dan, sepertinya akan pulang sedikit terlambat.""Baiklah." Leon sudah akan berlalu ketika Luna tiba-tiba memanggilnya. "Apa aku boleh pergi? Aku ingin mengajak Kak Emma ke pantai.""Pergilah."Setelah mengambil ponsel pribadinya di atas nakas, Leon berlalu dengan langkah lebar. Luna tahu suaminya sedang terburu-buru, untuk itu ia merasa semakin yakin akan tujuannya hari itu.Melihat Leon sudah hilang di balik pintu kamar, Luna mengulas senyum penuh arti. Kendati semalam Leon langsung menolak saat ia meminta tetap tinggal di rumah oma, setidaknya pria itu tidak pernah tahu apa yang sebenarny
"Kak! Kakak dari mana saja? Aku mencarimu sejak tadi." Melihat Emma berjalan menuju dapur, Luna yang masih berada di lorong—--arah paviliun segera berjalan cepat. Pun dengan Emma yang seketika itu berbalik arah, memilih mendekati sang Nyonya."Aku baru saja dari paviliun. Aku kira kau kembali setelah menemaniku sarapan tadi. Ternyata aku salah." Menunjukkan raut sendu, Luna merasa sangat lelah setelah berjalan kesana-kemari."Maaf Nyonya, saya baru saja menemui Pak Jang." Sontak, bukan hanya terkejut mengetahui Emma dari mana, melainkan mendapati mata merah wanita itu juga membuat Luna curiga sesuatu telah terjadi pada Emma."Apa semua baik-baik saja?" Berubah cemas, Luna membombardir Emma dengan pertanyaan yang seketika itu melintasi kepala. "Dia memarahimu? Pak Jang tahu kita menemui Darma hari itu?" Setelahnya, Luna beralih pada sekitar—khawatir ada orang lain yang ikut mendengar ucapannya. Ternyata benar, Pak Jang tidak bisa dianggap remeh. Pria yang seharusnya ia waspadai sejak
"Turun! Aku bukan dia!"Terkejut dengan suara berat Leon yang berada tepat di dekat telinganya, Luna yang masih setengah sadar, seketika beringsut turun dari atas pangkuan pria yang kini tengah menatap tajam dirinya.Luna bingung, kenapa Leon bisa berucap sedingin itu padanya. Terlebih bagaimana bisa ia tertidur di atas pangkuan pria itu? Bukankah sebelumnya ia tidur di sofa bundar yang ada di balkon? Tapi kenapa sekarang sudah berada di kamar bersama Leon?'Mungkinkah tadi aku tidak sedang bermimpi? Itu artinya dia yang menggendongku kemari?'Namun, masih sibuk mengurutkan peristiwa yang baru saja terjadi, lagi-lagi suara Leon menyentak kesadarannya."Jadi karena dia kau memilih mengurung diri di kamar! Mengabaikan makan malammu?""Dia, dia siapa? Kenapa kau terus menyebut dia yang tidak aku mengerti?" balas Luna ragu. Sejujurnya ia sangat takut telah menyebut nama Darma tanpa disadari saat tertidur tadi. "Aku lelah setelah kembali dari rumah oma, begitu juga selera makanku hilang ka
Luna tidak peduli dengan tatapan heran Leon padanya. Ia hanya semakin bersemangat menghabiskan bubur di mangkuk kedua. Rasanya masih sama, sangat lezat. Sampai-sampai ia ingin menambah lagi untuk yang ketiga kalinya. Luna benar-benar tidak memperhitungkan waktu, apalagi berapa banyak bubur yang sudah berpindah ke dalam perutnya. Karena nyatanya ia masih ingin lagi dan lagi.Sedangkan Leon yang melihat itu tanpa sengaja ikut menelan saliva. Ia mengira hanya alibi, Luna menginginkan makanan lembut tersebut saat hari hampir tengah malam. Lantaran Leon menganggap, Luna hanya ingin mengajaknya keluar agar bisa bertemu dengan anak pedagang bubur yang tempo hari sempat membuatnya naik pitam.Namun, begitu melihat betapa lahapnya Luna, terselip rasa tidak enak hati telah berprasangka buruk. Leon tidak percaya, Luna benar-benar menginginkan makanan yang biasanya dikonsumsi ketika pagi hari tersebut."Aku mau lagi," ucap Luna seraya mengusap mulutnya dengan tisu, setelah mangkok berukuran sedan
Niat hati ingin menyusul Leon di ruang kerjanya yang katanya cuma sebentar, tapi sudah lebih dari satu jam tak juga kunjung keluar—-Luna mengerutkan alis mendapati Pak Jang beserta Emma berjalan tergesa menuju gerbang utama. Ingin memastikan apa yang terjadi di sana, Luna semakin mendekati dinding kaca yang berada di dekat tangga lantai dua.Meyakini sesuatu yang genting pasti sedang terjadi, terlebih ada banyak penjagaan di dalam gerbang dibanding hari biasa."Aku penasaran, ada apa di sana?" Namun, detik berikutnya ia terperanjat dengan pemikirannya sendiri. "Apa jangan-jangan ada yang berdemo? Menuntut ganti rugi pada Leon?""Apa yang kau lakukan dengan berdiri di sana?" Mendengar suara Leon, Luna seketika menoleh ke belakang. "Kemarilah, lihat itu. Sepertinya terjadi sesuatu di gerbang utama."Leon yang masih berdiri di dekat pintu ruang kerjanya setelah ditutup, segera mendekat—ikut penasaran dengan apa yang terjadi sebenarnya."Sepertinya ada yang serius, sampai-sampai Pak Jang
Mencengkram kuat seat belt dengan kedua tangan, jantung Luna ikut berpacu kencang lantaran Leon mengajaknya mengunjungi tempat wisata dimana Darma bekerja. Apa yang sebenarnya ingin Leon tunjukan dengan mengajaknya ke sana?Tidak cukup keberanian membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi, keringat dingin mulai membanjiri tubuh Luna.Semakin diselimuti kecemasan saat memasuki halaman parkir, Luna merasa sulit mengendalikan diri, dan nyaris saja tidak bisa bernafas begitu mobil benar-benar berhenti."Ayo turun. Aku sudah lama tidak mengunjungi mereka."Luna masih belum bisa menangkap apa yang Leon sampaikan. Pikirannya terlalu semrawut untuk memprediksi bagaimana reaksi Darma saat melihatnya bersama Leon nanti, begitu juga sebaliknya."Kau tidak mendengarku?""Hah! Ba-baik." Dengan gugup Luna berusaha melepas seat belt yang sialnya menjadi semakin sulit dibuka. "Tekan tombol klipnya, Luna."Namun, nyatanya kegugupan melumpuhkan daya tangkap Luna. Bukannya menekan sepe
Luna merasa buruk lantaran pernah berpikir Leon akan mudah dikendalikan. Selain menyesali keputusan dulu, ia juga mengutuk seseorang yang telah memberinya saran menyesatkan itu. Hingga akhirnya ia yang lugu terperangkap dalam permainannya sendiri.Seandainya dulu Luna bisa lebih tegas menolak, mungkin kemelut yang saat ini ia rasakan tidak akan pernah terjadi."Dengan memberimu kebebasan. Aku pikir kau bisa sedikit menikmati waktu. Tapi ternyata aku salah. Kepercayaan itu justru kau gunakan untuk menemuinya."Merasa tertangkap basah, Luna tidak berniat membela diri. Dengan begitu, ia juga tidak perlu berpura-pura lagi."Apa yang kau pikirkan saat bersamanya? Sedangkan statusmu seorang istri dari pria lain. Apa kau pikir dia akan tetap menginginkanmu?"Rasa bersalah perlahan mulai menyusup. Namun, sebelum menguasai diri sepenuhnya, akal sehat dengan cepat mengingkari. Ia sudah melakukan hal yang benar. Lantaran apa yang terjadi, bukanlah keinginannya."Kau tahu hubungan kami tidak perna