Luna mengabaikan rasa asin di bibir bawah bagian dalam atas gigitannya sendiri. Ia juga tidak peduli seberapa dalam giginya tertancap di sana, dan memilih menahan rasa itu dengan menutup mulut rapat-rapat.
"Rupanya kau lebih suka aku paksa, hm?"Leon masih sangat brutal menghujam Luna dengan posisi berdiri. Mengangkat satu kaki Luna, dan diletakkan ke atas bahu pria itu. Kondisi yang sebenarnya nyaris membuat Luna hilang kesadaran.Namun, Luna gadis yang cukup keras kepala untuk mengakui kekalahannya. Memilih mempertahan ego, meski sebenarnya bernafas pun semakin sulit ia lakukan.."Hentikan! Kau benar-benar kotor," cicit Luna pada akhirnya."Kau yang memintanya dengan berani bermain-main denganku."Tiba-tiba Luna memekik tertahan. Secara mengejutkan Leon mengangkat dan menangkup bokongnya menggunkan kedua tangan, sebelum akhirnya kembali dihentak dengan kasar."Kau menyakitiku," kata Luna pelan dengan tubuh masih terpantul-pantul. Ia nyaris mati jika Leon tidak juga berniat berhenti."Memohonlah padaku."Tentu saja hal itu tidak akan terjadi. Mustahil Luna mau merendahkan diri pada pria seperti Leon. Luna juga masih cukup masuk akal dengan memiliki planning masa depan yang lebih baik, dan jelas bukan bersama Leon."Aku hanya butuh kerelaanmu," lanjut Leon."Kau tahu itu tidak akan pernah terjadi."Leon seketika berhenti. Membiarkan tubuh Luna tergantung di selah tubuhnya, dan dinding. "Pilihan ada padamu. Aku tidak akan bersikap lunak untuk sekian kali."Cairan itu sudah menyembur di dalam sana, sesaat sebelum Luna diturunkan. Setelahnya Leon memilih memasuki bilik shower. Meninggalkan Luna yang langsung luruh ke lantai. Menatap kosong dinding di depannya dengan pikiran berkecamuk.Pilihan yang sebenarnya sangat sulit Luna tentukan. Tetap bertahan dengan monster seperti Leon atau memilih egois—membiarkan orang-orang yang ia sayangi menjadi mangsa keganasan pria itu?'Aku harus bagaimana? Sanggupkah aku terus seperti ini? Sekarang saja tidak hanya tubuhku, tapi batinku juga sangat tersiksa.'Tiba-tiba Luna terhenyak, ada kain tebal menutup setengah tubuhnya hingga kepala. Setelah membenahi handuk agar menutupi tubuhnya, Luna mendengus mengetahui Leon yang hanya menutup setengah tubuhnya dengan handuk putih, berdiri berkacak pinggang."Bersihkan dirimu, Emma sudah menunggu di bawah."Namun, belum sempat Luna bertanya perihal siapa Emma. Leon sudah lebih dulu berlalu, dan lagi-lagi meninggalkannya dalam keadaan mengenaskan.*****Tidak memprediksi Leon yang berjalan di depannya tiba-tiba berhenti, Luna yang juga kurang memperhatikan depan harus merasakan dahinya membentur punggung keras pria itu. Menggerutu sambil mengusap dahinya yang sedikit nyeri, Luna menyembulkan kepala ke samping lengan Leon, begitu mendengar ada suara wanita di depan suaminya."Selamat pagi..""Pagi. Aku senang kau bisa datang tepat waktu.""Itu karena kau yang memberi perintah, Le."Luna masih memperhatikan lekat-lekat wanita berstyle laki-laki di depan sana dengan alis saling tertaut.'Itukah Emma? Aku harus memujinya tampan atau cantik?'"Selamat pagi, Nyonya. Perkenalkan saya Emma, supir pribadi Anda."'Apa? Supir pribadi?'Tidak sepenuhnya paham, Luna melirik Leon yang masih belum berpaling dari depan—tidak juga menatap Emma yang tengah tersenyum ramah padanya'Cih. Aku yakin dia bukan hanya supir, tapi juga orang yang akan selalu mengawasiku.' Luna kembali bermonolog dalam hati.Tidak menyangka karena aksinya kemarin, Leon langsung mendatangkan Emma. Kendati penampilan wanita itu menyerupai pria, tetapi setidaknya Emma memiliki paras yang lebih ramah dibanding pelayan wanita di apartemen Leon. Sadis dan mengerikan."Pak Jang sudah menjelaskan apa tugasmu?" Leon menoleh singkat sang kepala pelayan yang sudah berdiri di dekat meja makan—menanti kedatangan tuan beserta nyonya rumah."Sudah. Dan saya berharap, Anda akan menyukai saya, Nyonya." Luna hanya membalas dengan senyum kaku. Ia belum bisa memastikan apapun sekarang."Aku tahu kau bisa melakukan tugasmu dengan baik.""Terima kasih atas kepercayaanmu, Le. Aku juga berharap tidak akan mengecewakanmu."Mendengar cara berbicara Emma pada Leon, Luna yakin mereka memiliki hubungan yang cukup dekat. Namun, tidak ingin terlibat semakin jauh obrolan keduanya. Terlebih rasa lapar semakin meremas perut, Luna memilih menuju meja makan lebih dulu. Tidak ingin semakin bodoh dengan menunda sarapan yang seharusnya ia lakukan satu jam lalu.Sayangnya setelah duduk, mendadak Luna kehilangan selera ketika tidak menemukan menu yang diinginkan "Apa tidak ada sup hari ini, Kak?"Tari yang berdiri di dekat Pak Jang segera mendekat. "Sesuai permintaan Anda, Nyonya. Saya mohon kesediaan Anda untuk menunggu sebentar.""Tentu saja." Wajah Luna kembali sumringah."Hari ini Emma sudah mulai bekerja. Beritahu dia jika kau ingin mengunjungi suatu tempat." Melipat tangan di atas meja, Luna hanya mengangguk sekali mendapati Leon duduk di kursinya. "Kemanapun selagi bersamanya dan masih di Kota ini. Aku biarkan kau pergi.""Iya," singkat Luna. Tidak hanya berbicara, bahkan menatap wajah menyebalkan Leon saja, Luna enggan melakukannya lebih dari satu detik."Apa yang kau tunggu?"Leon mengernyitkan alis melihat piring Luna masih kosong.Luna memang tidak mau dilayani saat makan. Pernah ia menolak tegas pelayan yang juga ingin mengisi piringnya dengan menu, seperti yang sebelumnya dilakukan di piring Leon. Luna berdalih bisa melakukannya sendiri.Sebagaimana diketahui, Leon memang menuntut kesediaan Luna sebagai istri yang bisa memenuhi kebutuhan biologisnya. Tapi lebih dari itu, Leon tidak pernah meminta Luna juga harus melayaninya di meja makan, atau bahkan menyiapkan pakaian yang akan dikenakan. Karena itu bukan tugas Luna.Menit berikutnya Tari datang membawa semangkuk sup pesanan Luna. "Silahkan Nyonya.""Terima kasih."Mengetahui Luna menginginkan yang lain, Leon memilih tidak bertanya lagi."Auw!"Luna buru-buru mengembalikan satu sendok sup ke dalam mangkuk. Tidak sabaran membuat lidahnya nyaris terbakar. Melihat itu Leon seketika mengangkat tangan kiri, melarang Tari yang akan kembali mendekati Luna."Berikan padaku." Selesai mengusap bibirnya menggunakan tisu, Luna menatap tidak percaya Leon. Tepatnya tidak rela jika pria itu juga menginginkan supnya. "Itu masih terlalu panas untuk kau nikmati. Bawalah kemari.""Aku bisa melakukannya sendiri," keukeuh Luna."Kau terlalu ceroboh dengan membuat lidahmu hampir terbakar."Mencebik kesal, Luna menatap tidak rela Tari yang memindahkan mangkuk sup kehadapan Leon, sesuai perintah Pak Jang."Tidak ada yang ingin mengambilnya darimu. Seharusnya kau bisa sedikit bersabar."Luna kembali mencebik kesal tanpa ada sanggahan yang keluar dari mulutnya.'Itu juga karenamu aku sampai kelapan. Dan sialnya hanya sup itu yang ingin aku makan,' dengus Luna dalam hati."Kau bisa pastikan sup ini benar-benar dingin dulu sebelum memakannya. Jika kau tetap memaksa, bukan hanya lidahmu yang terbakar. Tapi juga bisa terjadi peradangan dan nyeri di perutmu."Setelah memastikan sup di sendok benar-benar dingin, Leon mendekatkan ke bibir Luna. "Buka mulutmu."Alih-alih segera membuka mulut, Luna justru memundurkan kepala. "Aku bisa melakukannya sendiri." Luna masih cukup keras kepala dengan kembali memberi penolakan.Kesal Luna tidak bisa menghargai niat baiknya, Leon memilih mengarahkan sendok ke mulutnya sendiri dan melahap isinya. Setelah itu meletakan kasar sendok ke samping mangkuk, hingga menimbulkan suara nyaring.Kendati mengetahui Leon tersinggung atas penolakannya, Luna tak acuh dengan kembali menggeser sup kehadapannya."Tuan."Melihat kedatangan Gerry, Leon seketika bangkit dan pergi begitu saja. Bahkan tanpa menghabiskan makanannya.Menggigit sendok yang baru dimasukkan ke dalam mulut, pandangan Luna mengikuti kemana perginya Leon dengan asistennya itu. Ia baru beralih begitu mengetahui dua pria berpakain rapi tersebut sudah memasuki lift."Anda butuh yang lain, Nyonya?""Tidak. Terima kasih." Setelah sempat terkejut dengan suara Pak Jang yang ternyata sudah berdiri di dekatnya, Luna memilih kembali fokus menghabiskan sup yang sialnya tidak senikmat tadi."Tuan akan berkunjung ke Sydney untuk beberapa hari ke depan."Luna bergeming, meski sebenarnya cukup terkejut.'Karena itu dia mendatangkan Emma?'"Karena itu kau menikahinya?" "Bukankah semua tetap harus sepadan?" Leon menarik ujung bibirnya hingga memunculkan seringai licik."Aku hanya berharap kau tidak pernah menyesal dengan keputusanmu sekarang.""Tidak akan."Menemukan gurat kecemasan di wajah tua pria yang ada di hadapannya itu, Leon tidak begitu saja terprovokasi. Memilih tetap menujukkan sikap tenang seperti yang selalu dilakukan. "Menginaplah untuk malam ini. Lizzie juga pasti menginginkannya.""Kau tahu jawabanku," singkat Leon yang langsung berdiri dari kursi. "Aku datang untuk mengurus bisnis, bukan menuruti keinginannya."Tuan Smith mendesak nafas kasar, tapi Leon tak acuh dengan memilih segera pergi. Bahkan ketika wanita cantik yang baru datang membawa nampan bermaksud berbasa-basi menyapa---Leon juga mengabaikannya. Tetap melangkah lebar menuju pintu utama."Apa dia baru saja datang?""Seperti yang kau pikirkan."Pandangan wanita itu beralih pada paper bag coklat yang ada di atas meja."Setidaknya dia selalu i
Waktu berlalu, dan tanpa terasa hari berganti begitu cepat. Duduk di kursi taman seorang diri, Luna belum berniat beranjak meski sudah sejak satu jam lalu ada di sana. Tidak tahu pasti apa yang sedang dipikirkan. Memandangi bunga-bunga bermekaran sedang bergoyang tertiup angin, tiba-tiba kehampaan menelungkup hati. Anehnya ada sekelumit rasa yang tidak bisa dijelaskan, tetapi begitu nyata dirasa. Tepatnya sejak terbangun pagi tadi, mendapati sisi samping masih tetap rapi seperti hari kemarin dan lusa. Mendadak timbul kesedihan yang tidak diketahui pasti apa penyebabnya. Mungkinkah ia merindukan Leon?Tidak! Sisi hati Luna yang lain seketika menolak tegas. Rasa itu bukan tentang Leon yang bahkan tidak ada kabarnya sejak pergi satu minggu yang lalu. Kesedihan Luna lantaran teringat pertemuannya dengan Darma tempo hari. Yah! Itu yang sebenarnya terjadi.Mirisnya saat itu Darma tetap menganggapnya pembual. Seberapa keras ia sudah berusaha menjelaskan, tetap saja pria itu mengbabaikanny
"Jaga batasanmu, Ana!"Wanita itu mendengus, tetapi masih urung melakukan apa yang Leon perintahkan. Justru semakin mengeratkan kedua tangannya di leher pria itu."Aku berpikir semesta berpihak padaku dengan menurunkan hujan saat aku sampai di sini," ucapnya manja."Tidak ada gunanya kau bicara omong kosong!" ketus Leon menyentak kasar tangan Anastasya dari lehernya hingga terlepas. "Sekalipun hujan turun sepanjang malam, tidak akan terjadi apapun pada kita." Memilih menghindar dengan bangkit dari sofa, dan berjalan ke dekat jendela.Anastasya telah mengacaukan pikiran liarnya tentang Luna—gadis naif yang masih saja menginginkan pria lain. Tapi sayangnya telah mengusik benaknya sepanjang hari tadi. Kabar dari Pak Jang yang menjelaskan keadaan di sana aman terkendali pun, tak cukup membuatnya lega. Luna masih belum bisa ia tepikan dari benaknya, hingga kemunculan Anastasya yang tiba-tiba."Kenapa Le, kenapa kau selalu menolakku? Bukankah kita sudah pernah melakukannya sampai—""---tutup
Berada di rooftop untuk pertama kalinya, Luna dibuat terheran-heran dengan fasilitas yang ada di tempat tersebut. Selain menutup setengah bagian atas mansion, tempat luas yang memiliki tangga penghubung ke taman samping itu terdapat lounge dengan beberapa sofa panjang, dan kolam renang bertingkat di sisi tepinya. Tidak hanya memiliki view yang memikat mata, dari ketinggi puluhan keter itu Luna juga bisa melihat landasan helikopter pribadi milik Leon yang ada tepat di sisi kanan mansion. Sedangkan saat Luna meluruskan pandangan, jalan menuju pantai dimana ia bermain jet ski bersama Darma kemarin terlihat sebagian, sebelum akhirnya tertutup pepohonan rimbun.Darma?Mengingat pria itu lagi, seketika melenyapkan kekaguman Luna pada keindahan yang ada. Detik berikutnya Luna memilih duduk di salah satu sofa panjang, menatap warna jingga yang kini menghiasi langit senja. Tampak indah, tapi sayang tak cukup menghibur hati yang kembali terperangkap perasaan yang sama. "Semisterius inikah takd
"Kalau begitu kurung saja aku seperti yang sebelumnya kau lakukan, dan letakkan lebih banyak lagi penjagaan di luar mansion untuk memastikan aku tidak bisa melewati pagar utama."Leon membeku, bukan karena terenyuh dengan nasib tragis yang pernah Luna alami selama terkurung di apartemennya dulu. Tetapi pria itu tengah menahan diri untuk tidak menampar atau bahkan mencengkram rahang Luna sekarang juga. Wanita itu terlalu berani menantangnya, alih-alih menjelaskan kemana saja dia pergi selama dirinya tidak ada."Kau ingin aku melakukan itu?""Bukankah apapun bisa kau lakukan? Untuk apa kau tanyakan lagi padaku."Luna sebenarnya ingin menertawakan dirinya sendiri yang begitu bodoh telah menaruh kepercayaan terhadap Emma. Tidak memprediksikan jika pada dasarnya wanita itu tetaplah seorang pelayan yang akan lebih mematuhi perintah tuannya, daripada peliharaan sang tuan. Naasnya bagaimana bisa Luna begitu mudah terlena dengan senyum yang ditunjukan, dan menganggap itu bukti akan ketulusan Em
Sempat terkejut dengan suara klakson yang ditekan lama dari kendaraan lain, dan disusul teriakan Luna—Leon buru-buru turun. Tapi mendadak diam di tempat, karena ingin melihat apa yang akan terjadi setelah itu."Gadis bodoh!! Apa kau tidak bisa memperhatikan jalan sebelum menyebrang!" Tak kalah terkejut, Luna masih mematung dengan kedua tangan menutup telinga. Tidak hanya itu, ia bahkan menganggap dirinya sudah berada di alam yang berbeda."Hei! Apa kau tuli!!" Mendengar ada yang berteriak lagi, dan dirasa sangat dekat dengannya, perlahan Luna mulai membuka mata. Namun, ia yang linglung justru menatap nanar kedua kakinya yang nyaris bersentuhan dengan bumper depan mobil. Baru setelah itu ia dasar, jika di samping mobil tersebut berdiri seorang wanita dengan pakaian yang super seksi."Cih! Dasar kampungan! Apa seumur hidupmu tidak pernah melihat mobil mewah?" "Ma-maaf. Saya benar-benar minta maaf, N
Leon langsung mengunci pintu kamarnya sesaat setelah membawa paksa Luna masuk bersama. Ia sudah hampir menggila melihat sikap pemuda tidak tahu diri tadi yang terus menyela kalimat Luna, dan sialnya tidak ada sikap tegas dari gadis itu."Apa yang ingin kau tujukan dengan makan di tempat itu, hah! Kedekatanmu dengan pemuda sialan tadi?""Kenapa kau bisa semarah ini? Kau bahkan tidak membiarkan aku menghabiskan buburku!"Leon nyaris meledak jika tidak ingat rona bahagia Luna ketika bubur disajikan. Ia tahu seberapa ingin gadis itu menghabiskan pesanannya, sebelum akhirnya ia hilang kesabaran karena tingkah pemuda tadi."Aku hanya ingin menghabiskan buburku, itu saja," sanggah Luna berusaha menutupi ketakutannya. Ia masih tidak menyangka, Leon akan langsung menyeretnya keluar setelah sempat membuat hidung Abbas berdarah. Tetapi alasan apa yang mendasari Leon bertindak segila itu yang tidak Luna mengerti. Luna memang akan selalu tidak mengerti dengan tindakan dan aturan-aturan Leon yang
Luna tidak tahu pasti apakah yang didapatkan sekarang merupakan sebuah keberuntungan, atau justru balasan atas apa yang sudah ia serahkan. Tidak mungkin bisa melepaskan diri begitu saja dari cengkraman Leon, Luna memilih berdamai dengan keadaan. Setidaknya menerima pernikahan yang sudah dijalani beberapa bulan terakhir dengan pria itu, jauh lebih baik daripada terus menyesali apa yang sudah terjadi. Karena itu hanya akan membuang-buang waktu.Lantas, bagaimana dengan Darma?Biarlah nama itu tersimpan indah di sudut hati, Luna hanya perlu menunggu, dan berharap ada keajaiban yang bisa membawanya kembali pada pria itu. Meski harapan hanya sehelai rambut.Sekarang Luna hanya ingin mengikuti arus. Sebab, sadar diri untuk melawan arus itu sesuatu yang mustahil bisa dilakukan. Selebihnya biarlah garis hidup yang menentukan. Akan seperti apa kelak hidupnya di masa depan. Tetap menjadi pemuas hasrat Leon dengan status istri? Atau justru terhempas be