"Bagus. Setidaknya sekarang aku sudah tahu dimana dia tinggal." Senyum Anastasya tersungging puas. "Tetap pantau keadaan disana, aku tidak mau ada yang terlewatkan sekecil apapun informasi tentang dia." Setelah orang suruhannya di seberang sana menjawab, Anastasya lantas penutup panggilan. Dengan senyum puas yang masih menghiasi wajah polosnya—belum tersentuh make up lantaran baru saja selesai membersihkan diri, Anastasya yang masih mengenakan jubah mandi serta menggulung rambutnya menggunakan handuk kecil malah duduk di kursi meja rias, menatap intens wajahnya dari pantulan kaca."Aku sangat keras kepala untuk segala yang berhubungan denganmu. Kau terlalu remeh menganggap aku akan menyerah begitu saja, Le."********Berdiri di dekat pintu ruang gym pribadinya, dengan melipat tangan di dada, Leon masih memperhatikan Luna yang masih sangat semangat melakukan olahraga yang baru-baru ini digandrungi—boxing.Tangan Luna tampak begitu lincah mengarahkan pukulan jab, uppercut, cross, dan h
Luna memang tidak pernah berharap cinta Leon, meski sekarang ia telah memasrahkan hidup pada pria itu. Namun, perhatian serta sikap yang Leon tunjukkan, tak ayal memunculkan keingintahuan Luna akan perasaan pria itu yang sebenarnya. Walaupun berusia masih sangat muda, tapi Luna bisa membedakan pria yang benar-benar menginginkan dirinya dari hati, atau hanya mendambakan tubuhnya seperti yang sebelumnya terlihat dari Leon.Sedangkan sekarang, Luna bisa melihat ketulusan Leon lewat pancaran matanya yang redup. Luna juga merasa Leon lebih ringan—seperti telah berhasil melepaskan beban berat dari pundaknya. Untuk itu, Luna merasa tidak ada salahnya memastikan."Apa kau mencintaiku?"Pijatan Leon seketika berhenti."Itu memang tidak penting untukku sekarang, mengingat aku yang kau nikahi. Tapi aku hanya ingin tahu bagaimana perasaanmu terhadapku?""Tidurlah jika kau lelah. Aku masih ada sedikit pekerjaan." Leon langsung beranjak berdiri dan melangkah pergi tanpa menoleh Luna lagi.Sempat t
"Menikahlah denganku." Luna terhenyak, tetapi tidak berkata apapun ketika memperhatikan Leon beranjak duduk di sofa. Mengira telah salah mendengar. "Menikahlah denganku," ujar Leon lagi. Tapi kali ini tidak begitu jelas di telinga Luna—ia pun mengabaikannya. Menganggap Leon sudah tidak sabar menunggu minuman dingin yang sebelumnya dipesan. Luna bersiap akan pergi. Namun, baru memutar badan, Leon sudah lebih dulu menahan tangannya. Pria itu kembali bangkit, dan mengatakan sesuatu yang lagi membuat Luna terkejut. "Biarkan aku membuktikan sesuatu padamu." "Lepas." Luna memutar tangannya, agar cengkraman Leon terlepas. Tapi tanpa diduga pria itu justru beralih membelit pinggang Luna. "To-to-tolong.. jangan seperti ini, Tuan. Lepaskan saya." Terkejut bercampur risih, Luna berusaha melepaskan belitan tangan Leon. Sayang, bukannya terlepas, tangan lain pria itu malah mencengkram rahangnya Reflek Luna menahan dada Leon dengan kedua tangan, agar tubuh mereka tidak sampai merapat. "A
"Aku memberimu penawaran menarik." Luna bergeming. Masih sangat marah pada Leon yang sudah sewenang-wenang dengan tubuhnya. "Kau hanya perlu melayaniku di atas ranjang." Luna semakin marah mendengar penawaran Leon yang jelas merugikan dirinya. "Aku bukan jalang." Luna dengan tegas mengingatkan. "Perlu kau ingat, membuat semua mata menatapmu jijik, bukan hal sulit aku lakukan." Merasa diancam, Luna menatap tajam Leon yang justru menyeringai licik. Pria itu merunduk, lantas membelai pipi Luna dengan punggung tangan. "Dengar, Luna. Kau milikku sekarang. Suka atau tidak itulah faktanya." Luna melotot tidak terima, tapi tiba-tiba terkesiap merasakan bibir Leon sudah menempel di bibirnya yang sedikit terbuka. "Dan, jangan lupakan aku yang pernah menawarkan pernikahan padamu." Setelah Leon menjauhkan kepala, Luna segera berpaling. Sengaja menghindar saat tahu Leon hendak mengusap bibirnya yang sempat dibuat basah. "Karena aku tahu pernikahan macam yang kau janjikan," liri
"Apa yang ingin kau tunjukkan? Bentuk tubuhmu? Atau kakimu yang jenjang?" Luna mengepalkan kedua tangan kuat, sampai buku-buku tangannya memutih. Tidak terima dengan tuduhan Leon yang seolah menganggap dirinya gemar memamerkan lekuk tubuh. Selain itu, Luna juga tidak menyangka Leon akan ikut turun. Pasalnya setelah menyambar kaos pria itu dan mengenakannya----Luna sempat memastikan jika Leon benar-benar masih terlelap setelah percintaan panas mereka beberapa saat lalu. "Ini tubuhku, kau tidak berhak mengaturku harus bagaimana!" Luna sangat marah, terlebih mengetahui ada orang lain yang juga ikut mendengar tuduhan Leon padanya. Tanpa mengalihkan pandangan dari Luna yang berdiri di ujung tangga, kaki Leon perlahan turun menapaki anak tangga satu persatu. Hingga tak berselang lama, tubuh tinggi besarnya sudah menjulang di dekat Luna yang semakin terlihat kecil. Leon masih berdiri di dua anak tangga terakhir, ketika menatap pria paruh baya yang berdiri tidak jauh dari Luna. "Pergilah P
Keesokan pagi begitu membuka mata, seperti biasa Luna tidak mendapati Leon ada di sampingnya lagi. Leon yang juga gemar berolahraga, baru akan turun satu jam sebelum berangkat ke kantor. Rutinitas yang sebenarnya tidak sengaja mulai Luna perhatikan. Meski sebenarnya ia juga tidak peduli, kapan pria itu akan naik ke lantai tiga, dan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mempertahankan otot tubuhnya disana. Luna tidak mau ambil pusing apapun yang Leon lakukan baik di dalam, maupun luar mansion. kecuali pada tubuhnya. Untuk itu Luna harus segera melarikan diri, sebelum benar-benar dibuat kehilangan akal. "Lebih baik aku mandi." Muak dengan aroma tubuh Leon yang dirasa masih menempel tubuhnya, Luna bergegas meninggalkan ranjang—melenggang begitu saja meski dengan keadaan polos. Namun, saat akan memasuki bilik shower, langkah Luna terhenti di depan cermin wastafel. Ia tertegun begitu melihat ada banyak tanda kepemilikan yang Leon tinggalkan di tubuhnya. "Dia benar-benar membuatku j
"Tidak kusangka dia akan senikmat itu. Cukup sepadan untuk penolakannya tempo hari." Menatap keramaian kota saat hari mulai gelap, bersamaan dengan lampu dari gedung-gedung pencakar langit lain yang juga mulai dinyalakan, membuat pikiran Leon semakin sulit teralihkan dari Luna. Gadis belia yang sengaja ia jerat dengan cara licik. Luna tidak pernah tahu seberapa besar resiko atas keputusanya telah berani menolak seorang Leon Smith. Tentunya akan ada balasan lebih dari apa yang sudah gadis itu lakukan. Leon bukanlah pribadi yang mudah menyerah. Sekeras apa usaha yang sudah dilakukan, tentunya akan sepadan dengan hasil yang didapat. "Dia masih terlalu lugu." Tersenyum licik seraya memasukan kedua tangan ke dalam saku celana. Pandangan Leon masih lurus ke depan. Menyaksikan sepasang anak manusia yang ada di dalam gedung lain. Kendati jaraknya cukup jauh, tetapi mata tajamnya masih bisa menangkap jelas apa yang sedang mereka lakukan tanpa menutup tirai jendela. "Tidak ada yang lebih ber
Tatapan marah Luna menghunus Leon yang kini duduk di hadapannya. Alih-alih membersihkan diri di bawah shower seperti yang selalu dilakukan, pria itu justru ikut masuk ke dalam jacuzzi. "Kenapa menatapku seperti itu? Kau menganggap hanya dirimu yang berhak menggunakan tempat ini?" Cukup sadar diri, Luna seketika bangkit. Tetapi Leon yang bahkan sudah menutup mata sebelumnya sambil menyandarkan kepala di bibir jacuzzi, dengan cepat menahan tangan Luna. "Lepas! Aku sudah selesai!" Luna menyentak tangan Leon. Tapi cengkraman pria itu tidak terlepas juga. "Lepas, aku bisa kedinginan." "Temani aku." "Tidak mau! Aku juga tidak mau ketinggalan waktu sarapanku lagi." Gerutuan Luna justru ditanggapi kekehan pelan oleh Leon. "Bukankah mandi bersamaku jauh lebih mengenyangkan daripada sarapan? Leon sengaja menggoda Luna yang langsung melotot tajam. "Dasar mesum!" ketus Luna bermaksud akan kembali menyentak tangan Leon lebih keras lagi. Tapi diduga ia justru tergelincir dan nyaris jatuh te