Luna tidak tahu pasti apakah yang didapatkan sekarang merupakan sebuah keberuntungan, atau justru balasan atas apa yang sudah ia serahkan. Tidak mungkin bisa melepaskan diri begitu saja dari cengkraman Leon, Luna memilih berdamai dengan keadaan. Setidaknya menerima pernikahan yang sudah dijalani beberapa bulan terakhir dengan pria itu, jauh lebih baik daripada terus menyesali apa yang sudah terjadi. Karena itu hanya akan membuang-buang waktu.
Lantas, bagaimana dengan Darma?Biarlah nama itu tersimpan indah di sudut hati, Luna hanya perlu menunggu, dan berharap ada keajaiban yang bisa membawanya kembali pada pria itu. Meski harapan hanya sehelai rambut.Sekarang Luna hanya ingin mengikuti arus. Sebab, sadar diri untuk melawan arus itu sesuatu yang mustahil bisa dilakukan. Selebihnya biarlah garis hidup yang menentukan. Akan seperti apa kelak hidupnya di masa depan. Tetap menjadi pemuas hasrat Leon dengan status istri? Atau justru terhempas beSetelah kemarin hampir seharian menemani Luna ke makam ibu serta adiknya, keesokan hari—tepatnya setelah sarapan, mobil Leon meninggalkan mansion. Pria itu ingin mengajak Luna mendatangi suatu tempat. Namun, dimana pastinya tidak dijelaskan lebih spesifik. Leon tampak begitu tenang mengendarai kendaraannya membelah jalanan kota. Dibalik kacamata hitam yang bertengger manis di hidungnya yang mancung, pandangan pria itu lurus ke depan. Hanya sesekali ia melirik ke samping kiri—dimana Luna duduk dan tengah memperhatikan apa saja yang dilalui. Setidaknya Leon merasa lega mengetahui Luna cukup menikmati perjalan mereka. Awalnya Leon sempat khawatir, Luna akan banyak mengeluh di tengah perjalanan yang memang membutuhkan waktu lebih dari satu jam menuju tempat tujuan.Tapi ternyata yang terjadi, Luna sangat antusias. Pengalaman pertama meninggalkan kota kelahiran sekaligus tempat dirinya dibesarkan, Luna tak henti-hentinya berdecak kagum ketika melintasi padang
Luna tampak sangat kebingungan dengan menatap wanita tua di depannya itu beserta Leon secara bergantian. Berpikir kenapa wanita itu menyebut dirinya seakan pernah datang sebelumnya. Padahal jelas-jelas ia baru pertama kali berkunjung ke tempat asing tersebut, dan siapa wanita tua itu juga Luna tidak tahu. Rasa kesalnya bertambah manakala mengetahui Leon tak acuh, dan lebih mementingkan menerima panggilan. Alih-alih menampakkan diri lebih dulu ke hadapan wanita tua itu, agar kesalahpahaman tidak terjadi."Siapa yang kau bawa sekarang, hah! Apa kau menganggap aku akan berubah pikiran setelah tahu kau datang tidak sendiri?"Luna menghela nafas pelan sebelum menjawab. Ia tidak boleh terpancing. Biar bagaimanapun wanita tua itu patut dihormati, tidak peduli siapapun dirinya. "Maaf, Nyonya. Tapi ini kedatangan pertama saya. Bagaimana mungkin Anda bisa mengatakan—""----wait!" sela wanita itu tiba-tiba seraya mengangkat tangan. Lantas, berteriak ke arah dalam. "Tatik! Ambilkan kacamataku!"
"Siasat apa yang kau mainkan sampai dia mau menikah denganmu?""Tidak ada. Memangnya apa yang Oma pikirkan tentangku?" "Cih! Kau pikir aku akan percaya begitu saja?"Mendesak alis tinggi, Leon memilih tidak menanggapi kesinisan oma. Setidaknya setelah sedikit berbincang dengan Luna tadi, sikap wanita yang sudah lebih dari tujuh dekade itu tidak segarang sebelumnya. Leon juga melihat Luna mulai nyaman dengan oma.Kendati tidak lagi khawatir akan sikap oma pada Luna, tetapi untuk menjelaskan alasannya menikahi gadis itu, tidak akan Leon lakukan sekarang. Membiarkan dulu oma tidak mengetahui apapun sampai kebenaran terkuak, dan membuktikan segalanya."Kau masih menerima banyak pesanan?" Melihat tangan keriput oma masih sangat terampil merajut manik-manik, Leon curiga oma masih banjir pesanan seperti dua tahun lalu."Hanya beberapa dari mereka yang mau sabar menunggu.""Sudah saatnya kau istirahat. Ikutlah kami ke Kota. Kami akan mengurusmu di sana." Perlahan Leon menyadarkan punggung, me
"Le, untuk apa kau mengajakku ke tempat ini?""Kau akan tahu nanti setelah masuk, ayo."Selain hanya bisa menurut saat Leon membawanya melewati pagar besi, sebenarnya Luna tidak habis pikir kenapa justru diajak ke tempat itu, alih-alih langsung menemui ibu mertuanya seperti yang dijelaskan semalam. Atau mungkin mereka hanya singgah, sebelum menemui ibu dari suaminya itu?Bukit LaurenNaasnya, baru berada di depan pintu masuknya saja, sebenarnya hati Luna sudah dibuat langsung terpana. Apalagi ketika ia tiba di puncak sana?Berada di bagian tepi barat perkampungan yang dikelilingi hamparan sawah, bisa dibayangkan betapa indah panorama yang tersuguh di atas sana, dan dipastikan akan semakin memikat hati ketika ada di sana saat hari menjelang petang. Membayangkan itu, Luna pun jadi tak sabar."Le, bukankah kau bilang ibumu juga tinggal di bukit? Tapi yang pasti bukan bukit ini, 'kan?"Pasalnya saat menaiki tangga menuju puncak, seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan. Padahal jika diteli
Kecemasan itu masih Luna rasakan meski mereka sudah meninggalkan Bukit Lauren. Naasnya sekarang ia berubah waspada, bahkan untuk sekedar menatap wajah Leon yang berselimut kegelapan—sama seperti yang kala itu ia temui, nyalinya mendadak menciut. Wajah itu terlalu mengerikan. Selain itu Leon juga lebih banyak diam, setelah tiba-tiba pergi tanpa mengajaknya. Sikap yang berbanding terbalik ketika mereka datang.Namun, kendati demikian, Luna tidak menyesal sudah melangkah sejauh ini dengan pria itu. Lantaran apapun yang ia korbankan sekarang, semua demi kebahagiaannya di masa depan."Le, aku rasa ini bukan jalan menuju rumah oma?"Satu detik, dua detik hingga hampir satu menit menunggu, tidak juga ada jawaban. Leon mengunci mulutnya rapat-rapat. Sikap dingin kembali pria itu tunjukan pasca termenung lama di dekat pusaran ibunya. Mungkinkah rasa itu kembali muncul, hingga membuat Leon berubah dingin seperti sekarang?Mencoba memahami situasi yang terjadi dengan diam. Lantaran tidak ingin
"Apa kita akan mengunjungi seseorang?"Setelah mati-matian melawan rasa takut saat melewati jembatan, sekarang Luna bisa bernafas lega. Menatap bangungan yang jika dilihat dari struktur bentuk serta ukurannya seperti hunian, anehnya saat diperhatikan tampak sepi. Tidak menemukan aktivitas apapun, seperti tak berprnghuni. Demi menuntaskan rasa ingin tahunya, Luna kembali berucap, "mungkinkah rumah-rumah ini sengaja ditinggalkan oleh pemiliknya?""Kau salah. Ini bukan rumah warga. Melainkan tempat pengrajin tembikar.""Hah? Pengrajin tembikar?" Wajah cengo Luna beralih pada Leon sebentar, belum akhirnya kembali memperhatikan sekitar. "Apa tembikar sejenis gerabah?" "Banyak yang menganggap keduanya sama, karena memiliki bahan dasar dari tanah liat. Padahal jelas berbeda. Jika tembikar dilapisi gilap atau porselen lebih dulu sebelum dibakar, sementara gerabah setelah berhasil dibuat langsung dibakar tanpa tambahan apapun. Sedangkan pembakaran tembikar sendiri berada pada suhu 1.000-1.200
"Anda mencari siapa, Nona?"Namun, bukannya menjawab, wanita itu hanya menoleh singkat saat seorang pria bertubuh besar dan tegap menyapanya."Yang pasti aku tidak mencarimu. Cepat buka gerbangnya! Aku mau masuk."Mendesah nafas kasar, pria itu menelisik dari atas hingga bawah penampilan wanita seksi yang tampak begitu percaya diri berdiri di samping mobil mewahnya. Tidak dipungkiri dari stylishnya yang modis, wanita itu terlihat sangat cantik dan menggoda. Tapi sayang, bukan itu alsannya tetap bergeming di tempat, melainkan memastikan untuk apa wanita itu datang."Memangnya siapa Anda sampai saya harus membukakan gerbang?""Kau!" Terhenyak dengan pertanyaan itu, si wanita lantas melepas kacamata hitam yang menutupi hampir setelah wajahnya. "Kau akan tahu nanti setelah tuanmu melihatku," ujarnya sinis.Alih-alih terkesan, pria itu kembali mendesak nafas. Jengah. Wanita itu sengaja memberi jawaban yang menurutkan omong kosong. "Kalau begitu silahkan pergi. Kami tidak bisa membiarkan or
Luna memasukan kembali kapsul yang hampir ditelan ke dalam laci, begitu mendengar suara Leon sudah akan keluar dari walk in closet. Saat knop pintu diputar, Luna seketika terjingkat berdiri. Bersikap senormal mungkin di hadapan Leon yang bahkan belum melihat ke arahnya."Aku akan turun sekarang.""Apa Gerry sudah datang?" Leon mengangguk sesampainya di depan Luna. "Sudah akan pergi sekarang?""Iya. Dan, sepertinya akan pulang sedikit terlambat.""Baiklah." Leon sudah akan berlalu ketika Luna tiba-tiba memanggilnya. "Apa aku boleh pergi? Aku ingin mengajak Kak Emma ke pantai.""Pergilah."Setelah mengambil ponsel pribadinya di atas nakas, Leon berlalu dengan langkah lebar. Luna tahu suaminya sedang terburu-buru, untuk itu ia merasa semakin yakin akan tujuannya hari itu.Melihat Leon sudah hilang di balik pintu kamar, Luna mengulas senyum penuh arti. Kendati semalam Leon langsung menolak saat ia meminta tetap tinggal di rumah oma, setidaknya pria itu tidak pernah tahu apa yang sebenarny