"Bekerjasamalah denganku. Dengan begitu kita bisa menguasai tepi barat negara tetangga." "Aku tidak butuh sekutu hanya untuk menguasai bagian itu." Senyum licik yang tersungging di bawah kacamata hitam, terlihat menyebalkan bagi pria yang hampir memenuhi sekujur tubuhnya dengan tato. Bahkan sklera mata yang seharusnya berwarna putih, telah dirubah hitam legam oleh tato permanen. Pria itu benar-benar telah merubah wujud aslinya. "Jika dua kekuatan kita disatukan, maka aku percaya kita akan berada di puncak." Pria bertato masih cukup bersabar untuk berbicara pelan, dan menyakinkan. Tapi jika pria di hadapannya tetap keras kepala, ia tidak keberatan jika harus sedikit membuat kekacauan, bukan sepatutnya orang bertamu. "Aku tidak suka bekerja untuk orang lain. Aku lebih tertarik memperkuat diriku sendiri." Merasa sudah cukup basa-basi hari itu, ia pun bangkit dari kursi. "Jangan sombong, Albert! Aku bahkan bisa melenyapkanmu tanpa ada yang tahu." Alih-alih menunjukkan kete
"Untung saja pelanggan pertama kita Pak Ramos," kata Bruri memuji."Rasanya ada kebanggan tersendiri, bisa menyelesaikan mobil klien tepat waktu, dan aku lihat Pak Ramos sangat puas dengan hasil servismu.""Spanduk juga akan segera jadi dalam waktu dekat." Hanya dirinya yang terus bicara, Bruri memastikan Darma apakah masih mendengarnya."Apa yang kau rencanakan, sekarang?"Duduk di kursi plastik, dengan satu kaki yang terus digerakan menghentak. Pandangan Darma lurus ke depan, sama sekali tidak berniat membuka mulut—menanggapi celotehan Bruri. Pria itu sangat berisik, berhubung benak Darma sedang serius menyusun rencana, dibiarkan saja Bruri sampai lelah sendiri.Kendati setelah sepekan berlalu para perusuh tidak datang lagi, tapi Darma yakin, penyerangan minggu lalu bukanlah yang terakhir. Akan ada serangan yang tidak terduga, dan Darma khawatir itu bisa mempengaruhi calon pelanggan yang akan datang ke bengkelnya."Baru juga memulai usaha, sudah ada rintangan sebesar ini," keluh Br
"Bagus. Setidaknya sekarang aku sudah tahu dimana dia tinggal." Senyum Anastasya tersungging puas. "Tetap pantau keadaan disana, aku tidak mau ada yang terlewatkan sekecil apapun informasi tentang dia." Setelah orang suruhannya di seberang sana menjawab, Anastasya lantas penutup panggilan. Dengan senyum puas yang masih menghiasi wajah polosnya—belum tersentuh make up lantaran baru saja selesai membersihkan diri, Anastasya yang masih mengenakan jubah mandi serta menggulung rambutnya menggunakan handuk kecil malah duduk di kursi meja rias, menatap intens wajahnya dari pantulan kaca."Aku sangat keras kepala untuk segala yang berhubungan denganmu. Kau terlalu remeh menganggap aku akan menyerah begitu saja, Le."********Berdiri di dekat pintu ruang gym pribadinya, dengan melipat tangan di dada, Leon masih memperhatikan Luna yang masih sangat semangat melakukan olahraga yang baru-baru ini digandrungi—boxing.Tangan Luna tampak begitu lincah mengarahkan pukulan jab, uppercut, cross, dan h
Luna memang tidak pernah berharap cinta Leon, meski sekarang ia telah memasrahkan hidup pada pria itu. Namun, perhatian serta sikap yang Leon tunjukkan, tak ayal memunculkan keingintahuan Luna akan perasaan pria itu yang sebenarnya. Walaupun berusia masih sangat muda, tapi Luna bisa membedakan pria yang benar-benar menginginkan dirinya dari hati, atau hanya mendambakan tubuhnya seperti yang sebelumnya terlihat dari Leon. Sedangkan sekarang, Luna bisa melihat ketulusan Leon lewat pancaran matanya yang redup. Luna juga merasa Leon lebih ringan—seperti telah berhasil melepaskan beban berat dari pundaknya. Untuk itu, Luna merasa tidak ada salahnya memastikan. "Apa kau mencintaiku?" Pijatan Leon seketika berhenti. "Itu memang tidak penting untukku sekarang, mengingat aku yang kau nikahi. Tapi aku hanya ingin tahu bagaimana perasaanmu terhadapku?" "Tidurlah jika kau lelah. Aku masih ada sedikit pekerjaan." Leon langsung beranjak berdiri dan melangkah pergi tanpa menoleh Luna lag
"Aku mohon, pertimbangkan lagi keputusanmu, Ayumi. Aku hanya tidak mau terjadi sesuatu yang buruk padamu." Sesil kembali mengingatkan.Ayumi sudah sangat sinting lantaran berani mengundang media, dan mengadakan konferensi pers. Bertujuan membersihkan nama baik sang ayah dari kasus yang sekarang menjeratnya. Tapi lebih dari itu, Ayumi juga berniat memberitahu semua orang jika ayah dari bayi dalam kandunganya tak lain Leon Smith. Keputusan gila yang menurut Sesil sudah pasti berakibat fatal untuk Ayumi sendiri."Diamlah! Kau cukup duduk diam di sini. Bukankah itu lebih baik untuk pengecut sepertimu!" Ayumi sama sekali tidak peduli dengan peringatan Sesil. " Dan, dengar baik-baik, aku tidak akan merubah apa yang sudah aku putuskan! Paham!" Peringatan tegas Ayumi hanya dibalas desahan pasrah oleh Sesil. Ayumi benar-benar kepala batu. Terlalu ceroboh menganggap keputusannya sudah paling benar."Kau pasti akan menyesali tindakanmu hari ini. Setidaknya aku sudah berulang kali mengingatkan."
"Apa dia akan baik-baik saja? Aku lihat lukanya lumayan dalam." Bruri benar-benar khawatir sesuatu yang buruk bisa saja terjadi, setelah dengan mata kepalanya sendiri, ia melihat pria itu menggores lengan yang terbungkus jaket kulit, hingga darah segar merembes keluar."Dia sendiri yang menolak dibawa ke rumah sakit. Aku bisa apa." Darma tidak mau disalahkan setelah niat baiknya ditolak tegas.Berdiri di samping Darma yang sedang mengaduk kopi, Bruri kembali memperhatikan Emma yang duduk sendiri di kursi."Setidaknya lakukan sesuatu agar lukanya tidak infeksi. Jika terjadi sesuatu padanya, kita juga dalam masalah."Alih-alih menanggapi kecemasan Bruri, selesai mengaduk dan meletakkan dua gelas kopi di atas nampan, Darma lantas mengangkat nampan tersebut menggunakan kedua tangan. "Milikmu aduk sendiri," ujarnya memberitahu sebelum berlalu."Baiklah. Kopi hitam di pagi hari memang selalu dinanti," celoteh Bruri setelah sempat mendesak nafas sekali."White kopi untukmu. Maaf hanya ini y
"Kau sudah terlalu banyak bicara, Luna. Aku tidak suka itu." Tidak bisa disangkal lagi, memang ada rahasia yang sengaja Leon tutupi. Luna hanya semakin penasaran meski tahu itu bukan urusannya."Kau cuma perlu menjadi istri yang baik, hanya itu."Seharusnya Luna paham, sekalipun hubungan mereka membaik, tetap ada batasan yang harus dipatuhi. Mendapat pengecualian untuk bisa bergerak bebas kemanapun, baik luar maupun dalam mansion, bukan berarti Luna juga berhak mengetahui apa yang Leon rencanakan, juga apa yang menjadi tujuan utamanya selama ini."Segeralah turun untuk sarapan," kata Luna lantas melangkah pergi.Leon tidak menjawab, hanya masih menatap datar kepergian Luna. Sampai kemudian perhatiannya teralihkan oleh suara panggilan dari ponselnya yang ada di atas meja kerja. Leon segera mendekat untuk memastikan siapa yang menelpon."Ada apa?" ujarnya begitu sambungan terhubung."Wan
"Aku bosan di dalam." Sebelum Emma bertanya, Luna lebih dulu menjelaskan. "Terkadang saya juga suka duduk disini untuk sekedar menikmati malam, Nyonya." Emma ikut duduk di kursi seberang Luna. "Melihat langit saat malam hari memberi saya ketenangan." Luna balas tersenyum ringan. Apa yang Emma katakan memang benar, baru saja beberapa menit ada disana, Luna merasa suasana hatinya sedikit membaik. Tidak hanya itu, sejenak Luna juga bisa mengalihkan keingintahuannya akan rahasia Leon. Tapi sayangnya, ketika menatap langit bertabur bintang, mendadak Luna mengingat satu orang yang paling dirindukan. Ibu. Sosok yang paling berpengaruh dalam hidup Luna sampai akhirnya takdir memaksa mereka untuk perpisah. Namun, kendati demikian, Luna merasa sosok itu akan selalu ada di hati serta ingatannya. "Apa benar, setelah meninggal orang bisa melihat kita dari atas sana?" Emma terhenyak, meski tak ayal ikut mendongak. Sejenak Emma berpikir, lantaran belum memiliki jawaban yang tepat. "Saya
“Bukankah itu Max?” Leon terkejut begitu turun dari mobil, mengetahui keberadaan pria bertato hampir sekujur tubuh itu ada tidak jauh dari tempat pameran. Meski terhalang mobil-mobil para pengunjung, tapi Leon yakin tidak salah mengenali.Gerry yang sudah berdiri di samping Leon ikut memperhatikan arah yang sama, dan sepertinya juga menunjukan reaksi yang tidak jauh berbeda. Mustahil pria seperti Max mau repot-repot menunjukkan diri di tempat keramaian jika memang tidak ada yang diincar.“Oh sial!”Leon bergegas lari saat melihat Luna dari kejauhan. Gerry juga tak mau ketinggalan untuk ikut menyelamatkan sang nyonya.******Luna panik begitu sadar telah kehabisan peluru, sedangkan pria itu sudah semakin mendekati dirinya sambil memainkan pisau lipat milik Emma.“Kau pikir bisa lolos dariku?”“Kita tidak saling mengenal. Kenapa kau begitu ingin membunuhku?” Luna berkata gugup.Melihat pria itu belum menyerah untuk melukai Luna, tentu saja Emma tidak tinggal diam dengan menyambar satu p
“Sepertinya nyonya belum datang.” Gerry ikut memperhatikan pengunjung yang melintas di depan mereka, dan ternyata tidak menemukan Luna ataupun Emma. “Saya akan memberitahu Emma jika Anda sudah menunggu.” Leon mengangguk setuju.Namun, sudah dua kali panggilan Emma tak juga menjawab.“Ada apa?” Leon melihat Gerry bolak-balik menempelkan ponsel ke telinga setelah memastikan layarnya.“Emma tidak menjawab, Tuan.”Leon lantas melirik arloji di pergelangan tangannya. Semalam Luna meminta izin hanya akan satu jam mengunjungi tempat itu, sedangkan sekarang sudah hampir lewat tiga puluh menit Luna belum juga terlihat datang. Sementara Emma malah mengabaikan panggilan Gerry. Leon merasa pasti ada yang tidak beres.“Tuan—”“--kita pergi sekarang.” Belum sempat Gerry menyelesaikan kalimatnya, Leon sudah lebih dulu pergi seraya memberi perintah.*******“Tetap diam di tempat kalian!” Pria itu memperingatkan semua orang. “Dan kau!” Beralih pada Emma yang juga masih bergeming. “Jangan coba-coba me
Tidak mudah mencari tahu kehidupan seorang Leon Smith. Kendati sudah bukan rahasia umum lagi pria itu memiliki kebiasaan bergonta-ganti wanita, tapi sampai detik ini belum ada yang tahu pasti siapa wanita yang sedang bersamanya dan memiliki hubungan khusus dengannya. Atau memang tidak pernah ada komitmen setia dalam diri pria seperti Leon.Selain Ayumi, ada beberapa wanita dari kalangan pebisnis maupun artis yang mengaku pernah memiliki hubungan dekat dengan Leon. Namun, Leon sendiri enggan menanggapi kabar tersebut. Tidak hanya sulit didekati, Leon juga terlalu dingin pada siapa saja, tak terkecuali para pemburu berita yang ingin mengulik kehidupan pribadinya.Sampai ketika berita kehamilan Ayumi mencuat ke publik, tidak sedikit yang menduga Leon lah ayah bayi itu. Pasalnya jika dihitung dari usia kehamilan Ayumi, dan hari dimana wanita itu menyebut dirinya tengah memiliki hubungan Leon. Untuk itu tidak heran jika Leon kandidat yang paling tepat."Belum diketahui dengan siapa dia tin
Hari sudah lewat tengah malam, tapi Luna belum juga bisa tidur setelah keluar dari ruang rahasia Leon dua jam lalu. Luna masih belum tenang memikirkan untuk apa Leon menyimpan senjata sebanyak itu. Belum lagi rasa penasaran akan rahasia Leon, benar-benar membuat Luna terus memikirkannya."Aku ragu kematian Nyonya Lauren ada hubungannya dengan Pak Jang. Dilihat bagaimana sikap Leon begitu menghormati Pak Jang, sepertinya semakin tidak mungkin." Lelah hanya duduk bersandar di ranjang, Luna memilih bangkit lantas berjalan mendekati pintu balkon."Lalu bagaimana dengan Kak Emma? Bukankah mereka berteman?"Pertanyan itu masih saja mengusik Luna, sebagaimana yang ia ketahui, Emma dan Leon bahkan sudah berteman sejak remaja. "Astaga! Atau jangan-jangan dia?"Tiba-tiba saja Luna merasakan panas di sekujur tubuh. Pendingin ruangan seakan tidak mampu menghalau rasa panas yang sekarang menjalar hingga pembuluh darah. Luna lantas membuka satu daun pintu kaca, demi mendapat udara dari luar. "Te
Luna jadi tahu apa fungsi ruang rahasia Leon. Digunakan untuk penyimpanan senjata-senjata mematikan. Ternyata selain dingin dan menyebalkan—Leon memiliki hobi diluar nalar manusia dengan menjadi kolektor senjata api."Apa dia segila itu?" Belum hilang keheranan Luna atas apa yang dilihatnya.Pemikiran sederhana Luna belum bisa memahami untuk apa Leon menyimpan senjata sebanyak itu, dengan jenis yang sama."Tapi tidak ada yang perlu dikhawatirkan setelah aku mengetahui semua ini." Luna kembali bermonolog. "Yang terpenting aku harus bisa membuatnya tunduk, dan menuruti apa saja yang aku inginkan." Untuk pertama kali seringai licik muncul di ujung bibir Luna, mengingat rencana yang sudah tersusun rapi di kepala. Kali ini Luna harus berhasil, lantaran tidak hanya untuk keselamatan dirinya, melainkan juga seseorang yang sampai saat ini masih sering ia khawatirkan. Sadar tidak bisa pergi dari jalan manapun, Luna mulai berpikir cerdas dalam menentukan sikap. Jika tidak bisa melepaskan diri
Luna sudah berdiri di depan pintu ruang rahasia Leon. Setelah mendorongnya, dan terbuka, Luna tidak langsung masuk. Melainkan mencari tahu bagaimana bisa membuka pintu itu lagi ketika dirinya sudah ada di dalam. "Apa mungkin ada tombol tertentu di dalam?" Luna dilema. Masih sangat takut untuk masuk lagi. Tapi juga tidak bisa menunda waktu demi menuntaskan rasa ingin tahunya. Luna harus bergerak cepat sebelum Leon kembali.**********Leon mengendarai sendiri kendaraan roda empatnya. Setelah menyelesaikan pekerjaannya bersama Gerry. Leon memutuskan memutar arah untuk menuju suatu tempat.Suara mesin mobil Leon berdengung sangar, saat membelah jalanan yang sepi di bawah naungan langit cerah. Cepatnya laju kendaraan setara angin beliung yang bisa menyapu jalanan ketika melintas. Leon yang sudah tidak sabar ingin segera sampai tujuan, tidak mengurangi kecepatan sedikitpun meski kondisi jalan menikung. Tak ayal lantaran ketidak sabarannya itu, mobil Leon sempat menabrak pembatas jalan, lan
"Aku bosan di dalam." Sebelum Emma bertanya, Luna lebih dulu menjelaskan. "Terkadang saya juga suka duduk disini untuk sekedar menikmati malam, Nyonya." Emma ikut duduk di kursi seberang Luna. "Melihat langit saat malam hari memberi saya ketenangan." Luna balas tersenyum ringan. Apa yang Emma katakan memang benar, baru saja beberapa menit ada disana, Luna merasa suasana hatinya sedikit membaik. Tidak hanya itu, sejenak Luna juga bisa mengalihkan keingintahuannya akan rahasia Leon. Tapi sayangnya, ketika menatap langit bertabur bintang, mendadak Luna mengingat satu orang yang paling dirindukan. Ibu. Sosok yang paling berpengaruh dalam hidup Luna sampai akhirnya takdir memaksa mereka untuk perpisah. Namun, kendati demikian, Luna merasa sosok itu akan selalu ada di hati serta ingatannya. "Apa benar, setelah meninggal orang bisa melihat kita dari atas sana?" Emma terhenyak, meski tak ayal ikut mendongak. Sejenak Emma berpikir, lantaran belum memiliki jawaban yang tepat. "Saya
"Kau sudah terlalu banyak bicara, Luna. Aku tidak suka itu." Tidak bisa disangkal lagi, memang ada rahasia yang sengaja Leon tutupi. Luna hanya semakin penasaran meski tahu itu bukan urusannya."Kau cuma perlu menjadi istri yang baik, hanya itu."Seharusnya Luna paham, sekalipun hubungan mereka membaik, tetap ada batasan yang harus dipatuhi. Mendapat pengecualian untuk bisa bergerak bebas kemanapun, baik luar maupun dalam mansion, bukan berarti Luna juga berhak mengetahui apa yang Leon rencanakan, juga apa yang menjadi tujuan utamanya selama ini."Segeralah turun untuk sarapan," kata Luna lantas melangkah pergi.Leon tidak menjawab, hanya masih menatap datar kepergian Luna. Sampai kemudian perhatiannya teralihkan oleh suara panggilan dari ponselnya yang ada di atas meja kerja. Leon segera mendekat untuk memastikan siapa yang menelpon."Ada apa?" ujarnya begitu sambungan terhubung."Wan
"Apa dia akan baik-baik saja? Aku lihat lukanya lumayan dalam." Bruri benar-benar khawatir sesuatu yang buruk bisa saja terjadi, setelah dengan mata kepalanya sendiri, ia melihat pria itu menggores lengan yang terbungkus jaket kulit, hingga darah segar merembes keluar."Dia sendiri yang menolak dibawa ke rumah sakit. Aku bisa apa." Darma tidak mau disalahkan setelah niat baiknya ditolak tegas.Berdiri di samping Darma yang sedang mengaduk kopi, Bruri kembali memperhatikan Emma yang duduk sendiri di kursi."Setidaknya lakukan sesuatu agar lukanya tidak infeksi. Jika terjadi sesuatu padanya, kita juga dalam masalah."Alih-alih menanggapi kecemasan Bruri, selesai mengaduk dan meletakkan dua gelas kopi di atas nampan, Darma lantas mengangkat nampan tersebut menggunakan kedua tangan. "Milikmu aduk sendiri," ujarnya memberitahu sebelum berlalu."Baiklah. Kopi hitam di pagi hari memang selalu dinanti," celoteh Bruri setelah sempat mendesak nafas sekali."White kopi untukmu. Maaf hanya ini y